Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20. Si manja yang terluka

Pemuda berwajah imut dengan kulit putih dan rambut hitam lembut bak anak bayi itu sedari tadi berguling ke sana ke mari di atas sofa bed. Sang ibu mengamati tingkah puitra bungsunya. Ia mengode pada si sulung kenapa adiknya seperti itu. Namun si sulung hanya mengendikkan bahu.

            “Kamu kenapa?”  Pada akhirnya Abim bertanya pada Haikal.

            “Ah! Rayhan ngelamar Fiya! Aku patah hati! Mana Maul juga curhat kalau dia ada rasa sama Fiya!”

            Arimbi menggelengkan kepala. “Dek, stok pacarmu kan banyak. Ngapain kamu rebutan Alifiya? Udah dari dulu Bunda bilang,kamu itu suka sama Fiya karena dia sering ketemu sama kamu, ya kan? Dan temen-temenmu pada ngomongin dia terus, makanya kamu kebawa perasaan. Udahlah. Haikal Dewangga kan nggak pernah jomblo, masak iya patah hati gara-gara satu wanita.”

            Ucapan Arimbi lebih ke sindiran. Iya sering pusing dengan tingkah di bungsu. Berbeda dengan kakaknya yang sama sekali tak mau berurusan dengan gadis-gadis manapun. Haikal justru tumbuh sebagai flamboyan. Mulai sejak SMP atau bahkan SD dia sudah menjajal dunia asmara. Arimbi sampai lelah memberikan nasehat pada sang putra kedua yang selalu gonta-ganti pacar.

            “Bunda, tapi Fiya beda. Auranya tuh beda, apalagi habis dia hijrah. Duh, adem gitu.”

            “Temenmu Ayun juga pakai jilbab, dia justru udah lama pakainya. Lebih adem.”

            “Tapi Ay Ay tuh aneh, Bunda. Dia nggak mau pacaran.”

            Abim terkekeh. “Kalau Ayun mau, pasti udah jadi korban Adek,” celetuknya. Arimbi mengangguk. “Nah iya, Bunda juga mikir gitu, Kak.”

            “Ih, kakak sama Bunda ih. Btw, dia hari ini juga ngeselin. Aku chat nggak bales. Semalem aku telpon nggak diangkat, sibuk mulu telponnya. Aku tanya kemana katanya liburan. Aku susulin ke rumahnya, kata simbahnya pergi ke Jogja ke rumah calon suami kakaknya. Mau aku susulin aku nggak tahu alamatnya.”

            Abim terbahak. “Nih, dia udah chat kakak. Mau denger nggak chatnya? Selamat pagi, Pak Abim. Mohon maaf saya menganggu pagi-pagi begini. Saya mau minta tolong, soal Mas Haikal. Tolong adiknya dikondisikan ya, Pak. Ini hari libur yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menikmati liburan dengan keluarga. Saya mohon, tolong, jangan biarkan dia merusuh kehidupan saya, Pak. Tolong ya Pak.”

            Arimbi mengepo HP putranya dan benar saja tertulis pesan yang begitu panjang di sana dari Ayun. Haikal beranjak dan merebut ponsel sang kakak. “Ih, rese amat dia. Sini kak, aku pinjem buat telpon dia.”

            “Jangan Dek, kamu itu, jangan usilin dia terus. Nanti kalau sampai dia resign dari kantor gara-gara kamu, Mas bakal marahin kamu."

Haikal mendengkus. "Habisnya Ay ay enak kalau diajak curhat, nggak cepu pula. Sama dia, rahasia aman."

"Emang kamu punya rahasia apa?" Pertanyaan sang bunda membuat Haikal meringis.

"Enggak tahu juga sih, aku lupa, Bun punya rahasia apa."

Haikal selalu menjadi pusat perhatian di keluarganya. Berbeda dengan kakaknya yang pendiam dan selalu serius belajar dan belajar. Haikal justru sebaliknya. Berapa kali saja orang tuanya harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan yang pemuda itu perbuat.

Ketika Abim selalu menjadi juara kelas dan sekolah gratis karena beasiswa prestasi, maka adiknya, justru membuat orang tuanya membayar dua kali lipat uang gedung sekolah akibat vandalisme yang ia lakukan. Belum lagi ulah nyeleneh lainnya. Namun, Pradipta selalu mengatakan pada Arimbi jika hal itu wajar.

Ya, Haikal menuruni sifat sang ayah sementara Abim menuruni sifat ibunya. Jika sudah begitu, Arimbi hanya bisa mengelus dada dan tak membuang tenaga untuk mengomel pada putranya, meski dapat dikatakan Haikal termasuk anak nakal.

"Bunda, besok Sabtu Tamara ngundang party. Aku nggak ikut peresmian kantor ayah ya?"

"Oh iya. Aku udah ijin," celetuk Abim.

Arimbi menyecap jus jeruknya. "Kamu mau di rumah sendiri?" tanya Arimbi memastikan.

"Iya, kan aku udah gede, Bunda!"

"Tua, Dek. Kamu udah tua, bukan gede lagi." Abim meledek sang adik. Haikal mencebik.

"Kak, aku pinjem dulu ya!!" Haikal kabur membawa ponsel sang kakak. Ia menelpon sahabat barunya.

****





Ayun baru akan menutup mata saat sebuah telepon masuk. Ia tengah dalam perjalanan  ke makam calon mertua Renny. Ada nama Pak Bos di sana.

"Assalamualaikum, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Renny melirik Ayun yang berbicara begitu sopan dan formal. Di kursi depan ada calon suami Renny serta Romo Sam.

"Wa alaikumussalaam. Ayun, tolong kerjakan file yang saya kirim ke kamu ya. Laporkan semua invoice order  sebulan dengan format yang kemarin kita rapatkan."

"Laporan IO pak? Sekarang? Itu datanya masih di Mas Haikal, Pak. Saya belum dapat  laporannya."

"Saya tunggu malam ini, ya?"

Ayun tak bisa mengelak. Ia sedikit curiga sebenernya, tetapi posisinya yang di dalam mobil dengan lalu lintas yang cukup ramai membuatnya ragu apa benar itu suara Abim atau bukan.

Sepanjang yang ia tahu, Abim bukanlah orang yang suka memaksa seperti itu apalagi perkars hari libur dan gak karyawan. Namun, apa boleh buat. Ia tetap harus amanah. Ia akhirnya mengechat Haikal.

Ayun

[Assalamualaikum.
Mas, bisa minta data invoice order
Sebulan ini?]

Mas Haikal

[Ay, ini tanggal merah
Datanya ada tapi mentah
Aku baru scan doang
Belum aku rekap]

Ayun

[Yaudah aku rekapin.
Send ke emailku]

"Kenapa Yun?"

"Masalah kerjaan, Mbak. Ada laporan yang harus dikerjain. Mas Zul, nanti Ayun boleh pinjem laptop nggak? Aku nggak bawa soalnya."

Zulham mengangguk. "Nanti aku pinjemin ke Mas Nugi."

"Di rumah ada banyak, kok. Kamu sudah kerja ya?" tanya Romo Sam.

"Sampun, Eyang," jawab Ayun sopan.

"Eh, Ayank Yus kan punya. Nanti bisa ngerjain bareng kan? Sekalian ketemuan sekalian ngerjain tugas," usul Zulham.

"Astagfirullah, Mas Zul ih sukanya gitu. Temenan doaang, jangan ayank-ayankan. Nggak boleh. Haram. Kalau mau langsung nikah."

"Eh, ngode? Romo, nih, Romo butuh calon cucu menantu? Ada yang daftar."

Renny dan Zulham tertawa, Romo Sam ikut juga terkekeh sementara Ayun menahan malu karena digoda terus menerus. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di area pemakaman. Iyus dan Nugrah berboncengan motor. Nugrah sengaja ingin memanfaatkan moment.

Tidak hanya ke makam ibu Zulham, di sasonolayu, makam keluarga. Di samping makam wanita bergelar  Bendara Raden Ayu itu, ada makam dengan nama Raden Mas Abyasa Hanan Aji Jati Kusumaningrat. Di sampingnya lagi ada nama Raden Rara Aisyah Pratista Ambarini Haryodiningrat.

Renny menelan ludah. Bahkan mantan istri dari suaminya pun seorang darah biru. Janda cantik tersebut diam.

"Mbak, insecure?" bisik Ayun. Renny mengode sepupunya agar diam.

Mereka semua berkumpul dan duduk di salah satu tempat, menghadap ke makam yang mereka ziarahi.

"Yok, Ustaz Yusuf, kamu yang pimpin tahlil." Zulham menitahkan pada sang keponakan.

"Mboten Om saja?"

"Ora wis, biar budemu, pakdemu, Eyang Utimu seneng, dikirim langsung doanya sama kebanggaan mereka ini loh," ucap Zulham.

Iyus pun menurut setelah meminta ijin pada sang kakek. Dengan fasih, pemuda itu memimpin tahlil, membaca yasin, dan doa. Iyus, Ayun, dan Renny tak membutuhkan buku di tangan tiga orang lain. Isi buku itu sudah melekat di otak mereka.

Ayat-ayat suci dalam surah Yasin dan urutan bacaan tahlil serta doanya sudah menjadi teman pelengkap hari mereka.

Nugrah mengabadikannya dalam memori. Ia bersyukur, putranya bersedia menerima kehadirannya meski belum sepenuhnya luluh.

"Sibu ... Wayahipun Sibu, sowan mriki. Ndongakaken Sibu, Mas Han, Aisyah, mugi pinaringan kantentreman wonten ing Ngarsa Dalem Allah. Bu, Sibu, saestu kulo bingah sanget. Lare kulo, Yusuf, saged dados lare ingkang soleh, gagah, lantip pikire, migunani dhumateng sesami. Sibu ... Taksih satunggal ingkang kirang, kulo saestu pengen, ngajak Arumi sowan mriki, nuweni Sibu, sesarengan kalih tole Yusuf." Suara batin Nugrah mengucap deret curhat pada mendiang ibunya.

Ia berkata, betapa ia bahagia dapat membawa Iyus, datang berziarah ke sana. Meski ada satu yang masih kurang, sosok Rumi, Nugrah ingin mengajak wanita itu turut serta. Wanita yang kehadirannya tsk pernah ia harap, tetapi memberinya keturunan yang begitu luar biasa.

"Bapak cengeng," celetuk Iyus. Nugrah seketika sadar jika acra tahlilnya sudah selesai. Ia mengusap air matanya, kemudian tertawa.

Kedua orang itu duduk di emperan dekat jajaran nisan. Ayun, Renny, dan Zulham diajak sang romo berkeliling, mengunjungi makam leluhur yang lain.

"Dulu, Bapak juga nangis waktu kamu mau lahir, Yus. Malah bapak yang nangis. Ibumu diem aja, karena liat bapak nangis."

"Bapak ada pas aku lahir?" tanya Iyus dengan bodohnya.

"Yo ada. Bapak yang ngazani kamu. Bapak yang nemenin ibumu di dalem ruangan. Kamu itu lahir hari Jum'at pagi. Dari hari Kamis, ibumu udah bilang sakit perut. Pas itu bapak masih ujian semesteran. Bapak sampai bolos sekolah," kenang Nugrah.

"Ibumu nyuruh bapak pergi buat ujian, tapi bapak nggak tega. Bapak tetep belajar tapi sambil ngelus-ngelus punggungnya ibumu. Semaleman nggak bisa nangis. Pertama kalinya, ibumu mau dipegang sama bapak ya waktu itu. Bapak minta ampun sama ibumu. Bapak nangis, gara-gara bapak, ibumu jadi kehilangan masa depan."

Nugrah benar-benar menyesali perbuatannya.

"Kenapa bapak ninggalin ibu habis itu?"

"Bapak harus kuliah, bapak pengen bisa sukses, cari penghidupan layak buat kalian. Tapi, bapak nggak tahu kalau keputusan bapak malah membuat ibumu semakin terluka. Ibumu pikir bapak cuma mempermainkannya. Dan ... Sulit dijelaskan, Le. Intinya bapak merasa bersalah sama ibumu. Tapi sumpah Le, bapak nggak pernah sekalipun berniat ninggalin ibumu. Sampai sekarang, ibu tetep istri bapak. Bapak tetep kasih nafkah. Meski bapak nggak berani muncul langsung. Bapak takut ibumu histeris."

Iyus menatap dingin pada pria yang terisak di sampingnya.

"Bapak kenapa bisa merkosa ibu? Bapak kenapa bisa jahat sama ibu?"

"Bapak salah, Le. Bapak mabuk dulu," lirihnya.

"

Bapak cuma perhatian sama ibu karena kasihan? Merasa bersalah?"

Nugrah mengembus napas. "Awalnya, bapak bingung. Bapak masih 17 dulu, ibumu juga sama. Kami nggak ada bayangan soal punya anak. Dan, setelah melihat perjuangan ibumu melahirkanmu, bapak jadi merasa kagum sama ibumu. Bagaimana bisa seorang perempuan, berjuang begitu keras, menahan sakit demi melahirkan anak dari si brengsek ini."

Nugrah kembali meneteskan air mata. "Waktu itu ibumu bilang, Mas, kalau aku mati sekarang aku tetap senang, sudah melahirkan putra setampan ini, aku yakin, kelak dia akan jadi anak soleh yang akan membuat kita bangga. Dia bilang gitu setelah bapak azanin kamu. Tapi sayang, Eyang buyutmu maksa kami pisah. Romo, Eyang Kungmu, dulu nggak tinggal di sini, eyang utimu nggak punya daya untuk membantu bapak dan ibu yang pengen membesarkanmu sama-sama. Dan semua berakhir seperti ini. Ibumu semakin tertekan dan direhabilitasi di sana."

Iyus kini tahu jalan ceritanya. Asal usul kenapa sang ibu berakhir dengan begitu menyedihkan di RSJ.

"Ibumu marah sama bapak yang awalnya sudah janji mau besarin kamu bareng-bareng, malah pergi tanpa pamit. Bapak nggak tega harus pamit sama ibumu, Le. Nggak bisa. Nggak sanggup, karena waktu itu bapak sedang sadar-sadarnya kalau bapak cinta sama ibumu."

Iyus menghela napas. "Pak, percuma bapak nangis. Kalau bapak yakin sama perasaan bapak, datengin ibu. Sing gagah gitu. Jangan cuma main belakang. Mumpung ada kesempatan. Wong aku yo mau kalau punya bapak sama ibu komplit."

Nugrah menolehkan kepalanya, ia menatap sang putra. "Kamu nerima bapak, le? Kamu dukung bapak?"

"Ya gimana. Kan anak nggak bisa milih orang tua. Mau nggak mau ya harus terima."

Jawaban Iyus membuat Nugrah seperti mendapat lampu hijau. "Bener Le?"

Iyus mengangguk. "Mau nyusulin mereka dulu, Pak. Jangan mewek terus. Jangan buat aku nyesel punya bapak kayak bapak. Cengeng. Gagah kok mewekan," ucap Iyus sembari pergi meninggalkan pria itu.

"Berani Ngece bapakmu ya kamu!" balas Nugrah.

Iyus terkekeh. "Ngisin-isini, badan L men kok mental Women."

Nugrah mengejar anaknya dan menjewer telinga pemuda itu main-main. Keduanya tertawa. Ayun mengamati dari jauh.

"Alhamdulillah Mas, aku seneng Mas Yusuf bisa mengatasi masalah dengan baik. Masyaaallah soleh. Perhatian sama ibu, sama bapaknya juga." Begitu batin Ayun memuji Iyus.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

Lanjut????

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro