Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16. Kedai Kopi

Tumpukan kertas yang berserak tadi kini sudah rapi. Jam kerja usai, ruangan baru milik Ayun kini kembali rapi. Gadis berbaju putih dengan rok hitam tersebut segera keluar ruangan, ia melangkah ke ruangan sebelah. Berniat mengumpulkan laporannya.

Ketukan pintu tiga kali terdengar dan sambutan dari dalam ruangan membuat Ayun bergegas masuk.

"Mas, aku bingung. Kalau aku lamar sekarang, kira-kira gimana ya?"

"Sabar dulu lah, dia kan baru kena musibah. Apalagi di sini musibahnya adalah dia kehilangan calon suaminya. Kamu harus sabar dulu. Tunggu waktu yang tepat. Dia nggak akan mungkin langsung buka hati. Lagi pula, apa kamu udah komunikasikan sama ayah bundamu soal kondisi cewek itu? Dia buta kan sekarang?"

Haikal mengangguk lemah. "Iya, tapi aku cinta sama dia Mas. Aku udah nyimpen rasa ke dia sejak lama. Dan, aku nggak mau nyia-nyiain kesempatan ini. Mungkin emang ini jalannya, dia bakal sama aku."

Rauf terkekeh. Ayun mendengar pembicaraan itu, tetapi jelas ia tak mau ikut campur.

"Maaf, Pak. Ini laporannya. Semua tugas hari ini sudah saya selesaikan. Apa saya boleh pulang sekarang?"

Haikal hanya melirik Ayun sepintas sebelum ia kembali asik dengan ponselnya. Ia melihat foto yang dikirimkan oleh coachnya yang tengah menjenguk Alifiya. Meski tak dapat melihat lagi, gadis itu tetap begitu cantik bagi Haikal.

"Kamu cantik banget, Fiya," batinnya sembari meletakkan kepala berbantal tangan, di atas meja Rauf.


Ayun melirik pemuda usil yang semakin hari semakin sering menjahilinya itu.

"Kalian mau temeni saya nggak? Saya mau cek kedai kopi deket sini. Tapi ... Abim sibuk. Kita bisa ngobrol di sana. Saya penasaran, katanya tempatnya sederhana di luar tapi dalamnya istimewa."

"Oh, JJ kopi itu?" celetuk Haikal.

"Iya, mau ya? Ayun kamu bisa kan? Saya takut dikira ada apa-apa sama Haikal kalau kami cuma datang berdua."

Ayun melongo. "Cowok sama cowok emang bisa kena fitnah juga, Pak?"

Rauf segera mengenakan jasnya. "Jaman sekarang, fitnah, gibah, itu kan sudah jadi makanan pokok orang. Jangankan manusia, hewan aja loh pada jadi bahan gibah. Kucing tetangga yang beranak terus, cicak kejepit yang ekornya putus tapi masih gerak-gerak, bahkan kambing yang bulunya cokelat tapi beranak putih, itu juga jadi sumber gibah dan tak jarang difitnah karena si penggibah terlalu melebih-lebihkan cerita."

Ayun terkikik. "Bapak bisa aja."

"Yok kalau gitu sekarang aja, makin sore makin rame di sana," ajak Haikal.

Ayun mau tidak mau menuruti keinginan atasannya. Ia ingat pesan Renny jika boleh saja pergi dengan atasan selama tak hanya berdua dan bukan bertujuan untuk kepentingan pribadi.

Haikal dan Rauf berjalan lebih dulu, sementara Ayun menjaga jarak di belakang. Mereka berjalan kaki, menyeberang di jalan arteri depan kantor dan berbelok ke arah kiri seratus meter. Ada kedai bernama JJ coffee and streetfood di sana.

Ayun hampir tak pernah pergi ke tempat seperti itu, kecuali diajak Renny atau Eka. Saat memesan minuman dan makanan pun, Haikal yang ambil keputusan.

"Kamu nggak suka manis, kan?" tanya Haikal retoris. Ayun hanya mengangguk, Haikal sudah tahu tentang dirinya dari CV yang ia tulis.

"Kamu nulis CV kayak bikin pengenalan karakter di novel. Panjang banget, rinci, tapi bahasanya nggak bosenin. Nggak sadar aku sampai baca dari halaman pertama sampai akhir." Begitu komentar Haikal, atas CV Ayun di berkas lamaran kerja.

Rauf yang memang berniat mengamati seluk beluk bangunan segera berkeliling dengan alibi ingin ke toilet. Ia mengomentari ini itu dengan seorang waitress. Berbicara tentang konsep dari kedai tersebut.

Ayun dan Haikal ditinggal di meja. Sang gadis mulai bosan saat pemuda di depannya malah asik memainkan ponsel tanpa mengajaknya bicara. Atasannya pun masih pergi sendiri entah dimana.

Dari hasil kegabutannya, Ayun sengaja mengabadikan gambar dari cup kopinya. Tiga buah cup kopi ia jajar sebelum diseruput pemiliknya masing-masing.

Namun, justru ada photobomb di sana. Wajah pemuda yang tadi biasa saja kini berubah kusut, tertangkap kamera.


"Mas kenapa manyun?" tanya Ayun.

Haikal menatap lawan bicaranya sebelum mengerucutkan bibir. "Aku kesel." Sebuah kejujuran meluncur dari bibir sang lelaki.

"Mau curhat? Gabut nih. Kali aja mau cerita. Bisa simbiosis mutualisme kan kita."

Haikal menyugar rambutnya. Ia kemudian menyeruput minumannya sebelum membuka suara.

"Aku itu kesel banget sama temenku, si Maul. Kamu tau kan Maul?"

"Yang ganteng itu kan? Yang anak kyai itu? Maulana Habibi Az Zukhruf?"

Haikal berdecih. "Cewek cupu ternyata tau juga cowok bening," sindirnya. Ayun terkikik. "Karismatik dan rupawan itu hal pasti. Pasti disetujui semua kalangan. Kalau level ganteng, itu relatif. Kadang beda-beda seleranya kan. Tapi, kalau jelek, itu mutlak. Semua pasti setuju kalau jelek ya jelek," tukas Ayun.

Pemuda itu memutar bola mata malas. "Serahlah, aku nggak peduli. Mau dia ganteng kek apa kek, dia tetep aja brengsek. Masak dia ninggalin Fiya sendiri di GOR kemarin habis tanding. Gila dia tuh. Padahal udah tahu kalau Fiya sekarang nggak bisa ngeliat. Fiya kedinginan, kehujanan,nungu di emperan GOR. Untung hapeku ketinggalan. Sumpah aku kesel banget. Aku ribut sama dia kemarin gapi dipisahin sama Jojo. Benci banget deh sama Maul."

Ayun yang ikut menikmati minuman pahit segarnya, kini mencoba memahami perasaan sang pemuda.

"Mas bucin sama Mbak Fiya, ya?" tebaknya.

Haikal tersenyum. "Aku udah tertarik sama dia lama. Tapi, kami kenal waktu dia udah pacaran sama Mahen. Ya, aku cuma bisa nyimpen perasaan. Aku sering diem-diem nyuri kesempatan biar bisa deket sama dia lewat Maul. Karena Maul kan kapten tim kami dulu. Dan, Fiya manajer tim."

Ekpsresi Haikal kembali berubah. "Kami bertiga lama-lama jadi deket. Maul suka cerita tentang Sahla, dan Fiya cerita tentang Mahen. Aku jadi pendengar mereka. Jadi sahabat mereka. Sampai, Maul ditinggal nikah sama Sahla. Dia jadi rada berubah dan Fiya kayaknya berusaha banget buat ngehibur dia. Jujurly aku cemburu. Dan semua kekesalanku terakumulasi kemarin. Di kondisi Fiya yang kayak gitu, dia masih aja ngurusin Maul, nanyain Maul. Gimana aku nggak kesel."

Ayun menyecap kembali minumannya sebelum berkomentar. "Emang Bang Maulnya juga suka sama Mbak Fiya?"

Haikal menggeleng. "Enggak. Maul nggak suka sama Fiya. Dia sekarang lagi ngejar Sheryl, sepupu Sahla. Cuma aku kesel aja kenapa Fiya kayaknya lebih perhatian ke Maul dari pada aku yang selalu ada buat dia."

Ayun terkikik. "Seru banget sih kisahmu, Mas. Emang sedalam apa rasa cinta Mas sama Mbak Fiya?"

"Nggak bisa diukur, dihitung, dan diungkapkan. Aku sayang sama Fiya."

"Makanya buruan belajar kerja yang bener. Magang yang bener. Biar cepet direkrut dan punya penghasilan. Terus halalkan dia. Lamar duluan. Jadi cowok harus sat set. Nanti kalau ketikung Mas Maul, tahu rasa loh."


Haikal seketika melotot. "Heh, jangan sembarangan! Doain yang baik-baik, kek. Jahat banget sih."

Ayun terkikik. "Loh, aku cuma bilang jangan sampai ketikung. Lagian, jodoh udah ada yang ngatur, Mas. Jangan terlalu mendewakan 'masa penjajakan semu alias pacaran'. Mas mau gonta ganti cewek seribu kali, cuma dosa doang yang didapet, sama sakit hati kalau diputusin, diselingkuhin, dan diporotin."

Haikal mencebik. "Modelmu kek ustazah. Ceramah panjang lebar."

"Ya, Maaf. Aku sih mikirnya lebih baik kita memantaskan diri dulu. Tingkatkan value diri kita, keimanan kita, siapin bener-bener, baru deh nanti pasti Allah akan kasih jalan terbaik."

"Ay, Ay, kamu ini mainnya kurang jauh. Jadi pemikiranmu masih pemikiran setingan orang jadul. Ketinggalan jaman. Ketinggalan peradaban."

Ayun tak tersinggung. Ia menyimpan ponselnya ke dalam tas sebelum bicara. "Ketinggalan jaman? Apanya? Outfitku? Jilbabku? Mas tau, outfit seperti ini ada setelah datangnya perintah berhijab dari Allah yang disampaikan pada Rasulullah. Dibanding dengan baju kurang bahan yang dikenakan banyak wanita di luar sana, gaya para muslimah sejati ini lebih modern. Di bagian mananya coba yang ketinggalan jaman?"

Haikal kalah bicara. Rauf kembali muncul, kali ini ia kembali bersama Abim yanh ternyata menyusul datang ke kafe.

"Serius amat ngomongin apa? Sampai ada ketinggalan jaman segala." Abim ikut nimbrung.

Ayun tersenyum. "Mas Haikal bilang saya ketinggalan jaman dan peradaban. Jadi saya sedang menyodorkan fakta lapangan Pak. Back to the topic, Mas. Kalau, yang Mas bilang peradaban maju itu mereka-mereka yang berani tampil seksi, telanjang, ngumbar aurat dimana-mana, itu monyet di hutan lebih beradab berarti, lebih maju dari pada manusia, mereka telanjang nggak pake baju."

Ayun santai saja mengucapkan pembelaan dirinya. Abim terbahak dan Rauf ikut terkekeh. Haikal mati kutu.

"Ayun, makasih, sudah menjadi perantara pelampiasan kedongkolanku atas ngeyel dan nyebelinnya, adikku ini. Setiap kali dia bikin statement aneh, aku nggak boleh matahin teori dia, kata bunda begitu. Karena adikku ini masih kecil, wajar kalau pikirannya aneh. Dan kebiasaan itu kebawa sampai sekarang. Nah, kali ini, kamu bisa jadi alat pemuas kegemasanku ke Haikal."


"Kakak ih! Kenapa malah gitu? Aku bilangin bunda loooh!" gerutu Haikal.

Ayun dan yang lain tertawa karena melihat si anak mami Haikal, memunculkan karakter aslinya. Ya, meski ia seorang atlit futsal yang cukup ternama di kotanya, tetapi tetap saja ia hanyalah anak bungsu yang selalu dimanja orang tua dan kakaknya.

"Jadi, saya dapat ijin untuk mengonfrontasi adik bapak yang gemoy ini, kan, Pak?"

Abim mengangguk dan mengacungkan jempol. "Silakan, kamu nggak akan aku pecat cuma karena ribut sama Haikal."

Ayun bertepuk tangan, sementara Haikal masih terus menggerutu. Gadis itu senang, ia bisa dekat dengan tim kerjanya. Tidak seburuk yang ia bayangkan sebelumnya. Seminggu berlalu begitu saja dengan cukup menyenangkan.

"Ya Allah, semoga semua akan berjalan sebaik ini, selamanya," batin Ayun. Meski jelas tak mungkin, indah selalu indah.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

❤❤❤❤❤

Adakah yang mau disampaikan sama Haikal?
Ayun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro