Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 37. Hilang

Ayun tengah menikmati susu hangat sembari mendengarkan murottal saat terdengar kebisingan di luar. Ia melihat ponselnya beberapa kali. Sang suami belum menghubunginya lagi sejak lima jam lalu. Ia masih menunggu, mungkinkah Iyus kehabisan baterai? Bisa jadi juga dia kelelahan dan belum mengabari.

Ruf, tante Iyus mengetuk pintu kamarnya.

"Yun, Ayun."

"Dalem, Tante. Kenapa?" Ayun membuka pintu, ia mendapati sang mertua tengah dibopong ayah mertuanya.

"Ya Allah, Ibu. Ibu kenapa?"

Ayun mendapati Zulham, Romo Sam, Renny, Haikal, dan Eka datang bersamaan. "Ini kenapa?" tanya Ayun.

Dia tak tahu apa-apa.

"Nduk, nduk, jagain ibu, nggih? Bapak sama Ommu berangkat dulu. Jagain adek kalian. Kandunganmu juga."

Mata Nugrah yang memerah membuat Ayun semakin bingung. "Pak, ini kenapa?" tanya Ayun.

Renny memeluk adik sepupunya sembari menangis. Ayun semakin bingung. Ia memang tak diberi tahu. Tiga jam lalu, Nugrah ditelepon orang tua dari rekan Iyus, mengabarkan jika anak-anaknya mengalami kecelakaan.

"Sing sabar ya, Yun. Suamimu ... Kecelakaan. Untuk lebih jelasnya masih belum tau gimana. Tapi, tiga teman Yusuf ditemukan meninggal di tempat. Posisi mobil ada di bawah jurang. Ada dua mobil dan satu bus yang diseruduk truk trailer, semua masuk ke jurang. Yusuf belum ketemu."

Ayun seketika terkejut. "Innalillahi wa innailahi rojiun."

Tubuhnya lemas, ia tak sadarkan diri. "Ya Allah, lindungilah suamiku."

Kepedihan benar-benar dirasakan oleh keluarga Aji Jati. Eka dan Renny di sana, menemani Rumi dan Ayun yang tengah sama-sama mengandung tetapi harus mengalami hal yang tak menyenangkan.

Zulham dan Nugrah serta sepupu mereka Eijaz yang bertugas di kepolisian, segera meninjau lokasi kejadian. Tebing curam di daerah pegunungan itu memang sangat rawan kecelakaan. Sopir trailer sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Ada beberapa korban meninggal dunia. Nugrah tak kuasa menahan perasaannya, betapa mengerikan wujud mobil yang dikendarai sang putra, ringsek tak berwujud. Menurut keterangan tiga penumpang dibagian belakang tewas dengan posisi terjepit sementara pintu depan terbuka, kemungkinan Iyus terlempar keluar karena di sana posisi seatbelt pun terlepas.

Bus yang membawa banyak penumpang terbakar. Setelah terjun, bus tersebut meledak. Dan kemungkinannya para korban yang terlempar keluar tersambar api dari bus yang terbakar.

"Mas, nanti semua akan tetap saya pantau. Kejadiannya sama laporan ke resort terdekat sudah diperkirakan lewat tiga puluh menitan. Di sini kan memang relatif sepi. Jadi agak telat informasinya. Semoga Yusuf diselamatkan warga sekitar. Kita masih terus nyari info." Eijaz mengatakan pada Nugrah.

Zulham menenangkan sang kakak. Nugrah tak kuasa menahan tangis. Apa yang akan ia katakan pada istrinya nanti? Pada menantunya? Terlebih sang menantu tengah mengandung cucunya.

"Sabar, Mas. Aku bakal ngerahin anak buahku di sini."

Nugrah sebenarnya tak ingin mengatakan ini tetapi ia terpaksa mengucapnya. "Andai ... Dia memang sudah dipanggil pulang ... Setidaknya ... Setidaknya, secuil jasadnya ... ada ... agar bisa kami kebumikan dengan layak. Biar anaknya kelak tau, dimana ... Makam ayahnya."

Isak terus terdengar dari pria itu, Zulham ikut menangis. Tak sanggup ia melihat sang kakak berduka.

"Sabar, Mas. Stay positive. Yakin kalau Iyus masih dalam lindungan Allah."

"Iya, siapa tau ada warga lokal yang nolong. Soalnya tadi ada yang kasih kabar kalau beberapa korban selamat dilarikan ke rumah warga dan beberapa yang luka dibawa ke klinik kesehatan."

Pria itu menatap nanar ke tebing tempat sang putra terjatuh. Ada sungai di sana, di sampingnya undakan sawah-sawah membentang. Namun, bangkai kendaraan membuat keindahan pemandangan alam itu tampak mengerikan.

Belasan orang meninggal, belasan lagi terluka dan beberapa hilang, belum ditemukan.

"Ndan, ada yang teridentifikasi lagi. Tapi tidak cocok dengan sample keluarga atas nama Yusuf Albirru. Untuk nama korban tersebut, ini ditemukan ponsel, Al Qur'an, dan tas kecil berisi dompet serta identitas, Ndan silakan diambil di pos."

Eijaz segera mengurus pengambilan barang-barang milik keponakannya. Menyerahkannya pada sang kakak sepupu.

"Mas, ini. Bisa dibawa pulang dulu. Benar ini punya Yusuf kan?"

Nugrah mengangguk. Tas itu adalah tas miliknya yang disukai sang putra.

"Pak, tasnya bagus." Masih ia ingat cengiran sang putra.

"Kamu mau? Kalahin bapak dulu tapi. Ayok dulu-duluan bobol sistem punya Om-mu."

Nugrah kala itu sengaja mengalah, ia memberikan tas dan jamnya pas Iyus. Pria itu memeluk tas milik sang anak. Ada foto sang putra bersama menantunya di sana. Adapula fotonya bersama Rumi di dalam tas itu.

"Nak ... kamu dimana?" lirih Nugrah.

"Mas, salat dulu, sudah masuk maghrib." Zulham mengingatkan sang kakak.

Nugrah mengangguk, ia melangkahkan kaki mendekati TKP kembali dan dengan lantang ia menyuarakan azan. Berharap sang putra mendengar suaranya, seperti setiap kali mereka selalu bergantian azan dan iqamah di masjid dekat rumah mereka selama dua bulan terakhir.

"Nak, bapak udah azan, kamu yang iqomah ya, Le," lirih Nugrah ketika ia selesai mengumandangkan azan.

Namun, tentunya tak ada jawaban dari sang putra. Karena putranya telah tertidur lelap, sangat lelap, dalam tidur panjangnya.

****

5 months later ....

Hari demi hari dilalui Ayun dalam ketidakpastian. Sang suami tak kunjung ditemukan. Minggu demi minggu berlalu, hingga perutnya yang semula rata, mulai membesar.

Sehari-hari, ia mengisinya dengan menulis. Tentunya tetap ia melakukan ibadah dan tak putus berdoa. Namun, menulis juga menjadi kegiatan lain yang menemaninya melewati waktu.

Ia merampungkan kisahnya, kisah dari Yusuf Tabriz Albirru dan Nusayba Qurata'ayun yang ia beri tajuk Kalam Maya. Ya, ia sudah meminta ijin pada Ummah Hana dan Ubay untuk menggunakan Kalam Maya menjadi judul untuk novel terbarunya.

'Kami dipertemukan ketika aku masih gamang mencari keimanan. Dia, Mas Iyus, sosok yang begitu ajaib di hidupku. Dia datang tanpa diduga, dia mengubah hidupku tanpa aba-aba, menikahiku tanpa rencana, dan menitipkan anugrah ini tanpa terkira. Siapa sangka, dia yang awalnya mendekatiku karena salah sangka, karena merasa aku merusak karyanya, justru jatuh hati dan terlalu berani mengambil keputusan untuk menikahi, anak yatim piatu ini.'

Begitulah deret narasi yang diceritakan oleh Ayun. Ia menuliskan Kalam Maya, mempostingnya dalam aplikasi novel onlinenya.

"Yun, vitaminnya udah diminum belum?"

Ayun menoleh. "Sudah, Mbak."

"Nih, kacang ijonya. Dimakan dulu. Ponakanku harus gendut, harus sehat. Makan yang banyak. Tadi Haikal belinya di Klaten."

"Mas Haikal? Ya Allah, dia itu malah jadi ikut ribet nurutin aku ngidam apa. Jadi nggak enak," cicit Ayun sebari berdiri.

Perutnya yang mulai buncit sedikit menyusahkannya untuk berjalan.

"Halah, Haikal seneng kok. Aku juga. Malah setiap Jumat sore sampai Senin pagi bisa ke Jogja. Si Renny lagi parah-parahnya mual, jadi dia nggak ikut."

"Aku seneng akhirnya bisa hamil barengan. Eh, makannya di luar aja Mbak. Mas Haikalnya mana?"

"Tuh di luar, mainan kucing."

Benar saja, Haikal tengah menggendong kucing gembul milik Eka yang selalu diajak pergi alasannya adalah Eka dan Haikal tak berduaan selama perjalanan ke Jogja.

"Eh, Hachi, liat ada si gendut tuh. Perutnya kayak kamu!" Haikal meledek Ayun.

Ayun mengerucutkan bibir. "Ngejek mulu!"

Eka menjewer telinga Haikal. "Heh brondong, diem. Awas aja bikin Ayun badmood, aku usir kamu pergi."

Haikal akhirnya mengucap maaf. "I-ih. Sakit tau! Ampun deh ampun. Gimana si dedek sehat kan? Kapan lahirnya sih? Gemes tau pengen gendong-gendong."

Hachi, kucing Eka menjadi pelampiasan rasa gemas Haikal. Ayun dan Eka hanya menggelengkan kepala melihat tingkah pemuda itu.

"Empat bulan lagi dong, masih lama. Nanti ibu dulu lahiran, selang sebulan baru aku terus baru Mbak Renny."

Eka mengelus perut Ayun yang terlihat bergerak ke sana ke mari. "Eh kenapa ini? Laper kali dia, ayo buruan makan, jangan dianggurin ini jajanannya. Yun, ibuku pengen ikut tadi, tapi sama bapak ndak boleh."

"Mbak. Aku udah bicara sama ibu sama bapak, aku kayaknya mau nurutin wasiat Mas Yus. Aku mau mondok, sembari nunggu lahiran. Itu pesen Mas Yus dulu. Jadi aku pengen mewujudkannya. Ibu juga udah telpon Ummah Hana dan dikasih ijin. Aku mungkin nanti bakal tinggal sama Qonita, ikut bantuin ngurus kantin di sana."

"Kamu yakin? Tapi kamu lagi hamil loh?" tanya Haikal.

"Hmmm perlu dikasih paham ini, justru malah bagus dong. Dedeknya jadi aman malahan. Tinggal di lingkungan pesantren. Ngaji terus. Aman dari godaan dunia." Eka menyahut. Ayun mengangguki ucapan sahabatnya.

"Ya udah kalau gitu, kita ikutan nyantri yuk?" Haikal bicara asal.

"Aku sih bisa aja, tapi kalau kamu, mending enggak usah. Kebakar ntar," ledek Eka pada Haikal.

Ayun tertawa melihat kekonyolan dua temannya. Sudah lama ia tak bisa tertawa, sejak hilangnya sang suami.

Haikal menatap Ayun sekilas. Wanita hamil itu terlihat terhibur dengan pergulatannya dengan Eka. Ia pun melanjutkan omong kosong konyolnya agar Ayun tetap tertawa. "Ay, aku lebih suka liat kamu ketawa. Aku mau liat kamu ketawa. Mas Yusuf pernah bilang nitipin kamu ke aku. Mungkin, ini yang dia maksud. Nitipin kamu dan anak kalian ke aku. Untuk aku jaga. Aku bakal jagain kamu dan si kecil. Kita bakal bahagia ... Aku janji... Aku bakal bikin kalian bahagia."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

Mau bilang apa sama Ayun? Ehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro