Part 21. Tugas
Sebuah laptop terduduk di meja, menatap pemuda dan pemudi yang saling diam di depannya. Laptop itu menunggu untuk di operasikan, sementara dua aktor yang akan menjamahnya tak kunjung membuat aksi.
"Kalian kenapa? Katanya mau ngerjain tugas?"
Wanita yang kini muncul dengan sebuah nampan berisi dua gelas es teh menghempas sunyi. Ayun melirik Iyus dan begitu juga sebaliknya. Rumi terkekeh, putranya pasti malu. Terlihat kaku di depan Ayun, padahal setiap kali cerita tentang sang dara, ia sangat lancar dan begitu menggebu.
"Sambil diminum esnya, dimakan juga itu cemilannya. Ibu tinggal ya."
Ayun segera menahan wanita yang telah melahirkan pemuda di sampingnya. "Bu, ibu di sini saja ya. Nemenin kami, ya?" pintanya.
"Nanti ibu malah ganggu,' ucap Rumi.
Iyus akhirnya mengambil langkah, menjamah papan ketik laptopnya. "Iya, Bu. Di sini aja, biar nggak sepi. Ibu bisa sambil nonton tv," usul Iyus.
Rumi tersenyum, terlebih ketika Ayun mengiyakan ucapan Iyus.
"Dek, mana filenya, biar aku yang kerjain. Kamu ngobrol aja sama ibu, aku kan pernah magang juga ngurusin beginian. Insyaallah bisa."
Ayun menatap lawan bicaranya sekilas. "Beneran? Ini kalau gitu Mas, emailku. Download aja yang attachment dari email HaikalDewangga00 itu."
"Nggak usah pake begini, aku bisa kok ambil tanpa pake ini. Ijin ya, aku bobol." Iyus meringis.
Ayun membulatkan bibirnya. "Oooo. Aku lupa kalau Mas Hacker," sindir Ayun.
Iyus berjengit. "Eh, jangan gitu dong. Konotasinya negatif. Udahlah, kamu icip masakan ibu tuh. Enak loh, nggak kalah sama bikinanmu."
Ayun menatap gethuk buatan ibu Iyus. "Oh iya, kata Yusuf, kamu pinter masak ya? Ibu jadi penasaran."
Obrolan mulai terbangun, Iyus senang sang ibu bisa berbincang dengan Ayun begitu asik. Sesekali ia menimpali, sembari mengerjakan tugas Ayun. Tugas yang tak seharusnya Ayun kerjakan. Tugas fiktif dari Haikal yang mengerjainya.
Haikal tak tahu jika keusilannya justru membuat Ayun menghabiskan waktu bersama Iyus dan keluarganya.
"Mas dulu pas di pondok ambil MA jurusan apa?" tanya Ayun.
"Aku SMK kok, jurusan Tehnik Komputer Jaringan."
"Oalah, jadi emang dari SMK? Aku pikir pas kuliah aja ambil IT. Pantes ahli banget. Kalalu komputer jaringan itu bisa apa aja?"
"Bisa menjaring hatimu lewat komputerku," jawab Iyus. Ayun seketika berjengit dan Rumi menutup mulutnya karena terkejut.
"Bercanda eh," ralat Iyus sambil meringis.
Rumi terbahak, putranya ternyata biaa juga bercanda. Sementara Ayun berusaha biasa saja.
"Tuh kan Bu, anak ibu itu kang Gombal. Padahal dulu ya, Bu. Santriwati itu suka banget pada godain Mas Yus. Tapi Mas Yusnya suka jual mahal gitu, Bu. Sampai dijulukin Es batu." Ayun menunjukkan bongkahan es batu dari gelasnya.
Iyus tersenyum. "Biar lah es batu, yang penting paham nahwu dan pinter ngambil hatimu."
Ayun reflek tertawa. "Ibu, anaknya Ibu serem," adu Ayun.
Rumi tertawa.
"Biasanya anak santri gombal pakai nahwu, kamu kenapa enggak, Mas?" tanya Ayun.
"Udah mainstream. Lagian, misal aku gombalin kamu pake nahwu, sama aja kamu nggak ngerti juga," jawab Iyus sembari tetap fokus pada pekerjaannya.
"Iya juga sih," cicit Ayun.
"Ayun, kamu tau gak bedanya kamu sama sintax PHP?" Rumi tiba-tiba bertanya pada Ayun.
Sang putra menoleh. "Eh ibu?"Iyus tertegun.
"Apa Bu? Ayun nggak paham," jujur Ayun sembari meringis.
"Apa Yus jawabannya?"
Iyus akhirnya menjawab. "Kalo sintax PHP itu susah dihafalin kalo kamu itu susah dilupain," ujar sang pemuda.
"Kok ibu bisa tahu bahasa begituan?" tanya Ayun sembari menatap Rumi penuh senyum. Air muka sang wanita sedikit berubah.
"Mmm ... Ibu pernah denger, dulu."
Ayun mengangguk-angguk dan melanjutkan obrolannya dengan Rumi. Sementara, jiwa kepo Iyus tergelitik. "Ibu pernah denger? Apa dari bapak ya? Atau Gus Taufik? Emang, bapak kerjanya apa ya?" batin Iyus.
****
Kamar bernuansa abu-abu milik putra kedua Pradipta Dewangga, terlihat amburadul. Kulit kacang, bungkus penganan bola cokelat, bungkus keripik kentang, semua tersebar di lantai, mengelilingi tubuh si empunya kamar yang tergeletak di karpet sembari memegang stik gimnya.
Wanita bernama Arimbi yang awalnya hanya membangunkan sang putra, kini seketika terpancing untuk menjadi rapper dadakan. "Dek, ada telpon loh. Katanya Maul kecelakaan di Jogja. Astagfirullaaaaah! Kenapa yang kecelakaan Maul, tapi yang remuk redam kamarmu?!"
Pemuda itu membuka mata. "Apa sih, Bun?" tanyanya dengan suara bantal malas.
"Maul kecelakaan! Mamanya meninggal. Mama mau ngelayat ke sana. Katanya sih Maulnya masih dirawat di Jogja. Cek HP sana! Pasti udah banyak temenmu yang ngabarin."
Haikal seketika melompat dan meraih ponselnya di atas meja. Benar saja, ada puluhan chat dan belasan panggilan tak terjawab. Semuanya mengabarkan jika kapten tim futsalnya mengalami kecelakaan.
Ada satu chat yang membuatnya bersemangat. Pesan suara dari gadis bernama Alifiya. 'Ikal, boleh nggak aku minta tolong? Anterin aku ke Jogja. Rayhan sama Koh Ken pada buta Jogja. Kamu kan yang asli sana.'
Jelas Haikal langsung membalasnya. 'Give me 10 minutes. Aku anter ke sana.'
Nyatanya, saat Haikal bersiap, teman-temannya justru sudah datang. Mereka berangkat ke Jogja bersama-sama. Hati Haikal pun begitu girang ketika ia selama perjalanan dapat duduk bersebelahan dengan Alifiya. Memandanginya sepuas hati, karena si cantik pemilik wajah tak dapat melihat, makanya ia tak protes ketika ditatap terus menerus oleh Haikal.
"Cantik banget kamu, Fi. Adem banget. Nggak ngeselin kayak si Ay Ay. Ya dia sih baik tapi dia suka julid kalau sama aku. Beda sama kamu yang selalu lembut kalau ngomong."
Haikal diam-diam mengambil foto Alifiya. Kemudian ia mengirimkannya pada Ayun.
COGAN PAJANG
[Aku ke Jogja sama Ayank.
Kamu dimana?]
Haikal yang awalnya ingin memamerkan Alifiya justru tertohok dengan jawaban Ayun.
Ay Ay
[Jangan suka ngaku2
Jangan kebanyakan halu
Istigfar, Mas.
Aku sama dirinya.
Dirumahnya
Sama mamanya juga]
Haikal mengernyitkan dahi.
COGAN PAJANG
[Ay, kamu kan nggak mau pacaran?
Kok sama cowok sih?
Jangan muna deh]
Ay ay
[Aku emang nggak pacaran
Tapi mainnya ta'aruf
Khitbah, nikah.
Sat set sat set
Bukan sad set sad set
Nikah kagak, jadi sadboy iya
Ups]
Haikal mencebik, ia yang awalnya mengejek Ayun malah dibalik keadaannya. Itulah satu-satunya hal yang ia benci dari Ayun. Ia tak pernah bisa mematahkan ucapan sang gadis.
Sementara itu, Ayun, di tempat lain terkejut saat Iyus ternyata menatapnya dengan seksama.
"Ngapain senyum-senyum sama HP?" tanya Iyus.
Ditatap seperti itu, Ayun segera memutar tubuhnya, menghadap ke arah TV. Rumi tengah berada di kamar mandi, sehingga meninggalkan dua muda mudi tersebut di ruang tengah.
"Ng-nggak kok. Temen ngabarin kalau dia di Jogja juga. Mm ... Mas sekarang kerja dimana sih?" tanya Ayun basa-basi.
Iyus tak mengubah posisinya. Ia masih menatap Ayun. "Kerja di galeri Bro Elhaq. Kamu masih inget Bro Elhaq kan?"
"Eh, Gus Elhaq tinggal di Jogja juga? Sama Mbak Khawla? Aku tuh liat di IG-nya kayaknya udah punya anak ya?"
"Iya. Kembar. Kamu mau ke sana? Bro Elhaq kan emang asli sini. Sama Ustaz Syam. Sekarang ngurus pondok Abahnya. Dan kami mau bikin Kalam Maya 2. Bareng sama Kang Ubay. Ya pusatnya masih di Nurul Ilmi, tapi kita bagi tugas nanti, biar Ali cs nggak bingung cari konten tiap hari."
Ayun mengangguk-anguk. "Iya nih, Kalam Maya kenapa hiatus sih. Sejak Mas pergi, isinya lebih ke iklan majelis-majelis aja. Sama paling bahas-bahas soal pesantren. Jadi kangen."
"Kangen aku? Kan udah ketemu?" Iyus terbahak.
Ayun bergidik. "Astagfirullah, Mas. Jangan gitu ih! Aku baper beneran ntar Mas tanggung jawab loh!"
Iyus terkekeh. "Duh, kayaknya emang kita lagi dijodohin sama setan, Dek. Bahaya ini. Mulutku nggak bisa direm kalau sama kamu. Padahal sama yang lain, justru nggak bisa ngomong."
"Nah kan. Makanya, diem aja ih diem. Simpen gombalnya buat nanti. Simpen di hati sampai setan nggak tahu kalau ada rasa terselubung di balik persahabatan ini. Eh." Ayun terkekeh mendengar ucapannya sendiri.
Obrolan seru khas anak muda mereka terganggu saat dua orang pria masuk. Iyus terlihat kaget.
"Jadi bener kamu pulang? Kenapa nggak ke rumah Simbah?"
Ayun sedikit menyingkir, Iyus mengodenya untuk mundur.
"A-anu, Mbah. Yusuf kemarin baru mau ngajak ibu ke rumah Simbah. Yusuf kangen ibu, jadi langsung ketemu Ibu. Belum ke rumah Simbah."
"Kamu sudah sebulan di sini dan sama sekali nggak ke rumah simbahmu? Simbah baru tahu dari Ustaz Kafaby. Kamu dipulangkan dan diminta kembali nggak mau. Ngapain kamu kalau nggak ngabdi?"
Nada tinggi itu terus meninggi, hingga sosok sepuh tadi mengalihkan pandangan ke Ayun.
"Apa karena akhwat ini?" selidiknya.
"Abah, duduk dulu Bah. Duduk." Pria yang satu mengusulkan.
Rumi yang mendengar ribut-ribut keluar. "Abah? Mas Rasyid?"
"Rumi! Kenapa kamu nggak suruh Yusuf datang ke rumah Abah? Kayak anak nggak punya sopan santun. Abah malu pas di majelis ditanya soal Yusuf. Abah ndak tau apa-apa!"
Rumi berusaha menenangkan sang ayah. "Bah, ini salah Rumi. Rumi yang membuat Yusuf sibuk bolak balik ke panti rehab. Dia juga baru merintis karier di sini. Mohon maaf, Bah. Bukannya tidak sopan tapi ... tapi dia memang sibuk. Rencananya besok kami ke sana."
"Abah tadi ke tempat Kyai Sulaiman, ketemu Ustaz Kafaby, sama Gus Elhaq. Gus yang kasih tahu kalau kalian tinggal di sini. Dan, sebelum ini kamu tinggal di galerinya Gus Elhaq, kan? Jaraknya cuma sekilo dari rumah Simbah. Kok ya kamu nggak mampir to, Le?"
Ayun benar-benar merasa salah tempat. Pasti Iyus pun merasa tidak enak.
"Sudah, Bah. Ndak enak, ada temennya Yusuf," ucap Rumi.
Pria berjenggot putih itu menatap ke Ayun lagi. "Kamu punya temen wanita? Apa ini yang bikin kamu dipulangkan?" Ulang sang kakek.
"Ayun ini temen Yusuf, Bah. Tidak salah kan mereka berteman? Kalau jodoh ya alhamdulillah, kalah tidak ya jadi keluarga," jawab Rumi bijak.
"Ndak, ndak bisa. Ndak. Jodoh Yusuf sudah disiapkan. Kyai Sulaiman sudah ngajak Abah bicara tadi. Yusuf dijodohkan dengan Ning Farhana. Putri Kyai Sulaiman. Kakaknya Gus Elhaq."
Iyus seketika berontak. "Mbah, kok gitu? Yusuf berhak atas hidup Yusuf. Simbah boleh menjodohkan, menawarkan jodoh, tapi Yusuf berhak nolak."
"Kamu sudah menyentuh Ning Farhana, di depan umum. Kamu harusnya tahu apa konsekuensinya."
Ayun tak paham, yang jelas ada sedikit rasa tak enak di hatinya. Ia merasa tertolak padahal belum melangkah.
"Abah, itu keadaan darurat. Yusuf hanya membantu Ning Farhana!"
"Menyentuh tetap menyentuh. Abah tidak akan membiarkan Yusuf sebejat ayahnya. Abah tidak akan membiarkan Yusuf tidak bertanggung jawab seperti ayahnya! Yusuf, kamu harus menikahi Ning Farhana. Setelah Ning Farhana selesai rehabilitasi."
Iyus tetap dalam pendiriannya. Namun sang ibu menggenggam jemarinya, berusaha menahan agar sang putra tak melawan lagi. Ia paham betul watak keras sang ayah.
Ayun terombang-ambing di sana. Iyus yang terlanjur terbakar emosi, malah menggandeng Ayun pergi.
"Dek, ayo pergi."
"Yusuf Tabriz!" teriak sang kakek.
Iyus tetap pergi, ia membawa Ayun. Ayun tak kuasa menolak. Keberadaannya di sana serba salah.
"Mau kemana kita?" lirih Ayun.
Iyus memasangkan helm di kepala Ayun. "Ikut aja, nanti aku anter pulang sekalian."
Ayun menurut. Ia menjadikan tasnya sebagai sekat di antara dirinya dan Iyus. Aneh rasanya memboceng laki-laki ini.
"Kita ke Malioboro dulu, ya?"
Ayun mengangguk, setelah itu Iyus melajukan motornya, membelah jalanan Jogja.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaaa
Akhirnya up
Kita tamatin ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro