Part 32. Weekender
Aura pengantin baru yang cerah ceria terpancar di dua pasangan yang baru menikah kemarin.
"Kalian nggak ke rumah Mas Zul dulu?" Ahmad bertanya pada cucu dan menantunya.
"Mangkih, Mbah. Mau jalan-jalan dulu sebentar." Iyus yang baru selesai memindah kan anakan pisang di kebun samping rumah kakek mertuanya, menjawab sembari membereskan cangkul dan alat lain.
Sang istri muncul dengan sepiring mendohan berikut cabe hijaunya serta pisang goreng. Ada dua cangkir teh kini disiapkan Ayun, biasanya hanya satu.
"Unjukane, Mbah, Mas."
Iyus mengode sang istri agar membawakan minumannya mendekat. Ia duduk di lincak sembari membersihkan kaki dan tangannya. Dengan perlahan, Ayun mendekatkan cangkir ke bibir sang suami. Tiga kali cecap dan teguk, seperti sunah rasulullah, begitu tata cara Iyus minum. Diawali dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah.
"Kamu nggak minum?" tanyanya, kini Iyus yang mengambil cangkir itu. Tangannya sudah bersih, meski masih basah.
Ayun menoleh, mencari tempat duduk. Iyus menahannya, mendudukkan wanita itu dipangkuannya. "Minum," titah sang pria sembari menyodorkan cangkir. Dengan cara yang sama, Ayun minum dari cangkir yang sama dengan sang suami.
Ahmad melihat kedua cucunya dengan senyum penuh bahagia dan kelegaan. Ia akhirnya bisa menyelesaikan amanah yang ditinggalkan oleh putranya dulu.
"Dulu, ayah sama ibumu juga gitu. Nduk. Simbah kadang liat mereka pas lagi jalan ke sawah. Lewat depan rumah kontrakan mereka yang pertama sebelum pindah. Simbah ... Simbah baru ketemu mereka lagi pas dikabari kalau kamu lahir dan ibumu meninggal. Simbah merasa berdosa. Kenapa Simbah, yang hina ini, yang ndak punya apa-apa ini, bisa berpikiran melampaui Allah."
Suara parau sang perokok berat bergetar. "Simbah menentang mereka hanya karena Simbah pikir ibumu ndak bisa ndidik kamu karena mualaf. Simbah selalu berusaha memisahkan mereka. Sampai akhirnya simbah nemu surat ibumu. Ibumu bilang kalau titip kamu ke Simbah biar dididik."
Pria tua itu menyeka air matanya. "Simbah yang jahat sama kamu, Nduk. Gara-gara Simbah, orang tuamu jadi rekoso, nelongso. Ibumu kurang gizi. Tempat tinggalnya kurang layak, akhirnya harus meninggal setelah melahirkanmu. Simbah seperti dicambuk, rasanya. Apa yang dibilang simbah sama Allah dikabulkan. Ibumu meninggal, ayahmu meninggal, dan kamu akhirnya simbah asuh sendiri."
Ayun berdiri dan memeluk kakeknya. "Mbah. Sampun, Mbah. Qadarullah. Jalannya memang begini, Mbah. Ayun ndak pernah menyesal atau sedih kok. Ayah sama ibu sudah tenang di sana."
Iyus ikut mendekat. "Mbah, Qada dan Qadar kan harus kita imani. Menyesali berlebihan tentang masa lalu hanya akan membuat kita kehilangan iman pada Qada dan Qadar. Boleh menyesal tapi sebatas untuk muhasabah diri, bukan untuk terus menghakimi diri dan berujung keputus asaan. Nggih nopo mboten?"
Ahmad mengangguk. "Le, titip putuku. Titip Ayun. Jaga dia. Bimbing dia. Dan cicit-cicitku nanti. Kalau dia salah, jangan disentak apalagi dipukul. Simbah yakin, kamu beradab, kamu berakhlak mulia, kamu berilmu. Pasti kamu paham bagaimana cara menegur istrimu jika dia salah."
Iyus mengangguk. "Nggih, Mbah. Yusuf janji."
Ada rasa hangat menyeruak di hati Ayun. Ia begitu senang, kini memiliki dua laki-laki hebat di hidupnya.
"Wis sana, dolan. Simbah mau tidur. Kesel. Capek. Tiga hari lek-lekan di rumah Renny."
Pasangan muda itu mengangguk. "Eh, sik, kalian nggak mau foto sama Simbah?" tanya sang kakek.
"Foto Mbah?"
"Iya, siapa tahu nanti kalian punya rumah sendiri, kan bisa buat kenang-kenangan to."
Ayun dan Iyus menurutinya, mereka berfoto ria. Senyum pria itu merekah penuh bahagia.
****
Iyus tak tahu harus membawa istrinya pergi ke mana. Pada akhirnya, ia mengajak istrinya itu ke lapangan kuda milik pesantren Nurul Ilmi. Ia mendengar jika Ustaz Kafaby dan keluarganya juga tengah berada di sana.
"Mas, apa aku resign aja ya?"
"Resign? Yakin?"
Ayun mengangguk. "Iya, daripada nambah mudhorot. Kan bosku laki-laki, managerku juga, rekan kerjaku juga kebanyakan laki-laki. Aku nggak mau kalau hal itu bikin Mas nggak ikhlas dan malah jadinya nggak baik."
Iyus tersenyum. "Masyaallah, salehaku. Aku nggak ngelarang, tapi ya kamu pasti tahu gimana ilmunya kan?"
Ayun mengangguk. Pipinya merona setiap kali sang suami memujinya.
"Mau naik kuda?"
"Emang mas bisa?"
"Bisa dong, apa nggak cukup bukti how strong your husband ini?"
Ayun mencubit lengan sang suami. Kemesraan mereka dilihat oleh sepasang suami istri lain.
"Hmmm... Ini dia. Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir." Ustaz Kafaby memeluk santri dalem kesayangan yang pernah ia sentil itu.
"Amiiin," jawab Iyus sembari memberi salam hormat pada sang guru.
"Ini baru namanya jantan. Kemarin, Sya'ban kasih kabar tapi abah pas lagi di Karanganyar. Maaf yo, ndak bisa datang. Cuma anak-anak aja semua abah kasih ijin keluar komplek."
"Nggih, Bah. Matur nuwun, doanya saja."
Ummah Hana, istri sang ustaz juga tengah memeluk Ayun. "Piye? Kamu katanya sekarang kerja kantor?"
Ayun mengangguk. "Nggih, Ummah. Tapi, mau resign saja. Mau ngabdi sama Mas Yus."
"Masyaaallah, Yus. Kamu beruntung. Di saat banyak wanita lain di luar sana keukeuh mempertahankan jabatannya, kariernya, istrimu mau loh merelakan itu buat ngabdi sama kamu. Harus kamu kasih apresiasi. Ndak mudah mengalahkan ego, demi ketaatan pada suami."
“Doakan kami bisa mencontoh Ummah dan Abah. Punya banyak keturunan juga. Soalnya, kami sama-sama anak tunggal. Jadi, sama-sama kesepian.”
Ustaz Kafaby tertawa. “Harus itu, seorang murid kan harus mencontoh gurunya. Jadi, kamu ya harus punya banyak anak, minimal lima kayak abah sama ummah.” Keempatnya tertawa.
“Tapi sebenarnya dulu kami rencananya dua aja. Cuma Ubay sama Nay yang benar-benar dipersiapkan. Kalau Uta, itu sundulan. Tiba-tiba ada pas Ubay masih ASI eksklusif. Kalau Uka sama May, mereka bonus. Wong Ummah diem-diem KB, eh bobol juga,” kenang sang pengasuh pondok putri Nurul Ilmi.
“Ya, namanya anak, itu murni rejeki dari Allah. kita ndak bisa ngatur harus berapa dan apa jenis kelaminnya. Semua sama saja. dalam islam, anak laki-laki dan perempuan sama-sama spesial. Yang satu harus dididik jadi imam yang baik, yang satu harus dididik menjadi makmum yang baik. Yang satu harus dididik menjadi pemimpin yang bijaksana, dan yang satu harus dididik menjadi madrasah untuk anak-anaknya yang luar biasa, kelak. Sama porsi kasih sayangnya. Hanya saja karena berbeda bentuk fisiknya, berbeda pula cara perlakuannya. Berbeda jenis kelaminnya, berbeda juga hukum-hukum yang mengenainya.”
Ayun selalu tertarik dengan perbincangan bersama dua orang yang pernah menjadi langganan warung buburnya itu. Ustaz Kafaby duduk sembari merangkul sang istri, begitupun Iyus, melakukan hal yang sama pada istrinya sembari mereka duduk di bench samping lapangan kuda. Anak dan cucu sang ustaz tengah heboh berkuda dan latihan memanah di sana.
“Tapi, Bah, kenapa ya di luar sana masih saja ada orang tua yang membedakan anaknya? Utamanya yang punya keduanya, laki-laki dan perempuan. Biasanya si anak perempuan hanya akan dinomorduakan. Kadang malah dianggap tak berguna. Apalagi kalau perempuannya yang lebih dulu lahir. Kasih sayangnya jauh berbeda. Saya liat temen-temen gitu."
Pasangan berusia akhir empat puluhan itu tersenyum. "Kamu aja yang jelasin, sebagai orang yang mengalami juga," ucap sang Ustaz pada istrinya.
Ummah Hana mengangguk, ia menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Ayun. "Begini, untuk beberapa orang, apalagi yang sangat percaya dengan penjaga silsilah itu adalah anak laki-laki, mereka memang pasti menginginkan memiliki anak laki-laki melebihi anak perempuan. Tidak salah memang, tetapi kadang beberapa orang tua, membedakan si anak laki-laki dan si anak perempuan ini sampai ke ranah 'kasih sayang'-nya. Bukan hanya sebatas hukum atau aturan cara mendidik saja."
Ustaz Kafaby memainkan jemari istrinya dengan tangan kanan dan merangkul bahu sang istri dengan tangan kirinya. "Kesalahan itu ada perbedaan intensitas dan kuantitas kasih sayangnya. Jadi porsinya kurang berimbang. Misal, kalau satu anak dipeluk dicium, yang satu pun harus mendapatkan perlakuan yang sama. Meski jenis kelaminnya berbeda. Meski nanti hak warisnya berbeda kadarnya. Perlakuan pemberian kasih sayangnya harus sama. Nggak bisa satu dikasih opor paha ayam yang satu cuma dikasih nasi pake kuah opor. Jelas itu dzolim."
"Kadang orang sampai berpikir 'anak laki-laki itu adalah anak unggul', anak-anaknya nanti kadarnya akan beda dengan anak-anak yang lahir dari anak perempuan. Ini adalah pemikiran yang sangat salah dan yang membuat para anak perempuan merasa tak dianggap. Dari pemikiran orang tua model seperti ini, biasanya akan timbul percikan kemudhorotan yang lebih besar. Entah rasa iri antar anak cucunya nanti, rasa tak dianggap, kebencian, dan segala macam hal. Naudzubillahi min dzalik."
Iyus dan Ayun mendengarkan dengan seksama.
"Disitulah, terlihat bertapa pentingnya ilmu. Kalau orang sudah paham ilmunya, apa hak anak laki apa hak anak perempuan, dia tidak akan melakukan hal seperti itu. Akan tau bagaimana caranya memperlakukan anak-anaknya dengan baik. Lagi pula, misal kemuliaan hanya dimiliki oleh anak laki-laki. Bagaimana dengan Rasulullah? Beliau membesarkan empat putrinya dengan sangat baik. Dan bahkan ahlul baitnya, keturunan beliau yang ada sampai sekarang adalah keturunan-keturunan dari sayyidatina Fatimah, terlahir dari putrinya. Nah, kalau begitu apakah kita bisa menyimpulkan jika anak perempuan itu tidak mulia? hina? Lebih rendah derajatnya dari anak laki-laki? Jawabannya pasti tidak."
Ustaz Kafaby mengecup punggung tangan istrinya. "Tapi, jangan pikir, Ummahmu ini, anak sulung dari Kyai Abdurrahman Ibrahim, nggak pernah cemburu sama adiknya, Hafidz. Dia sering nangis juga karena merasa Abi dan Umminya pilih kasih, dulu."
Ummah Hana mengerucutkan bibir tak suka sang suami mengulik masa lalunya. "Ih, enggak, aku nggak cemburu."
Ustaz Kafaby terkekeh. "Dulu, dia pernah nangis, hujan-hujan nyari aku. Perkara Hafidz dikasih roti tawar udah ada mesesnya. Sementara dia ini, cuma dikasih rotinya, dia disuruh bikin sendiri sama Ummi. Katanya Ummi lebih sayang dedek Fiz dari pada Hana. Gitu. Mewek. Sembunyi di kamarku, padahal waktu itu abah kan masih jadi santri di Nurul Ilmi. Nah, semua temen sekamar Abah nggak berani masuk kamar. Gara-gara Ning Hana ada di sana. Ada yang sampai tidur di kamar mandi, ada yang nyempil di kamar sebelah. Semua takut. Pas itu Hana baru umur tujuh dan Hafidz baru setahun."
Ummah Hana jelas malu aibnya dibongkar sang suami. "Mas ih, kok cerita kayak gitu diceritain."
Ustaz Kafaby terkekeh. "Aku cerita buat iktibar. Diambil ilmunya, jadi contoh, nyatanya bukan hanya orangtuanya saja yang harus dituntut paham cara memperlakukan anaknya. Tetapi anaknya juga harus paham cara menghadapi orang tuanya. Nggak langsung apa-apa ngambek, ngerasa dianaktirikan. Misal seperti kasus Hana tadi. Ummi Humaira sengaja kasih Hana roti dan selai sendiri biar dia bisa makan sepuasnya, apply selai seenaknya. Karena Ummi tau Hana suka selainya. Nah, dari sini kelihatan, kadang orang tua sudah berusaha adil, berusaha memberikan yang terbaik tetapi salah paham, salah sangka, membuat semuanya jadi runyam. Itulah kenapa tabayun itu diperlukan dalam menyelesaikan masalah. Seperti novelmu. Bagus itu, Tabayun. Cari kebenarannya dulu barulah berpendapat. Jangan cuma berprasangka lalu menyimpulkan satu sisi saja, jomplang akhirnya. Timpang. Dan kecenderungan untuk ambruk, lebih tinggi. Artinya prasangka ini bisa bikin ambruk apapun, hubungan keluarga, hubungan dengan siapapun, sangat bahaya."
Obrolan itu terhenti ketika Ubay, putra tertua Ustaz Kafaby berlari ke arah orang tuanya.
"Ayun, Iyus, komplek rumah Bu Kamti kebakaran. Alek barusan kasih kabar katanya dia pas lewat mau nganterin Aisya sama Ustadzah Biya ke rumah Mbak Renny tadi."
"Astagfirullah, Mas ayo pulang," ucap Ayun.
Keduanya memang tak membawa ponsel. Ponsel Iyus mati karena ia lupa membawa charger, sedang semalaman Ayun terlalu asik menikmati malam berdua hingga lupa mengecharge HP. Keduanya langsung pamit dan pulang.
Suasana sudah tak karuh-karuhan saat keduanya sampai. Rumah Bu Kamti dan dua tetangganya yang terletak tepat di seberang rumah kakek Ayun dipasangi garis polisi. Warga berkerumun banyak sekali.
"Yun! Ayun!" teriak Eka memanggil.
"Mbak, Bu Kamti gimana?"
Eka memeluknya sambil menangis. Dari dalam terdengar jeritan Renny yang sudah mengindikasi sesuatu tak baik tengah terjadi. Saat Ayun masuk, tubuh Bu Kamti sudah ditutupi kain jarit.
Sementara di sisi lain, beberapa tenaga medis yang Ayun yakin dikerahkan oleh Zulham, tengah membantu seseorang. Zulham tengah melakukan CPR.
Iyus berlari mendekat saat menyadari siapakah orang yang tengah di tangani Zulham. Pria itu sempat kembali bernapas. Ayun menjerit. "Mbah! Simbah!" jeritnya pilu.
Pria tadi sempat seolah melirik Ayun. Tangannya terangkat, memegang tangan Iyus. Zulham sudah berkaca-kaca matanya sembari terus memanggil Ahmad agar tetap sadar.
"Yus, tolong," ucap Zulham pada akhirnya. Iyus paham, ia segera membisikkan kalimah Allah di telinga Ahmad. Iyun mentalqin sang pria. Lirih, sangat lirih Ahmad sempat mengucap 'Laa illa ha illallah' sebelum berpulang. Pria itu seolah tersenyum dan di saat bersamaan Zulham menangis tersedu. Ia gagal menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun," ucap Iyus, membuat istrinya menyadari apa yang terjadi dan Ayun pun terjatuh, tak sadarkan diri.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
Gimana???
Tamatin?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro