Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15. Jawaban Doa

 

            Pagi menjelang, menjanjikan hari baru penuh harapan. Sebagian sudah berburu rejeki sejak tadi. Sebagian baru bersiap menjemput pemberian Illahi Robbi yang tersaji di masing-masing lini sesuai porsi. Semua adil sesuai keperluan. Namun sayang, kepicikan para manusia, membuat mereka berani menggunjing dan memfitnah tuhannya sendiri. Ya, mereka bilang tuhan tidak adil. Astagfirullah, setidak adil apa Allah pada kita?

            Hanya karena terlahir berkulit coklat, sebagian manusia berani mengatakan Allah tidak adil. Mereka iri dengan yang berkulit putih. Padahal, nyatanya, semua warna kulit tidak membedakan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Semua dinilai dari tingkat keimanannya, ketaqwaannya, kepatuhannya pada Allah.

            Percuma fisiknya sempurna tetapi hatinya lupa. Lupa akan dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan kemana dia kelak setelah mati. Naudzubillah. Semoga semua yang membaca untaian ini tak termasuk dalam golongan manusia fasik, kufur nikmat, dan munafik.

***

            “Ayun?”

            “Iya, Pak.”

            “Ikut saya.” Hanya dua kata membuat Ayun yang tadi tengah menulis narasi untuk novelnya seketika brhenti dan mengikuti sang manager HRD. Ia menaiki lift yang berbeda dengan kebanyakan staff naiki. Tombol lantai lima ditekan oleh pria tersebut. Ayun membenahi letak jilbab, sembari diam-diam mengaca di dinding lift yang memantulkan bayangannya.

            Ayun menunggu di luar ruangan saat sang manager HRD  masuk ke ruangan CEO perusahaan. Ia dapat mendengar suara dari pria berwajah mirip Haikal yang berkantor di sana.

            “Silakan masuk, Pak Abimanyu sendiri yang akan memberikan tugas buat kamu.”

            “Baik, Pak. Terima kasih.”

            Ayun mencoba berbicara sesopan mungkin. Ia sempat membaca Al Fatihah dan Surah Al Ikhlas tiga kali sebelum mengetuk pintu.

            “Ada setan ya di dalem? Ngapain didoain?”

            Ayun yang terkejut langsung membalik badan. Ia mendapati pemuda dengan polo shirt putih berdiri di belakangnya. Gagang pintu yang dipegang Ayun menjadi terdorong ke dalam dan membuatnya hampir jatuh. Beruntung Haikal berhasil menahan tubuh Ayun. Namun, pemandangan itu langsung dilihat oleh Abim dan Rauf yang tengah duduk di ruangan termewah di perusahaan konstruksi, Dewangga Kingdom.

            “Abyakta Haikal Dewangga! Jangan pernah ganggu staffku atau aku stop uang sakumu.”

            “Ups, sorry, Kak. Aku bantuin, enggak gangguin. Ya nggak Ay? Siniin mana jatahku.”

            Ayun segera menjauh dari Haikal, ia yang tadi sudah tenang mendadak panik lagi. Bagaimana tidak, dia tengah beradegan tak pantas di depan atasannya di hari pertamanya kerja.

            “Ayun, duduk. Sementara, ruang sebelah dekat tangga baru direnovasi. Kamu belum punya meja, kita share ruangan dulu hari ini. Dan, Rauf akan mengajari kamu tentang Purchasing dan segala tetek bengeknya. Nama-nama barang dan jenis-jenis barang yang biasanya diorder juga akan dia beritahukan ke kamu. Tolong pelajari baik-baik. Untuk minggu pertama, kamu harus membuat laporan perhari dan serahkan pada Rauf. Dia mentor sekaligus atasan langsungmu. Sementara ini, dia membawahi banyak divisi. Sembari menunggu pekerja lain yang cocok untuk menduduki kursi yang masih kosong.”

            Ayun mengangguk dan mengatakan jika ia paham. Beruntung, Rauf adalah orang yang begitu profesional. Ia juga tak banyak bicara. Seluruh materi yang harus dikuasai oleh Ayun sudah diringkas Rauf dalam beberapa file.

            “Kalau sudah senggang, kamu bisa baca artikel atau buku yang saya rekomendasikan. Tapi, inti-inti dari semua bacaan itu, sudah saya kumpulkan jadi satu. Untuk hari ini coba masukkan data-data nama barang, buat duplikat dari dokumen ini. Sekalian ngetes skill penguasaan komputermu,” ucap pria itu.

            “Baik Pak. Ada batas waktunya?” tanya Ayun.

            Rauf menggeleng. “Ini dunia kerja, semakin cepat kamu selesai dan hasilnya bagus, semakin menunjukkan kinerjamu. Selamat bergabung dan semoga betah di sini. Ah satu lagi, saya atasanmu. Saya yang bertanggung jawab atas kamu. Dan Pak Abimanyu adalah atasan tertinggi kita. Semua perintah langsung dari beliau adalah hal mutlak. Hanya kami berdua yang bisa memberi perintah padamu.”

            Ayun menangkap ada sesuatu yang tak beres di sana, sepertinya Rauf tengah menekankan hal tentang aturan ‘perintah’.

            “Baik Pak, saya paham.”

            “Ay, tolong print-in tugasku dong, aku lupa. Untung Jojo ngingetin.”

            Ayun yang tengah duduk di meja seberang Rauf seketika berdiri dan meminta maaf. “Mohon maaf, Mas Haikal. Tanpa mengurangi rasa hormat saya. Ini sudah masuk ke jam kerja. Di sini, seperti pesan Pak Rauf, saya adalah anak buah beliau. Jadi, semisal Mas Haikal mau menggunakan jasa saya, menyuruh saya, atau apapun itu, hendaknya meminta persetujuan Pak Rauf. Atau persetujuan dari Pak Abimanyu.”

            Haikal melongo. “Ay, aku anak bosmu loh. Ngeprint doang juga.”

            “Saya tahu, Mas kalau Mas Haikal putra Pak Pradipta, tetapi di sini bukan wilayah kekuasan Pak Pradipta, di sini wilayah teritori Pak Abimanyu.”

            “Lah, aku adiknya Kak Abim.”

            “Iya, saya tahu, Mas. Anda memang adiknya, tapi anda bukan Pak Abimanyu, kan?”

            Rauf dan Abim terbahak mendengar kegigihan Ayun menolak disuruh-suruh oleh Haikal, si mahasiswa semester tua yang akhirnya melalui sidang skripsi minggu lalu meski dengan revisi yang cukup banyak.

            “Oke, Ay, awas ya, tunggu balesanku. Awas aja kamu,” ancam Haikal main-main.

            Ayun tak menggubris ancaman Haikal. Meski sejujurnya ia agak takut dengan si pemuda jika benar-benar melakukan apa yang ia katakan.

            “Dek, sana buruan ngampus. Kalau mau ngeprint print diluar, jangan sembarangan make fasilitas kantor, ini bukan punya kakak. Kamu bisa juga print di rumah kan? Kalau di rumah itu baru punya kakak pribadi.”

            “Tapi nggak ada yang ngeditin.”

            Abim mengembus napas. Ia memang terlalu memanjakan sang adik hingga membuat adiknya terlalu nyaman untuk dibantu terus menerus, alias malas. Ayun mengirimkan pesan cepat ke Haikal.

            “Mas, aku bisa bantu tapi jangan sekarang. Sekarang lagi kerja.” Begitulah bunyi pesan Ayun pada Haikal. Pemuda itu membacanya.

            “Yaudah kalau gitu,pinjem printer yang di belakang Ayun, aku print sendiri,” putus Haikal.

            Abim akhirnya mengangguk mengijinkan. “Ayun, tolong buat catatan berapa lembar kertas yang dipakai Haikal untuk mengeprint. Nanti invoicenya dibuat pakai kop yang resmi.”           

            “Astagfirullah, ini bos pelitnya bukan main. Sedekah Kak, sedekah. Jangan pelit-pelit, sulit jodoh!” Haikal menghempaskan bokong ke kursi di belakang Ayun. Mereka saling adu punggung.

            Haikal mengechat Ayun. “Buruan editin, udah aku send.”

            Terpaksa, jika bukan karena bantuan Haikal kemarin mempermudah jalannya duduk di kursi incaran banyak orang ini, Ayun tak akan mau disuruh-suruh. Ia baru saja membuka file dan suara Rauf terdengar.

            “Ayun, ingat peraturan tadi.”

            Seketika Ayun meletakkan ponselnya dan bergumam lirih. “Maaf, Mas.” Haikal mendengkus, modusnya ketahuan. Abim melirik adiknya, gelagatnya jelas tengah berusaha mengakali Ayun, si staf baru.

            “Oke oke aku print sendiri. SEN DI RI,” tukas Haikal. Rauf dan Abim terkekeh pelan sebelum fokus pada pekerjaan masing-masing.

           

***

            Sarung hitam bertumpal batik, koko putih lengan pendek, jaket hitam, dan peci senada disandang Iyus. Kali ini, ia mendapat pinjaman mobil dari Elhaq, untuk menjenguk ibunya karena gerimis sedari tadi mengguyur Jogja. Sosok wanita berjilbab hitam duduk di sebuah bangku, matanya seperti tertuju pada satu titik.

            “Bu, ayo masuk aja, gerimis campur angin loh ini.” Seorang gadis, salah satu perawat yang merangkap menjadi relawan di pusat rehabilitasi, RSJ Cempaka Putih, berusaha membujuk Rumi untuk masuk ke asrama.
Tak biasanya wanita itu menunggu di sana. Ia sedari tadi khawatir karena putranya tak datang-datang. Rasa gundah membuncah. Meski biasanya ia akan menolak kedatangan sang putra karena tak sanggup menatap rupanya. Kini, perasaan itu tak terbendung lagi. Ia begitu cemas, apakah sang putra memang berhalangan hadir? Ataukah tengah terjadi sesuatu hingga membuatnya tak datang di hari berkalang mendung ini.

            “Biar, aku mau di sini dulu.”

            “Nanti masuk angin loh, Bu.”

            “Aku mau nunggu anakku. Dia pasti ke sini. Aku takut dia kehujanan.” Rumi tetap keukeuh dengan pendiriannya. Meski tubuhnya sudah kedinginan dan sebagian bajunya basah terkena sapuan air hujan yang terbawa angin.

            “Bu, biasanya anak ibu udah datang sejam lalu, pasti hari ini nggak dateng.” Wanita itu akhirnya menyerah dan tidak lagi membujuk Rumi. Ia memilih mundur dan pergi melakukan tugas rutinnya mengecek apakah semua pasiennya dalam kondisi baik sore itu. Sementara Rumi, tetap menunggu di lorong depan parkiran motor. Ia tak tahu jika sosok yang ia tunggu kini sudah berdiri tak jauh darinya. Iyus datang menggunakan mobil, sehingga sang ibu tak melihat sosoknya datang.

            “Bu, ibu nunggu Yusuf?” Pemuda itu menahan haru. Rumi menoleh, ia segera bangkit dari kursinya. Biasanya setelah menatap Iyus, dia akan segera berlari masuk ke asrama tetapi kali ini tidak. Ia berdiri dan segera mendekati sang putra dengan mata berkaca-kaca.

            “Le, kamu kehujanan? Kamu kedinginan? Ini pake jaket ibu, pake.”

            Iyus tak kuasa menahan tangis harunya. Sang ibu menatapnya penuh kekhawatiran. Wanita yang masih cantik di penghujung usia tiga puluhannya, kini memegang pipi dan mengecek kondisi tubuhnya.

            “Iya, dingin Bu. Yusuf kedinginan, apa boleh Yusuf minta peluk ibu?”

            Rumi segera mendekap buah hati yang selama dua puluh tahun dipisahkan darinya itu. Mereka berpisah saat Iyus menginjak usia tiga tahun, Iyus diasuh kakek neneknya, sedang sang ibu menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa.
Dan di usia tujuh tahun, Yusuf dikirim ke pesantren Nurul Ilmi.

            “Sudah makan? Ibu masak sop, kamu mau makan sop? Dulu, kamu pas masih umur setahun sampai tiga tahun, kalau tak masakin sop makannya nambah terus, apalagi ditambah kacang polong sama jamur putih. Seneng banget kamu.”

            Air mata Iyus semakin deras. Sederas hujan sore itu. Ia seperti tengah bermimpi. Selama dua minggu ia berusaha akhirnya berhasil meluluhkan sang ibu, lewat doa yang tak pernah terputus ia panjatkan dan kegigihannya untuk selalu datang menemui sang ibu.

            Rumi mendongak menatap sang putra. “Baguse anakku,” puji Rumi.

            “Hafidz Qur’annya ibu, kebanggaan ibu.” Lagi, Rumi menatap sang putra dengan penuh kasih sayang. Tatapan yang selalu diinginkan Iyus.

            “Kamu sekarang tinggal dimana?”

            “Di galeri, Bu. Di tempat Mas Elhaq, temen Yusuf. Yusuf baru pindah jadi belum punya tempat dan pekerjaan pasti seperti di Solo.”

            “Kamu mau tinggal sama ibu?” ucap wanita itu.

            “Mau Bu, mau. Yusuf mau tinggal sama ibu. Mau di rumah Mbah Kakung dulu?”

            Rumi mengusap air mata putranya. “Ibu punya tempat, ditawari sama teman baik ibu. Kalau kamu mau, kita bisa tinggal sama-sama. Ibu tetep ngajar di sini, dan kamu bisa kerja dimanapun kamu mau.”

            “Iya, Bu, yang penting Yusuf tinggal sama ibu.”

            Rumi mengangguk, ia mengusap air mata di pipinya. Sebuah kecupan ia daratkan di pipi sang putra. Bayinya yang gembul dulu, kini menjelma menjadi sosok pemuda gagah nan tampan. Panjangnya kala lahir hanya 48,5 dan sekarang tingginya mencapai 180 senti. Beratnya hanya tiga kilo dua ons. Sekarang, enam puluh lima kilo.

            Ada beberapa pasang mata menjadi saksi haru biru sore itu. “Ayo Le, masuk ke kamar ibu dulu. Kita makan dulu, ya?”

            Yusuf mengangguk. Ia menuruti seluruh ucapan ibunya. Mereka bak sejoli dimauk cinta, saling merangkul, sesekali melepas senyum, tawa, atas canda dan cerita yang dibangun keduanya. Rumi, tak lagi bisa mengelak, menolak sosok putranya. Meski dirinya tak bisa menyembunyikan sedikit ketakutannya akan sosok yang ia benci di masa lalu, yang kini seolah ter-copy paste di fisik sang putra.

            “Yusuf, Ibu senang kamu tumbuh dengan sangat baik. Kamu gagah dan tampan, meski kamu fotokopi dari Mas Nugrah, laki-laki yang sudah menghancurkan hidup ibu ... laki-laki yang sudah memaksa kita tinggal terpisah selama belasan tahun ... laki-laki yang masih belum bisa ibu maafkan kelakuannya, meski sekarang luka itu sudah sedikit terhapus perihnya, akan kehadiranmu, putraku. Meski datang tanpa diharap, tapi kamu tumbuh di tangan malaikat. Menjadi Hamba Allah yang taat. Belum tentu jika aku yang membesarkanmu dengan tanganku sendiri, aku bisa menjadikanmu seorang pemuda soleh dan laki-laki sejati seperti ini. Ya Allah, terima kasih sudah menjadikannya putraku. Putraku ... Yusuf Tabriz Albirru.”

            Rumi benar-benar mencurahkan rasa sayangnya pada sang putra meski Iyus hampir menginjak usia seperempat abad, ia tetap menyuapi putranya itu. Sembari makan, Rumi mengajak putranya ngobrol.

            “Kamu udah ketemu Simbah?”

            Iyus menggeleng. “Belum, Bu.”

            “Loh kenapa? Kamu udah lama di Jogja kan?”

            Iyus mengangguk. “Yusuf takut, Bu,” jujurnya.

            Rumi mengernyit. “Takut apa?”

            “Takut ... soalnya ... Yusuf ... dipulangkan sama Ustaz pimpinan pondok.”

            Rumi mengernyit. “Sama Pak Kyai?”

            Iyus menimbang-nimbang, tetapi ia memilih untuk jujur saja pada sang ibu. “Iya, anu ... Abah Kafaby salah sangka sama Yusuf. Dikiranya Yusuf ada hubungan sama akhwat luar pondok. Padahal itu Yusuf sedang tabayun, ada salah paham soal pekerjaan, Bu. Yusuf meluruskan, tapi malah jadi fitnah.”

            Rumi menatap wajah sang putra. Ia jelas tak membenarkan tindakan putranya tetapi ia tetap tak bisa menyalahkan niat baik sang putra juga untuk tabayun dengan rekan kerjanya.

            “Cantik ya?”

            “Hm? Enggak, Bu. Cantikan ibu. Dia itu yang jual bubur di warung depan pesantren. Bantu-bantu di sana. Dia temen Yusuf, Bu. Sudah lulus kuliah juga, Bu dan dia membiayai kuliahnya sendiri loh, Bu. Dia nggak malu mulung botol bekas, kerja di warung, kadang bantuin simbahnya di sawah. Pekerja keras dia, Bu. Tapi, sekarang dia udah kerja kantoran. Alhamdulillah. Allah sudah memberinya tempat mencari rejeki yang lebih nyaman dan layak. Dia penulis juga, Bu.”

            Rumi melihat perubahan ekspresi sang putra yang berubah-ubah. Untuk pertama kalinya ia merasakan hal yang baisanya diceritakan teman-temannya ketika anak-anak mereka tengah curhat. Beginikah rasanya, menjadi bagian dari hidup orang lain. Jemari Rumi terulur dan membelai sang putra.

            “Anak ibu suka sama akhwat ya? Sampai memperhatikan sedetail itu.”

            “Ih ibu, enggak kok. Yusuf masih belum berani buat suka-sukaan.”

            “Tapi matamu berbintang waktu cerita, hayoo, jangan bohong,” goda Rumi. “Siapa namanya?”

            Iyus tersipu. “Nusayba Qurota’ayun. Panggilannya Ayun, tapi Yuauf panggil dia Dek Say.”

            Rumi terkikik. “Oalah, anakku seudah besar, sudah kenal akhwat.”

            “Ah udahlah, Bu. Yusuf maunya sama ibu aja. Mau ibu. Nggak peduli sama yang lain.”

            Rumi tertawa. “Yaudah kalau maunya sama ibu, sini gantian, ibu mau denegr kamu ngaji. Mana hafidz Qur’annya ibu?”

            Iyus tersenyum dan meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Keduanya kini tengah berada di kamar pribadi Rumi di asrama yang disediakan untuk relawan panti rehabilitasi, yang letaknya tepat di belakang banguanan RSJ. Pemuda itu menuruti sang ibu, ia melantunkan ayat demi ayat AlQur’an yang sudah melekat di pikrian dan hatinya sejak ia umur empat belas tahun.

            Rumi tak terasa menitikkan airmatanya. Anak yang pernah ingin ia lenyapkan, nyatanya dipilih Allah untuk menjadi tentara-Nya. Menjadi penjaga kalam-Nya.

            “Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Laa illa ha illa anta. Subhanaka inni kuntu minadzolimin. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.” Rumi mengucap doa, doa yang sama ketika Nabi Yunus tengah berada di dalam perut ikan paus. Saat ia pergi akibat putus asa atas kemungkaran kaumnya kala itu. Ayat itu terkandung dalam surah Al Anbiya ayat ke delapan puluh tujuh.

            Rumi mulai menyadari kesalahannya, kekhilafannya, dan ketidakmampuannya dulu menerima apapun yang telah ditakdirkan untuknya hingga akhirnya Allah memberinya pintu hidayah, memeluknya kembali, mendekat ke jalan yang benar. Hingga luka-luka masa lalunya perlahan ia lepaskan, ia ikhlaskan. Karena sesungguhnya, terlalu menyalahkan keadaan dan takdir adalah bagian dari penyimpangan rukun iman yaitu iman pada Qada dan Qadar.

           
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Selamat malam semuaaa

Gimana nih .... Ehehee

           

           

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro