Part 34. Cinta Halal vs Haram
Iyus membuka mata. Pria itu ketiduran pasca murojaah selepas isya’. Ia mendapati sang istri tengah serius menghadap ke laptop, mengetikkan sesuatu yang cukup panjang di sana karena jemarinya tak henti menyentuh keyboard hingga menimbulkan efek suara khas. Pria itu diam̶ diam menyelinap keluar kamar. Ia segera ke dapur mebuat segelas susu hangat.
Ayun yang tengah serius mengetik part cerita terbarunya tak tahu jika sang suami telah bangun dan menyelinap keluar. Terlebih di telinganya tengah terpasang earphone, mendengarkan sebuah lagu yang menjadi penyemangatnya ketika tengah letih.
‘Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Itulah kenapa para tetua selalu berpesan pada anak-anaknya. Lakukan kebaikan pada setiap orang, di setiap waktu, tonggalkan kesan terbaik pada setiap orang yang kita jumpai. Karena bisa jadi kelak orang yang kita jumpai itu menjadi orang terpenting dalam hidup kita. Entah atasan kita, saudara kita, sahabat kita, atau bahkan pasangan kita. Agar memori kebaikan, kenangan tentang hal baik atas kitalah yang mereka ingat kala perjumpaan kembali terjadi kelak.’
Sebuah kecupan mendarat di puncak kepala Ayun. Wanita itu sontak terkejut. “Mas? Kok bangun?”
Iyus memamerkan gigi gingsulnya dan lesung pipi di sebelah kanan yang membuat Ayun selalu terbius manisnya senyum sang suami.
“Nulis apa, hm?”
Ayun menurunkan layar laptopnya kemudian menggeleng. Setelah meletakkan susu di atasmeja, Iyus menarik istrinya, menyuruhnya berdiri, kemudian ia duduk di kursi dan kembali menyuruh Ayun duduk, di pangkuannya.
"Dengerin lagu?" tanya Iyus saat Ayun melepas earphonenya.
Laki-laki itu mengambil benda yang tadi menempel di telinga sang istri kemudian mendengarkan lagu tersebut. Iyus berdehem sebelum menyanyikannya.
"Uhibbuki mitsla maa anti Uhibbuki kaifa maa Kunti
Wa mahmaa kaana mahmaa shooro, Antii habiibatii anti
Zaujatii, Antii habiibatii anti..."
"Halaalii anti laa akhsyaa 'azuulan himmuhuu maqti.
Laqod adzinaz zamaanu lanaa biwushlin ghoiri munbatti"
"Saqoitil hubba fii qolbii bihusnil fi'li wassamti
yaghiibus sa'du in ghibti wa yashful 'aisyu in ji'ti.
"Nahaarii kaadihun hattaa idzaa maa 'udtu lilbaiti
Laqiituki fanjalaa 'annii dhonaaya idzaa maa tabassamti"
"Tadhiiqu biyal hayaatu idzaa bihaa yauman tabarromti.
Fa as'aa jaahidan hattaa uhaqqiqo maa tamannaiti"
"Hanaa'ii anti faltahna'ii bidif-il hubbi maa 'isyti. Faruuhanaa qodi'talafaa kamitslil ardhi wannabti. Fa yaa amalii wa yaa sakanii wa yaa unsii wa mulhimati.
Yathiibul 'aisyu mahmaa dhooqotil ayyamu in thibti."
Suara Iyus mengalun, sedikit berat, tetapi cukup merdu bagi Ayun.
"Kamu tahu artinya?" tanya Iyus.
Ayun terlihat berpikir kemudian menggeleng.
"Aku mencintaimu apapun dirimu. Aku mencintaimu bagaimanapun keadaanmu. Apapun yang terjadi dan kapanpun. Engkaulah cintaku. Duhai istriku, Engkaulah kekasihku."
Ayun tersipu, Iyus mengecupnya pelan. "Engkau istriku yang halal, aku tidak peduli celaan orang. Kita satu tujuan untuk selamanya. Engkau sirami cinta dalam hatiku dengan indahnya perangaimu.
Kebahagiaanku lenyap ketika kamu menghilang lenyap. Hidupku menjadi terang ketika kamu disana. Hari-hariku berat sampai aku kembali ke rumah menjumpaimu. Maka lenyap keletihan ketika kamu senyum."
"Jika suatu saat hidupmu sedih, maka aku akan berusaha keras. Sampai benar-benar mendapatkan apa yang engkau inginkan. Engkau kebahagiaanku, tanamkanlah kebahaiaan selamanya. Jiwa-jiwa kita telah bersatu bagaikan tanah tumbuhan. Duhai harapanku, duhai ketenanganku, duhai kedamaianku, duhai ilhamku. Indahnya hidup ini walaupun hari-hariku berat asalkan engkau bahagia." Panjang lebar Iyus menjelaskan arti lagunya.
Begitu manis dan romantis ternyata sang suami memperlakukannya. Ayun merasa menjadi orang paling beruntung. Iyus menangkupkan tangan di pipi sang istri dan mengecup bibir kemerahan itu.
“Mas, malu tau,” cicit Ayun yang masih malu setiap sang suami memperlakukannya seperti itu.
“Eh iya, susunya lupa kan, ambilin gelasnya tolong,” pinta Iyus. Ayun melirik sang suami, sok kesal. “Manja,” ketusnya, pura – pura.
“Biarin, manja sama istri sendiri.”
Ayun terkekeh dan menyodorkan gelas pada sang suami. Iyus menggeleng. “Kamu duluan.”
Ayun menyecapnya dan kemudian baru Iyus meneguk tiga kali, seperti biasanya, dibekas bibir sang istri. “Mas, jangan manis-manis dong. Aku takut, nanti kalau kamu pergi, aku nggak tahan rindunya.”
“Rindu memang berat, kalau kata Dilan. Tapi, tidak akan berat, kalau yakin sama Tuhan. Kalau kangen aku ya tinggal kamu lakukan kebiasaan kita waktu sama-sama. Salat, ngaji, tadabur Qur’an, murojaah. Insyaallah rindumu pasti akan terobati. Lagian, aku pasti pulang.”
Ayun menatap sang suami lekat, pertama kalinya sejak sekian ahri menjadi istri Iyus, Ayun melakukan itu dalam waktu yang lama. Jemarinya menyusuri wajah tampan sang suami. Iyus membalas tatap sang istri, arti tatapannya berawal dari kagum sepertinya, tetapi perlahan sayu kembali. Tetesan air mata mengalir.
“Jangan tinggalin aku, Mas. Aku nggak punya siapa-siapa lagi, selain Allah dan kamu.”
Tatapan itu, tatapan takut kehilangan, tatapan penuh harap dan permohonan, ditujukan padanya. Hati Iyus sontak tersentuh. “Sejauh apapun kamu pergi tolong, tolong kembali. Aku memang jujur saja menikah denganmu tidak berdasar cinta. Hanya yakin dengan niat mulia beribadah menyempurnakan agama. Tapi sekarang, sepertinya rasa itu sudah ada, di sini. Entah kapan Allah menumbuhkannya, tapi kamu tau nggak, rasanya ternyata nggak enak jatuh cinta.” Ayun terisak.
Iyus mengusap bulir di pipi sang istri. “Kenapa memangnya? Kata orang jatuh cinta itu indah loh.”
Ayun menenangkan diri sebelum melanjutkan ucapannya. “Indah memang, tapi justru rasa takut, khawatir, dan kecemasan muncul tiba-tiba. Takut kehilangan kau, khawatir setiap kali jauh dari kamu, dan cemas kalau-kalau sesuatu terjadi sama kamu. Aku ... aku takut Mas.”
Iyus terkekeh, ia mengecup bibir kemerahan yang bergetar karena tangis itu. “Eh, kok istriku alay? Kok Bucin? Nggak boleh bucin, loh. Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, sekalipun cinta ke pasangan. Coba direm, sayang. Aku pun cinta sama kamu, banget. Di antara milyaran atau bahkan trilyunan makhluk Allah, kamulah yang menduduki tahta pertama. Tapi kita harus pintar mengelola rasanya. Jangan sampai jadi Qais kedua yang pada akhirnya jadi majnun hanya karena Laila.”
Ayun mengangguk. “Tapi kamu bikin bucin,” cicitnya.
Iyus gemas dengan sang istri sampai ia menggigit tangan sang istri. “Ih! Kok gigit sih! Sakit tahu!” Ayun merintih.
“Salah sendiri gemesin,” kata Iyus sembari menyasar pipi chubby istrinya.
“Mas, kamu nyeremin ih. Jangan gemes-gemes!”
Iyus tak mempedulikan larangan sang istri ia malah menggelitiki istrinya, menciumi, dan sesekali menggigit pipi atau tangan sang istri gemas. Ayun sampai berteriak kegelian dan tertawa akibat ulah sang suami. Wanita itu melarikan diri, turun dari pangkuan sang suami dan lari ke arah kasur, berharap Iyus mengijinkannya tidur cepat malam ini.
“Oh, ngode? Ngajak mainannya di situ?” tanya Iyus sembari mengunci pintu dan mengganti lampu terang dengan lampu tidur.
Ayun diam saja, ia bersembunyi di balik selimut. Iyus segera menyusul pasca melepas sarungnya dan menyampirkan di gantungan baju. Dipeluknya tubuh sang istri. “Yaa Zaujati ... dengerin Mas dulu.”
Ayun diam saja, meski begitu ia mendengarkan dengan seksama ucapan sang suami. Tangan Iyus membelai perut Ayun. “Kalau nanti, kita dititipin rejeki di sini. Kalau cowok, kasih nama Kahfi ya? Kalau cewek kasih nama Zukhrufa.”
Ayun menoleh. “Kan belum ada dedeknya, udah siap nama aja.”
Iyus tersenyum. “Kalau gitu usaha dulu yuk?”
Ayun memutar bola mata malas. Ia kembali menghadap ke depan, meunggungi sang suami.
والَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأتَهُ إِلَى فِرَاشهِ فَتَأبَى عَلَيهِ إلاَّ كَانَ الَّذِي في السَّمَاء سَاخطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنها
Mendengar sang suami menyebutkan hadist itu, Ayun segera bangun. Ia melompat dari kasur, mengambil parfum, menyisir rambutnya dengan tangan, mengganti bajunya dengan baju tidur yang dipuji sang suami tiap kali ia memakainya, kemudian kembali mendekat pada Iyus.
“Jangan marah, ayo, ayo, usaha. Ayo,” ucap Ayun. Iyus terkekeh melihat tingkah sang istri.
“Sayang, jangan pernah berharap singa akan diam saja ketika mangsanya menyerahkan diri. jangan pernah berpikir singa akan mengasihani mangsanya dan membiarkannya pergi tanpa dinikmati.”
“I know. So, let me be your prey tonight. But, let’s pray first,” ucap Ayun.
Iyus tersenyum miring saat hadist yang diriwayatkan oleh Muslim bersumber dari Abu Hurairah, dari sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjang untuk bersenggama sedangkan istri enggan, melainkan yang ada di langit murka kepadanya sampai suaminya memaafkannya” membuat Ayun takut menolak keinginan sang suami.
“Prey and Pray? Prey or pray? Sama nyebutnya, jauh maknanya. Tapi terlepas dari itu, aku nggak mau jadi singa ah.”
Ayun berpikir sembari menatap sang suami, ia akhirnya paham dan melakukan tugasnya. Wanita itu tersenyum penuh makna sebelum mencepol rambutnya dan mendekati sang suami.
***
Haikal, pemuda yang masih mengenakan jersey terlihat meringis di pinggir lapangan. Jonathan, rekannya mengulurkan botol air mineral. “Bro, si Ayun udah nggak kerja di tempat kakak lu?”
Haikal menggeleng. “Enggak tapi dia masih dimintain tolong, selama belum ada gantinya. Soalnya kan dia jujur, teliti dan nggak nekoneko. Kata kakak sama Mas Rauf, susah nyari orang kayak Ayun. Makanya ya istilahnya kek WFH gitu sih, dia tetep dibayar dan kerja meski dari rumah.”
“Jojo!”
Panggilan seorang gadis membuat Jonathan dan Haikal menoleh. Seorang gadis bergamis datang, bersama sosok berkuli putih di belakangnya.
“Nih, udah jadi. Ini punya Ikal.”
“Makasih Mbak.”
“Syukron Ukhti,” ucap Haikal sok.
Eka, gadis itu terkekeh. “Sama-sama, Akhi.”
“Masyaallah, bagus banget. Cocok ya, Ukh sama gamismu. Btw, kemarin aku dikasih gamis sama Mas Yusuf, lakinya Ayun. Tapi ada yang kurang,Ukh.
“Kurang gimana? Mau dipermakin? Bawa aja ke tempatku.”
“Iya, kurang kalau aku pake. Sebagus apapun gamisku, segagah apapun aku pas gamisan, masih kurang kalau nggak ada yang pakai abaya hitam di sampingku.”
Eka seketika terpingkal. “Hmm masyaallah ya, gombalan akhi-akhi ngeri. Ngeri.”
Anthony hanya tersenyum tipis melihat sang kekasih bercanda dengan Haikal dan adiknya. Ia sesekali melihat ke arah ponselnya.
“Ka, pulang yuk,” ajak Anthony setelah beberapa saat. Eka mengangguk, keduanya memang hanya berencana pergi mencari kain untuk jas terbaru Anthony yang akan ia pakai di acara di gereja minggu depan. Eka yang akan menjahitnya sendiri.
Gadis itu membiarkan Anthony menggenggam jemarinya. Sosok yang dua minggu ini sangat ia rindukan, kini berjalan di sampingnya. Dua minggu, ia harus menyiapkan banyak hal. Seragam keluarga Renny saat pernikahan mendadak terjadi, harus ia selesaikan dalam waktu singkat. Dan seminggu berikutnya ia sibuk mengurusi acara pengajian pasca meninggalnya kakek dan mantan mertua Renny, sahabat terbaiknya.
“Ka, mau makan dulu nggak?” tanya Anthony.
“Eh, Renny ngajak keluar juga sih tadi, katanya mumpung suaminya di rumah. Bentar ya, aku telpon dulu Yank.”
Pria itu mengangguk. Ia membenahi jaket sang kekasih yang kurang simetris posisinya. Setelah menelpon sang sahabat, Eka mengatakan pada sang kekasih jika Renny dan Zulham menunggu mereka di kafe dekat pesantren.
Anthony terus menggenggam jemari sang kekasih sembari sesekali mengajak berbincang ngalor ngidul seperti biasanya. Eka begitu cinta pada pria yang tengah memboncengkannya itu.
“Yank, itu tadi mama kirim kain buat dress putih cantik banget. Acaranya emang kayak pesta gitu ya? Semua sampai pada seragam.”
Anthony mengangguk. “Yank, kalau besok aku lamar kamu juga gimana?”
“Hm?” Eka mengerjapkan mata, ia sampai melonggarkan helmnya.
“Aku mau ngelamar kamu.”
Seketika Eka tersenyum. “Kamu serius Mas? Yakin?”
Anthony mengangguk dan menarik tangan Eka agar lebih erat memeluknya. Gadis itu hampir saja melompat dari motor saking girangnya. Terlebih ia telah mendengar jika Anthony beberapa kali berdiskusi dengan Iyus, Eka yakin, pria itu tengah bertanya tentang tata cara menjadi mualaf. Perjuangan lima tahun mereka, akhirnya mendapat jalan.
Sesampainya mereka di kafe, Renny dan Zulham sudah berada di sana. Anthony kebetulan bertemu rekan kerjanya, ia menyuruh Eka masuk lebih dulu.
“Anton mana?” tanya Renny.
“Itu, Ren, dia bilang mau ngelamar aku,” ucap Eka girang.
“Serius?” Renny ikut senang, tetapi kemudian wanita yang kini tak lagi menjanda itu menatap sahabatnya serius.
“Ng terus dia kan yang pindah?” tanya Renny hati-hati.
Eka mengangguk dan tersenyum. “Demi apapun, aku nggak akan menggadaikan imanku.” Jawaban mantap Eka terdengar. Anthony pun mendengarnya, ia tersenyum tipis, keempatnya kemudian saling berbincang.
“Ayun sekarang udah enak dong ikut suaminya,” kata Eka sembari menunggu pesananya datang.
“Ya, alhamdulillah. Semua akhirnya punya jalan masing-masing, ya.”
Zulham melihat sang istri begitu lahap memakan nasi goreng nanas pesanannya. Sesekali ia mengusap sudut bibir sang istri yang kotor akibat sisa-sisa makanan yang menempel di sendok.
“Kamu beneran mau buka warung lagi, Ren?”
“Iya, tapi nanti yang jagain cari orang aja. Cuma masak di rumah. Dari pada nggak ngapa-ngapain. Badanku malah pegel semua,” keluh Renny.
“Heh, kamu ini, biasanya kere munggah bale itu seneng. Lah kamu, dijadiin ratu kok malah bingung. Duduk, dandan, goyang, selesai, eh malah bingung buka warung bubur lagi,” celetuk Anthony.
“Sik sik sik, omonganmu bener, An, tapi masalah goyang-goyangmu loh ra penak. Dikira aku Cuma mau duitnya duda ini dan menjadi pemuas nafsu doang apa gimana?” Renny mencebik.
Ketiga orang di sana tertawa. Mereka tahu jika Renny tak benar-benar marah.
“Ayun juga mau ditinggal kuliah lagi sama suaminya, rencananya mau dititipin di pondok, dia. Jadi dia bakal balik ke sini. Nanti rencananya bulan depan suaminya berangkat ke sana, mau ngurus-ngurus dulu gitu katanya. LDM mereka nanti dua tahun.”
“Kasian juga ya, seoga dilancarkan. Denger kata LDM tuh kayaknya gimana gitu.” Eka berkomentar.
Suasana malam itu berjalan sangat asyik, tetapi double date itu rusak ketika ada salah satu pengunjung lain yang kenal dengan keempatnya menyapa.
“Wah pengantin baru, masyaallah, samawa nggih Pak dokter, Mbak Renny. Jelas ini contoh baik, pasangan syar’i. Terhormat dunia akhirat. Beda sama depannya, hmm ... semoga temennya ketularan. Biar sadar. Mbak Renny sama Ayun, yang saleha, dirahmati Allah, dapat jodoh yang luar biasa. Eh temennya malah gadein iman. Gandeng sana sini dirasani tonggo. Prawan tuo, nekat nggadeke iman. Naudzubillah.”
Eka yang tengah menikmati babat iso bakarnya sekeita kehilangan selera makan.
“Jodoh, itu murni kuasa Allah, Bu. Ndak seharusnya ibu bilang gitu,” kata Renny membela rekannya.
“Hatihati lo Mbak Ren, njenengan nanti jadi kena pulut. Ndak baik. Tahu yang mereka lakukan salah tetapi membiarkan mereka zina. Gandengan rono rene, kayak kambing aja ndak tau aturan.”
Eka segera berdiri dan pergi dari sana. Renny segera menyusul sahabatnya keluar. Zulham dan Anthony segera mengikuti dua wanita itu keluar.
“Mas, apa aku harus segera ambil keputusan ya? Aku ndak bisa liat Eka kayak gini terus, diserang orang-orang, difitnah orang-orang.” Anthony berkata dengan mata berkca-kaca pada Zulham.
Dokter spesialis penyakit dalam itu menepuk bahu pemuda yang sudah ia anggap adik tersebut. “Sabar, pasrah saja sama Tuhan. Lakukan apa yang kamu yakini. Kadang memang cinta ngundang air mata juga, butuh perjuangan, butuh keikhlasan, butuh keseriusan.”
Renny memeluk Eka yang duduk di taman dekat parkiran kafe sembari menangis. “Ren, apa aku salah jatuh cinta sama Anton? Kalau ini salah, kenapa Allah mengijinkan kami kenal? Kenapa harus kami yang mengalami?”
“Astagfirullah, istigfar. Jangan pernah nyalahin Allah. jangan bicara kayak gitu. Itu artinya kamu ndak iman sama Qada sama Qadar. Coba kamu pikir, memangnya ada tuntunan pacaran di dalam Islam? Tidak kan? Justru itu dilarang. Kenapa? Karena itu akan banyak mudhorotnya. Ya bisa jadi zina, bisa juga saling melukai hati. Apa-apa yang dilarang sama Allah itu adalah hal yang nggak baik untuk makhluk-Nya.Ndak mungkin kalau hal baik dilarang. Ndak masuk akal. Allah itu lebih sayang pada hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ibu ke anaknya. Allah itu menciptakan kita dengan cinta. Dan akan selalu menanungi kita dengan cinta-Nya.”
“Tapi, nyatanya aku sakit, tersiksa karena cinta!” Eka menjerit.
“Ka, istigfar. Kesakitanmu ini, salah siapa? Kamu sendiri yang meutuskan untuk pacaran, sudah gitu kamu tahu dia beda iman. Jelas, tidak ada riwayatnya seorang muslimah diperbolehkan menikah dengan laki-laki non muslim. HARAM hukumnya. Hubungan itu akan tercatat sebagai Zina. Naudzubillah. Kamu paham itu kan? Kamu sendiri yang cari penyakit,setelah sakit kamu menyalahkan Allah? Kamu mabuk apa gimana?”
Air mata Eka semakin deras mengucur.
“Istigfar, ayo taubat. Tinggalkan yang lalu, hijrah, melangkah maju. Tinggalkan yang semu, kembali pada Tuhanmu. Jangan sebaliknya, meninggalkan Tuhan hanya demi cinta yang semu. Apa kurang riwayat dan sejarah yang tercatat dalam banyak kisah terdahulu tentang satu hal ini, jangan pernah berharap pada makhluk, hanya akan ada kekecewaan yang kamu dapatkan. Sudahi tangismu, kembali ke tuhanmu.”
Eka mendorong sahabatnya menjauh. “Kamu nggak paham rasanya jadi aku Ren. Kau bisa ngomong gitu karena kamu sudah bahagia. Kamu nggak paham, Ren.”
Renny membiarkan sahabatnya pergi. Zulham mendekati sang istri yang menatap nanar melihat sang sahabat kini kembali ke pelukan Anthony yang tak lama mengajaknya pergi meninggalkan kafe.
“Sayang, pulang yuk?” ajak Zulham lembut.
Renny mengangguk. “Mas, apa aku terlalu keras sama Eka?”
Zulham menggeleng. “Apa yang kamu lakukan sudah bener. Kamu kayak gitu karena kamu sayang kan sama dia?”
Renny mengangguk, bak anak kecil, wanita itu tiba-tiba menangis. “Mas, aku sedih. Di saat aku sama Ayun bahagia, kenapa bestie kami masih bingung sama hubungannya. Aku sedih,” isak Renny. Zulham terkekeh, ia paling gemas jika istrinya sudah seperti ini.
“Cup cup, cantikku, nggak usah nangis. Ayo pulang, bobok.”
Renny kembali mengangguk, menurut pada suaminya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Panjang ya 😂 Hampir 3000 kata
Baiklah... Ada yang mau komen?
Ku tunggu komennya wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro