Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3. Kode Sumber

🖥🖥🖥

“Kode sumber itu rangkaian pernyataan yang ditulis  dalam bahasa pemrograman komputer yang bisa dibaca manusia. Jadi, senyum manismu itu kode sumber yang bisa dibaca oleh mataku di tulis di notepad hatiku sebelum akhirnya diubah menjadi rasa kagum yang bisa di eksekusi CPU otakku, direalisasikan menjadi program bernama jatuh hati padamu.”

-Yusuf Tabriz Albirru-

💻💻💻

Petir menggelegar disertai sambaran kilat di sela hujan deras yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Gadis berjilbab abu-abu itu menadahkan tangan, membiarkan terpaan air hujan bercampur angin membasahi tubuhnya. Sesekali senyum tergambar di wajahnya.

“Eh, kalau hujan doanya gimana sih ya.” Monolog gadis itu.

Allahumma shoyyiban nafi’an.”

Ayun terperanjat saat mendengar suara rendah sedikit serak mengucapkan sebuah kalimah.

Astagfirullah!” pekiknya.

“Numpang neduh ya, nggak bawa payung.”

Ayun mengangguk sembari mengelus dadanya yang masih overbeat karena terkejut.

“Silakan duduk,” ucap Ayun sembari menarik kursi dari bawah meja dan menyodorkan ke pemuda itu kemudian pergi ke belakang.

Iyus, pemuda tadi, berusaha mengulum tawa karena tak sengaja melihat ekspresi terkejut dari Ayun yang menurutnya lucu. Dia tersenyum-senyum sendiri sampai matanya menangkap bayangan wajahnya sendiri yang sedang tersenyum di kaca.

Ngapain senyum-senyum Yus? Gila ya?” Bayangan itu seolah meledeknya dan seketika wajah datar dan dingin khasnya kembali.

“Mas, monggo diunjuk ¹.”

Kali ini Iyus yang terkejut, dia tidak menyangka kalau Ayun akan muncul lagi.

Astagfirullah,” desah Iyus.

Ayun menatap wajah pemuda itu sebelum tertawa terbahak. “Satu sama,” ucap Ayun.

“Sengaja balas dendam?” tanya Iyus datar.

“Nggak Mas, nggak sengaja. Tapi karena Masnya kaget, ya alhamdulillah, aku puas. Silakan diminum,” jawab gadis itu enteng.

Iyus mengamati gelas itu.

“Gratis kok, tenang,” jawab Ayun.

“Oh, jazakillahu khairan,” lirih Iyus.

Ayun mengangguk sebelum menghidupkan lampu dan meneruskan kegiatan yang sempat ditinggalnya tadi. Dengan tekun gadis itu mengupas kulit kelapa. Iyus yang baru menikmati hangatnya teh gula batu buatan Ayun, melirik ke arah gadis yang tengah tenggelam dalam pekerjaannya itu. Di dekat kaki sang gadis masih ada lima buah kelapa.

“Itu mau dikupas semua?” tanya Iyus sembari menggeser tubuhnya sedikit.

Ayun menghentikan gerak tangannya. “Iya, tapi nunggu Mbak Renny. Tanganku overwork, nggak kuat, masih marut juga nanti.”

Pemuda itu meletakkan plastik berisi kertas fotokopian yang sedari tadi di jinjingnya di meja sebelum berjalan mendekati Ayun.

“Pinjem itu, aku pecahin sini,” kata Iyus sembari menunjuk bendho, sejenis pisau besar yang tajam, di dekat kaki Ayun.

“Itu tehnya cuma-cuma beneran kok, Mas.”

“Ini juga cuma-cuma kok. Dua sama.”

Ayun tertawa mendengar ucapan Iyus yang seolah menirukan kata-katanya tadi. Setelah itu hanya bunyi pisau dan batok kelapa yang terdnegar. Iyus cukup cekatan memisahkan batok dan daging buah kelapa yang akan diparut untuk di ambil santannya itu.

“Mas, namanya siapa sih? Udah sering liat tapi nggak pernah tahu namanya.”

Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari bibir Ayun setelah gadis itu menimbang-nimbang topik pembicaraan yang tepat untuk mengusir kecanggungan.

“Yusuf,” jawabnya.

“Wah, namanya bagus.”

“Pasaran.”

“Eh, itu nama Nabi kan? Wajar dong kalau banyak orang yang menggunakan nama itu untuk anak-anaknya. Kata Mbah ku, nama itu doa.”

Iyus tetap tak mengalihkan pandangannya dari kelapa di tangannya.

“Namamu juga bagus,” tukas Iyus.

“Hm?”

“Namamu, Nusayba kan?”

Ayun mengangguk. “Masih inget?”

Iyus mengangguk, “Makasih ya waktu itu udah nolongin Sista Khawla.”

Ayun tersenyum sembari mengambil daging kelapa yang sudah di pisahkan dari batoknya oleh Iyus.

“Biar aku kupasin, kamu marut aja.”

“Eh, beneran nih?”

Iyus mengangguk, dia menarik kursinya sedikit lebih jauh dari sang dara, menghadap ke arah pintu dapur, sedangkan Ayun masih di tempatnya di atas kursi panjang sembari memangku baskom dan alat parutnya. 

Alhamdulillah, waktu Mbak Khawla dapet musibah itu aku masih di sana. Kapan hari Mbaknya mampir ke sini loh, sama Mas Elhaq. Katanya Mas Elhaq ngidam pengen makan bubur ayam.” Ayun menyambung obrolan mereka.

“Iya, mereka udah bahagia sekarang. Eh, dulu aku nggak sengaja liat laptopmu, kamu suka nulis ya?”

Ayun mengalihkan pandangannya pada Iyus sebelum mengangguk.

“Iya, cuman iseng sih. Kenapa?”

“Nggak apa-apa, diksinya bagus.”

Ayun terkekeh. “Semua orang juga pada pinter nyambung kata, Mas. Apalagi cowok-cowok, bikin gombalan, pasti lebih jago.”

 “Nggak semua cowok bisa gombal.

Mosok? Mas Yusuf nggak bisa?”

Iyus menggeleng sembari tersenyum tipis.

“Aku nggak bisa bahasa cinta, bisanya bahasa program komputer.”

“Wah, komputer juga ada bahasanya? Gunanya buat apa?” tanya Ayun dengan ekspresi khasnya jika sedang penasaran.

“Ya adalah. Fungsi bahasa pemograman ya buat memerintah komputer untuk mengolah data sesuai dengan alur berpikir yang kita inginkan. Nah, output dari bahasa progam itu bentuknya sebuah aplikasi atau program sesuai dengan kebutuhan masing-masing.”

Ayun mengerjap-ngerjapkan mata, seolah berpikir. “Kayak gitu bisa dipelajari? Bisa diterjemahin gitu?”

“Bisa. Pakai kode-kode tertentu, semua bisa ditransfer dari pikiran kita ke program komputer yang kita kerjakan.”

Iyus tersenyum tipis melihat ekspresi kekaguman Ayun dari sudut matanya.

“Cara bikin programnya gimana?”

“Program? Kalau proses pembuatan program itu kita bisa nulis kode sumber di notepad terus diubah jadi bahasa mesin yang bisa dieksekusi CPU.”

“Kode sumber? Aku tetep nggak ngerti,” desah Ayun.

Iyus terkekeh. “Kode sumber itu rangkaian pernyataan yang ditulis  dalam bahasa pemrograman komputer yang bisa dibaca manusia. Seperti, senyum manismu itu kode sumber yang bisa dibaca oleh mataku di tulis di notepad hatiku sebelum akhirnya diubah menjadi rasa kagum yang bisa di eksekusi CPU otakku, direalisasikan menjadi program bernama jatuh hati padamu.”

Ayun dan Iyus saling bertukar pandang sebelum sama-sama melempar tatap dan terbahak. Ayun terbahak karena gombalan Iyus yang agak aneh, sedangkan Iyus malu karena tak menyangka dirinya bisa merangkai kalimat seperti itu.

Astagfirullah, Mas. Padahal semenit lalu aku percaya Mas Yusuf nggak bisa gombal loh. Tapi sayangnya gombalan Mas bikin mikir. Kalau nggak cerdas, nggak bakal kena,” tukas Ayun setelah berhenti tertawa.

Afwan, jangan diambil hati ya. Aku bercanda.”

Ayun mengangguk. “Iya-iya. Santai aja, aku udah biasa digombalin sama anak-anak kampus yang pada minta diskon kalau beli bubur, jadi nggak bakal baperan.”

Ya Allah, untuk Mbak Say nggak baperan.”

Hujan mulai reda, Iyus menatap ke luar.

“Mbak, makasih ya tehnya. Makasih juga sudah ngasih tumpangan. Aku balik dulu.”

“Sama-sama, makasih juga sudah bantuin ngupas kelapa. Panggil nama aja, kayaknya aku lebih muda dari Mas Yusuf.”

Iyus menghabiskan tehnya yang sudah dingin.

“Lah, itu minumnnya jadi Es dong, mau ditambah air anget lagi?”

“Nggak usah, nanti malah nggak balik-balik kalau ditambahin panas.”

Keduanya terkekeh.

“Say, Es es apa yang manis?”

“Ha? Es teh?”

Iyus menggeleng.

“Es buah?”

“Bukan.”

“Es apa dong? Semua Es manis deh.”

Iyus tak langsung menjawab, dia mengambil plasti berisi fotokopian di meja dan mengenakan hoodienya menutupi kepala sebelum akhirnya menatap gadis yang masih sibuk memarut itu.

“Esemmu.² Assalamu alaikum, Say.”

Ayun terkekeh, sementara Iyus berlari menerobos gerimis. Hari ini otaknya sepertinya konslet,

“Ya Allah, gini amat ya cari inspirasi buat nulis artikel anak muda. Untungnya Nusayba bukan modelan piyik berisik.” Monolog Iyus sembari menyeberang jalan dan masuk ke area pesantren.

“Ya Allah, Bang Iyuuuuuussss! Abaaaaaaaaaaaaaang! Kok ujan-ujaaaaan? Nanti atit loooooh!!!”

“Abang Iyuuuus!! Kiw kiwwww!! Nengok dooong.”

“Abaaaaang, jan dingin-dingin doooong, nanti Es batu pada minder, gara-gara abang lebih dingin dari pada es batu!”

Iyus mempercepat langkahnya menjauh dari santriwati iseng yang sedang meneriakinya dari pos keamanan.

Astagfirullah, baru juga diomongin, nggak tahunya para piyik berjajar di situ,” gumam Iyus sembari setengah berlari ke asrama putra, menghindari para makhluk yang sangat ditakutinya itu.

***

Derasnya hujan mengguyur sepanjang jalan Slamet Riyadi. Renny berusaha menggendong ibu mertuanya yang baru selesai pemeriksaan kesehatan rutin ke arah halte bis di bawah lindungan payung biru tua yang mulai usang di bagian pegangannya.

Nduk, maap ya, ibu ngrepotin kamu terus,” lirih wanita itu saat mereka sampai di halte seberang rumah sakit.

“Ibu, itu lo. Kayak sama siapa saja. Ini sudah kewajibanku. Jaketnya diagem dulu ini.”

“Kamu nanti kedinginan, pake aja,” kata sang ibu.

Renny menggeleng sembari mengulas senyuman, kemudian memakaikan jaket itu pada sang ibu mertua.

“Solehah, mantu ibu,” ucap wanita paruh baya dengan perawakan mungil dan kurus itu.

Renny berusaha menahan tangis harunya dengan tertawa dan memeluk sang mertua yang duduk di kursi tunggu. Sembari berbincang sesekali Renny melirik jam tangannya dengan cemas. Sudah hampir pukul setengah enam sore. Bis terakhir harusnya sudah tiba. Tapi, masih belum terlihat. Renny takut jika terlalu malam, nanti tukang becak di pemberhentian dekat pesantren sudah tidak ada, dan itu artinya dia harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah mereka.

Bukan apa-apa, dia hanya mengahawatirkan kondisi sang mertua yang kedinginan akibat bajunya basah terkena hujan.

Assalamualaikum.  Bu Latmi, Mbak,” sapa seseorang yang tadi terlihat turun dari mobil yang terparkir di samping halte.

Wa alaikum salam. Dok, ada apa ya?” tanya Renny.

“Ah, saya mau pulang. Apa Bu Latmi dan Mbak Renny mau bareng sekalian? Ini sudah menjelang maghrib, nanti kemaleman kalau nunggu bis, dan kondisi ibu, saya tadi liat sempat kehujanan kan?”

Renny menoleh ke mertuanya.

“Apa tidak merepotkan, Dok?” tanya Bu Latmi.

“Tidak Bu, monggo.”

“Tapi, Dok, anu, kami, basah, nanti malah ngotori mobilnya,” tolak Renny.

“Mbak, mohon jangan menolak. Kasian ibu, kalau kedinginan nanti kondisi ibu bisa kurang baik.”

Akhirnya Renny pasrah karena sang ibu mertua menerima tumpangan itu. Rumah mereka memang tak jauh jaraknya. Berbeda gang, namun juga berbeda kelas. Karena dokter Zulham tinggal di perumahan elite, sedang Renny dan ibunya tinggal di perkampungan warga pribumi yang menolak digusur saat para kontraktor mendirikan klaster-klaster hunian elite di kampung mereka.

“Dok, Bu Hasna sudah empat tahun ya meninggalnya?” tanya Bu Latmi tiba-tiba saat kendaraan mulai melaju membelah deras hujan.

“Iya Bu. Nggak terasa sudah empat tahun, istri saya berpulang.”

“Ibu, kok malah bahas itu,” bisik Renny yang tidak enak pada sang dokter.

“Maaf Dok, ibu suka gitu kalau ngendikan. Maaf ya Dok.”

Zulham malah terkekeh. “Nggak apa-apa Mbak. Nggak salah juga.”

“Tapi ... kan dokter jadi inget istrinya. Pasti berat. Saya juga ngalamin.” Cicit Renny.

“Mbak Renny saja kuat, masak saya yang laki-laki enggak,” tutur Zulham lembut.

“Semua sudah takdir Mbak.”

“Bu Hasna padahal baik banget ya, Dok. Saya sering dikirimin baju, sepatu. Padahal dulu baru sebentar kenalnya.”

Zulham mengulas senyum.

“Dok, apa nggak mau cari istri lagi? Dokter kan masih muda.”

Kali ini Renny benar-benar ingin mencubit sang mertua karena gemas. Akhir-akhir ini mertuanya seolah kembali seperti anak kecil yang berbicaranya semaunya, tetapi kadang juga sangat sensitif, mudah menangisi hal-hal kecil yang tidak penting.

“Ibu ....”

“Loh, ibu cuman tanya,” ucap Bu Latmi tanpa merasa bersalah.

Zulham tersenyum. “Belum ketemu jodohnya Bu. Kalau memang diberi kesempatan untuk berumah tangga lagi, ya, saya akan menerima dengan senang hati.”

“Tuh, kamu juga harusnya gitu, Nduk. Kamu masih muda, delapan tahun jadi janda. Kamu nggak pengen punya anak?”

“Ibu, kalau Renny menikah lagi, Ibu gimana?” Suara Renny tercekat.

Nduk, ibu bisa jaga diri ibu sendiri. Sudah delapan tahun kamu hidup sendiri gara-gara ngurusin ibu.”

“Bu, udahlah. Renny nggak mikirin itu, yang penting ibu sehat, Renny udah seneng.”

“Oalah Nduk cah ayu, nasibmu kok kayak gini to.”

Wanita itu tiba-tiba menangis dan Renny segera menenangkannya, tak lama sang mertua tertidur. Begitulah kesehariannya, ketika lelah menangis, Bu Latmi akan tertidur.

“Dok, maaf ya. Ibu, setelah sakit memang suka kayak gitu,” kata Renny sembari memangku kepala sang ibu.

“Maklum Mbak. Kalau dari sisi kesehatan memang, para penyitas diabetes sering terpengaruh kondisi emosinya. Reaksi hiperglikemia itu bisa mempengaruhi tingkat kecemasan, tingkat konsentrasi, dan suasana hati. “

Renny hanya mengangguk-angguk.

“Sejak suami saya meninggal, kondisi ibu jadi semakin memburuk meski lambat laun mulai membaik. Cuman Akhir-akhir ini, emosinya jadi labil, Dok. Kadang saya takut kalau saya tinggal ke warung dan ibu di rumah sendiri. Takut kalau ibu nekat. Apalagi, ibu kandung saya akhir-akhir ini sering datang ke rumah.”

Renny menjeda kalimatnya karena air matanya menetes.

“Maaf, maaf saya malah ngelantur,” tukas wanita itu cepat.

“Nggak apa-apa Mbak, lanjutkan saja. Mbak Renny juga butuh teman bicara. Silakan lanjutkan.”

Setelah mencoba menenangkan diri Renny akhirnya kembali berbicara.

“Orang tua kandung saya ingin saya menikah lagi, Dok. Tapi, saya tidak bisa. Saya ... nggak bisa ninggalin ibu. Meski suami saya sudah meninggal, saya nggak bisa ninggalin ibu gitu aja. Saya takut kalau menikah lagi suami baru saya nggak bisa menerima ibu.”

Masya Allah, bagaimana bisa ada wanita semulia ini, Ya Rabb? Jadi benar apa yang diceritakan Hasna dulu tentang Mbak  Renny.”

“Mbak, serahkan semua pada Allah. Kita sebagai makhluk hanya bisa ikhtiar semaksimal mungkin dan tawakal. Pasrahkan semua jalan, biar Allah yang kawal langkah kita menuju ke hal-hal yang halal.”

Zulham melepas safety beltnya kemudian menyodorkan tisu pada wanita yang duduk di belakangnya.

“Makasih, Dok.”

“Zulham, panggil saja Zulham. Kita tidak sedang di rumah sakit.”

“Tapi ... tapi ... dokter lebih senior dari saya.”

“Tua?” tanya Zulham dengan wajah seolah tak terima sebelum akhirnya kedua terkekeh.

“Saya masih tiga empat loh. Mbak Renny umur berapa?”

“Dua enam,” jawab Renny cepat.

“Beda delapan tahun. Panggil Mas, kalau gitu.”

Renny hanya bisa tersenyum aneh karena merasa canggung. Pria tadi menyodorkan payung.

“Ibu biar saya gendong, Mbak Renny yang bawa payungnya ya.”

Renny tak punya pilihan lain. Dia akhirnya turun dan membuka payungnya kemudian Zulham menggendong Bu Latmi yang masih tertidur pulas. Renny segera membuka pintu dan membiarkan pria itu masuk menidurkan ibu mertuanya di kamar.

“Dok  eh Mas mau minum dulu?”

Zulham terkekeh kemudian menggeleng. “Saya belum salat maghrib. Lain kali ya.”

“Terima kasih banyak ya, Dok. Eh Mas.”

Nggih, Dek, sama-sama. Saya pulang dulu, assalamu alaikum.”

“Wa alaikumussalam warahmatullah.”

Zulham segera berlari ke mobilnya, kemudian terduduk selama beberapa saat dibalik setir dan memegang dadanya.

"Ya Allah, aku kenapa? Apa karena hari ini aku minum kopi?" batin pria itu sembari mencari alasa kenapa ritme jantungnya hari ini berbeda.

 ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

1. Silakan diminum
2. Senyummu

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Akhirnya Up lagi part 3...

Hai semua

Apa kabaar?

❤❤❤
Terima kasih sudah mampir

😍😍😍
🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro