Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 30. Wedding Day

Suasana begitu khidmat meski hanya disaksikan oleh keluarga besar dan tetangga satu RT saja. Ijab qobul berlangsung dengan penuh haru. Zulham kini lega, setelah semalaman ia tak bisa tidur karena otaknya mendadak penuh dengan ketakutan yang membuatnya gugup tadi.

"Cieee ... Gimana udah nggak kangen lagi. Kan?" ledek Eka.

Renny melotot, ia tak mau harga dirinya dijatuhkan di depan Zulham.

"Om, selamat ya, buruan cetak adek buat aku. Buat temen ngabisin warisan Eyang." Candaan sang putra membuat Rumi meradang. Ia bahkan tak segan menjewer putranya di depan umum.

"Yusuf Albirru!" geram Rumi. Yang lain tertawa, mereka tahu Iyus bercanda. Namun, Rumi tetap tak suka putranya sembrono meski hanya lewat kata.

Ayun mengabadikan moment itu dalam sebuah tangkapan gambar. Ia terkejut saat tiba-tiba gambar di layarnya berubah menjadi cincin.

"Will you marry me?"

Sebuah kalimat yang diucap Iyus tiba-tiba. Ayun seketika menurunkan ponselnya.

"Mas?"

"Cie ... Baper ya?"

Ayun memutar bola mata jengah. "Nggak lucu," desahnya sembari pergi menjauh.

Ia agak kesal, kenapa Iyus kehilangan karakter akhir-akhir ini. Justru terlihat menyebalkan seperti Haikal. Ayun takut dirinya lama-lama akan tergoda dengan pemuda itu dan tak lagi mampu menepis rasa yang muncul.

Hingga akhir acara, Ayun memilih untuk menjaga jarak dari Iyus.

"Dek."

Ayun diam, pura-pura tak dengar.

"Dek," panggil Iyus lagi.

"Heh, marah?" tanya Iyus.

Ayun menggeleng tanpa mengalihkan mata dari ponselnya. Iyus menyodorkan kotak pada Ayun.

"Nih, jangan ngambek. Happy birthday, Nusayba Qurota'ayun."

Gadis itu melirik Iyus. Ia kemudian melihat tanggal di layar ponselnya. Benar, hari ini ternyata dia ulang tahun.

"Aku ulang tahun ya?" gumamnya. Iyus mendengar perkataan Ayun dan terkekeh.

"Iya. Ini nih kadonya. Maaf iseng tadi. Biar kamu kesel, eh ngambek beneran."

Ayun menerima hadiah itu. "Makasih," ucapnya.

Ketika ia buka, Ayun seketika membelalakkan mata karena itu bukan barang yang murah. "Mas. Aku ... Nggak bisa nerima ini."

"Simpen aja. Buat kenang-kenangan."
N
Ayun menggeleng. "Mas lebih butuh dari pada aku. Simpen buat mas kawin, nikah sama Ning Farhana."

Iyus mengembus napas. "Aku maunya sama kamu. Tapi ... Apa boleh buat. Misal nekat nikahin kamu hari ini juga, kita harus LDM karena aku udah apply ke pihak sana. Semua diurus sama temen bapak dan aku tinggal berangkat."

"Mas, udahlah jangan bikin jadi OVT ah. Ikhlasin. Ikhlasin. Usir jauh-jauh pikiranmu itu, Mas. Ini, simpen aja."

Iyus mengembus napas. "Ya udah, kalau kamu nggak mau, gimana kalau sebagai gantinya kamu ikut aku cari baju. Buat besok kita ke party temenmu."

"Mas, nggak usah over. Biasa aja. Nggak dikasih kado pun, aku udah seneng ada yang inget ulang tahunku."

Iyus mengembus napas. "Dek, kapan aku bisa nembus tembokmu? Pertahananmu hmm...."

Ayun tersenyum. "Ya ... Ini usahaku melindungi diri. Aku nggak punya hal lain yang bisa aku jaga selain kehormatanku, Mas. Apa lagi yang bisa aku beri ke suamiku nanti kalau bukan kesucianku? Harta nggak punya, tahta apalagi, nasab keluarga? Malah jadi lelucon nanti."

Iyus paham. Ia justru yang merasa jika dirinya tengah futur. Jauh dari lingkungan dimana ia dibesarkan, membuatnya sedikit tergoncang arus kehidupan liar. Ia bahkan berani melangkah, menempel Ayun sampai sejauh ini.

Iyus mencoba mewaraskan otaknya. Keingunannya untuk memiliki Ayun akhir-akhir ini begitu tinggi. Ia berusaha menepis segala hal itu. Namun, lagi-lagi kembimbangan yang menang, berhasil mengusiknya.

Gerak-gerik pemuda itu diamati betul oleh sosok pria yang tadi bertindak sebagai penghulu.

"Yus!"

Merasa dipanggil, Iyus pun mendekat ke arah sang ustadz. Adab khas santrinya tetap ia jaga, sekalipun kini kefuturan melandanya.

"Siapa akhwat itu?"

"Ng ... Temen, Ust."

"Kamu kasih apa?"

"Kado."

"Orangtuanya, ada?"

"Yatim piatu, Ust."

"Siapa yang bisa jadi walinya?"

Iyus paham ke mana arah pembicaraannya.  "Simbahnya. Tapi, Ust, saya mau kuliah dulu. Sayaㅡ"

"Halalkan atau tinggalkan. Jangan gadaikan iman hanya karena hal yang jelas haram seperti tadi. Kamu tau, tidak hanya satu dua orang membicarakan gadis itu, tadi, saya dengar sendiri, orang-orang di belakang saya tadi. Mereka menggunjingnya karena kamu tempel terus, Yus. Bukan kamu yang dapat hinanya. Tapi, si wanita itu."

Iyus menundukkan kepala.

"Kamu santri saya, kamu bawa nama almamater kita. Kamu bawa nama Abah Kafaby, kamu bawa nama Ustadz Hafidz. Kamu bawa nama Mbah Yai Malik Ibrahim. Jangan kamu kecewakan beliau-beliau ini karena nafsumu."

Iyus menyadari kesalahannya. Lepas dari pondok ia malah tak karu-karuan.

"Tinggalkan atau halalkan."

Iyus membuka kotak di tangannya. "Ust. Apa ini cukup buat mahar?"

Sang penghulu yang juga mengabdikan diri di pondok Nurul Ilmi itu tersenyum. Ia menepuk bahu Iyus. "Cukup kalau dia setuju. Rundingkan dulu sana. Mumpung saya masih kosong sampai besok pagi. Tapi besok siang sampai hari Ahad malam penuh jadwalnya."

Iyus menepis kebimbangan hatinya, ia bahkan berlari mencari kakek Ayun. Kebetulan beliau tengah berbincang dengan sang ayah dan eyangnya.

"Mbah, Simbah." Iyus berlutut di depan kakek Ayun.

"Mbah, apa boleh saya nikahin Dek Saㅡ, Dek Ayun sekarang juga?"

Pria itu menatap Iyus. Ia terdiam beberapa saat hingga Romo Sam menepuk punggung tangan besannya. "Pak Kaji Ahmad, dos pundi niki? Bagaimana? Apa boleh cucunya dinikahi cucu saya?"

Nugrah melambaikan tangan pada istrinya yang tengah berbincang dengan ibu Renny. Mengodenya untuk mendekat.

"Kamu yakin? Ayun itu anak desa, orang tuanya sudah ndak ada. Dari kecil besar di tanganku, Le. Ndak bisa dandan. Ndak paham dunia mewah-mewahan. Ndak paham dunia anak muda pada umumnya."

Iyus menatap pria itu. "Kulo yakin Mbah. Boleh saya nikahi Dek Ayun sekarang juga?"

Ahmad menatap Romo Sam dan Iyus bergantian. "Yo, kalau kamu mau, Simbah siap jadi walinya."

Iyus merasa begitu lega.

"Nduk, Har!" Ahmad memanggil putrinya, ibu Renny.

"Dalem, Pak?"

"Siapno Ayun. Sisan arep tak ijabke saiki."

"Ayun? Nikah? Sak niki?"

"Iyo. Wis kono."

"Lah kalih sinten? Sama siapa? Siapa yang mau sama Ayun?"

Iyus dengan gagahnya menjawab. "Kulo. Bude."

"Mas Yusuf? Mau sama Ayun?" Ekspresi keterkejutan terlihat. Ahmad menyuruh putrinya untuk lekas memberitahu Ayun.

Sementara Nugrah dan Rumi yang memang sudah berjaga-jaga, santai saja. "Nah, kan bener. Aku yakin, anakku nggak bisa nahan diri. Kalau sudah klik. Ya sudah. Pasti digas terus." Nugrah mengelus bahu sang istri.

"Tapi, apa iya Ayun nanti mau ikut Iyus pindah?"

"Wis, dipikir nanti. Pasti ada jalannya."

Sementara itu di dalam rumah, anita yang masih berdandan jarit dan kebaya itu menggedor pintu kamar sang putri.

"Nduk, Ayun di situ?" tanyanya. Renny menjawab. "Ada Ma."

Pintu terbuka dan wanita itu menyampaikan kabar pada Ayun yang baru membantu Renny berganti busana.

"Ayun, kamu mau diijabke hari ini. Sekarang juga."

Ayun, Eka, Renny dan dua perias yang juga teman si pengantin terkejut. "Bude, Bude mabuk?"

Jeweran didapat Ayun. "Bocah gendeng! Mbak Cindy, tolong iki sekalian dicoret-coret mukanya. Eka, iki bajune tolong dipiyeke ngono ben rodo ayu."

Ayun malah takut. "Bude, bude, siapa yang mau nikahin Ayun?" tanyanya sembari berkaca-kaca karena takut.

"Yusuf. Ponakane mantuku. Wis nggak usah banyak tanya."

Ayun membelalakkan mata. "Mas Yus?"

Renny dan Eka seketika menjerit kegirangan. "Ya Allah, Yun. Mukjizat iki Yun."

"Mbak tapi Mbak, piye. Aku loh nggak ada persiapan apa-apa. Aku juga nggak boleh nikah dulu sebelum selesai trainning."

Ayun sangat bingung. Entah kenapa, ia justru ingin menolak pernikahan terburu- buru ini.

*****

Tepat pukul satu siang, bakda salat Jum'at, Iyus menjabat tangan Ahmad.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan."

Teriakan Sah dari para tamu dadakan yang semuanya adalah santri rekan Iyus di pondok dulu terdengar bak suporter bola. Semua serba mendadak. Namun, sangat membahagiakan bagi sang pemuda.

Ayun yang justru kini menjadi linglung. Ia hanya diam dan tersenyum tipis sesekali.

"Dek, kenapa?" bisik Iyus saat acara dadakannya selesai terlaksana.

"Aku mau bicara sama Mas."

Iyus pun pamit undur sejenak dari tempat pesta dadakannya. Ia menggandeng istrinya ke dalam rumah Renny. Menepi sebentar, meminjam kamar Renny. Setelah dirasa aman, Ayun berbicara.

"Mas! Kamu kenapa kok ngajak nikah kayak orang main-main?"

Iyus mengernyitkan dahi. "Ha? Main-main gimana? Loh, ini justru bukti keseriusanku, Zaujatii..."

Panggilan itu membuat Ayun sempat merasa dadanya nyeri akibat perasaan aneh yang muncul. "Mas, dimana-mana orang nikah itu butuh rencana matang. Aku ... Aku harus gimana? Aku belum dapat ijin kantor. Bahkan kita belum ngurus di KUA. Kita cuma nikah siri, Mas. Nggak ada kekuatan hukumnya."

Iyus terkekeh. "Aku bisa urus soal dokumennya nanti. Tinggal kita lengkapi biar sah juga di mata negara."

"Mas! Tapi aku tuh masih harus nyelesaiin masa trainningku loh dua bulan lagi. Dan kalau enggak aku harus bayar penalty Mas."

Iyus tersenyum. Ia tak banyak bicara. Hanya ia potong jarak diantara keduanya dan ia dekap tubuh sang istri. "Apa boleh aku egois barang sebentar? Seminggu ini aku diberondong godaan nafsu buat terus nempelin kamu. Sekarang, apa boleh aku istirahat sebentar. Aku mau menikmati rasa bahagiaku dulu. Bahagia bisa memerangi nafsuku, bahagia menyempurnakan agamaku dan bahagia memilikimu."

Ayun mematung. "Mas ... ini bukan prank, kan?"

Iyus menunduk menatap istrinya. Ia mencubit hidung sang istri hingga Ayun mengaduh.

"Sakiit," rintihnya.

"Biar kamu tahu, kalau ini nyata."

Keduanya saling bertatapan, Ayun kemudian menunduk malu.

"Yaaa Zaujati," bisik Iyus.

"Dalem," jawab Ayun.

Pemuda itu mengecup kening Ayun. "Ana Uhibbuki fillah."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaaa

Mendadak dangdut

🤣🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro