Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 33. Petuah

Duka menyelimuti keluarga yang baru saja bahagia kemarin karena pesta pernikahan yang terselenggara dan kini orang-orang kembali berdatangan untuk melayat. Ratusan pelayat datang silih berganti, kebanyakan dari orang sekitar dan para santri serta pengabdi di pondok pesantren, yang hampir semuanya kenal dengan Renny dan Ayun, karena menjadi langganan di warung bubur mereka.

Renny dan Ayun tampak saling menguatkan. Keduanya duduk berdampingan, sementara Iyus dan Zulham berada di depan, menyalami para pelayat yang datang.

Di balik suasana berselimut duka itu, ada beberapa orang sibuk di bagian belakang rumah. Mereka mempersiapkan makanan untuk kenduri, suguhan para pentakziah, dan tentunya keluarga.

Eka, ia menjadi penguhubung antara keluarga dan para tetangga yang menangani urusan dapur.

"Mbak Renny pasti seneng ya, lega banget mantan mertuanya udah mati. Dia bisa senang-senang sama suami barunya. Ayun juga, Mbah Ahmad meninggal. Dia bisa pergi dan nggak ngurus Mbahnya. Pada curiga nggak sih ini tuh sengaja?"

Eka yang tengah mencuci muka menghilangkan bekas tangisnya, sontak terbakar hatinya. Ia bahkan mengangkat gamis hitamnya cukup tinggi agar bisa melangkah lebar.

"Bu Kusni! Kalau ngomong jangan sembarangan ya! Apa pernah Renny sama Ayun itu bikin salah sama ibu? Pernah mereka gunjing orang? Mereka itu orang paling bersih di kampung ini. Nggak usah mengada-ada."

Eka benar-benar kesal, di saat seperti itu masih saja ada yang tega menebar fitnah.

"Halah kamu ini yo sama aja. Nggak ngaca!? Dasar prawan tua. Nggak tau diri. Orang miskin kok ngejar anaknya juragan. Jual diri kamu? Ha? Jual agama kan kamu, makanya ngebet dinikahin sama orang yang jelas-jelas beda agamanya."

Eka benar-benar tak tahan lagi. Ia hampir menjambak orang di depannya. Beruntung ada tangan kekar yang menarik tubuhnya. "Eh eh, ini rumah duka, sister, sabar. Calm down dong. Dicariin Ayun itu di depan. Yuuk ke depan."

Haikal, pemuda itu memutar tubuh Eka agar tak jadi bergulat dengan ibu-ibu tetangga Renny.

"Aku kesel banget," isak Eka. Haikal menepuk-nepuk bahu sang wanita.

Haikal terpingkal melihat ekspresi aneh dari gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu. Eka masih saja ngedumel sampai akhirnya keduanya masuk ke dalam rumah beisi dua jenasah yang rencananya sepuluh menit lagi dikebumikan itu. Ayun menatap Eka yang masuk bersama Haikal.

"Piye, Yun?"

"Mbak, nanti Mbak yang ikut ke makam ya? Aku sama Mbak Renny disuruh nunggu di rumah, banyak tamu kata bude."

Eka mengangguk.

"Mas Haikal, tolong anterin Mbak Eka ya nanti, jagain," pinta Ayun.

"Siap Nyonya. Aku ke depan dulu ya, temen-temen kantor pada di depan semua soalnya."

Ayun mengangguk dan mengucap terima kasih pada pemuda itu. Eka mengelus lengan Renny, sahabatnya. Ia tahu betapa wanita itu sangat terpukul. Dua orang kesayangannya secara bersamaan harus meninggal.

"Wis, simbah sama Bu Kamti sudah tenang, Ren. Tadi Simbah yowis nyoba nolongin Bu Kamti, tapi udah telat, malah dua-duanya terkepung api di dalam rumah. "

Salah seorang kerabat mencoba menenangkan Renny. Bayangan tentang suaminya yang terdahulu juga muncul. Ketika sang suami meninggal dulu, Renny juga mengalami kehampaan yang sama, kesedihan, dan ketakutan akan bagaimana dirinya bisa menjalani hidup tanpa sosok yang setiap hari ia sanding.

"Harusnya aku tadi ndak pergi," sesal Ayun.

Eka mengalihkan pandangannya, kini menggenggam tangan Ayun. "Qadarullah, Yun. Semua yang terjadi ini, semuanya, memang sudah suratan. Tadi, juga yang awalnya terbakar itu rumahnya Pak Dibyo. Langsung merembet. Semua sudah bisa keluar. Tapi ya gitu, pada panic sendiri-sendiri. Cuma simbah yang ingat kalau Bu Kami ada di dalam rumah dan pasti ndak bisa lari. Simbahmu lari dari pos kampling di depan ruko balik ke rumah Bu Kamti. Simbahmu itu tadi sempat ngobrol sama bapakku. Katanya seneng kamu sama Renny sudah mentas, kalian berdua kan cucu yang paling disayang Simbah. Simbah sudah lega, simbah juga doain aku katanya biar cepet nyusul kalian. Terus tiba-tiba simbah inget kalau Bu Kamti masih di rumah sendirian. Sama petugas damkar sudah disusul tapi ya gitu, Bu Kamti sudah ketimpa barang yang kebakar. Simbah nolongin tapi asapnya udah pekat, malah lemes dan ya gitu tadi. Simbah akan memang sudah sakit paru kan? perokok berat."

Ayun hanya diam, mendengarkan cerita Eka. Kejadiannya pasti berlangsung sangat cepat karena jarak antara ia pergi dan dikabari terjadi insiden di rumah hanya sekitar tiga puluh lima menit. Keanehan yang terjadi sejak kemarin akhirnya terjawab sudah. Menurut pengakuan Iyus, malam sebelum ia memutuskan untuk menikahi Ayun, Ahmad, sudah memberikan kode.

"Mas, kalau memang sudah tertarik, silakan dihalalkan. Simbah malah seneng. Kalian ndak perlu merangkai dosa. Ndak perlu icip-icip zina. Tak serahkan Ayun ke Mas Yusuf sekarang juga."

Begitulah ucapan Ahmad di malam ia mengantar Ayun pulang ke rumah Renny. Malam harinya, Iyus hampir tak bisa tidur, karena mendapat lampu hijau. Seolah memang itulah jawabannya. Dan pada akhirnya benar, ia nekat memutuskan menikahi Ayun dalam waktu yang sangat singkat. Bagi Iyus, keputusannya menikahi Ayun juga mematahkan stigma jika anak 'kurang diharapkan' seperti dirinya, yang terlahir bernaab pada sang ibu karena sebuah kesalahan masa lalu orang tuanya, akan menuruni kemaksiatan yang dilakukan orang tuanya, seperti yang dituduhkan sang kakek dari pihak ibu selama ini.

Iyus membuktikan jika dia bisa menjadi pribadi yang lurus. Sesuai dengan tuntunan agama, datangmeski sempat gila selama lima hari memikirkan sosok Ayun yang tiba-tiba merasuki jiwanya.

"Mas Yusuf, Pak Zulham, monggo, disuwun mendampingi Pakde, buat atur pambagyo, sebelum jenazah diacarani dan diberangkatkan." Iyus dan Zulham segera memenuhi permintaan Pak RT setempat yang mengarahkan mereka.

Setelah melalui serangkaian acara, kedua jenasah diberangkatkan bersamaan. Tangis Renny dan Ayun pecah kembali, hingga keduanya pingsan. Iyus. Zulham, Nugrah, bersama ayah Eka dan Haikal, dibantu beberapa warga bergantian memikul jenasah.

***

Seminggu berlalu ...

Satu komplek sederhana itu diratakan dengan tanah. Kondisi bangunan di sana sudah tak layak huni pasca kebakaran hebat yang melanda. Hanya rumah kakek Ayun dan Pak RT yang masih berdiri, sementara jajajran rumah di seberang mereka sudah rata.

"Kalian ikut ke Jogja saja ya?" Romo Sam berbicara pada kakak beradik yang kini menjadi menantunya itu.

"Kulo manut Mas Zul, Romo. Kalau Mas bisa pindah, kulo nderek Romo, tapi kalau Mas Zul masih kerja di Solo, kulo ngeboti Mas Zul, Romo."

Rumi ikut bicara sembari mengelus jemari Renny dan menantunya, Ayun. "Biar Renny sama Zul di sini dulu, Romo. Mengurus pindah kan ndak mudah. Apalagi kerjaannya Zul memang di sini. Kalau Ayun, ya kita ajak pulang ke Jogja. Nggih?"

Pria sepuh itu mengangguk. Ia tak tega melihat Renny yang sesekali masih ia pergoki menangis ketika tengah sendiri. Ya, seminggu ini, Romo Sam tinggal di rumah sang putra di Solo bersama menantu dan cucu-cucunya, Iyus dan Ayun. Mereka masih terus mengirimkan doa untuk dua orang yang telah berpulang seminggu lalu.

"Nduk, ayo, barangmu sudah dimasukkan ke mobil, kan?"

"Sampun, Bu," jawab Ayun.

Hari ini, Nugrah dan Rumi menjemput putra serta menantunya, diajak pulang ke Jogja. Awalnya, Ayun memang masih ingin tetap di Solo, tetapi kini tak ada lagi alasan Ayun untuk tinggal di sana. Ia tak punya siapa-siapa lagi kecuali suami dan kedua mertuanya.

"Yaa Zaujatii ...." Panggilan Iyus membuat Ayun mendongak saat ia berjalan mengekr sang mertua keluar rumah Zulham.

"Dalem."

"Kangen sama senyummu," bisik Iyus. Ayun kemudian mengulas senyum, meski sendu tetap menanungi matanya.

"Masyaaallah ... jamilatan jiidaan jidaan," puji Iyus membuat Ayun tersipu.

Renny melepas adik sepupu yang kini menjadi keponakan dari sang suami itu pergi dengan haru. "Baik-baik di sana ya. Yus, jagain adikku ya? Kasian dia, dia Cuma punya kamu. Janagn disakitin. Kalau salah diingetin, jangan dimarahin. Ya?"

Iyus mengangguk. "Iya, Mbak Tante. Aku juga udah janji sama Simbah, dulu. Kalau dia nakal, aku giniin aja,." Iyus mengecup gemas pipi Ayun, membuat wajah wanita itu memerah karena malu.

Beberapa orang yang melihat kompak tertawa. Ayun ikut bicara pada akhirnya. "Om Zul, tolong jagain Mbakku ya. Yang sabar kalau dia cerewet, sabar kalau dia suka ngomel, sabar juga kalau dia suka ngambek. Sabaaaaar pokoknya, ya?"

Renny mencubit sang adik pelan. "Heh, ngatain Mbak kamu?'

"Lah Mbak kan emang galak, cerewet, judes pol," jawab Ayun santai.

"Iyo, kalau kamu baperan, tukang halu, suka penasaran sama banyak hal," balas Renny.

Dua orang itu akhirnya kembali berpelukan sebelum benar-benar berpisah. Mereka pun akhirnya pergi. Pulang ke Jogja, lebih tepatnya. Selama di perjalanan, Ayun dan Rumi tertidur. Iyus yang menyetir sesekali melihat ke belakang memastikan sang istri nyaman dalam perjalanan.

"Le, rencanamu selanjutnya gimana?" tanya Nugrah pada sang putra.

"Ya masih dengan rencana awal, Pak. aku sudah coba hubungi temen aku yang kuliah di sana juga. Dia pas balik besok bulan depan, Pak. Rencananya aku mau bareng dia, dia mau ngurusin keperluan administrasi adiknya, kan juga mau ikut ke sana. Jadi, daripada ngerepotin bapak terus, aku mau usaha sendiri. Sekalian cari temen kan ke sana. Bapak sama ibu nggak jadi pindah ke sana, kan?'

"Iya, ibumu nggak mau ninggal Eyang. Apalagi kalau Ayun kamu tinggal, ya jelas ibumu maunya nemenin mantunya. Ibumu kan pengen banget punya anak perempuan dan sekarang terwujud."

Iyus terkekeh, ia senang, meski dalam waktu singkat, ibu dan istrinya bisa sangat kompak dan saling tulus menyayangi. Nikmat mana lagi yang bisa ia dustakan? Tidak ada.

"Tapi, Pak, misal nanti aku pas pergi, istriku pengen mondok, pengen ngabdi di sana, biarin ya Pak. Malah aman dia di sana, berkah juga. Ya?"

Nugrah mengangguk. "Iya, apapun keputusannya yang penting kalian kompak. Insyaallah semua akan baik-baik saja. Jadikan kisah bapak sama ibu pelajaran buat kalian. Kami pernah berpisah karena saling menyimpan planning, tidak menyatukan visi misi, tidak saling jujur dan hanya berprasangka satu sama lain. Hasilnya? Kacau. Alhamdulillah masih diberi kesempatan memperbaiki semuanya."

Iyus tersenyum. "Iya, Pak. Terima kasih ya, Pak. Sudah bantuin aku. Tapi, kita masih harus berjuang sekali lagi."

"Berjuang?"

"Soal Simbah. Kita berdua harus menghadapi Simbah. Apalagi, Simbah kan belum tahu kalau aku nikah, Pak. Bapak harus siap disembur naga."

"Simbah siapa yang berwujud naga?" Suara Rumi terdengar. Nugrah dan Iyus seketika menutup mulut.

"Simbahnya Jack Frost. Naga air," jawab Iyus asal. Rumi mengernyitkan dahi. "Jack Frost siapa?" gumamnya sebelum memejamkan mata lagi.

Nugrah terkekeh, istrinya ternyata ngelindur. Wanita cantik itu kini tidur sembari memeluk Ayun, menantunya yang juga terlelap karena hampir seminggu tak tidur nyenyak.

"Le, udah gol belum tapi, pesenan bapak udah kamu bikini belum? Jadiin dulu lah sebelum kamu pergi. Buat tinggalan bapak loh. Bapak pengen juga punya cucu."

Iyu terkekeh. "Aku dulu kan hasil sekali jadinya bapak kan? doain aja aku bisa nuruni kelihaian bapak."

Dua pria itu terpingkal dengan obrolan menjurus dewasa mereka. Hiburan tersendiri bagi keduanya sebelum menghadai sosok menyeramkan yang akan menceramahi emreka nanti.

"Besok aja ya, kita ke rumah simbahmu. Bapak butuh tenaga ekstra buat menghadapi. Kalau hari ini langsung ke sana yang ada kita bakal jadi bubur di sana."

Iyus menyetujui ucapan sang ayah. "Aku juga mau bikini pesenan bapak dulu."

"Saru kamu! Giliran udah tahu rasanya, ketagihan."

Iyus tertawa. "Bukan ketagihan pak. Candu. Candu berpahala, Pak."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro