Part 26. Can't Lie
Rombongan Zulham, Renny, Romo Sam, dan Ayun sudah bertolak ke Solo. Sementara itu, di kediaman keluarga Aji Jati, masih terlihat seorang wanita yang sibuk menghias pernak-pernik pernikahan yang rencananya akan dibawa besok sore ke Solo sebagai hantaran di hari Jum’at pagi.
“Dek,” panggil Nugrah. Rumi mendongak. “Dalem,” jawabnya.
“Air panasnya udah aku siapin, mandi dulu sana.”
Rumi menggeleng. “Ini udah selesai kok, nanti aja di rumah mandinya.”
Iyus yang tengah murojaah di dekat sang ibu melirik ke dua orang tuanya. Nugrah mengulurkan handuk. “Ayo buruan, udah jam setengah delapan loh. Kalau mandi kemaleman nanti nggak bagus. Sana.”
“Nggak mau. Aku mau pulang habis ini,” tolak Rumi.
Nugrah hanya bisa mengembus napas. Ia akhirnya menyerah, mengambil handuknya lagi dan beranjak pergi. Namun, kakinya sengaja menyenggol gelas berisi teh di samping Rumi yang duduk di karpet. Basah sudah bagian bawah kanan gamis Rumi terkena teh. Si pelaku pura-pura tidak tahu.
“Astagfirullah, Mas Nugi!”
Nugrah tersenyum jahil sebelum mengubah ekspresi pura-pura bodohnya. “Kenapa?”
Rumi, akhirnya berdiri setelah mengambil gelas yang terguling dan merebut handuk dari bahu Nugrah. “Heh, katanya nggak mandi?” goda Nugrah. Rumi hanya mencebik dan menabraknya sembari berjalan ke kamar mandi. Nugrah membayangkan jika Rumi akan terkejut dan senang melihat apa yang sudah ia persiapkan.
Percaya atau tidak, air di bathtub itu begitu wangi. Belum lagi tambahan flower petal di sana.
“Mas! Itu kenapa banyak bunganya?” tanya Rumi dengan wajah pucat.
Nugrah yang mengira Rumi akan tersenyum senang dengan kejutannya, justru bingung. Ekspresi istrinya jauh dari dugaan. “Loh, kenapa? Kamu bisa berendam di sana. Udah aku siapin semuanya. Itu semua tadi aku beli, dibantu Ayun sama Renny milihnya.”
“Ih! Tapi itu kenapa malah kayak mau mandiin mayat! Serem tau! Baunya begitu, iiih!”
Nugrah menepuk jidat. “Dek, itu tuh biar wangi, biar kamu nyaman. Gimana, sih.”
“Tapi itu kayak ngundang setan. Aku takut,” rengek Rumi.
“Udah sana buruan mandi, aku tungguin di sini.”
“Bener?”
“Iya bener.”
“Awas, jangan pergi-pergi ya?”
Nugrah terkekeh. “Iya, apa mau sekalian aku temeni di dalem?”
Rumi melotot sebelum ia melenggang masuk. Baru semenit menutup pintu, Rumi sudah membukanya. “Mas?” Ia memastikan Nugrah di sana.
Pria itu ternyata masih berdiri di tempat tadi sembari memegang ponselnya. “Hmm?”
Mendapati sang suami masih di sana, Rumi lega. Ia pun kembali masuk. Perasaan takutnya hilang seketika saat tubuhnya terjamah air hangat nan harum yang sudah disiapkan oleh Nugrah. Ia begitu senang.
“Ya Allah, kenapa Mas Nugi begitu baik? Seolah ia begitu peduli pada kami?”
“Dek?” Ketukan dan panggilan terdengar. Rumi tersadar dari lamunannya. Baru sebentar rasanya ia bermain-main dengan air dan kelopak bunga di sana. “Dalem, Mas?”
“Jangan lama-lama, nanti masuk angin. Udah seperempat jam loh.” Rumi terkejut, seperempat jam? Benarkah? Ia bahkan tak sadar sudah bermain air cukup lama. Segera ia kenakan kembali baju yang tadi ia pakai. Ya, namanya juga tidak berada di rumah sendiri, tentu tidak ada persiapan, mengganti baju.
Rumi terkejut saat mendapati Nugrah menyerahkan tas kertas padanya. “Ganti bajumu.”
“Nanti aja di rumah.”
Nugrah mengembus napas. “Liat itu, Yusuf udah tidur. Tega kamu bangunin dia?” tanya sang pria sembari menunjuk ke kamar yang kemarin dipakai oleh Renny dan Ayun. Rumi segera mendekat ke ruangan yang ditunjuk sang suami. Sang putra tidur dengan pulas.
“Dia capek pasti. Kamu tidur sini aja.”
“Mas, tapi ....”
“Ya udah kalau mau pulang, sana pulang sendiri. Aku juga ngantuk. Aku tidur di kamar Romo, kalau kamu nekat mau pulang silakan. Kalau kamu mau tidur di sini, tidur di situ. Kamarku.”
Nugrah menunjuk ke kamar yang pintunya terbuka di dekat tangga menuju lantai dua, ruang kerjanya. Rumi berusaha membangunkan Iyus, tetapi usahanya gagal. Iyus hanya menggumamkan sesuatu sembari memposisikan kaki panjangnya melintang di tengah kasur.
Rumi mengembus napas, tidak ada pilihan baginya. Ia pun akhirnya melangkah ke kamar yang ditunjuk oleh Nugrah setelah memastikan suara pintu tertutup terdengar dari kamar di sisi utara. Wanita itu pun segera menutup pintu dan menekan kunci di bulatan handle-nya. Segera ia mengganti baju, meski agak was-was karena ia berganti di tempat asing. Ia memadamkan lampu dan bersembunyi di pojok ruangan dekat lemari.
“Ini kembar sama punya Dek Renny?” gumam Rumi saat mengagumi daster baru yang diberikan oleh Nugrah. Wanita itu menyisir rambutnya yang setengah basah. Ia masih merasakan aroma bunga kenanga, bercampur mawar, dan entah parfum apa yang dicampurkan ke air tadi. Begitu wangi meski sudah ia bilas tujuh kali.
Suara handle pintu berputar terdengar. Rumi seketika beranjak dari pinggir ranjang. Nugrah muncul di ambang pintu. “Oh, nggak jadi pulang? Oke kalau gitu. Kuncinya itu rusak. Ini harus masukin kunci kayak gininya dulu baru bisa kekunci.”
Rumi menunduk, ia menyampirkan pasminanya cepat. “Iya. Ya udah buruan pergi.”
“Ini loh aku kasih tau caranya biar kamu nggak kekunci. Gini nih, masukin kuncinya dulu, terus tekan tombol handlenya ini. Kalau ada kuncinya bisa langsung klik. Tapi kalau Cuma ditekan ini tanpa di kasih kunci dulu di holenya nggak bisa. Ngerti?”
Rumi akhirnya menggeleng. “Gimana?” Ia jelas harus tahu, dari pada ia terkunci. Nugrah mempraktekkannya. “Nih, kayak gini. Masukin kuncinya, terus tutup, nah ini baru ditekan. Tuh, kekunci kan? Kalau buka, baru pakai kunci manualnya. Gampang.”
Rumi mengangguk. Nugrah pun mengacungkan jempol. “Aku ambil sweater. Kamar Romo dingin, kebanyakan ventilasi. Mana ujan lagi.” Pria itu hanya bergumam tanpa membutuhkan respon dari Rumi.
“Mas, terus bukanya gimana?” tanya Rumi saat Nugrah mencari sweater rajut kesayangannya di dalam lemari.
“Itu puter aja kuncinya, gampang kalau buka tuh.”
“Tapi ...kuncinya di luar, Mas.”
Ucapan Rumi membuat sang pria sadar akan kebodohannya. Ia segera mendekat ke arah pintu, sebelum menepuk jidatnya. Rumi paham apa yang terjadi. “Ih, jangan bilang kita kekunci di sini?”
Wajah Rumi sudah menunjukkan betapa kesalnya dia pada sang suami. “Tu-tunngu ... jangan marah, oke. Aku telpon Yusuf dulu.” Nugrah merogoh saku celananya, ia seketika ingat, ponselnya ia letakkan di meja lampu di kamar sang ayah.
“Duh, hapeku di kamar Romo. Pake hapemu, telpon Yusuf.”
Rumi mendesah kesal. “Aku nggak punya hape, Mas! Yus! Yusuuuuf! Bukain pintu! Yuuuus!”
Rumi menggedor pintu. Namun, sang putra sudah terbuai mimpi. Terlebih derasnya hujan dan petir yang menggelegar menulikan rungu si pemuda. Akhirnya setelah kelelahan, Rumi hanya bisa merosot di depan pintu, terduduk sementara Nugrah tak berani berkata apapun. Ia takut, hal ini diluar dugaannya. Bukan rekayasa. Benar, bukan rekayasa. Ia memang menginginkan Rumi kembali tapi tidak dengan cara seperti ini.
“Jangan duduk di situ dingin, maaf, aku salah,” ucap Nugrah pada akhirnya.
Rumi mengembus napas, ia kemudian menggeleng. “Bukan salahmu, Mas. Aku yang datang ke sini, aku yang sengaja ke sini, tanpa undanganmu. Aku-lah yang salah. Bukan salahmu.”
Nugrah tak menyangka, si keras kepala Rumi, mengucapkan hal itu. Selama ini, ia hanya dengar jika wanita itu terus menyumpah serapah pada dirinya. Menyalahkan semua yang terjadi adalah kesalahannya.
“Dek ....” Sang pria ragu melanjutkan kalimatnya.
Rumi mengembus napas. “Kita bukan anak enam belas dan tujuh belas tahun lagi. Kita sudah tua. Sudahlah, waktu hidupku juga tidak lama. Aku nggak mau memperpanjang masalah ini. Mending Mas tidur aja, setidaknya kita masih sah kan? Tidak menyalahi aturan apapun.”
Rumi seolah menjadi orang lain di mata Nugrah. Betapa Rumi-nya kini terlihat begitu dewasa. Jauh dari Rumi yang kekanakan dan uring-uringan setiap kali melihatnya. Nugrah mengamati gerak-gerik istrinya yang perlahan naik ke ranjang sebelah kiri. Ia menata guling dan bantal sedemikian rupa, seperti tengah membangun tembok berlin.
“Aku bisa tidur di—“
“Kamu udah empat puluh lebih sekarang, nggak usah sok-sokan tidur di lantai. Buruan tidur, besok kamu kerja kan? Subuh nanti aku pulang.”
Nugrah akhirnya ikut naik ke atas ranjang sebelah kanan. Mereka saling memunggungi. Tanpa kata, keduanya berusaha memejamkan mata. Namun, sia-sia. Meski begitu, Rumi tetap tenang, seolah tertidur, meski rasa was was menyelimutinya.
“Dek?” Setengah berbisik, suara berat itu terdengar. Rumi diam.
“Udah tidur ya?” Retoris, Nugrah berujar. Pria itu akhirnya mengubah posisi menjadi terlentang. “Aku kayak ngimpi rasanya. Seharian tadi, aku kayak mimpi. Bisa ketemu kamu. Jalan-jalan sama kamu, sama anak kita. Hal yang sudah dua puluh tahun aku jadikan khayalanku sebelum tidur. Sekarang tercapai.”
Rumi mendengar jelas semua itu. Ia berusaha tetap diam. “Dua puluh tahun aku menantikan semua ini. Maaf, dulu aku pergi begitu saja. ninggalin kamu sama Yusuf. Aku ... aku pikir itu hal terbaik tetapi nyatanya aku salah. Harusnya aku jelasin semua rencanaku dari awal. Dulu, Eyangku bilang kalau aku mau nuruti kata Eyang, beliau mau menerima kenyataan jika aku dan kamu sudah sah menikah dan bahagia dengan anak kita, tapi nyata, beliau justru memisahkan kita. Entah apa yang beliau lakukan sampai membuat Abahmu setuju memisahkan Yusuf denganmu dan mengirimmu ke panti rehabilitasi. Aku ... aku minta maaf. Semua ini pasti berat buat kamu, Dek.”
Nugrah tak bisa menahan air mata harunya, ia cepat-cepat menghapus lelehan rasa di pipi. “Aku nggak berani bilang aku mau kita tetap bersama sampai pada akhirnya waktu hidup kita habis, nanti. Tapi, aku pikir, merelakanmu bahagia dengan hidupmu sendiri, akan lebih baik. Nyatanya, sumber kebahagiaanku ya hanya kamu sama Yusuf.”
“Aku janji, aku akan nuruti maumu. Tapi tolong, beri aku waktu sedikit lebih lama untuk setidaknya membayar kebodohanku dulu. Aku ingin Yusuf punya ingatan tentang hidup bahagia dengan orang tuanya, dalam keluarga yang utuh. Dan, aku ingin kamu punya sedikit memori jika si laki-laki bejat ini pernah setidaknya sekali dalam hidupmu membuatmu tersenyum bahagia. Aku mohon, kasih aku waktu sedikit lebih lama.”
Rumi tak kuasa menahan lelehan air matanya. ia merasakan puncak kepalanya dibelai dengan lembut. “Aku cinta sama kamu, Arumi. Dulu, sekarang, dan sampai kapanpun rasa ini akan tetap sama.”
Salahkan Rumi jika dia terlalu murahan. Nyatanya ia segera membalik tubuhnya dan mengenyahkan guling di belakang punggungnya tadi. “Aku mau tidur, kamu berisik banget sih,” ketusnya.
Nugrah terkejut, terlebih ketika guling pembatas itu kini menimpuk wajah tampannya. “Kamu belum tidur?”
“Aku emang udah hampir empat puluh, tapi telingaku masih berfungsi dengan baik.” Rumi mengusap bekas tangisnya.
Nugrah terkekeh, ia bak seorang kakak yang tengah membiarkan sang adik meluapkan kekesalan, memukulinya dengan guling. “Aku benci sama kamu, MAs Nugi! Aku benci sama kamu! Benci banget! Aku benci kenapa kamu seenaknya datang dan pergi di hidupku! Aku benci kenapa kamu bisa seenaknya muncul lagi di hidupku setelah sekian lama kamu pergi. Aku benci kenapa ... kenapa ....” Rumi kini bak anak kecil menangis hingga sesegukan dan tak berhasil menyelesaikan ucapannya.
Nugrah melempar gulingnya ke sembarang tempat dan meraih tubuh sang istri. “Silakan kamu benci aku, wajar kamu benci sama aku. Jangankan kamu, aku pun benci sama diriku sendiri. Aku benci sama laki-laki bejat, brengsek, bajingan ini. Aku benci sama diriku sendiri.”
Rumi menangis di pelukan sang suami. “Sayang, tolong, kasih aku waktu. Sedikit lebih lama untuk memberikan kehidupan keluarga sempurna untuk Yusuf. Ya? Aku mohon. Kita tahan ego masing-masing dulu, demi Yusuf. Aku akan berusaha yang terbaik, biar kesakitan yang kita toreh di hidup putra kita,sedikit terobati.”
Wanita itu mengangguk. Nugrah menghirup aroma kenanga di rambut istrinya. Ia mengecupnya berkali-kali. Andai ini mimpi, ia rela tak pernah bangun lagi.
“Aku takut sama Abah, Mas. Abah pasti bakal nentang kita ... kamu tau gimana kerasnya abahku,” cicit Rumi.
Nugrah tersenyum, ia mengusap air mata istrinya. Ditangkupnya wajah yang masih ayu itu. “Tenang. Aku suamimu. Aku lebih berhak atasmu. Siapapun yang berusaha merusak rumah tangga kita, masuk ke golong takhbib kan? Meski bukan sebagai pelakor atau pebinor. Dan abah harusnya cukup tahu perihal seperti itu.”
Rumi menggigit bibir, ia ragu tetapi berusaha kembali setuju dengan pemikiran Nugrah. Demi Iyus. Demi putra mereka. Nugrah mengusap pipi sang istri lagi dan lagi sebelum keduanya bertatapan. Entah di detik keberapa, dua orang itu hanyut dalam romantisme masa lalu. Rumi awalnya menolak sentuhan dari benda berbalut kumis tipis milik Nugrah, tetapi cecapan itu, sentuhan itu, semuanya tak dapat ia tolak.
Dinginnya malam Jogja beriring hujan di luar sana, tak berbanding lurus dengan panasnya ungakpan cinta yang baranya sempat terkubur sekian lama. Keduanya, melepaskan seluruh kerinduan di sana. Meski Iyus menjadi tumbal mereka. Ya, demi Iyus, konon. Nyatanya, mereka hanya gengsi mengatakan jika masih saling cinta dan mengharapkan semua kembali seperti sedia kala. Meski keduanya bersatu karena hal diluar kendali, nayatanya Tuhan mengikat mereka hingga ke hati.
Mudah bagi seorang Nugrah dengan segala pencapaiannya mencari pasangan pengganti Rumi. Namun, ia tak melakukannya. Kenapa? Karena baginya ia hanya butuh satu permaisuri, tak butuh selir. Tak ada wanita yang bisa menaklukkannya selain Arumi Tabriza, ibu dari putra mereka Yusuf Tabriz Albirru.
Guling dan bantal yang tadi ditata menjulang, kini hilang dari peredaran. Mereka terpencar ke sana ke mari. Mungkin jika bisa berbicara, bantal dan guling akan bertanya kenapa mereka harus ditata tadi padahal sekarang nyatanya, Rumi tak membutuhkan bantal untuk melanjutkan tidur pasca kembali dari liburan ke Surga bersama Nugrah. Wanita itu terlelap di lengan kokoh sang pria yang kini bisa tidur sembari tersenyum lebar dan mendekap erat istrinya.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Maaf untuk part ini agak dewasa yesssss
😣😣😣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro