Part 24. Dilematika
Wanita berjilbab hitam yang tengah cemas menunggu kepulangan sang putra, akhirnya tersenyum senang. Tangan dingin sang putra menyentuh jemarinya. Ia kecup kening dan kedua pipi si pemuda tampan.
"Dari mana aja kamu?" tanya Rumi. Tak ada amarah, suaranya lembut penuh kelegaan pasca rasa cemas yang tadi mendera, pergi.
"Dari nganter Dek Say."
"YUSUF TABRIZ! Sudah pinter ngelayap kamu?" Suara parau milik pria yang tadi Iyus hindari terdengar.
Ia mengurungkan niat untuk menyalami kakeknya.
"Abah, biarkan Yusuf istirahat dulu. Udah malem. Le, sana ganti baju, wudu, tidur. Ya?"
"Jangan kamu manjain anakmu! Dia itu laki-laki, jangan sampai dia tumbuh kayak bapaknya! Bejat! Nggak bermoral!"
Rumi seolah ingin melawan sang ayah, matanya berkaca-kaca, tetapi ia memilih diam. Iyus mendapati tubuh ibunya gemetar. Pemuda itu merangkul sang ibu, memuntunnya masuk kamar.
"Yusuf! Simbah mau bicara sama kamu!"
"Yusuf nggak mau bicara sama Simbah kalau Simbah saja masih belum bisa mendinginkan kepala. Percuma, semua pasti buntu." Pemuda itu menutup pintu kamar sang ibu.
Rumi terduduk di ranjang. Ia tak kuasa menangis, tak bersuara tetapi tubuhnya berguncang. Iyus mendekap ibunya.
"Bu, maaf ya. Tadi pasti simbah marahin ibu, ya? Mbak Ren eh Tante Renny cerita."
Rumi mengusap matanya. Ia sejujurnya terkejut ketika mendapati adik dari ayah Iyus datang bersama perempuan yang mengaku sebagai kakak dari Ayun.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sudah ketemu sama keluarga bapakmu?" tanya Rumi.
Iyus menatap ibunya. "Yusuf takut, Bu. Takut mau ngomong ke ibu. Takut ibu pergi lagi dari Yusuf."
Kejujuran sang putra membuat Rumi terharu. "Apa kamu ketemu bapakmu juga?" Anggukan menjadi jawaban.
"Bapakmu bilang apa ke kamu?"
Iyus menatap wajah sang ibu, tak ia temukan mimik muka ketakutan atau kebencian di sana ketika menyebut kata 'bapak' yang jelas ia sebut untuk menggantikan nama Nugrah.
"Bapak bilang bangga sama Yusuf, Bu. Dan ... Bapak bilang bapak sayang sama kita."
Mendengar itu, Rumi memalingkan wajah. Ia tak mau sang putra melihatnya menangis. Ada kecamuk di hatinya yang tak terkira.
"Bu ... Ibu jangan marah ya? Yusuf nggak sengaja ketemu bapak. Yusuf juga baru tahu kalau Eyang Uti itu ibunya bapak. Selama ini Yusuf taunya kalau Eyang Uti itu budenya ibu. Bude Ais sama Pak Han juga, Yusuf nggak tahu kalau mereka kakaknya bapak. Selama ini, mereka yang selalu nengokin Yusuf di pondok, bahkan nemenin Yusuf wisuda. Tapi, mereka udah meninggal semua."
"Innalillahi, Mas Han sama Mbak Ais meninggal? Sibu juga?" tanya Rumi terkejut.
"Iya, kata bapak, Pakde sama Bude sakit. Pakde dulu yang meninggal, setelah itu bude dinikahkan sama Om Zulham, terus tiga tahun lalu bude meninggal. Sekarang, Om Zulham nikah sama Mbak Renny, sepupunya Dek Say. Kalau Eyang Uti, meninggal karena kecelakaan pesawat. Pas mau nengokin bapak di Amerika."
Rumi menutup mulutnya, ia tak bisa membayangkan betapa wanita baik yang begitu menyayanginya telah tiada. 'Jadi, Sibu nggak datang lagi karena sudah meninggal? Bukan karena lupa sama aku?" batin Rumi.
Keduanya terdiam cukup lama, sampai Iyus akhirnya membaringkan tubuh di ranjang sang ibu.
"Bu, aku tidur sama ibu ya? Aku males gelud sama Simbah."
Rumi mengangguk. Ia menyiapkan selimut untuk sang putra.
"Bu, aku perlu pake masker nggak?" tanya Iyus kemudian.
"Masker? Kenapa?"
"Takut kalau ibu nanti bangun-bangun kaget. Dikiranya aku bapak. Kan aku kembar sama bapak," goda Iyus.
Rumi memukul lengan putra gemas. "Ngomong apa kamu! Hih! Sama aja kayak bapakmu, sukanya bercandain ibu! Sana kalau gitu tidur kamarmu sendiri, nggak usah tidur sama ibu!"
"Aduuuh Dek Rumi salting keinget Mas Nugi, cieee," ledek Iyus.
"YUSUF TABRIZ ALBIRRU! Ibu gelitikin kamu!" ancam Rumi sembari menggelitiki putranya. Bak anak kecil, Iyus tergelak karena geli.
Dari luar, pria berkumis yang tadi meradang, mendengar gelak tawa sang putri dan cucunya.
"Nduk, dulu kamu gagal jadi bagian keluarga pak yai. Sekarang, Yusuf harus bisa menjaga kekerabatan kita dengan keluarga pak yai, dengan menjadi menantu cucunya. Menantu dari kyai Sulaiman."
*****
Pagi-pagi sekali, Rumi sudah pergi ke pasar dan memasak beraneka rupa makanan. Sang ayah, telah dijemput kakak Rumi, bakda subuh tadi.
"Besok, Simbah tunggu kamu di rumah. Kamu juga, Rum. Pulang ke rumah abah. Abah mau bicara serius sama kalian."
Pesan itu hanya diangguki Rumi dan Iyus tanpa penolakan.
"Bu, emang mau ke rumah Simbah sekarang? Kok udah masak-masak?"
"Kamu makan dulu, nanti habis ini anter ibu pergi."
"Kemana?" Iyus tak mendapat jawaban karena wanita itu sudah masuk ke kamar mandi setelah menyambar handuk.
Setengah jam kemudian, Iyus yang tengah membalasi chat dari Ayun yang mengatakan akan pulang ke Solo, siang nanti pun mendongak ketika mendengar suara sang ibu. "Ayo berangkat."
Gamis denim dengan kerudung navy begitu serasi membalut tubuh wanita bertinggi 158 senti itu.
"Masyaallah, bu, cantik banget. Mau kemana? Kondangan? Eh tapi kok pake gamis jeans gini?"
"Anter ibu ke rumah Eyangmu. Ibu masaknya kebanyakan, dan Eyangmu suka sama masakan ini."
"Oh, oke," sahut Iyus cepat. Ia mengetikkan pesan pada seseorang di ponselnya sebelum membantu sang ibu membawa tas kain berisi box-box tupperware.
"Brother, buruan mandi. Atau bakal nyesel seumur hidup. Buruan mandi."
Iyus terkekeh geli saat mengirim pesannya. "Kamu ngapain ketawa sama HP?" curiga sang ibu. Iyus menggeleng. Ia kemudian bergegas memanasi motornya dan mengantar sang ibu pergi.
Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan Iyus untuk sampai ke rumah tujuan. Rumi yang tadi tenang, mendadak kehilangan kepercayaan diri.
"Le, kamu aja yang masuk. Ibu tunggu di sini," cicit Rumi.
"Lah, ibu kan yang minta dianter ke sini? Ya udah ayo masuk."
Rumi menggeleng, ia menggigit bibir.
"Le, kamu aja, ya? Ibu ... Ibu takut," ulangnya.
"Yus, turuti ibumu. Sana masuk, kalau ibumu nggak mau masuk. Biar ibu bapak temenin di sini."
Entah dari mana pria itu muncul, Rumi sontak terkejut. Pria dengan rambut setengah basah itu terlihat begitu santai.
"Oh, ya udah, Yusuf masuk ya. Titip ibu ya, Pak."
Rumi menelan ludah. "Yus, ibu ikut kamu," ucapnya kemudian. Nugrah menahan senyum. Ia sadar dirinya dan Rumi tak muda lagi, tetapi entah kenapa tingkahnya masih saja menggemaskan.
"Awas licin nggak usah lari," ucap Nugrah dan di saat bersamaan benar, Rumi terpeleset dan Nugrah menangkapnya.
Tubuh dengan berat lima puluh kilo itu jelas sangat ringan di tangan Nugrah. Rumi tak bisa mengontrol raganya. Aroma cologne maskulin merasuk ke inderanya.
Renny yang tadi hanya ingin kepo saat melihat motor masuk ke halaman rumah sang mertua, kini heboh menyuruh Zulham dan Ayun untuk segera ke arah pintu.
"Mas, turunin," pinta Rumi agak ketus.
"Nggak ah, ngomongnya yang baik," goda Nugrah.
Rumi berusaha menjauhkan tubuhnya dari pria itu. Namun, Nugrah mempererat cekalannya.
"Mas!" tukas Rumi.
"Dalem."
"Turunin." Kali ini Rumi seperti mencicit. Matanya berkaca-kaca. Ia seperti hampir menangis. Malu, jelas yang ia rasakan. Nugrah menurunkannya.
"Nduk? Rum?"
Rumi segera menjauhkan diri dari suaminya. Ia kini menatap sang mertua. Wanita itu segera berjalan mendekat dan bersujud di kaki sang mertua.
"Romo."
Romo Sam tak kuasa menahan harunya. Sang menantu datang, kini tengah bersujud di kakinya. "Slametan, Nduk?"
"Pangestunipun, Romo. Romo, sehat?"
Romo Sam mengangguk, ia segera mengajak Rumi masuk. "Eyang, ibu masak banyak loh, buat Eyang."
Ayun mengamati segala hal yang terjadi di sana. Betapa kebahagiaan begitu terasa, penuh haru, ketika silaturahmi yang terputus, kini kembali disambung.
"Wah, rendangnya mantap Mbak," puji Renny saat membantu kakak iparnya menyiapkan sarapan pagi itu.
"Hmm Romo beruntung, mantunya semua pinter masak," celetuk Zulham.
Semua tertawa. Ayun hanya sebagai penonton saja. Ia sembari menata beberapa barang yang akan dijadikan hantaran. Ya, karena keluarga Zulham terdiri dari laki-laki yang tak pandai berkreasi, maka Ayun dan asisten rumah tangga Romo Sam yang membungkus hantaran untuk lusa.
"Nduk, makan dulu ayo. Kamu sibuk apa?"
"Mau bungkusin ini, Bu. Besok biar Om Nugrah sama Mas Yus tinggal bawa."
"Mbak, Mbak besok ikut kan? Ya? Ya?" bujuk Zulham bak anak kecil merengek pada sang ipar.
"Dek Zul, tapi kan ... Mbak biar diwakili sama Yusuf ya?"
Zulham menggeleng. "Mbak, Mbak kan gantinya ibu. Ya, Mbak? Ya?"
"Tapi ...."
"Kalau dia nggak mau. Besok biar aku culik," jawab Nugrah santai sembari memakan gudeg dengan lauk daging rendang buatan sang istri.
Rumi menoleh cepat. Ia melotot pada Nugrah. "Kenapa? Lirak lirik, suka? Cinta?" tanya Nugrah membuat wanita yang berniat mengonfrontasinya terbungkam.
Iyus terkekeh. "Aduh, bucin!"
"Yus, siap-siap punya adek kamu," goda Zulham.
Nugrah pura-pura cuek. Ia sejujurnya takut salah langkah hingga membuat Rumi kembali menjauhinya.
"Iya lah, Yusuf bakal punya adik. Anakmu kan adiknya Yusuf," sahut Rumi sembari duduk di samping Renny.
"Mbak, besok ikut, ya? Mbak yang bawain cincin sama maharnya. Kemarin aku mau nyewa orang, tapi gimana. Soalnya di sini cowok semua," pinta Renny.
"Ikut ya, Mbak. Ya?" Zulham menimpali.
Rumi terlihat berpikir sebelum akhirnya ia menatap sang mertua. "Romo, apa boleh Rumi ikut?"
"Ya boleh to, Nduk. Romo pengennya kamu juga ikut."
Wanita itu kembali melirik Nugrah. Di saat yang bersamaan, Nugrah juga tengah meliriknya. "Dek, rendangmu kok rasanya kayak gini?"
Rumi yang tadinya tak berniat mengajak Nugrah bicara jadi terpaksa merespon. "Kenapa? Nggak enak?"
"Coba nih, gudegnya sih oke, tapi rendangnya, cobain nih," ucap Nugrah sembari mengulurkan sesendok nasi rendang. Rumi menerimanya, ia penasaran apa ada yang aneh dengan masakannya.
"Ciee .... Romantis banget suap-suapan segala," ledek Renny.
Rumi baru sadar jika pria di depannya itu tengah mengerjainya. Ia terpaksa mengunyah dan menelan makanan yang disuapkan Nugrah.
"Mbak habis ini kita mau nyari kekurangan hantaran, utamanya yang makanan gitu, Mbak. Mbak ikut ya? Soalnya para pria ini nggak ada yang ngerti," ucap Renny.
"Nggak usah nolak, bantuin adikmu. Kasian kan, Sibu udah nggak ada, siapa lagi yang bisa bantu kalau bukan kamu." Nugrah menyahut.
Rumi pun pasrah. Kapan lagi ia membalas kebaikan sang mertua jika bukan sekarang. Sebelum ia mengatakan tujuan utamanya bertemu dengan Nugrah.
Ketika semuanya tengah bersiap-siap. Rumi pun memberanikan diri mendekati Nugrah. "Mas," panggilnya.
Pria yang tengah menatap ponsel itu segera meletakkan gadgetnya. "Dalem."
Rumi duduk di seberang meja. "Aku mau ngomong soal ... soal kita."
"Kenapa?" Nugrah begitu lembut bertutur, tak seperti tadi saat jahilnya kumat.
"Aku ... aku minta mas ceraiin aku. Biar status kita jelas. Dua puluh tahun, semuanya abu-abu. Aku kesulitan ngurus administrasi. Karena KK kita masih jadi satu. Sedangkan, kita ... Bahkan udah nggak saling kenal. Jadi, tolong, talak aku secepatnya."
Bak tersambar petir, Nugrah terkejut dibuatnya. "Cerai?"
Rumi mengangguk. "Mas, tolong. Aku nggak akan minta apapun. Bahkan kalau Mas mau ngambil Yusuf silakan. Aku akan biarkan dia ikut Mas. Karena selama ini, aku pun nggak bisa menjalankan kewajibanku ngurus dia. Lagi pula, Yusuf akan lebih terhormat di sini. Mendapat penghidupan layak, sebagai putramu. Bukan sebagai anak dari perempuan rendahan yang separuh hidupnya dihabiskan di tempat rehabilitasi akibat dianggap gila oleh keluarganya sendiri."
Rumi tak kuasa menahan air matanya, meski ia segera menghapusnya cepat.
"Aku mohon," pinta Rumi.
Nugrah mengembus napas. "Kita baru ketemu, kamu sudah bahas soal itu. Romo baru seneng liat kamu datang. Zulham nikah lagi. Yusuf cucunya kembali. Apa kamu tega ngerusak kebahagiaan Romo? Apa boleh, aku minta waktu, sedikit lebih panjang? Dan selama itu, aku pengen kita terlihat bahagia di depan Romo. Romo sudah sakit-sakitan. Lima belas tahun, Romo kesepian. Paling sama aku di rumah. Sekarang, Romo baru mau bahagia lagi. Apa boleh aku egois kali ini, tolong, bantu aku bahagiain Romo, Dek."
Rumi bisa saja menolak, tetapi selama ini sosok mertuanya begitu baik. Ia bahkan sering dengar jika diam-diam beliau memperhatikan Rumi dan Yusuf. Mencukupi kebutuhan Yusuf. Bahkan keluarga Abah Rumi pun masih mendapat sokongan penghidupan, meski ayah Rumi menganggapnya sebagai uang tanggung jawab karena telah merusak hidup sang putri.
"Iya, Mas. Aku setuju. Tapi Mas janji akan mengakhiri semua ini, kan?"
Nugrah tak punya pilihan lain, ia mengangguk.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
❤❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro