Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28. Jalan Keluar

Ayun, gadis berjilbab itu masih merasa kesal dengan Haikal. Menurutnya, si tengil itu benar-benar keterlaluan.

Haikal berusaha mengajak Ayun bicara dan gagal. Gadis itu bahkan bisa menganggapnya bak hantu yang tak terlihat. “Ay! Hei, jangan ngambek. Itu video udah ditake down. Tenang. Seriusan. Kamu nggak usah takut. Lagian, kakakku nggak akan ngebiarin aku disakitin siapapun. Tenang. Aku kan anak manja kesayangan semua orang, kecuali kamu.”

           Ayun tetap saja diam. Ia benar-benar kesal dengan Haikal yang terkesan menyepelekan segala hal. Bahkan ketika sore hari, saat jam pulang kerja tiba, masih saja Haikal cosplay menjadi hantu bayang-bayang Ayun.

            “Ay!” Ia diam saja. Haikal mengejarnya ke arah lift. Merasa diikuti, Ayun membelok ke arah tangga. Ia urung menggunakan lift, lebih memilih menggunakan tangga. Ia berpikir Haikal tak akan mengikutinya. Namun, Ayun salah. Pemuda itu tetap mengejarnya.

            Ayun berlari turun. Suara erangan Haikal terdengar. Ayun tak menggubris pada awalnya, tetapi salahkan dirinya yang tak bisa cuek dengan orang di sekitaranya. Ayun berhenti berjalan dan mendongak, melihat ke arah putara tangga pertama, di lantai 6. Telrihat Haikal masih di sana, mungkin ia duduk karena hanya terlihat kepalanya saja.

            Benar tebakan Ayun, Haikal kini terduduk bersandar pagar tangga emergency. Ringisan di wajahnya menggambarkan kesakitan.

            “Ayo berdiri, udah dibilangin dari tadi, ke klinik. Apa sih susahnya? Kamu itu emang dimanjain sama keluargamu. Kamu emang bisa mengandalkan mereka. Tapi, kamu juga harus bisa mandiri. Karena nggak selamanya kakakmu ada buatmu. Bundamu ada buat kamu. Ayahmu ada buat kamu. Gimana kalau tiba-tiba mereka harus pergi? Gimana kalau kamu tiba-tiba harus hidup sendiri? Apa iya kamu mau mewek di pojokan kayak stiker botak yang ada di WA?”

            Haikal mendongak. Ia mengubah ekspresinya, ringisan tengil khasnya terlihat. “Kamu khawatir ya?”

            Ayun menatap pemuda yang kini berdiri itu. Sorot mata yang baru kali ini benar-benar ia temukan dari sosok Haikal. Selama ini ia tak pernah tahu seperti apa rupa dan sinar mata sang pemuda karena Ayun sebisa mungkin menghindari tatapan sang pemuda.

            “Lewat lift aja yuk? Capek loh dari lantai tujuh ke first floor jalan.”

            Ayun melihat ke bawah, darah segar kembali mengalir dari luka sayat sekaligus luka bakar itu. Kulitnya terkelupas, pasti perih dan ada lebam di sekitarnya. “Pak Abim ada rapat di luar, gimana kalau kita naik taksi? Aku orderin, aku anter Mas ke klinik pratama di ujung jalan dulu. Motornya ditinggal aja, gimana?”

            Haikal mengamati wajah Ayun. “Ay, kamu serius?”

            “Keburu sore, Mas. Aku harus cepet pulang juga soalnya malem ini ada acara di rumah Mbak Renny. Mas tahu kan besok mereka nikah.”

            Ponsel Ayun berdering setelahnya, ada nama seseorang yang membuatnya seketika menggurat senyum. “Assalamualaikum, Dek Say. Kamu masih kerja?”

            “Wa alaikumussalaam. Iya, Mas. Mas udah berangkat? Sama Ibu sama bapak?”

            “Iya, baru mau berangkat tapi. Insyaallah nanti sebelum isya sampai. Kamu pulang jam berapa? Ada yang mau aku omongin, Dek.”

            “Mmm ... aku nganter temenku pulang dulu ya, Mas. Dia sakit kakinya, pincang nih berdarah gitu entah tadi naik motor katanya nyungsep di parkiran. Nanti kalau udah sampai kabarin ya.”

            Mimik Ayun yang berbinar ceria membuat Haikal mengamatinya. “Ayank pasti,” cibir sang pemuda. Setelah mengucap salam perpisahan, Ayun menyimpan hapenya lagi. Ia berjalan beriringan dengan Haikal.

            “Kalau Ayankmu tahu kita berduaan, dia ngamuk nggak ya, Ay?”

            “Aku nggak punya Ayank,” cicit Ayun.

            “Yang kayak tiang bendera kemarin, siapa kalau bukan ayank.mana galak banget. Seleramu kek pawang macan. Serem.”

            Ayun membuka pintu emergency, kemudian berjalan ke arah lift. “Serem buatku itu bukan yang garang tampilannya lembut hatinya. Tapi, yang lembut tutur katanya, yang gemoy wajahnya, tapi buaya. Ceweknya dimana-mana.”

            Haikal terbahak. “Dih, udah pinter nyinyir. Nyindir aku nih? Jangan salahin aku dong, salahin mereka yang menyodorkan diri ke aku.”

            Ayun melotot, agak ngeri mendengar pengakuan Haikal. Apalagi posisi mereka kini berduaan di dalam lift. “Me-menyodorkan diri?”

            Haikal mengangguk. “Udah nggak usah dipikirin. Yang aneh itu kamu, Ay. Cewek kok nggak ramah lingkungan anak muda. Vibesmu kayak ibu-ibu, tapi unik sih. Anti mainstream.”

          “Mas, mau permen?” tanya Ayun mengalihkan pembicaraan.

            Haikal mengamati gadis di sampingnya. “Sini mana.”

            Ayun mengulurkannya, di saat pintu lift terbuka. Kantor sudah mulai sepi, karena beberapa orang mengajukan cuti di hari ini, hari kejepit nasional. “Besok Sabtu, kamu ikut kan?” tanya Haikal.

            Ayun menggeleng. “Aku paling masih ada acara di rumah Mbak Ren, Mas.”

            “Bilang aja takut sama si galak kemarin, siapa? Yusuf?”

            Ayun mengembus napas. “Mas suka sama Mas Yus? Kenapa dari tadi bahas dia terus sih?”

            “Penasaran aja, kenapa kamu bisa kenal sama cowok itu? Dikenalin sama Mbak Renny?”

            Ayun menggeleng. “Dia pelanggan buburku. Mas tau kan, aku sebelum ini jualan bubur sama Mbak Ren, nah dia itu santri di pondok deket rumahku, depan warung Mbak Renny.”

            “Santrinya Kang Ubay?”

            Ayun mendongak. “Mas kenal Gus Ubay?”

            “Iya, dia yang nikahin ceweknya temenku Maul. Tau nggak? Gara-gara itu eh sekarang si Maul jadi patah hati dan deket lagi sama Alifiya.” Haikal mengembus napas.

            Ayun tertawa pada akhirnya. Ia senang Haikal cemberut teringat dirinya tengah patah hati. “Mas, jujur deh, berapa pacar Mas sekarang? Detik ini.”

            “Hm?” Haikal mengernyit.

            “Berapa? Lima? Sepuluh? Dua puluh?”

            Haikal terbahak. “Yang ngaku pacarku sih ya sepuluh lah, yang aku anggep pacar, untuk saat ini belum ada lagi.”

            “Terakhir Mbak Tamara, kan? Hayo ngaku.”

            Haikal mengetuk kepala Ayun dengan ponselnya. “Heh, enak aja, sok tau kamu.”

            Taksi yang dipesan Ayun akhirnya datang dan ia benar-benar mengantar adik bosnya itu ke klinik terdekat sebelum mengantar Haikal pulang. Ayun menunggui Haikal ditangani.

            “Mbak pelan-pelan ih, sakit,” protes Haikal pada perawat yang menanganinya. Ayun menahan tawa. Ketika menebus obat, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Tamara dan seorang pria.

            “Widih, ngapain? Kebobolan?” Mulut Haikal memang tak pernah bisa direm. Tamara seketika meradang.

            “Jaga mulut lu, ya,” desisnya.

            Haikal terkekeh. “Kasian tuh rahim lu, dikorak korek mulu. Kagak bisa beranak, tau rasa lu, Tam. Kayak Emak angkat lu. Kebanyakan open EO eh WO eh PO.”

            Tamara benar-benar ingin membunuh Haikal saat itu juga. “Awas aja ya lu, sama cewek baru sok suci lu itu.”

            “Cemburu sama Ayun? Spek neraka nyemburuin spek surga.”

            Ayun mengode Haikal agar segera pergi dari sana. Ia berusaha tetap ramah pada Tamara meski tahu wanita itu tengah kesal. Haikal bahkan sempat mencolek pinggang sang mantan sebelum melewatinya. Ayun hanya mengembus napas, tak paham dengan jalan pikiran Haikal.

            “Mas, aku nganternya sampai sini aja ya? Mas bisa kan naik taksi sendiri ke rumah. Aku mau lanjut naik bis kota aja.”

            “Halah, buruan masuk. Aku yang anter kamu, biar impas.” Haikal memaksa Ayun masuk. Keduanya duduk di belakang. Berdampingan meski Ayun sudah menolak tetapi apa boleh buat, Haikal adalah anak berusia mental tiga tahun. Tak mengenal penolakan.

            “Kalau besok kamu datang ke pestanya Tamara, inget, jangan sentuh apapun di sana. Kamu bawa air minum sendiri. Kamu makan dulu dari rumah.”

            Ayun menoleh. “Kenapa?”

            “Udah, pokoknya jangan sentuh minuman atau makanan apapun yang dia kasih. Takutnya kamu nggak tau itu mengandung alkohol atau ingredientsyang nggak halal. Sebejat-bejatnya aku, aku nggak pernah ikut makan kalau pas party, kecuali ada cemilan kayak chips yang bungkusan gitu. Kalau minum ya, tipsy dikitlah paling tapi nggak sampai drunk. Soalnya aku harus jaga body, jaga kewarasan, biar bisa tetep main futsal.”

            Celotehan tak berguna kembali keluar dari mulut Haikal. Ayun hanya mengangguk-angguk. “Tapi, aku kayaknya beneran nggak dateng sih, Mas. Lagian, jauh juga.”

            “Ngode mau dijemput?”

            Ayun menggeleng. “Bukan gitu ih. Ya pokoknya intinya kalau besok acara di rumah Mbakku udah selesai, mungkin aku datang ya kasih kado aja, tapi kalau belum ya kadonya aku bawa besok Senin.”

            Haikal mengangguk-angguk. “Kabarin aja kalau dateng. Suruh anterin si galak itu lah. Kan mau ke sini, ya nggak?”

            “Mulai lagi. Nih, aku kasih nomernya, mau nggak? Aku curiga kalau Mas suka sama Mas Yusuf.”

            “Aduh, aduh, jadi Bunda Ikal dong. Hmmm,,, tatut saingan sama Lucinta Luna. Kalah spek aku. Kalah cucok juga.” Haikal ebrgaya lenjeh bak waria. Ayun terpingkal.

            “Astagfirullah,” ucap Ayun disela tawanya.

***

            Perjalanan yang dilalui tiga orang dalam mobil SUV hitam itu cukup lancar meski jalanan agak padat. Iyus mengambil alih kemudi setelah sang ayah mengeluh mengantuk. Ya, bagaimana tidak mengantuk jika pengantin pernah baru itu tengah menikmati bulan madu kedua mereka sepanjang hari. Rumi tertidur pulas di jok tengah, bahkan ketika mereka baru sepuluh menit berjalan, wanita itu sudah tak kuat menahan kantuk.

          “Yus, kamu kenapa?” tanya Nugrah.

            “Apanya Pak?”

            Pria empat puluh tahunan itu mengamati sang putra yang tengah fokus ke jalanan di depannya. “Jangan bohong, kamu pasti lagi mikirin sesuatu kan? Simbahmu bilang apa? Sejak kemarin pulang dari sana, kamu diem terus. Bulikmu juga kemarin itu telpon ibu, mereka kayak ngobrol serius.”

            Iyus melirik ke arah belakang dari spion tengahnya. Nugrah paham, putranya pasti tak mau sang istri mendengar percakapan mereka. “Ibumu tidur kok, kenapa?” selidik Nugrah.

            “Simbah ... maksa aku nikah sama Ning Farzana Pak. Aku udah nolak dan ya gitu, ambisi simbah soal pesantren masih tinggi banget. Aku udah bilang kalau aku udah punya calon tapi ... Simbah ngancem nggak akan ngerestuin bapak balik sama ibu kalau aku nggak nurut.”

            Nugrah menghela napas beriring istigfar. “Kenapa kamu nggak langsung bilang?”

            “Pak, di dunia ini, yang selalu aku inginkan, cuman bersatunya bapak sama ibu. Dan aku akan melakukan apapun untuk mewujudkannya. Apalagi sekarang, bapak sama ibu bener-bener bahagia. Aku ... aku bakal nurut sama simbah. Asal ibu sama bapak bahagia dan tetep sama-sama.”

            Sesak rasanya hati Nugrah, putranya dihadapkan pilihan sulit. “Tapi, kamu cinta sama Ayun kan?”    

            “Pak, ibu sama bapak lebih berharga dari apapun. Ayun pasti juga paham. Aku yakin, Ayun pasti paham.”

            Nugrah menyugar rambutnya, ia selalu melakukan hal itu setiap kali berpikir keras. Iyus mencoba meyakinkan sang ayah jika dia baik-baik saja.

            “Lagian, aku juga harus nunggu, Pak. Ning Farha masih dalam proses rehab. Dan masa hukumannya pun masih satu tahun lebih.”

            “Hukuman? Apa maksudnya?”

            “Mmm ... dia ... napi, Pak. Kasusnya apa aku juga nggak paham, tapi ya, denger-denegr dia cuman dijadikan alat sama orang lain.”

            Nugrah menoleh ke belakang. “Simbahmu memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia ngorbanin kamu buat perempuan seperti itu? Wis Le, kamu ikut saran bapak, kamu sekolah lagi aja. Alesan aja kamu mau belajar lagi buat bekal kamu bangun pondok impian simbahmu. Selama itu, nanti bapak sama ibu berusaha buat jinakin Mbahmu.”

            “Jinakin?” Iyus berjengit. Nugrah menyadari ia menggunakan kata-kata kurang pantas.

            “Kenapa nggak sekalian ditangkarkan aja Pak?” Tawa receh akhirnya terdengar. Mereka adalah dua orang dengan fisik yang mirip dan pola pikir yang sama,

            “Kamu sekolah di tempat bapak dulu.”

           Mata Iyus membulat. “Pak, tapi ... bapak serius? Tabunganku nggak akan cukup, Pak.”

            “Bapak yang akan biayain.”

            “Pak, aku memang anak biologis bapak tapi secara syariat, karena aku ada sebelum qobul bapak ucap, aku bukan tanggung jawab bapak. Nasabku aja ke ibu. Aku nggak berhak mewarisi apapun dari bapak, dan—“

            “Dan kamu anakku. Wis. Titik. Ibumu, istriku. Kamu sudah jadi anakku yang sah terlepas kamu bernasab dengan bapak atau tidak. Bapak mau nyekolahin kamu, bapak nggak mau kamu ditekan sama simbamu terus kayak apa yang simbahmu lakuin ke ibumu. Dan jangan khawatir soal ibumu, karena ibumu tanggung jawab bapak. Eyang pun pasti nggak akan tinggal diam. Dan, masalah Ayun, kalau memang dia jodohmu, nggak akan kemana. Kalau bukan, ya, pasti Allah gantikan dengan yang lebih baik. Ya?”

            Iyus mengangguk dan tersenyum. “Pak, aku bersyukur dan seneng banget jadi anak ibu dan bapak. Aku nggak pernah nyesel jadi anak ibu dan bapak. Walau aku terlahir nggak diharapkan, aku selalu berdoa, semoga aku bisa jadi anak yang membanggakan, buat bapak sama ibu.”

            Nugrah tak kuasa menahan haru, ia membelai kepala sang putra. “Bapak sayang kamu, Le. Sayaaang sekali,” ucap Nugrah.

            Rumi meregangkan tubuh dan membuka mata. “Udah sampai mana?’ tanyanya.

            Nugrah menoleh. “Eh, si cantik udah bangun. Sampai Klaten nih, kenapa? Mau mampir makan sop ayam Pak Min dulu?”

            Rumi mengerjapkan mata. “Boleh. Aku laper,” cicitnya.

            “Mas, mampir ke sop ayam Pak Min ya, istri saya mau makan dulu,” ucap Nugrah pada sang putra bak tengah bicara dengan sopirnya.

            “Baik Pak, nanti saya diajak juga nggak?” tanya Iyus. Ketiganya terkekeh sebelum melanjutkan obrolan hingga sampai di tempat tujuan mereka.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro