Part 29. Bicara
Kesibukan di rumah orang tua Renny terlihat, bagaimana tidak, meski hanya sederhana tetap saja akan ada tamu yang datang besok. Sang calon pengantin pun terlihat gugup. Ayun yang sudah standby di sisi sang kakak sepupu sejak sebelum maghrib tadi, hanya melihat janda cantik itu mondar-mandir bak tengah melakukan ritual di dalam kamarnya.
“Mbak, ngapain sih?” tanya Ayun pada akhirnya.
“Aku takut.” Suara Renny yang biasanya penuh energi kini terdengar seperti cicitan saja.
“Takut apa?” Eka, sang sahabat juga mendampinginya di sana.
“Aku takut, khawatir sama Mas Zul. Aku belum ketemu Mas Zul seharian ini. Dia masih kerja juga tadi, aku takut pasiennya hari ini banyak dan dia kecapekan, apalagi kan kemarin dua hari habis libur. Pasti pasiennya berjubel. Kalau udah gitu dia bakal lupa makan, terus juga lupa minum vitamin. Kalau dia flu gimana? Kalau dia batuk gimana? Kalau besok kurang tidur gimana?”
Eka dan Ayun yang awalnya bersimpati, kini berekpresi jengah. “Bucin.” Keduanya kompak melabeli Renny.
“Aku pengen ketemu Mas Zul,” rengek Renny.
“Astagfirullah, kamu lagi dipingit. Cuma nggak ketemu sehari aja apa sih susahnya. Duh, dasar, bucin. Mulai besok, mau kamu kintilin tiap hari, mau kamu pelototin tiap hari juga boleh. Cuma nahan semalem loh, istigfar makanya, biar setannya pergi tuh,” tukas Eka.
Ayun hanya terkekeh. Suara ketukan pintu membuat ketiganya beralih fokus. “Yun, tolong anterin makanan ke rumahnya pak dokter ya. Katanya keluarga yang dari Jogja udah sampai. Biar mereka nggak usah repot cari makan malam.”
“Nggih, Bude,” jawab Ayun sembari berdiri.
“Nduk Eka, makan dulu sana,” titah ibu Renny.
Eka menurut, ia mengode Renny agar tetap stay di tempat, sementara dirinya mengambil makanan.
“Kamu tidur aja, besok habis subuh langsung dandan.” Renny mengangguk wanita yang ia panggil mama itu. Hubungan mereka memang tak begitu baik sejak dulu, meski begitu, kedatangan Zulham dengan predikat dokter spesialis nan kaya dan berasal dari keluarga ningrat, cukup membuat orang tua Renny bangga, karena sang putri bisa mengangkat derajat keluarga mereka dengan menjadi menantu orang ningrat.
“Jamunya diminum. Kamu harus cepet punya anak. Biar suami sama mertuamu seneng. Harus selalu jaga badanmu, wajahmu, itu asetmu. Jangan sampai suamimu ngelirik perempuan lain. Mantuku itu luar biasa, jadi kamu harus ngimbangi juga.”
Renny hanya mengangguk dan mengangguk. Sejak kemarin ia sudah dicekoki berbagai macam jamu, agar subur katanya. Ia menumbalkan Ayun karena tak tahan pahit. Ayunlah yang bertugas menghabiskan segala jamu yang disuguhkan sang ibu. Renny memanfaatkan kepatuhan Ayun, untuk keluar dari derita perjamuan super pahit itu.
Ia juga melakoni serangkaian perawatan tubuh tradisional, konon agar suaminya semakin tergila-gila padanya. Meski Renny sebenarnya tak suka dengan hal-hal seperti itu. Baginya, hanya Allah yang bisa menentukan langgeng tidaknya hubungan hamba-Nya. Namun, di sisi lain ia juga tidak mau, hubungannya dengan papa dan mamanya, kembali runyam setelah didamaikan oleh Zulham.
“Mbak, aku ke tempat Ayankmu dulu ya,” bisik Ayun.
“Ikut,” rengek Renny.
“Mau dibunuh sama ibumu?” ucapnya sembari terkekeh setengah berbisik. Eka dan Ayun segera menghilang dari kamar.
Gadis berjilbab itu pergi dengan diantar salah satu tetangga sembari membawa rantang. Ayun mengatakan jika ia ditinggal saja, karena berdalih ingin membantu menyiapkan makanan untuk keluarga Zulham, sehingga tetangganya pulang lebih dulu.
Ketika ia masuk ke pekarangan rumah sang dokter, dari dalam rumah terdengar suara tawa para anggota keluarga. Ayun mengucap salam di depan pintu.
“Eh, anak cantiknya ibu, sini, sini masuk.” Rumi menyambut Ayun.
“Ibu, ini kiriman dari Bude, buat makan malam.”
“Loh, kok pake repot-repot. Kami malah baru mau nyari makan ini tadi.”
“Nah itu, Bu, biar nggak usah cari makan di luar.”
Kedua wanita itu masuk dan menyiapkan makanan, sementara para laki-laki yang berada di ruang tengah kelihatan tak sabar karena lapar. Ya, Zulham baru pulang dari rumah sakit, Nugrah dan Iyus baru sampai, sementara Romo Sam, baru pulang dari keraton, mengunjungi kerabatnya diantar oleh sopir pribadi Zulham.
Seperti biasanya, dua asisten rumah tangga Zulham diajak makan bersama. Itulah mereka, meski berdarah bangswan, adab tetap mereka junjung tinggi. Semua mereka rangkul menjadi keluarga.
“Yun, kata simbok, kamu dulu jualan makanan sama Renny?” tanya Romo Sam.
Ayun mengangguk, ia tak menutupi masa lalunya. Renny pun sama. “Nggih, Eyang.”
“Kalau jam dua mereka sudah bangun Romo, Mbak Renny ke pasar. Ayun yang bawa gerobak ngusungi bahan-bahan dari rumah. Yo, Nduk?”
Sopir Zulham ikut angkat bicara. Ayun tersenyum dan mengangguk.
“Loh, jauh kan tempatnya? Katanya di depan pondok?”
“Lumayan, Bu. Tapi kalau sudah biasa jadi deket kok. Kadang juga dibantuin sama Mas Yus,” ucap Ayun.
Iyus yang tengah asik menikmati gulai kambing hanya mengangguk-angguk ketika keluarganya menjadikan dirinya objek tatap. “Mas Yus kan kalau jam salat lail, ngaji kitab, ada di pos jaga, sampai sebelum subuh. Nah jam-jam segitu jam Ayun lewat buat ke warung. Nanti biasanya dibantuin dorong sama Mas Yus, sama temennya juga.”
“Modus kuwi, Yun. Kamu terlalu polos, dimodusin nggak tau,” sahut Nugrah.
“Aku asli mau bantuin Pak, nggak modus,” sanggah Iyus.
“Hilih, paling juga modus.” Ayah dan anak itu saling adu mulut dan terdiam ketika tangan Rumi menjewer telinga keduanya.
“Ribut terus, makan dulu,” titah Rumi.
Melihat keluarga kecil itu, yang lain tertawa. Ketika sesi makan malam selesai, Iyus mulai melipir, mencuri kesempatan bicara dengan Ayun.
“Dek, aku anter pulang yuk?” bisik Iyus saat menyusul Ayun ke dapur mencuci piring.
Pemuda itu kemudian meminta ijin kedua orang tuanya untuk mengantar Ayun pulang. Tak ada motor di sana, Iyus menggunakan mobil sang ayah. “Mas, aku bisa jalan sendiri.”
“Masuk. Aku mau bicara serius.”
Ayun menurut. Ia akhirnya duduk manis di samping Iyus. Ayun mulai curiga ketika Iyus memilih jalan ke luar ke kanan, bukan ke kiri, kembali ke arah rumah Renny. “Mau ke mana kita?” tanya Ayun pada akhirnya.
“Aku janjian sama Alek, sama Kang Ubay juga, Mbak Sahla, Almira, ya anak-anak Kalam Maya.”
“Dimana?” tanya Ayun.
“Di markas Kalam Maya, tapi kita beli oleh-oleh dulu buat mereka. Anak panti, biasa, pasti berharap jajanan kalau ditengokin.”
Ayun terkikik pelan. Ia ikut saja apa kata Iyus. Pemuda itu kemudian kembali berbicara. “Dek, aku ... aku kemarin udah ketemu sama Simbahku. Aku udah merundingkan hal ini sama bapak juga, soal kita.”
“Hm? Kita?”
Iyus mengangguk. “Ya, pas di Jogja kemarin kan aku udah buka omongan tentang keseriusanku ke kamu, tapi ... tapi ada hal lain yang bikin aku harus mengubah arah langkahku. Aku ... minta maaf, mungkin harus aku tangguhkan dulu rencanaku kemarin nyeriusin kamu."
Ayun menoleh, sosok laki-laki di sampingnya, mengutarakan hal yang harusnya membuatnya kecewa, tetapi Ayun justru kagum padanya.
"Oh, santai aja, Mas. Nggak usah dipikirin. Urusan jodoh nggak jodoh kan bukan ranah kita."
Iyus mengembus napas lega, Ayun bisa memahami keputusannya.
"Aku mau nuruti keinginan bapak. Bapak ngirim aku ke sekolahnya dulu."
Ayun seketika membelalakkan mata. "Mas mau kuliah lagi? Di MIT?" Suara itu terdengar seperti pekikan saking kerasnya.
Iyus awalnya terkejut tetapi ia tertawa melihat reaksi Ayun. "Iya, ya coba-coba siapa tahu bisa masuk sana. Toh di kampusku dulu kan emang beberapa kali ada program kerja sama dan aku pun pernag dikirim jadi delegasi dari kampus ke sana waktu ada program debat gitu."
Ayun masih belum sembuh dari keterkejutannya. "Masyaallah, Mas. Keren banget. Ya Allah, semoga dimudahkan. Ya?"
"Amiiin. Doanya ya. Bapak juga berencana mau boyong ibu sekalian ke sana. Dari pada di sini, kontra terus sama Simbah. Eyang juga sekarang udah ada Mbak Renny kan sama Om Zul, jadi ada temennya."
Ayun menatap Iyus dengan mata berbinar. "Ya Allah, Mas. Aku ikut seneng. Semoga sukses ya. Allah pasti akan selalu membimbingmu."
Iyus yang sempat ragu, kini semakin yakin melangkah. "Dek, sebelum nanti kita pisah. Apa boleh kamu kasih aku kesempatan sehari aja buat menikmati hari-hari kita, sama-sama."
"Hm?"
"Katanya kamu mau ngajakin aku ke party temenmu besok?"
Ayun menimbang-nimbang. "Ng ... Iya sih, Mas Haikal juga nyuruh aku dateng sama kamu, Mas. Soalnya dia takut, aku kan nggak pengalaman soal pesta-pesta gitu. Dia datang sama cewek-ceweknya. Jadi nggak bisa ngawasin aku."
Iyus menyugar rambut. "Oke kalau gitu, besok kamu pergi sama aku."
"Bener?" tanya Ayun ragu.
Iyus mengangguk dan menatap lurus pada Ayun sembari mengulas senyum. "Aku mau kasih kamu kenangan manis sebelum aku pergi. Biar kalau nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kamu masih inget sama aku."
Ayun terkekeh. "Duh, boleh nggak sih, Mas aku tulis cerita ini di novelku?"
"Bayar royalti ya tapi. Aku bakal kasih kamu pengalaman manis. Biar halumu itu dapet feelnya."
"Istigfar hei, jangan gitu. Takut didenger setan. Kalau kebablasan gimana. Serem tau," sahut Ayun cepat.
Iyus terkekeh. "Ayo ikut turun, beliin cemilan buat anak-anak dulu terus kita ke sana."
*****
Markas Kalam Maya, tempat yang sangat Iyus rindukan. Terlihat kesibukan yang cukup ekstra di sana. Ali dan Khalid sibuk dengan komputernya, Almira dan gengnya tengah mengepak kertas-kertas yang baru keluar dari printer berukuran besar di sudut ruangan.
Si empunya kuasa tertinggi, kini tengah duduk di depan laptop. Wajahnya begitu serius, menunjukkan jika ia tengah berkonsentrasi.
"Assalamualaikum!" teriak Iyus.
Semua mata tertuju pada sosok di ambang pintu. "Bang Iyuuuus!" pekik Almira dan teman-temannya.
Ali dan Khalid langsung melompat dari kursi, berlari menubruk sosok yang mereka rindukan. "Kenapa baru dateng!" Khalid bahkan menangis saking kangennya dengan senior galaknya itu.
"Heh, mewek. Ciwi-ciwi nggak ada yang mau peluk juga?" tanya Iyus.
Almira bergidik. "Duh, nggak ada pasir Bang di sini. Susah ngilangin najis mugholadoh."
"Asem ik, mbok pikir aku anjing apa gimana?" sahut Iyus pura-pura marah.
Semua tertawa. "Aku mau peluk. Boleh?" ucap suara lembut nan renyah milik Sahla.
"Heh! Ngapain? Duduk diem," sembur Ubay yang cemburu.
"Galak amat," cicit Sahla sebelum kembali sibuk dengan kertas di tangannya.
"Nih, buat kalian. Oh iya, Dek, sini masuk." Iyus berbicara pada seseorang yang menunggu di luar.
Gadis itu akhirnya melangkah masuk. "Mbak Ayun!" pekik Almira cs.
Ayun tersenyum dan menyapa semuanya. "Ooooooooh, officially nih? Samawa ya!" celetuk Sahla.
"Alhamdulillah, ditunggu makan-makannya."
Banyak ledekan terdengar setelahnya tetapi semua itu dibawa asik oleh Iyus dan Ayun. Mereka mengobrol sambil mengerjakan perpiasan buletin kalam maya.
"Mbak Ayun, kami minta tolong dong. Kalau bisa bantu-bantu gitu di sini. Ikut nulis gitu artikel juga boleh, atau mau masukin cerbung gitu kan seru." Ubay mengajak Ayun berdiskusi.
"Iya, Mbak. Biar Kalam Maya nggak monoton juga isinya." Almira menimpali.
Ayun melirik Iyus. Ubay menyenggol pemuda di sampingnya. "Tuh, minta ijin," goda Ubay.
Iyus menoleh ke arah Ayun. "Kalau kamu mau ya nggak apa-apa. Kamu bisa kerjain kalau libur atau pulang kerja."
Ayun akhirnya mengangguk. Almira, Sahla, Aisha, dan dua orang lain saling berbisik dan terkikik. "Aaah. Meleyot deh, Bang Iyus yang kayak es batu bisa mencair di tangan Mbak Ayun."
Iyus yang biasanya diam dan cuek di depan teman-temannya, hari ini tampak berbeda, lebih manusiawi.
"Mas, mereka jadi salah paham soal kita," bisik Ayun setelah berpamitan.
"Biarlah, emang harus konferensi pers soal hubungan kita apa?"
Ada beberapa santri senior yang masih mengenali Iyus dan menyapanya ketika ia dan Ayun keluar dari area markas Kalam Maya.
"Duh, jadi bener ini udah sah? Ya allah, samawa ya Bang!"
"Doanya ya," jawab Iyus santai. Ayun hanya mengembus napas mendengar kegilaan Iyus yang membiarkan orang salah paham atas mereka.
"Semoga cepet punya dedek ya, Bang, Mbak!"
"Amiiiin!" seru Iyus sebelum masuk ke dalam mobil.
"Bercandaanmu serem, Mas. Mana didoain punya anak segala," ucap Ayun.
Iyus terbahak. "Udah biasa kayak gitu di sini. Kan doain baik. Emang kamu nggak mau punya anak?"
"Ya mau, tapi kan kita belum nikah, Mas. Hmmm serem jatuhnya."
Iyus tak ambil pusing. Gurauan belaka, apa yang harus dipusingkan?
Keduanya baru sampai rumah pukul setengah sepuluh. Iyus menyerahkan Ayun pada sang kakek.
"Mbah, niki wayahe, sudah saya kembalikan. Besok pinjem lagi ya?" Iyus bercanda.
"Kamu bawa pulang juga boleh. Sini, duduk sini. Kamu bawa apa? Mumpung ada Pak Naib. Ada saksi, orang tuamu juga ada itu di dalem. Ini sudah siap tempatnya, mau kamu nikah sekarang sekalian?"
Ayun menggelengkan kepalanya yang mulai berdenyut tak jelas karena banyak lelucon tak lucu yang ia dengar.
Ia lebih memilih masuk ke dalam rumah orang tua Renny. Benar ada Rumi dan Nugrah di sana, mengantar majemukan, sebuah adat khas jawa sebelum terselenggaranya pernikahan.
"Main ke mana aja sih? Kenapa nggak langsung pulang, katanya udah dari tadi kamu dianterin," omel ibu Renny pada Ayun.
"Ke pondok kok bude, nggak ke mana-mana."
Dasar ibu Renny yang keras, ia memarahi Ayun habis-habisan. Ia tak tahu jika Ayun pergi dengan Iyus dan dua orang di depannya adalah orang tua Iyus.
"Kamu itu sejak kenal sama santri sana malah jadi susah diomongin, Nduk. Mau jadi apa kamu? Udah yatim piatu, miskin, nakal. Siapa yang mau nikahin kamu? Nggak laku kamu nanti."
Ayun menelan ludah, ia hanya bisa menunduk tak berani menjawab. Rumi merasa bersalah, putranyalah yang membuat Ayun dimarahi habis-habisan seperti itu.
"Sana masuk! Tidur! Ngelayap wae!" Ibu Renny mendorong ponakannya itu masuk ke kamar.
"Mas, kasian Ayun," lirih Rumi pada suaminya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaa
Datang lagi nih
❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro