Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14. Tentangku

Malam menjelang, kegiatan bakda isya telah usai. Kini, pemuda jangkung yang baru selesai mengaji kitab di pesantren kyai Sulaiman itu merebahkan tubuh.

Masih terngiang di benak Iyus tentang pembahasan malam ini mengenai, huzn, ghamm, hamm, dan hal-hal yang merujuk tentang depresi atau kesedihan berlarut dalam Al Qur'an.

"Kalau kita mengalaminya, bisa saja kita melakukan antisipasi seperti segera berserah pada Allah. Tapi, kalau yang mengalaminya orang lain bagaimana? Bisakah kita membantu? Jawabnya jelas satu. Bisa."

Iyus terus mengingat apa saja hal yang harus dilakukan untuk membantu orang terbebas dari depresinya. Bukankah suatu kebetulan, ketika ia butuh cara merayu sang ibu agar sudi menerima kehadirannya, ia mendapat tausiah seperti itu.

Ketukan pintu terdengar. Ia segera bangkit dan membukakan tamunya. Sosok Elhaq yang muncul bersama salah satu anak kembarnya tengah berada di luar galeri, tempat Iyus menumpang tinggal.

"Yus, bonekanya Khaileen ketinggalan ya?"

Si gadis cilik yang terlihat mengantuk itu menoleh pada Iyus. "Om, bunika Ai bunika Ai."

Iyus segera masuk dan mengambilkan boneka si bocah kecil. Elhaq ikut masuk. "Nih, Khawla masak banyak, nanti kalau kamu mau sahur bisa dimakan."

"Makasih, Bro."

Iyus segera menyerahkan boneka milik keponakannya itu. "Kamu ngapain kusut gitu mukanya?" tanya Elhaq.

Iyus menggeleng. "Nggak kok, mau ngopi dulu, Bro?"

Elhaq mengangguk. "Yo, boleh. Khai duduk sini dulu ya?"

Anak perempuan itu tak protes, selama masih berdekatan dengan sang ayah, ia tak mengapa ditinggal ngobrol meski harus mainan sendiri. Baru saja Iyus datang menyuguh kopi dari dapur, suara seorang wanita terdengar.

"Loh, kalian nyusul?" Elhaq mendapati sang istri menyusulnya bersama kembaran Khaileen, Elhaz.

Haz sudah mengantuk, ia meminta duduk di samping kembarannya yang tengah memeluk boneka kelinci kesayangannya. Si anak kembar itu saling berpelukan dan tidur berbantal paha sang ayah. Khawla menggelengkan kepala. "Dasar anak Abi," celetuknya.

"Mbak La, mau ngopi juga?"

"Waduh, nggak deh, Yus makasih, takut nggak bisa tidur."

Khawla menarik kursi di seberang sang suami tetapi Elhaq menarik tangannya, menyentak lebih tepatnya hingga membuat sang istri terjatuh di sisi pahanya yang lain.

"Mas," protes Khawla.

"Biar Iyus pengen, biar cepet nikah. Udah tua dia."

Khawla mencubit lengan sang suami dan membenahi duduknya di samping sang suami berhimpitan karena dua anak mereka menghabiskan separuh lebih sofa untuk tidur.

"Kamu mau cerita apa tadi?" Elhaq mengajak Iyus bicara.

"Anu ... Aku udah coba nemuin ibu akhir-akhir ini Mas. Tiap pagi aku ke sana, nganter bubur buat ibu. Sore aku juga mampir. Tapi, ibu tetep masih nggak mau ketemu. Ibu cuma bolehin aku masuk sampai ruang tamu asramanya aja."

Khawla menatap Iyus dan suaminya bergantian. "Yus, kalau boleh tau, kenapa ibumu bisa tinggal di sana?"

Khawla ragu-ragu bertanya ia takut dimarahi sang suami, tetapi suaminya terlihat tak bereaksi.

"Eh kalau nggak mau cerita nggak apa-apa kok." Ralat Khawla segera.

"Ceritanya panjang, Mbak. Dan aku baru tahu cerita ini tiga tahun lalu, setelah aku bener-bener dewasa. Simbah baru cerita soal keluargaku."

Elhaq meminta tolong istrinya mengambilkan cangkir kopi dan meminumkannya. Semanja itu pria berewok di samping Khawla jika tengah bersama sang istri.

"Dulu, ibuku mondok di Darussalaam, Mbak. Di tempatnya Gus Zar. Waktu itu, ibu santri ndalem yang di sayang sama Bu Nyai. Sampai dilamar sama Bu Nyai, mau dinikahkan dengan putranya. Gus Taufik namanya. Seminggu sebelum pernikahan, ibu mengalami pelecehan. Ibu diperkosa sama anak dari bosnya mbah Kakung."

Iyus menghela napas, sementara Khawla berisitigfar, wajahnya menunjukkan ekspresi empati.

"Berita itu sampai di keluarga Gus Taufik, mereka akhirnya membatalkan pernikahan dengan alasan tidak mungkin menikahkan putra mereka dengan wanita yang sudah tidak suci. Ibu kecewa, Mbak. Ya mungkin sebagai wanita, Mbak pasti tau gimana rasanya, beratnya, jika berada di posisi itu."

"Astagfirullah, Ya Allah," ucap Khawla berulang kali.

"Setelahnya ya ibu sadar kalau hamil. Waktu itu ibu baru umur tujuh belas, pelakunya pun waktu itu sama juga masih SMA. Aku nggak pernah tahu bapakku gimana dan dimana. Tapi, kata orang RSJ aku mirip bapak."

"Orang RSJ?" Elhaq dan Khawla bersamaan bertanya.

"Iya, menurut orang-orang di sana, bapak jadi donatur di sana sejak lima belas tahun lalu. Dia, selalu datang ngunjungi ibu meski nggak pernah langsung muncul di depan ibu."

Khawla berekspresi aneh. "Ya Allah, kok so sweet."

"Eh, so sweet apanya? Kamu ini aneh-aneh aja," tegur sang suami.

"Loh, kan itu menunjukkan kalau bapaknya Iyus bertanggung jawab Mas. Gini, kalau dja memang maaf ya brengsek, harusnya dia nggak peduli sama ibunya Iyus. Orang selagi suami istri sah yang menikah karena saling cinta aja kalau udah nikah lama suka cuek, suka nggak perhatian. Nah, kalau ini, bapaknya Iyus masih sering datang, kasih bantuan, kasih uang, namanya kan itu masih perhatian. Perhatian itu wujud dari rasa sayangnya. Gitu. Nggak mungkin lima belas tahun bertahan tanpa ada cinta."

Iyus mendengkus. "Paling karena rasa bersalah atau malah takut biar nggak dipenjarain, Mbak. Dulu kan orang tuanya kasih tukon banyak ke keluarga ibu. Tapi, dia malah ke Amerika. Nikah apa kalau cuma diijab terus ditinggal. Ibu makanya depresi. Sampai dirawat di RSJ karena simbah sedih ngeliat ibu ngelamun terus dan kadang histeris kalau liat laki-laki."

Khawla paham, Iyus tentu tak terima ibunya jadi seperti itu. Menjadi anak yanh terlahir dengan label 'tak diharapkan' jelas berat.

"Yus, kamu wis dewasa, kamu santri, kamu berilmu, beradab, dan yang terpenting kamu ini Hamba Allah. Jangan terlalu banyak berpikir kenapa begini kenapa begitu, kenapa harus aku. Semua ikhlaskan, jadikan hal itu sebagai cambukan. Percuma kamu meratap kenapa terlahir dari keluarga tak utuh. Sekarang, ini babak baru hidupmu. Hal pertama yang sebaiknya kamu lakukan ya, perjuangkan ibumu. Minta sama Allah agar ibumu mau membuka hatinya. Menerimamu. Beliau adalah pintu surgamu. Mumpung masih ada kesempatan, perjuangkan cintanya. Pasti, ibumu pasti luluh. Kamu nggak perlu banyak alasan buat menghindari ibumu lagi."

Iyus mengangguk. Ia sempat merasa malu dan bahkan merasa hidupnya tak adil, dulu. Namun, Elhaq terus membesarkan hatinya.

"Kita semua diuji sesuai kemampuan kita. Aku, dari kecil diejek bapakku punya istri banyak. Diejek katanya anak orang mesum, anak penjahat kelamin berkedok kiai, anak pelakor. Dari kecil. Aku ya denger semua itu, masih inget aku. Padahal waktu itu aku masih seumuran sama anak-anakku ini. Tiap kami ke pasar orang-orang bisik-bisik gunjing kami. Itu menyebabkan trauma tersendiri, sampai aku pun takut melakukan hal yang sama ke istriku. Kamu tahu sendiri kan? Tapi, semua aku pasrahkan pada Allah. Kita cuma jalani saja tunjukkan keteguhan iman kita, pasrah, jalani sebaik mungkin dalam memperbaiki diri sebagai hamba Allah. Insyaaallah hal-hal berat itu jadi sepele. Karena apa? Karena Allah yang menyelesaikannya untuk kita."

Khawla menatap kagum pada sang suami. Suara air bergemuruh dari belakang membuat Iyus beranjak. Tandon air di belakang penuh, ia lupa mematikan. Selepas pemuda itu pergi, Elhaq mengode istrinya meminumkan kopi lagi.

"Yank, siniin kopinya, mau tak habisin terus pulang."

Khawla menurut. "Enak ya Mas?" tanyanya.

Elhaq meneguk habis kopinya. "Mau?"

"La wong udah habis." Khawla meletakkan cangkir. Sang suami cepat meraih belakang kepalanya dan mendekatkan bibir. Membiarkan sisa kopi yang menempel di bibirnya menyentuh bibir sang istri. Elhaq menyecapnya lembut.

"Gimana? Enak? Pait? Manis?"

Khawla mencubit sang suami. "Ih, malah modus. Wis ayo pulang. Buruan."

"Ngapain keburu-buru? Pengen dilanjutkan?" goda Elhaq.

"Ah dasar mesum," protes Khawla sembari beranjak dan bersiap menggendong Khaileen. Elhaq terkekeh, ia membawa Elhaz.

"Yus, aku pulang dulu ya."

Iyus menjawab dari belakang, ia membereskan bekas percikan air yang membasahi lantai dekat dapur. Pemuda itu cukup cekatan mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena terbiasa di pondok.

Ia lalu mengunci pintu depan, setelah memastikan Elhaq dan Khawla telah pulang. Ponselnya berdering nyaring. Ia bergegas masuk. Ada nama seseorang di sana.

"Assalamualaikum," ucap Iyus.

"Wa alaikumussalaam, Mas. Belum tidur kan? Maaf aku ganggu. Aku panik. Mau ... Mau ngerepotin ... mmm ... Soal  shortcut Mas. Aku susah ngapalinnya."

"Apanya yang susah. Gini caranya Ctrl + A Select All.   Kontrol A, Allah, apapun yang ada di i dunia ini, berada di bawah kontrol Allah. Ctrl + B, , bold. Kontrol B, benci. Apapun yang dibenci keliatannya gelap dan tebal. Ctrl + C – Copy. Kontrol C, cinta. Hasil bercinta biasanya adalah kopian diri. Dirimu atau diriku, eh. Canda, Dek. Biar nggak tegang."

Tawa terdengar dari seberang. "Astagfirullah, Masku ngajarin 1821 ih! Saru!"

Iyus terbahak. "Kamu jangan terlalu fokus sama ketakutan sepele begitu. Latih aja terus, tulis di sticky note gitu loh, tempel di pinggir monitor. Lama-lama nanti juga kebiasa. Nggak usah dihapalin. Menghapal rumus shortcut itu sama aja kayak cinta. Kalau datangnya dipaksa malah sulit rasanya. Tapi kalau dimulai pelan-pelan, eh nggak sadar ternyata udah saling bertaut hatinya, udah jatuh cinta."

"Oh jadi nggak kerasa udah ngeklik Ctrl + D ya Mas? Ke Fill cinta. Padahal nggak mencet Ctrl + F, alias Find, nyari pasangan."

Iyus tertawa keras. Sudah lama ia tak selepas ini ketika tertawa. Ia geli karena Ayun mulai pintar mengikuti cara bicaranya.

"Iya bener. Kalau kangen sama ayank, pengennya pencet Ctrl+G biar langsung bisa Go To, your page, eh place. Karena meski kita berjauhan, berpisah, keberadaanmu nggak akan bisa aku Ctrl+ H, replace. Nggak terganti."

Obrolan itu semakin seru saja. "Duh Mas, meleyot aku. Kayak huruf-huruf yang di Ctrl+I, di italic, pada miring saking lemesnya lutut digombalin sama Mas Yusuf. Jadi pengen Ctrl + K, insert a hyperlink, eh insert your name in my heart loh."

Iyus masih cekikikan. "Boleh kalau mau insert namaku. Aku siap buat Ctrl+N, buat new workbook, biar bisa nulis ceritaku sama kamu. Dan aku bakal save itu, boar setiap saat bisa Ctrl+O, open, kenangan indah kita. Kalau perlu aku klik Crtl+ P, aku print dokumennya, aku abadikan. Dicetak. Biar tetep rapi dan nggak rusak kalau kepencet Ctrl+R, nothing right karena bisa bikin yang awalnya udah rata dan cantik di justify, jadi mepet kanan semua."

Ayun juga tertawa di ujung telepon. "Mas lanjut dong, tanggung."

"Oke lah, Dek Say, ijin buat Crtl+S, save-in namamu dan mau aku Crtl+U, garis bawahi biar makin jelas di hatiku. Akan selalu aku Ctrl+V, tempel, ke setiap untaian doaku. Ku ulang terus untuk disebut setiap melangitkanmu. Jadi tolong jangan di Ctrl+ W, tutup workbook kita ini tanpa disave, apalagi kamu Crtrl+X, cut tanpa di paste. Karena aku pengen terus Ctrl+ Y, repeat, hari-hari indahku denganmu selamanya. Dan, jangan menekan Ctrl+Z, cancel wacana kita untuk saling mengenal ini. Sampai nanti ketika aku datang untuk meminangmu."

Ayun tertawa senang. "Mas, ijin dong, copas gombalannya. Mau aku tulis di novelku. Boleh ya? Ya?"

Iyus tersenyum. "Berani kasih berapa emang royaltinya?"

"Apapun yang Mas minta, aku kasih, asal nggak melanggar syariat."

"Oke, janji?" tantang Iyus.

"Iya. Eh mas, udah jam segini. Aku matiin ya, besok harus berangkat pagi. Daah Mas, besok aku telpon lagi ya?"

"Iya, semangat ya besok. Selamat malam, assalamualaikum, Dek Say."

"Wa alaikumusaalam, Mas Yus."

Iyus tersenyum, entah kenapa ia merasa renyah tawa Ayun membuat kekalutannya tadi hilang. "Dek, kenapa meski raga kita jauh aku malah ngerasa kita dekat."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuanyaaa

❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro