Part 4. Plagiat?
Subuh masih setengah jam lagi, tetapi gadis berkerudung maroon sudah menarik gerobak berisi sayuran dan beberapa panci berisi daging serta beras ke warung yang jaraknya sekitar setengah kilo dari rumahnya. Hawa dingin tak membuat gadis itu gentar, menyambut hari. Beberapa kendaraan, utamanya milik para penggiat pasar tradisional, berlalu lalang. Ada tukang sayur yang datang dari daerah pegunungan di Boyolali, ada tukang ikan yang datang dari daerah pesisir, ada juga beberapa petani buah yang siap menyetorkan hasil tanam mereka ke pedagang pasar, langganan.
Itulah kenapa, meski masih gelap gulita, Ayun tidak takut. Lagi pula, di dalam hatinya, dia selalu yakin jika Allah tengah mengawasinya, menemaninya, dan senantiasa melindunginya. Meski banyak sekali orang yang sering menasihati Ayun untuk tidak pergi sendiri di waktu-waktu subuh. Namun, inilah kesehariannya. Sementara Renny pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan bahan dapur tambahan, Ayun akan membawa bahan-bahan masakannya ke warung.
Suara orang bertadarus terdengar sayup-sayup dari masjid pesantren. Ayun menoleh dan sesekali mengikuti lantunan ayatnya jika dia tahu. Untuk sampai ke warung, dia harus melewati jalan panjang dari pesantren Nurul Ilmi 1, pimpinan Ustadz Kafaby Ibrahim.
Kawasan ini cukup ramai, karena terletak di antara pesantren Nurul Ilmi 1, universitas yayasan islami, dan kompleks pendidikan yayasan Dirgantara, yang memiliki beberapa tingkatan sekolah dari SD hingga SMA.Itulah kenapa Renny dan Ayun memilih untuk menyewa salah satu ruko di tempat ini, untuk usaha makanannya.
Jemari Ayun yang sedikit kebas karena terbalut dinginnya dini hari, menyebabkan tarikannya pada gerobak melemah. Tepat saat melewati gerbang pesantren yang masih terbuka bagian pintu kecil dekat pos keamanan, Ayun merasakan gerobaknya tiba-tiba menjadi ringan. Dia menoleh ke belakang.
“Mbak, saya bantuin.”
“Eh, Mas Alek. Bikin kaget aja,” kata Ayun sembari tersenyum lega.
“Ayo Mbak, saya bantuin dorong.”
Ayun tersenyum dan menerima bantuan itu karena jalanan di depan pesantren memiliki beberapa polisi tidur, untuk memperlambat laju kendaraan yang lewat. Menurut cerita, pernah hampir terjadi kecelakaan di sana.
“Ali!”
Teriakan itu membuat si pemuda menoleh setelah berjalan sekitar lima meter dari tempat awalnya membantu Ayun tadi.
“Mau kemana? Jatahmu azan!”
“Bentar, Bang.”
“Mas, udah, ditinggal aja. Makasih ya,” kata Ayun.
“Maaf ya Mbak. Saya azan dulu.”
Ayun mengangguk sembari melanjutkan perjalanannya lagi. Di polisi tidur terakhir, suara langkah terdengar mendekat.
“Say, sini aku aja yang bawa.”
Ayun mematung, dia mendongak, matanya mengerjap memastikan. Suara yang sama dengan suara yang meneriaki Ali tadi.
“Mas Yusuf? Eh, ini udah mau subuh loh, kenapa malah keluar komplek?”
Iyus mengode Ayun agar minggir dan mengambil alih pegangan gerobak, kemudian menariknya sampai ke warung milik Renny yang berjarak seratus lima puluh meter dari pesantren. Ayun mengikuti dari belakang.
“Alhamdulillah, dapet inspirasi lagi buat nerusin ceritaku di WriteMe,” batin Ayun sembari tersenyum.
Otaknya seketika bekerja, menggambarkan serentetan cerita yang nanti bisa direalisasikannya dalam bentuk tulisan di kisah terbarunya berjudul Tabayun. Kumandang azan subuh nan merdu diserukan Ali dari masjid pesantren. Yusuf mempercepat langkahnya dan segera memarkirkan gerobak di depan ruko.
“Maaf aku nggak bisa bantu nurunin. Aku pergi dulu ya.”
“Iya Mas, makasih ya.”
“Assalamualaikum warahmatullah.” Iyus berlari kembali ke arah pondok.
“Wa alaikumsalam warahmatullah.”
Ayun segera membuka pintu ruko dan memasukkan barang-barangnya, kemudian menunaikan kewajiban salat subuh, sebelum meneruskan aktifitas dapurnya. Renny datang tak lama setelahnya, membawa sayuran hijau dan beberapa plastik tahu tempe.
“Mbak, tadi malem naik taksi online?” tanya Ayun sembari mengaduk bubur.
Renny yang tengah mengiris daging ayam untuk topping menatap Ayun sekilas.
“Mm ... itu, anu, kemarin kan kemaleman, terus diajak bareng sama Dokter Zulham.”
“Lah? Kok bisa?”
“Ya, rejeki namanya. Kemarin hujan deres banget, ibu sampai bajunya basah. Ini tadi tak titipin sama bude Mun, soalnya agak anget badannya. Pasti gara-gara kehujanan. Aku juga rada pusing.”
Setelah itu tak ada percakapan dilontarkan keduanya, maisng-masing sibuk dengan tugasnya. Jam menunjukkan pukul lima tiga puluh dan waktunya membawa dagangan mereka ke gerobak bubur di depan ruko. Beberapa pelanggan mulai berdatangan.
“Mbak, buburnya tiga ya.”
“Eh, Bunda. Kok tumben kembar nggak ikut?”
“Kembar sekarang pindah ke Jogja, gantian kakaknya yang balik ke sini.”
“Oh, udah mulai kuliah ya Bun?” tanya Renny sembari menyiapkan tiga bubur pesanan pelanggannya.
Wanita yang datang bersama putrinya itu dengan sabar menunggu gilirannya.
“Kamu kalau makan siang bisa ke sini juga, Mbak Icha. Mbak Renny ini kalau siang jualan aneka macam sayur. Ayah paling suka kalau Bunda beliin rendang sama lele saus pedas di sini.”
Renny tersenyum mendengar percakapan itu. “Iya, Mbak. Datang aja ke sini.”
Gadis berkemeja putih dengan rok span panjang berwarna hitam dan kerudung senada itu tersenyum.
“Ya, Mbak.”
“Anakku ini baru mulai kerja di sini Mbak, guru di Dirgantara situ. Dulu di cabang Jogja, sekarang pindah di sini.”
“Oh, gitu. Sering-sering aja main ke sini.”
Obrolan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Renny dan Ayun. Semakin mereka ramah dan dekat dengan pelanggan, maka semakin laris juga dagangan mereka.
“Assalamu alaikum, Mbak, makan sini, enam ya.”
“Wa alaikum salam. Nggak pake kecap dua, nggak pakai kacang satu. Nggak pake ati satu, nggak pake lada satu. Komplit ekstra sambel satu?” Tebak Ayun saat melihat Ali dan teman-temannya datang.
“Wooooh!! Hapal dooong!” seru mereka sembari memilih tempat duduk.
“Makan sini?” tanya Ayun sedikit heran.
“Iya,” jawab mereka kompak.
Renny terkekeh mendengar keseruan kelima santri itu. “Eh, la ini cuman berlima? Kok pesen enam?”
“Yang satu nyusul,” jawab Ali.
“Mau minum?” tanya Ayun.
Mereka mengiyakan dan menyebut teh hangat sebagai pesanan minum mereka. Ayun segera membuatkan minuman sementara Renny menyajikan buburnya.
Sosok berkemeja hitam dengan rambut setengah basah muncul. Tersenyum tipis pada Ayun sebelum bergabung dengan gengnya.
“Dih, tumben pagi-pagi udah mandi. Wangi banget, haduh. Nyolong parfum toilet Ummah Hana nih pasti?”
Tawa terdengar membahana kemudian, sementara itu Iyus yang menjadi bahan ledekan hanya diam dengan ekspresi khasnya yang dingin.
“Eh ada Bang Iyus, Bang Alek. Ah, pagi-pagi cuci mata.”
Suara cempreng terdengar dari dekat gerobak Renny. Tiga santriwati yang mendapat tugas mengambil bubur untuk sarapan Ummah Hana dan Ustadz Kafaby melancarkan aksi mereka.
Iyus bergidik ngeri dan memalingkan muka, sementara Ali melambaikan tangan menyapa para santriwati dengan hangat membuat tiga orang itu jejeritan.
“Bang Alek, itu temennya diajarin dong, biar nggak kayak es batu.”
“Ahahaha, coba terus, cairin dia, biar meleleh,” sahut Ali.
Renny terkekeh melihat interaksi anak muda yang menjadi pelanggan setianya itu. Ayun muncul dari dapur sembari membawa beberapa sterofoam dan sendok plastik untuk stok.
“Gimana caranya sih Bang, udah cantik bin cetar membahana loh kami tuh.”
“Usaha terus, sampai cair.”
Iyus tak menggubris omongan Ali dan teman-temannya yang menanggapi para santriwati centil itu.
“Say ....” Suara bariton dengan nada lembut meluncur dari bibir Iyus memanggil sang gadis yang baru saja melewatinya.
“Dalem Mas,” jawab Ayun cepat sembari menoleh ke Iyus.
“Minum dong. Kayak kemarin,” pinta Iyus sembari tersenyum.
Ayun membalas senyumnya dan mengangguk. Dia memang belum membuatkan minum untuk Iyus, karena tadi baru lima orang yang pesan minum.
Panggilan Iyus tadi membuat semua mematung. Interaksi keduanya yang terlihat begitu hangat dan akrab benar-benar mengejutkan Ali dan teman-temannya.
Iyus menyendok buburnya setelah menggumamkan doa. Matanya kemudian menangkap ekspresi aneh dari teman-teman yang duduk di meja yang sama dengannya itu.
“Kenapa?” tanya Iyus bingung pada teman-temannya.
“Ini Mas, minumnya.”
“Makasih Say.”
Senyum Ayun terkembang sempurna. Tiga santriwati di luar ruko juga mengamati Iyus dan Ayun bergantian.
“I-itu ... mereka pacaran?”
“Ya Allah, potek hati hamba.”
“Ya Allah, panggilnya Say Say loh.”
“Ya Allah, atiku ajur, kayak bubur. Luntur ....”
Renny mengamati ekspresi aneh dari ketiga santriwati yang terlihat kecewa itu.
“Mbak, ini pesenannya Ummah Hana sudah.”
Ketiganya segera mengangkut bubur-bubur yang telah dibayar itu dengan wajah kesal. Sementara itu Ali dan teman-temannya ikut penasaran.
“Sejak kapan itu panggil-panggil Say?” telisik Ali setengah berbisik.
“Kemarin,” jawab Iyus enteng.
“Cadas Bang, diem-diem menghanyutkan,” celetuk Khalid.
Iyus memikirkan sesuatu, dari ekspresi teman-temannya, dia bisa menyimpulkan jika mereka sedang salah paham. Apalagi para santriwati tadi, tapi sepertinya kesalah pahaman ini akan menguntungkan dirinya.
“Baguslah, setidaknya mereka nggak akan gangguin aku lagi. Makasih, Say, kamu udah nolongin aku, secara nggak langsung.”
Mata Iyus tertuju pada sosok yang kini tengah sibuk dengan kangkung di tangannya itu. Ali menyenggol Iyus.
“Heh, inget Bang. Inget, belum halal,” bisik Ali.
Iyus tersenyum tipis. “Otewe halal.”
Empat bocah lain bersorak dan menyemangati Iyus, sedang Ali masih saja tak habis pikir kenapa Iyus bisa dekat dengan seorang akhwat. Sepulang dari warung pun, Ali masih mengikuti Iyus dan berusaha mencari kebenaran di sana.
“Bang, kamu beneran itu sama si Mbaknya?”
Iyus melirik Ali yang tengah menatap serius padanya. Pemuda itu tak menggubrisnya, dengan cekatan ia menghidupkan alat kerjanya.
“Bang, kok bisa sih? Bukannya Abang nggak tertarik sama akhwat?”
Jemari Iyus menari di atas papan ketik dengan mata melihat ke layar monitor.
“Aku normal.”
“Tapi Bang, gimana bisa Abang berhubungan sama dia?”
“Diem dulu, aku baru dapet inspirasi buat artikel soal cinta. Tema yang selalu gagal dibahas Kalam Maya dari dulu. Sekarang tema itu harus bisa dieksekusi dengan baik.”
Ali mengamati wajah serius Iyus.
“Bang, ini bukan permainan Abang kan? Demi konten?” selidik Ali.
“Apapun akan aku lakuin buat dapetin apa yang aku mau, Alek. Kamu tau kan?”
Ali beristigfar. “Bang, awas loh, jangan nekat sama akhwat. Kalau udah kejerat syahwat, akibatnya bisa kebawa sampai akhirat.”
“Ada apa nih pagi-pagi udah ngomongin akhwat?”
Ali menoleh dan segera mengulurkan tangan menyalami dua sosok yang baru saja masuk itu.
“Ustadz, ini anu, lagi bahas soal tema Kalam Maya.”
“Temanya akhwat?” tanya Ustadz Kafaby heran.
“Bukan Ustadz, cinta,” jawab Ali cepat.
Sosok yang tadi masuk bersama sang ayah terkekeh sembari memposisikan dirinya di meja seberang Iyus.
“Wah, berat banget nih. Emang kalian pernah jatuh cinta?” ledek orang itu.
“Memangnya kamu sudah pernah juga, Bay?”
Abqory Ubaidillah Ibrahim, pemuda lulusan tenik kimia yang merupakan putra sulung dari Ustadz Kafaby dan Ustadzah Hana itu seketika terdiam.
“Belum Bah,” cicitnya, mengundang tawa tertahan dari Ali dan Iyus.
Ustadz Kafaby menggelengkan kepalanya, sembari menyerahkan amplop kepada Iyus.
“Ini, ada sedekah dari peminat setia Kalam Maya. Katanya kalian butuh peralatan baru, gunakan uang ini. Semoga bisa bermanfaat untuk semuanya.”
Iyus menerima amplop itu. “Tadz, sebenarnya siapa sih yang ngirim sedekah seperti ini perbulannya?”
“Hamba Allah. Dia nggak mau disebut namanya. Yang jelas, kalian harus menyajikan atikel yang bagus untuk membalas dukungan ini.”
“Nggih, Ustadz,” jawab Ali dan Iyus kompak.
“Kalian bisa baca novel kalau mau belajar cinta. Itu Ummah lagi seneng baca di platform online. Judulnya Tabayun, itu lagi hitz. Coba aja cari, katanya sih berbau religi.”
Ucapan sang Ustadz membuat Iyus diam-diam menelusuri laman yang dimaksud. Dia mendownload aplikasi WriteMe dan mencari kata kunci menggunakan judul novel yang disebutkan sang Ustadz. Matanya terfokus pada deret kata yang menampilkan blurb cerita.
[Sebuah kisah tentang Albirru, sosok pemuda yang sedang mencari jalan imannya. Kerasnya kehidupan yang ditimpakan padanya selama dua puluh dua tahun ini, membuat Birru gamang. Hingga akhirnya bertemu dengan Ayu. Seorang santriwati yang setiap hari membeli makanan di warung tempat Birru bekerja sambilan. Dari gadis itu, Birru belajar mengenal agamanya. Belajar tentang kehidupan sesuai dengan tuntunan syariat. Belajar tentang sebuah metode penyelesaian masalah bernama Tabayun. Andai semua orang di dunia ini menggunakan Tabayun sebagai pedoman mereka, tidak akan muncul fitnah yang bisa menyebabkan orang-orang terluka.]
“Albirru? Kenapa pakai namaku?” batin Iyus.
Jemari Iyus seperti tersihir, menikmati lembar demi lembar kisah yang ditulis di sana. Kisah itu baru sekitar dua puluh bagian. Terakhir diunggah pada hari Jum’at. Seperti dalam keterangan dari si penulis, jika setiap part diunggah seminggu sekali.
“Iman, Taqwa, Tholabul ilmi, Zakat, Sedekah, Amal jariyah.” Iyus menggumamkan setiap judul part yang tersaji di sana.
Seketika matanya membulat dan jarinya berkejaran di atas papan ketik, sesekali tangan kanannya berpindah ke mouse dan mengklik beberapa kali hingga muncul laman yang dicarinya. Matanya benar-benar fokus ke dua laman yang kini berjajar itu. Sama persis, daftar isinya bak copypaste.
“Kok bisa?” gumam Iyus.
Ali dan Ubay menatap Iyus yang sedari tadi tenggelam di dunia maya.
“Kenapa Bang?” tanya Ali.
“Lihat ini, aku share ke tempat Kang Ubay sama kamu Lek.”
Seketika muncul tampilan yang sama di layar PC Ubay dan Ali.
“Ini ... kok bisa sama?”
“Dia plagiat. Aku udah cek hadist yang ada di artikelku, sama yang dia pakai,” ujar Iyus kesal.
Ali masih mengamati satu persatu laman di depannya.
“Wah keren, ada yang baca artikel kita dong artinya. Bagus nih, bisa manfaat ilmunya,” tutur Ali girang.
“Bagusmu itu. Kita pusing bikin konten, masak iya disadur gitu aja,” protes Iyus.
“Yus, udahlah. Ini amal jariyah loh. Ilmu yang kalian tuangkan disitu, dimanfaatkan dengan baik oleh orang ini. Ambil positifnya aja,” sahut Ubay dengan gaya bicaranya yang santai dan lembut seperti Ustadz Kafaby.
“Tapi, Kang. Ini semua kontenku, nggak satu dua. Semua sama persis.”
Iyus masih bersungut-sungut.
“Kalau begitu, cari orangnya. Tabayun. Tanyakan apa alasannya mengangkat kontenmu menjadi dasar cerita miliknya. Jangan pakai emosi, sabar.”
“Udah lah, Bang Yus. Bener kata Kang Ubay. Ini jadi amal jariyah. Nggak usah diperpanjang.”
Iyus masih tak terima dengan fakta yang didapatinya itu. Diam-diam dia mnegirimkan pesan pada akun bernama NQ_AyunMu itu.
T4br1z
[Maaf, kenapa ayat dan ulasan yang disampaikan di setiap partnya sama dengan tulisan di salah satu situs web ya? Bukankah itu plagiat?]
Iyus menekan tanda pesawat kertas untuk mengirim pesan itu pada akun penulis tadi.
“Seenak itu kamu ngambil ideku. Aku nggak akan biarin kamu, ngambil tanpa permisi.”
ㅡ
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Bang Iyus marah hmm...
Adakah yang tahu itu akun WriteMe punya siapa?
🤣🤣🤣
Oh iya, say hi, buat Kang Ubay dong..
Btw Kang Ubay, anaknya Ust. Kafaby dan Ummah Hana, punya cerita sendiri loh..
Di "ALLAH GUIDE ME"
Tapi.... Belum publish...
Habis Unmei kelar deh...
Btw itu Mbak Icha dari Unmei juga nongol di tempat bubur.
Say hi buat Icha juga dong ehehe
Semoga segera kelar masalah Mas Ian dan Ian nya...
😅😅
Terima kasih sudah mampir
Ajak temennya ya kalau mampir
😍😍😍
🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro