Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25. Jealousy

'Beginikah rasanya memiliki keluarga bahagia? Kakek, orang tua, paman, bibi, begitu lengkap. Tertawa bersama, bercerita tentang segala macam hal, sepele tetapi sangat seru. Bukan hanya di keluarga ini, di keluarga lain pun aku juga melihat hal yang sama ketika orang tua, kakak, adik, semua saling berbagi cerita. Menikmati kehidupan mereka sebagai keluarga, utuh.Allah seperti tengah menunjukkan padaku, kebesaran-Nya. Keberagaman cerita yang tidak aku punya, tetapi ada di luar sana. Aku tidak iri, aku tidak dengki. Justru aku senang, bertambah ilmu. Jika diluar sana, ada keluarga utuh nan bahagia, tak seperti gambaran keluarga yang terjadi dalam hidupku. Yang bahkan tak ingat bagaimana rupa ayah dan ibuku.'

Sebuah bab diunggah Ayun, menyatakan rasa hatinya. Ia menyendiri, di salah satu sudut, melihat ke arah Renny dan Zulham yang tengah tersenyum bahagia dan membahas sesuatu dengan Iyus dan dua orang tua sang pemuda.

"Kamu kenapa?" tanya Romo Sam saat mendapati Ayun melihat kebersamaan putra-putri dan cucunya dengan air muka yang aneh.

"Eh ... mmm ... nggak kok, Eyang. Saya seneng, Mas Yus bahagia. Keluarganya lengkap." Suara Ayun seperti tengah tercekat.

"Nduk, kalau boleh tahu, sejak kapan orang tuamu meninggal?" tanya Romo Sam.

"Kalau ibu sejak saya bayi, kalau ayah, pas saya umur empat." Entah kenapa Ayun tak kuasa menahan tangisnya. Ia tidak iri, tidak. Hanya saja ia terharu, pada akhirnya Iyus dapat berjumpa dengan kedua orang tuanya. Romo Sam mengelus kepala gadis berjilbab itu.

"Cup ... cup ... kamu nggak usah sedih. Allah memilihmu terlahir menjadi yatim piatu sejak kecil karena Allah tahu kamu kuat."

Ayun mengangguk-angguk. "Nggih, Eyang." Lirih Ayun menjawab, segera ia menghapus air matanya.

Suara dering ponselnya terdengar. Ayun merogoh benda itu dari tas kecilnya. Nama Haikal tertera di sana.

"Heh, cengeng."

"Apaan sih, kok telpon-telpon ngatain?"

"Mewek kan, kamu? Mewek kan?"

"Apaan sih, enggak. Kamu kenapa Mas?"

Ayun sedikit menggeser duduknya, agar tak mengganggu Romo Sam yang tengah melihat ke sekeliling Mall.

"Kamu kencan sama kakek-kakek?"

Ayun terdiam, ia kemudian celingukan. "Mas liat aku? Mas di Amplaz juga?"

"Cie, anak Solo tahu Amplaz juga. kamu ngapain kencan sama kakek-kakek? Postinganmu mellow pula hari ini. Iri sama aku yang lagi jalan-jalan sama ayah sama bunda?"

"Mas, pede amat sih. Kamu di mana?"

"Di hatimu." Saat mendengar kata itu ia dikejutkan dengan lemparan sebuah boneka berbentuk bola. Boneka itu tergeletak di kaki Ayun pasca mengenai sang dara.

"Astagfirullah," pekik Ayun. Reaksi Ayun mengundang perhatian Iyus yang tadi tengah membahas sesuatu dengan ayah dan omnya di outlet dekat sang kakek serta Ayun menunggu.

Si tersangka pelemparan meringis. "Goool!" serunya.

Ayun seketika emosi, ia mengambil boneka itu dan melempar ke arah pemuda yang mengisenginya. "Ih, kira-kira dong. Sakit tau!" protes Ayun. Haikal terkekeh. "Salah sendiri, ditelponin dari kemarin nggak mau ngangkat. Ngeselin euy, aku curhat panjang eh dikacangin."

Ayun mendengkus. "Bisa nggak sih nggak berisik sehari aja? Lama-lama aku blok nomermu," ketus Ayun.

Iyus menatap kedua orang itu dengan pandangan tak suka. Nugrah dan Zulham mengikuti arah pandang sang pemuda.

"Haikal?" gumam Zulham.

Ayun terlihat adu mulut dengan Haikal. Iyus merasa ada hal tak biasa dengan sang dara. Ayun bukanlah orang yang mau berbicara lama apalagi marah-marah pada seseorang seperti itu. Sementara yang dimarahin pun malah terus menggoda dengan melempari Ayun bonekanya beberapa kali. "Ngamuk euy, ngamuk," ejek Haikal saat mendengar Ayun menyeramahinya panjang lebar.

"Ngeselin banget sih kamu, asli deh. Udah dibilang aku itu sibuk. Lagian, ngapain juga libur-libur ngerusuh."

Haikal hampir melempar boneka lagi ke arah Ayun saat Iyus menarik tangan sang dara. "Siapa?' tanya Iyus dengan nada rendah penuh penekanan. Air mukanya tak bersahabat.

"I-ini ... ini temen kerjaku, adiknya bosku, Mas. Mas Haikal namanya." Ayun menjelaskan.

Haikal menaikkan satu alis. "Oh pawangnya Ay ay?"

"Dia bukan hewan dan saya bukan pawang."

Haikal terkekeh. "Santai Bro, nggak usah ngegas. Aku sama Ayun itu temenan."

"Ada batasan pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi nanti ketika sudah menikah, nanti."

Ayun mencoba melerai mereka. "Hei udah dong, udah. Mas Haikal ini memang biasa main-main gitu kok, Mas. Dia nggak jahat kok."

"Pawang lu serem, Yun. Takut, gue."

"Mas sih, usil mulu. Udah mending kalian kenalan. Oke? Mas Haikal, ini Mas Yusuf. Dan Mas Yusuf, ini Mas Haikal. Kalian berdua sama-sama Masnya aku, temen baik aku. Saudaraku. Oke? So, nggak boleh saling ketus gini. Ya?" ucap Ayun bak mendamaikan anak kecil.

Iyus tak suka gadis incarannya dekat dengan yang lain. Bukankah itu hal manusiawi? Zulham ikut menengahi.

"Hei, Haikal? Kamu di sini juga?"

"Eh, Om dokter. Iya, pulang kampung. Sama bunda sama ayah."

Nugrah yang ikut menyusul, merangkul putranya. Ia paham, sang putra tengah cemburu, sementara Ayun diam di belakang Iyus. "Yun, sana susul ibu sama Mbak Renny."

"Nggih, Om," ucap Ayun sembari berjalan ke arah outlet tempat di mana ibu Iyus dan sang kakak sepupu berada. Dua wanita itu tengah memilih-milih baju dan beberapa barang lain di sana. Tak lama, Iyus menyusulnya.

Ayun melirik ke arah dimana Haikal berada tadi. "Ngapain?" tanya Iyus agak ketus. Ayun menggeleng. "Enggak, itu ngeliat baju di patung. Bagus ya."

"Baju? Kebaya ini? Kamu suka? Tapi itu buat nikahan," sahut Iyus.

"Ya emang kalau suka nggak boleh?"

Iyus menahan langkah Ayun dengan mencekal tangan sang dara yang berniat menjauh. "Dek."

"Dalem," jawab Ayun. Iyus terlihat sedikit gugup tetapi dia akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Kamu mau nikah sama aku?"

"Mas, kamu ini kenapa?"

"Aku ... aku nggak mau buang waktu, aku mau nekat. Aku mau nikahin kamu. Kamu mau?" tanyanya.

Ayun tertegun. Renny menyenggol sang kakak ipar. Rumi ternyata juga mendengar ucapan sang putra. "Aku serius," lanjtu Iyus.

"Kamu mau, kan?" tanyanya menuntut.

Ayun menghempas tangan Iyus. "Aku nggak berhak atas diriku sendiri, Mas. Silakan tanya ke simbahku. Dan, atas ijin orang tuamu juga keluarga besarmu tentunya. Pertimbangkan semuanya dulu. Aku nggak mau keputusan tergesamu ini jadi boomerang buat kita. Pernikahan bukan hal sementara yang bisa dipermainkan. Pernikahan, buatku hal sakral yang hanya akan aku lakukan sekali seumur hidupku. Tolong, pikirkan lagi baik-baik. Terlebih, simbahmu sudah memilihkan jodoh terbaik buatmu. Pertimbangkan dulu semuanya." "Ayun, ini hidupku. Aku yang berhak menentukan. Toh, ibu nggak maksa aku. Aku yakin ibu dan bapak ada dipihak kita."

"Kalaupun begitu, kita butuh waktu untuk mengurus segala keperluan pernikahan. Pembahasan panjang tentang langkah ke depannya."

Iyus menatap Ayun. "Aku siap dengan semua itu. Semuanya. Aku siap."

Bagi Ayun, Iyus terlalau tergesa-gesa. Ia takut, semua ini hanyalah cara untuk Iyus melarikan diri dari perjodohan yang tak ia inginkan. Rumi yang sudah selesai menemani Renny di kasir, melipir, mendekati sang suami.

"Anakmu, ngelamar anak gadis orang di Mall. Kamu mau gimana, Mas? Abah jodohin Yusuf sama putri Kyai Sulaiman."

Nugrah melepas kacamatanya, menyugar rambut yang beberapa sudah mulai beruban itu. "Biar dia menentukan jalan hidupnya sendiri. Aku yang akan menghadapi Abah. Kamu tenang aja, ya?"

Pria itu merangkulkan tangan pada bahu sang wanita, sementara Zulham terlihat asik mengobrol dengan Haikal yang masih di sana dengan orang tuanya. Ayah Haikal ternyata pasien Zulham, itulah kenapa mereka saling kenal.

"Kalau memang Yusuf mau, besok pas nikahan Zul, dia bisa nikah juga, sekalian. Dari pada mereka saling pancing gitu, bahaya, nanti. Tinggal kamu gimana? Kamu restuin mereka enggak?"

Rumi berusaha menyingkirkan tangan Nugrah tetapi ia melirik ayah mertuanya yang tersenyum melihat kemesraan mereka. Ia pun mengurungkan niat, pasrah menerima perlakuan Nugrah. "Aku sih setuju aja, Ayun juga anak baik. Saleha. Apalagi yang harus dicari? Biarpun dia yatim piatu, tapi dia tumbuh dengan baik. Sangat baik."

"Yaudah nanti kita bahas sama Yusuf, kalau mau biar besok sekalian kita lamarkan. Kalau bisa kita nikahkan. Tapi, kalau Yusuf mau bersabar sedikit, ya akan lebih baik kalau urus segala administrasinya sekalian. Jadi sah di mata agama dan negara. Kalau dia udah ngebet ya sah secara agama dulu nggak apa-apa, kan?"

Rumi mengangguk. Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk sang putra.

***

Menapakkan langkah kembali ke kampung halaman setelah dua hari melancong, membuat Ayun melepas rindu dengan debu-debu di kasurnya. "Kangen kalian,"gumam Ayun sembari bergulung-gulung di atas tempat tidur yang dua hari semalam tak ia jamah. Sang kakek pun terlihat begitu girang meyambut kedatangannya. Belum pernah mereka berpisah lama, hanya sekali ketika sang kakek naik haji lima belas tahun lalu.

"Nduk, kamu kenal sama ponakannya Mas Zul?"

Suara khas perokok berat terdengar di telinga Ayun. Gadis itu segera memperbaiki posisi. "Iya Mbah, dulu santri di Nurul Ilmi. Santri ndalemnya Abah Kafaby."

"Seberapa kenal kamu sama dia?"

Ayun sedikit curiga, apakah ini yang dibicarakan Romo Sam pasca mereka sampai tadi? Dua orang tua itu terlihat berbincang ngalor ngidul, serius tetapi santai. Ya, keduanya mempunyai latar belakang yang sama, pecinta adat budaya jawa. Satu keturunan darah biru, satu keturunan abdi dalem. Jomplang memang, tetapi begitu luar biasanya sosok Romo Sam yang tak pandang bulu, tetap bersikap rendah hati, meski ia berhadapa dengan orang yang derajatnya lebih rendah secara kasta.

"Ya baru kenal aja. Temen Mbah."

Pria itu duduk di samping sang cucu. "Katanya ... dia mau ngelamar kamu. Apa kamu sudah mikir mau nikah juga?"

Ayun terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Menurutnya Iyus terlalu tergesa-gesa. Ayun takut, semua pada akhirnya tak semanis yang mereka kira. Anak SD selalu berpikir jika anak SMP lebih enak karena sudah lebih bebas dari mereka. Anak SMP merasa jika anak SMA lebih enak karena sudah dianggap dewasa dan bebas membawa kendaraan bermotor. Anak SMA mengira anak kuliahan lebih enak karena bebas melakukan apapun. Anak kuliahan merasa orang kantoran lebih enak karena punya uang sendiri. Orang kantoran merasa, orang yang sudah menikah dan menjadi IRT akan lebih enak dari pada mereka yang dibebani pekerjaan kantor. Bukankah seperti itu gambaran hidup?

Ayun takut, hal itu yang mendasari cara berpikir Iyus. Ia takut jika Iyus hanya ingin memilikinya karena nafsunya sekarang menggiring ke pemikiran itu. Terlebih, keduanya tak berpengalaman soal cinta. Satu hal yang pasti, Ayun takut jika sesuatu yang diputuskan tergesa-gesa tak baik akhirnya.

"Menyegerakan hal baik, itu sangat baik, Nduk. Jarang ada laki-laki yang berani begitu."

Ayun menatap sang kakek. Entah kenapa, kali ini ia kehabisan kata-kata. Kebimbangan menelan kemampuannya bicara. Gadis itu menjatuhkan diri di pelukan sang kakek. Ia menangis.

"Ngopo?" tanya sang pria.

"Mbah ... aku takut, Mbah. Takut." Isak menghentikan ucapan Ayun. Pria tadi mengelus rambut Ayun.

"Cerito o, Simbah pengen ngerti piye karepmu."

Ayun berusaha menenangkan dirinya sebelum membuka suara kembali. "Aku takut, Mbah. Jujur, aku ya suka sama Mas Yusuf. Pinter, soleh, manut sama bapak ibunya, mandiri, ndak neko-neko. Tapi ... aku takut mengulang cerita ibu sama ayah. Aku takut Mbah. Mas Yusuf, dijodohkan sama anak kyai Sulaiman, masih keluarga Mbah Yai Malik Ibrahim. Yang jodohin simbahnya dari pihak ibu. Tapi Mas Ysuuf ndak mau, mas Yusuf milih aku. Aku takut Mbah, kalau Mas Yusuf mengulang kesalahan ayah. Ayah dulu ngeyel nikahin ibu, nyatanya, malah ndak baik. Mereka semua pergi, dan aku jadi kayak gini. Aku nggak mau anakku ngalami apa yang aku alami dulu, Mbah. Aku mau anakku punya orang tua lengkap. Komplit."

Pria bernama Ahmad itu mengelus kepala sang cucu kesayangan. Gadis kecil yang sedari kecil ia asuh dengan tangannya sendiri. Gadis kecil yang selalu ia gendong setiap kali pergi ke sawah. Gadis kecil yang tak pernah rewel, tak protes karena tak bisa ia belikan mainan seperti teman-temannya. Gadis kecil, yang kini sudah tumbuh dewasa, menjadi seorang putri saleha nan mandiri.

"Istikharah, tanya pada Allah, mana yang baik. Insyaallah kalau memang dia jodohmu, sejauh apapun kamu berlari menjauh, seketika semua kembali dekat. Dan jika memang bukan, sedekat apapun kalian saat ini, pasti akan menjauh. Setiap rumah tangga pasti ada ujiannya. Percayalah, Sang Maha Hiduplah yang akan bisa menunjukkanmu jalan mana yang harus kamu pilih. Kamu sering denger ceramah Gus Ubay kan? Selalu beliau katakan niatkan apapun karena Allah, sertakan Allah dalam setiap langkahmu, dan pasrahkan pada Allah hasil akhir dari semua itu."

Ayun mengangguk, ia memeluk kakeknya. "Wis wis, rasah nangis. Dilamar wong bagus kok malah nangis. Itu gadis-gadis di luar sana, mereka malah sengaja ngincer wong bagus, la kamu, dilamar, tanpa usaha apa-apa, eh malah mewek. Piye to."

Ucapan sang kakek membuat Ayun tersenyum disela tangisnya. Ini saatnya untuk mengambil langkah, akankah ia menerima pinangan Iyus atau tidak.

"Berikan kami yang terbaik ya Allah. tunjukkan mana yang baik dan mana yang tidak."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa
Akhirnya up juga

😀😀😀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro