Part 27. Hari Kejepit Nasional
Meja kerja yang dua hari tak terjamah, kini kembali menjadi tempatnya beradu mencari nafkah. Ia terkejut saat si tengil tiba-tiba muncul.
"Ay, ay, tolong Ay," ringis Haikal.
"Kenapa?" Gadis itu menggeser kursi berodanya. Pemuda di depannya meringis memamerkan kakinya yang luka di bagian mata kaki.
"Ya Allah, Mas kok bisa berdarah gitu. Kenapa? Ke klinik aja ih."
Haikal menggeleng, ia menyerahkan kotak P3K yang diambil no dicurinya eh dipinjamnya dari ruangan sang kakak. "Tolong dong."
Ayun tak tega, ia membantu Haikal. Menginstruksikan sang pria duduk sedang dia berjongkok di bawah. Ia mengambil sapu tangannya dan membasahinya dengan air.
"Ay ... Pelan-pelan, hei," desah Haikal.
"Bentar ih, lanjutin enggak?"
"Iya, tapi pelan-pelan!"
Suara desah menahan sakit Haikal terdengar sesekali. "Ay ... Ayuuun, Ay! Aaah!"
Haikal dan Ayun tak tahu jika ada beberapa orang mengintip mereka. Tiga orang tepatnya. Tamara, sepupu Haikal, beserta dua rekan sedivisinya yang pagi itu akan menemui Abim di ruangan.
Tamara mengode dua orang lain untuk minggir. Ia merekam kejadian tersebut.
"Gila, pagi-pagi udah mesum di kantor," komentar salah satunya.
Saat direkam memang terlihat seolah Haikal dan Ayun tengah melakukan hal tak senonoh. Posisi Haikal yang duduk di kursi dan Ayun yang ada dibawah tertutup mejanya, mengundang fitnah. Terlebih erangan dan desahan Haikal yang menahan nyeri dari kaki yang tengah diobati Ayun semakin menggiring opini para pengintip menjadi-jadi.
Sayangnya, Tamara tak cukup punya hati. Ia mengunggah video dari sepupu sekaligus mantan kekasihnya itu ke laman sosial media.
[Coffee Mo*ning? Oops. Duetnya sama si atas kerudung bawah warung]
Unggahan itu sontak membuat beberapa rekan sekaligus keluarga Haikal pun kepo. Tak sampai sepuluh menit, sudah banyak komentar di sana. Dua orang yang menjadi sasaran video fitnah malah tak tahu menahu.
Haikal dengan kaki pincang keluar dari ruangan Ayun tiga menit setelah Tamara dan anteknya pergi dari balik pintu dengan senyum penuh kemenangan. Tamara begitu kesal dirinya diputuskan begitu saja oleh Haikal. Terlebih ketika Haikal mengejeknya dengan sebutan 'anak angkat cari tempat'.
Ya, Tamara memang hanya anak angkat dari kakak tertua Pradipta Dewangga. Haikal tahu betul jika Tamara hanya disuruh oleh sang ibu untuk menggoda Abim kakak Haikal agar tampu kekuasaan tak jatuh ke tangan lain.
Pihak Tamara begitu ingin menguasai kembali harta kakek Haikal dengan menggadang-gadang pernikahan antara Tamara dan Abim. Namun dengan tegas Abim menolak. Terlebih sekarang, hati pria itu terpaut pada Tasha, janda cantik klien bisnisnya.
Haikal yang baru berusaha untuk berkonsentrasi dengan pekerjaannya dikejutkan dengan kedatangan sang kakak ke ruangannya yang hanya berbatas sekat dengan ruangan sang kakak.
"Dek! Ini apa? Bunda geger dari tadi telpon kamu nggak diangkat! Kamu ngapain, Dek?"
Haikal melongo. "Apa sih, Kak?"
"Nih. Postingan entah dari siapa awalnya. Kamu ngapain sama Ayun?"
Haikal melihat ke ponsel kakaknya. Ia malah tertawa. "Dih kenapa jadi 1821. Gelo nih. Btw ganteng juga ya aku di candid begini."
Abim menjewer telinga adiknya. "Ini apa-apaan?"
Haikal begitu santai. "Cek aja CCTV hey, jan su'udzon. Kayak nggak tau Ayun aja. Nggak mungkin aku main sama dia. Dia yang nggak mungkin mau sama aku, sih."
Abim mengernyitkan dahi. Benar juga, kenapa tidak terpikir olehnya. Ayun terlihat bingung juga, ketika ia diminta untuk menghadap Abim.
"Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Ay, Ay, ada yang videoin kita tadi. Nih."
Ayun begidik melihat caption dan komentar di sana. "Astagfirullah, kok. Mas kok bisa? Aku kan cuman bantuin kamu, Mas!"
Haikal malah terbahak. "Udah, tenang aja. Aku bisa takedown itu. Gampang. Kak, duit dong. Biar di takedown sama Bang Y."
Abim mengembus napas. Lagi dan lagi, ia harus mengeluarkan kocek untuk meretas situs-situs atau hal-hal yang bisa membahayakan reputasi keluarganya. "Biar aku aja yang hubungi dia. Mending kamu konfirmasi di sosmedmu."
Ayun yang berdiri di sana menangis. Bagaimana tidak, ia mendapati orang-orang salah sangka dengannya. Meski wajahnya hanya terlihat samar. Namun, tetap saja, dia sudah dicap hina.
"Cengeng amat sih, tenang aja. Orang yang diserang aku kok, bukan kamu. Santai," ucap Haikal.
Ayun mengusap air matanya. "Mas bisa bilang gitu karena Mas orang berada. Terhormat. Bisa membungkam semua pakai uang. Orang pasti akan cepat lupa sama kejadian ini dengan pencitraan Mas nanti di kemudian hari. Tapi aku? Kalau sampai identitasku kebongkar, jadi apa aku? Aku yatim piatu dan miskin. Si hina akan semakin terhina."
Gadis itu segera pergi meninggalkan ruangan bosnya.
"Ay! Ayun!" panggil Haikal.
Abim mengamati dua orang itu. "Lebih baik kamu urus ini deh. Ayun pasti takut namanya ikut tercemar. Dia cewek, Dek. Apalagi, katamu dia mau nikah kan? Gimana kalau sampai keluarga calon suaminya tahu? Dia pasti takut."
Haikal mengembus napas. "Kak, aku lagi sakit. Nih. Nggak liat apa?"
"Salah sendiri, siapa yang gegayaan markirin motor pake stoppie segala? Nyungsruk kan?"
Haikal mencebik. "Ih, kakak. Aku bilangin Bunda ntar."
Abim menggeplak kepala sang adik. "Kapan sih kamu dewasa! Buruan sana lurusin semuanya."
Haikal akhirnya menurut. Ia tak mau kakaknya benar-benar marah. Karena tanpa uang jajan dan penghidupan dari sang kakak, jelas hidupnya akan hampa.
"Kapan sih gue lebih kaya dari kakak? Biar bisa gantian nyuruh-nyuruh dia," gumam Haikal.
****
Pagi ini Jogja sepertinya begitu cerah. Pukul tiga pagi tadi, Iyus mencari keberadaan orang tuanya. Ia mencarinya ke seluruh penjuru rumah hingga menemukan kedua orang tuanya tidur saling berpelukan di bawah naungan selimut dalam kondisi pintu kamar terkunci dari luar.
Rumi terlihat malu pada sang putra sementara Nugrah biasa saja. Mencoba untuk biasa saja, lebih tepatnya.
"Ayo makan dulu, matiin dulu laptopnya."
"Nanggung BU!" Keduanya kompak. Nugrah ternyata mengajak sang putra olahraga pagi. Olahraga otak, ber-coding ria.
Rumi mengembus napas. "Nggak bapak nggak anak, sama aja. Ya udah, aku makan sendiri," ketus Rumi sembari mendudukkan pantatnya ke atas kursi.
Nugrah melirik wanita itu sembari menggeser kursinya tanpa melepas laptop, sang putra melakukan hal yang sama. "Suapin, Bu," ucap keduanya.
Kali ini Rumi hanya bisa menggeleng kepala dan mendecak lidah. Tak hanya serupa fisiknya, tetapi serupa pula perangai mereka. Meski Rumi bersyukur, anaknya tumbuh sesempurna sang suami.
"Bapak mau pakai sambel nggak?"
"Dikit aja, Bu," ucap Nugrah.
"Mas mau pake juga nggak?" tanyanya pada Iyus.
"Aku, Bu? Aku mau juga. Tumben panggil Mas, biasanya juga Yus. Emang udah disiapin dedek ya buat aku?"
Rumi melotot, ia menjewer telinga sang putra. "Kalau ngomong jangan ngawur ih."
Nugrah terkekeh. "Emang kamu nggak malu, udah gede punya adek bayi?"
Iyus menggeleng. "Ngapain malu? Seru tahu, request adik cewek dong Pak. Pasti cantik deh, kayak Ibu."
Rumi salah tingkah, sementara suaminya terkekeh. "Ya Bapak usahain ya, Le. Kamu doain aja," celetuk sang ayah, membuat ibunya kini menyasar pria duplikat Iyus tersebut dengan sebuah cubitan di lengan.
"Aduh, sayang. Sakit Sayang!"
Iyus melirik kemesraan orang tuanya. Ia begitu senang. Akhirnya, angan-angannya selama ini terwujud. Memiliki orang tua yang lengkap dan keluarga yang hangat, bahagia.
"Yeaaaaaah!" pekik Iyus tiba-tiba.
Sementara di sisi lain Nugrah mengacak rambutnya kesal. Ia kalah dari sang putra. "Kenapa? Kalah?" tanya Rumi sembari menyuapkan sesendok nasi sayur pada suaminya. Nugrah mengangguk lesu dan Iyus tertawa.
"Asik, asik, mana taruhannya. Mana taruhannya!" Iyus menodongkan tangannya.
Sang ayah akhirnya mengambil dompet dan mengambil semua uang di sana. Kemudian menyerahkan pada sang putra. Mata Iyus berbinar. "Besok lagi ya, Pak. Sering-sering aja."
Nugrah mendengkus. "Iyo, bapak kere, kamu yang dadakan jadi sultan."
Iyus tertawa. "Bu, nanti kita bagi dua."
Rumi menggeleng. "Nggak usah, ibu nggak butuh uang. Ibu masih punya simpenan."
Nugrah menerima suapan sang istri. "Ibu tanggung jawab Bapak. Lagian, butuhnya emang bukan nafkah uang. Tapi yang lain," canda sang pria dan lagi-lagi Rumi maju tangan.
"Ih, cubit-cubit terus KDRT kamu," protes Rumi.
"Ini masih mending Pak, aku pengennya malah bungkam mulutmu."
Nugrah menelan makanannya. "Yo sebentar, nanti lagi. Habis makan, baru bungkam mulut. Butuh tenaga."
Rumi melotot sementara Iyus menutup telinga. "Aah, aku kerja dulu ya, Pak, Bu. Ada obyekan ini. Nanti habis itu mau ke rumah simbah. Dari tadi pakde telpon, nyuruh aku ke sana."
Iyus segera mengecup pipi sang ibu dan ayahnya bergantian. Berpamitan layaknya anak-anak lain pada orang tua mereka.
"Yus, kamu kerja di mana?" tanya Rumi memastikan.
"Ini mau tak kerjain di sini dulu kok, Bu. Mumpung gratis wifi-nya. Pak Bos, numpang ya. Ada orderan take down gosip."
"Iya. Invoicenya besok tak kirim ya. Kamu yang bayar," jawab Nugrah santai.
"Allahu Akbar, bapakku kaya tapi kok pelit."
Ketiganya tertawa. Iyus menghilang di kamar yang tadi malam ia pakai, berkutat dengan laptop dan tetek bengeknya, menerobos situs-situs yang harus ia retas, demi membantu kliennya. Hanya hal-hal kecil saja, yang bukan termasuk kriminal. Toh ia sangat percaya dengan klien yang ia ketahui bernama Abimanyu tersebut. Seorang pengusaha muda di bidang konstruksi yang sudah dua tahun ini menjadi rekan kerjanya meski tak pernah saling jumpa.
Mereka bertemu dari kenalan yang mengenalkan lewat dunia maya. Begitulah pekerjaan sampingan Iyus yang terselubung. Selama bukan untuk hal kriminal, Iyus mau membantu kliennya. Bayarannya? Bisa menambah tabungan masa depannya meski tak ada apa-apanya dibanding penghasilan sang ayah.
****
Motor matic Iyus kini terparkir di rumah bernuansa islami yang di dalam pekarangannya terdapat sebuah musala berukuran 10m x 9m. Pria bersorban itu sudah menunggunya.
Sejak sibuk di keluarga sang ayah, ia enggan melangkahkan kaki ke sana. Tekadnya sudah bulat, ia merangkai kata menolak perjodohannya dengan Ning Farhana.
"Ibumu mana?" Pertanyaan itu diterima Iyus ketika ia mencium tangan sang pria.
"Sama Bapak, di rumah, Mbah."
"Bapak? Bapak sopo?" tanya sang pria dengan nada tinggi.
"Nggih bapakku, Mbah. Pak Anugrah Albirru Aji Jati Kusumaningrat."
Pria itu menggebrak mejanya. "Kamu bohong kan?"
"Astagfirullah, Simbah ini kenapa? Mbah, harusnya Simbah seneng kalau bapak sama ibu kembali bersama. Mereka loh bahagia. Aku juga mau punya adik, kok."
Mendengar ucapan sang cucu pria itu semakin berang. "Anterin simbah ke sana! Anterin sinbah ketemu mereka! Mereka harus cerai! Nugrah nggak pantes kembali ke Rumi. Nggak bisa. Nggak!"
Iyus mengembus napas beriring istigfar.
"Abah. Lenggah dulu. Lenggah, istigfar." Sosok wanita ayu mirip ibu Ayun muncul dan berusaha mendudukkan kembali pria tua itu.
"Bulik," sapa Iyus sembari mencium tangan sang tante.
"Yus, sehat kamu?" sapanya lembut sembari tersenyum.
"Nggih, alhamdulillah."
Keduanya tak terpaut jauh usianya. Sang tante hanya berbeda empat tahun dengan dirinya. Di saat melahirkan tantenya itu, nenek Iyus dari pihak ibu, meninggal.
"Mbah, kenapa simbah nggak suka kalau bapak sama ibu bahagia?"
"Bapakmu itu orang nggak paham agama. Bisa apa dia? Membimbing ibumu? Membimbing apanya, dia malah merusak ibumu!"
"Mbah ... Bapak itu orang baik. Mungkin memang ilmunya tak seperti kita, karena kita memang besar di pondok. Tapi bukan berarti bapak nggak beradab."
"Terus, memperkosa anak gadis orang, itu kamu bilang beradab?" Pria sepuh itu berang. Putri bungsunya terduduk di lantai mencoba menenangkan sang ayah.
"Mbah, semua itu kan memang takdir. Simbah mau nggugat? Gugat ke Penciptanya. Yang penting bapak kan sudah membuktikan, kesetiaan bapak selama ini. Tanggung jawab bapak ke aku sama ibu. Aku udah tahu semuanya Mbah. Justru simbah yang menjebloskan ibu ke rehabilitasi kan? Karena simbah maksa ibu gugat cerai bapak tapi ibu nggak mau sampai ibu depresi?"
Satu tamparan mendarat di pipi Iyus. "Liat! Liat! Darah liar Nugrah mengalir di dirimu. Liat! Nggak punya sopan santun kamu berani bicara begitu pada Simbahmu!"
Iyus berusaha menahan diri. Kewarasannya tengah diuji. "Mbah, tolong restui bapak sama ibu. Iyus mohon. Mereka bahagia Mbah. Jangan pisahkan mereka lagi."
Pemuda itu berlutut memeluk kaki sang kakek. Pria sepuh tadi diam sejenak.
"Simbah akan biarkan orangtuamu bersama. Tapi, kamu harus nuruti simbah."
Iyus mendongak. "Iyus janji akan nurut sama simbah asal simbah nggak ngusik Bapak sama Ibu lagi."
Pria itu mengangguk. "Besok, ikut simbah. Lamar Ning Farhana. Nikahi dia. Jadi menantu Kyai Sulaiman. Dan, bangun TPQ ini menjadi pondok, seperti yang dibangun Simbah buyutmu dulu."
Iyus menatap sang kakek tak percaya. "Mbah, Iyus sudah punya calon."
"Kamu pilih sendiri, Simbah pisahkan ibumu dari bajingan itu, atau kamu nikahi Ning Farhana."
Simalakama, begitulah kini hal yang tengah terjadi menimpa pemuda tampan yang baru saja menguntai bahagia, berharap dapat bersanding dengan gadis pujaannya, Nusayba Qurata'ayun.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaa
❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro