Part 35. A Good Bye.
2 weeks later ....
Pertengkaran kecil antara Eka dan Renny masih berimbas hingga beberapa hari. Meski begitu, Renny tak diam begitu saja. Ia tetap berusaha menjalin komunikasi dengan sahabat yang masih kesal dengannya akibat perkataannya tempo hari.
Saat Renny menyambangi kios jahit milik Eka, temannya itu tengah memasangkan sebuah gaun cantik pada pelanggannya. Gaun putih ala princess yang akan menghadiri pesta dansa kerajaan.
"Mbak ini cantik banget. Mbak keren deh bisa bikin kayak gini. Padahal ini kalau beli di mall gitu sampai belasan juta loh, di Mbak nggak sampai sejuta ongkosnya."
Eka terkekeh, ia senang jika pelanggannya puas.
"Tapi ini udah bener-bener pas kan? Nggak kedodoran lagi?"
"Nggak, Mbak. Ini udah pas. Tinggal pakai tiara ini, udah deh. Makasih banget loh Mbak. Ini uangnya."
Eka menerima sepuluh lembar uang berwarna merah. Ia mengembalikannya dua lembar.
"Kebanyakan Ci ini."
"Udah, buat Mbak aja. Makasih ya. Next time aku ke sini lagi ya, Mbak. Seneng deh jahitin di sini."
"Alhamdulillah kalau Cici seneng. Silakan datang kembali."
Renny masih menunggu di salah satu kursi sembari membuka-buka majalah mode. Setelah pelanggan Eka pergi, ia baru berani bicara.
"Ka, bakso urat yuk," ajak Renny.
Eka yang sibuk membereskan kain-kain sisa potongnya berkomentar. "Tiap hari bakso urat, nggak bosen apa?"
"Pengen sih."
Hening, beberapa saat keduanya terdiam. Renny berusaha untuk tidak mengeluarkan jurus konyolnya. Selama ini, di antara mereka bertiga, dirinyalah yang paling keras kepala. Eka dan Ayun hanya sebagai cecunguk yang mematuhi aturannya. Namun, semalam sang suami menasihatinya.
"Sayang, coba kontrol cara bicaramu. Coba jadi pendengar. Jangan mengarahkan ini itu dulu ke orang lain. Biar mereka menentukan sendiri arah yang mau mereka tuju. Kamu jadi pengawas saja, kalau tidak benar-benar salah, jangan ditegur dan dipaksa menurutimu, meski yang kamu ucapkan benar."
Ucapan Zulham membuat Renny berusaha memperbaiki dirinya. Demi kembalinya hubungan persahabatan antara dirinya dan Eka.
"Kamu ngidam?" tanya Eka setelah beres melakukan pekerjaannya.
Renny mengendikkan bahu. "Aku pengen."
"Pengen tapi kalau tiap hari, mencurigakan, Ren. Kamu udah sebulan kan nikah? Coba cek deh."
Istri dokter itu malah mengernyitkan dahi. "Ka, kok kamu jadi bikin aku parno sih," ucap Renny.
Eka terkekeh. "Ya siapa tau, yaudah yuk beli baksonya deket GOR situ ya? Sekalian mau beli gunting baru di toko sebelahnya."
Renny mengangguk dan tersenyum senang. Saat mereka akan melangkah pergi Haikal datang.
"Mbak! Mau pergi?" tanyanya.
"Iya, mau makan bakso. Kenapa, Kal?"
Haikal menyodorkan tas berlabel salah satu toko kain batik terkenal. "Dititipin sama Bunda, minta dijahitin, contohnya ada di situ."
Eka mengangguk, ia kembali masuk sementara Haikal dan Renny di luar. "Mbak, boleh kepo nggak, suaminya Ayun itu kerjaannya apa sih?"
Pertanyaan random Haikal membuat Renny tertawa. "Kenapa emang? Dia programmer. Punya usaha sendiri tapi kerja juga di tempat bapaknya."
Haikal mengangguk-angguk. "Oh, pantes, kayaknya di SW Ayun kok isinya estetik banget rumahnya, kamarnya, daily activitynya."
"Ih, kepo ya? Jangan bilang kamu suka sama Ayun," canda Haikal.
"Eits ... Jangan gitu Mbak. Aku penyuka segalanya sih, asal lawan jenis, dan single. Tapi kalau istri orang, enggak lah. Naudzubillah."
Eka kembali keluar setelah meletakkan kain milik ibu Haikal di dalam rukonya.
"Kal, ikut yuk? Makan siang di sana."
"Boleh sih, tapi traktir ya, Mbak. Aku belum gajian," ucap Haikal jujur.
Eka dan Renny terpingkal. "Astagfirullah, kamu ini katanya anak owner perusahaan konstruksi terbesar di Jogja. Kakakmu CEO Dewangga Kingdom. Makan bakso minta dibayarin sama cewek-cewek," ucap Renny.
Haikal menggaruk tengkuk. "Ya itu kan ayah sama kakakku. Kalau aku ya cuman anak magang doang, Mbak. Baru lulus, kerjaannya main futsal. Nih, kalau nggak percaya."
Pemuda itu mengeluarkan dompetnya. Benar saja hanya ada uang dua puluh tiga ribu di sana. Eka tertawa sampai keluar air matanya.
"Oke ... Oke ... Brondong, yuk jalan sama kakak cantik, kakak yang bandar," ucap Eka sembari naik ke motornya.
Haikal meringis. "Siap kakak cantik, es teh sama parkirnya sekalian ya."
Renny dan Eka tertawa. Mereka kadang gemas dengan tingkah Haikal yang terlalu jujur dan polos seperti anak-anak meski sudah dewasa. Ya, Haikal kini tinggal di komplek perumahan baru yang dibangun kembali pasca kebakaran. Ia ditugaskan kakaknya mengawasi para pekerja di sana. Itulah kenapa dua minggu ini mereka semakin dekat.
****
Sedari subuh, Ayun sudah menyiapkan berbagai perlengkapan sang suami yang akan pergi ke Jakarta mengurus beberapa hal bersama rekannya.
"Yun, Yusuf mana?" tanya sang mertua.
"Di kamar mandi, Bu. Kenapa, Bu kok kayak panik?"
"Abah ke sini, simbah kalian. Itu lagi ditemui sama Bapak. Gimana ya, Yun? Ibu takut."
Ayun mendekati sang ibu mertua. "Bu, jangan panik. Kita ke sana yuk?"
Dari ruang tamu terdengar suara menggelegar. "Kamu itu ndak punya hak atas Yusuf! Yusuf bernasab ke ibunya, ke anakku, Rumi. Dia juga ndak berhak atas warisanmu. Dia juga ndak menjadi tanggung jawabmu. Jadi kamu ndak usah sok peduli sama cucuku!"
"Abah, bagaimanapun juga Yusuf anak saya. Anak biologis saya, dan Dek Rumi istri saya!"
"Halah! Istri apa kalau kalian saja memulainya dengan cara tidak halal! Ceraikan Arumi sekarang juga!"
Nugrah menggeleng mantap. "Mboten saged, Mbah. Dan tidak akab pernah. Dek Rumi itu istri saya, dan selamanya akan seperti itu."
Sebuah tamparan mendarat di wajah Nugrah.
"Abah! Abah! Sampun, Bah!" pekik Rumi.
"Ini, manusia bejat ini, sudah merusak hidupmu! Sadar Nduk, sadar! Dia juga kenapa bisa seenaknya mengijinkan Yusuf menikah tanpa sepengetahuanku! Bisa-bisanya cucuku menikah tapi aku tidak tahu! Yusuf sudah dijodohkan dengan putri kyai Sulaiman! Bisa-bisanya dia malah menikah dengan orang lain."
Ayun gemetar, ia berdiri di ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu. Tangan dingin milik sang suami yang baru seelsai mandi menggenggam jemarinya. Ayun mendongak. Pria tampan itu mengodenya untuk tetap tenang.
"Simbah, bukankah simbah sendiri yang mengajarkan kalau memang sudah yakin dengan satu wanita, nikahi saja. Lalu. Apa Yus salah?" tanya Iyus.
"Salah! Kamu belum meminta restu sama simbah!"
Terus saja pria itu naik pitam. Terlebih ketenangan sang cucu dalam menghadapinya. "Mbah, restu Simbah memang Yus perlukan. Tetapi, yang paling utama adalah restu ibu. Ibu saja sudah setuju, jadi Yus berani melangkah. Lagi pula, apa simbah sudah tahu siapa Nibg Farhana? Beliau bukan putri kandung kyai Sulaiman. Beliau adalah anak diluar nikah dari istri ketiga kyai Sulaiman."
Pria tua itu menatap sang cucu. "Jangan sembarangan kamu! Memfitnah keluarga mulia!"
"Silakan tanyakan pada Ustaz Syam atau Ustaz Elhaq kalau tidak percaya. Yus nggak mau bongkar ini tapi kalau simbah tetap ngeyel dan merendahkan istri saya, membandingkan dengan jodoh pilihan simbah, ya saya terpaksa melakukan ini. Silakan cek kebenarannya. Dan, beliau masih berstatus narapidana. Sedang istri saya ini, gadis saleha yang meski yatim piatu sejak kecil, dia besar dalam lingkungan yang sangat baik. Nasabnya jelas. Tidak seperti jodoh pilihan Simbah."
Pria itu benar-benar kesal, ia ganti menyasar Nugrah. "Kamu, ceraikan anak saya sekarang juga!"
Rumi menggeleng kuat. "Nggak, Bah. Rumi sama Mas Nugi akan tetap bersama. Cucu abah membutuhkan kasih sayang orangtuanya."
"Rum! Yusuf itu bukan tanggung jawab orang ini! Kamu harusnya tau itu!"
"Benar Bah, Yusuf memang tidak berhak mendapat hak waris dari Mas Nugi karena dia ada sebelum kami menikah. Tetapi, anak yang aku kandung ini, dia membutuhkan bapaknya. Dia sah anak kami. Adik Yusuf, bernasab pada Mas Nugi."
Nugrah menunduk, menatap sang istri. Ayun dan Iyus tersenyum. Hanya Nugrah yang belum tahu pasal kehamilan Rumi.
"Sa-sayang, kamu?"
Ayah Rumi pun terkejut. "Kamu hamil?"
"Ya, Bah. Adiknya Yusuf, anakku dan Mas Nugi."
Nugrah mengeratkan pelukannya pada sang istri. Ia mengecupnya sebelum berlutut di depan sang mertua.
"Abah, saya tau saya dulu menyalahi aturan. Saya tau saya salah. Tapi, tolong, ijinkan saya memperbaiki semuanya. Saya akan bertanggung jawab atas mereka. Tolong restui kami."
Kesungguhan sang suami membuat Rumi ikut bersimpuh di depan sang ayah. "Abah, mohon maafkan Rumi. Rumi mengecewakan Abah karena tidak bisa menjaga diri dulu. Rumi juga mengecewakan abah karena jatuh cinta pada orang yang harusnya Rumi benci karena sudah merusak hidup Rumi. Maaf, Bah. Maaf."
Adik Rumi yang mengantar sang ayah ke sana, ikut melakukan hal yang sama. "Abah, Mbak sama Mas sudah bahagia. Apalagi Mbak sedang mengandung cucu abah, maafkan mereka, Bah. Maafkan mereka. Yus dan istrinya juga bahagia. Bukankah harusnya abah bersyukur?"
Pria yang dipenuhi amarah tadi akhirnya luluh. Ia menyuruh anak-anaknya berdiri. "Maafkan, Abah," lirihnya sembari memeluk Rumi dan sang menantu.
Ayun dan Iyus saling pandang. Keduanya tersenyum. "Kekuatan doa lebih mujarab dari segalanya," bisik Ayun. Iyus mengangguk.
"Nah gitu dong, kan enak. Mbah, Yus sekalian pamitan ya. Mau ke Jakarta. Mau ngurus keperluan buat sekolah lagi."
"Loh, ngapain?"
"Yusuf mau sekolah di Amerika, Bah. Biar, dia tambah ilmu. Biar siap nanti kalau sudah waktunya gantiin saya ngurus perusahaan."
"Kenapa harus Amerika? Kamu tinggal istrimu?"
"Ayun nanti Yus titipkan di pondok. Biar dia khatamkan hapalan dan ngaji kitabnya di sana. Besok kan bisa bantu Yus buat bangun lagi pondok Mbah Buyut kayak impian simbah, to?"
Pria itu akhirnya merasa lega. Cucu menantunya ternyata bukan sekedar orang biasa. Dia juga berbekal ilmu agama. "Ya, semoga Allah merahmati kalian. Memudahkan segalanya."
Doa itu disambut dengan ucapan Amin bersama-sama.
"Selamat ya, Yus, Yun. Maaf, baru bisa ke sini," ucap sang tante.
"Iya Tante muda, makasih. Semoga cepet nular ya?"
Gadis itu hanya tersenyum. "Sudah waktunya kamu menikah juga, Dek." Rumi menepuk bahu Ruf, adiknya.
Tak berapa lama rombongan teman Iyus datang, menjemputnya untuk pergi.
"Sayang, beneran mau pergi sekarang?" tanya Ayun dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, dua hari doang. Besok balik lagi. Jakarta deket tau."
"Tapi ... Kalau kangen gimana?" cicit Ayun.
Iyus terkekeh. "Hayo nggak boleh alay. Istigfar ih. Kangen tinggal telpon."
"Kalau nggak bisa telpon?"
"Chat aja, kalau nggak bisa juga pakai sosmed. Kalau nggak bisa pake email. Udah? Puas? Spam aja disetiap email sama sosmedku."
Keduanya terkikik. "Hati-hati ya," ucap Ayun.
Iyus menatap mata sang istri. "Aku pasti pulang. Pasti pulang. Ingat itu. Tunggu aku pulang. Ya?"
Ayun mengangguk. Kemesraan pasangan muda itu mendapat ejekan dari teman-teman Iyus.
"Duh, udah dong brother, jadi pengen kaan. Aah, kapan bisa ketemu bidadari surga juga. Jadi pengen cepet-cepet pergi ke surga!" celoteh salah satu teman Iyus.
Semuanya tertawa, Iyus kemudian berpamitan pada sang ibu. "Bu, titip Ayun ya. Jagain dia. Jagain dedek Yasmin juga."
"Yus, adikmu belum keliatan cewek apa cowoknya."
Iyus terkikik, ia ingin sekali memiliki adik perempuan.
"Pokoknya namanya Yasmin kalau cewek, kalau cowok, Yastrib."
"Hobi kok kasih nama bayi,' cicit sang istri.
Mereka saling berpelukan dan Iyus pun pergi dengan penuh kelegaan karena sang kakek akhirnya berdamai dengan orangtuanya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
❤❤❤❤
Hai semuaaa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro