Part 13. Jalan-Jalan
Tiga wanita yang heboh mengomentari berbagai pernak pernik di depan, dikawal oleh dua laki-laki di belakang. Zulham dan Anthony mengobrol tentang pembangunan infrastruktur baru yang mulai digalakkan di kota Solo. Obrolan khas laki-laki. Langkah mereka tak lepas dari tiga anak bebek berisik yang menjelajah toko-toko di dalam Mall.
“Eh, ke tempat Ustazah Zia aja, beli apa-apa di sana kan lengkap, Ren. Kamu bisa seperangkat alat salat, baju, kain, apapun di sana. Sepatu sama tas juga ada, apalagi jilbabnya wih, cantik-cantik banget.”
Ayun setuju. “Iya aku setuju, kali aja bisa ketemu sama Ustazah Zia, aku mau terima kasih soalnya dikasih jalan buat daftar ke Dewangga Kingdom. “
“Oh iya ya, kan yang nawarin lowongan itu kemarin Ustazah ya. Papanya Ustazah Zia itu denger-denger, dulu ikutan nanam saham gede gitu loh di sana. Kan kontraktor juga dulunya sebelum meninggal.”
Ayun mengangguki ucapan Eka, membenarkannya. Ketiga orang itu kemudian heboh sendiri, setelah masuk ke dalam outlet bernuansa islami milik brand Z collection. Renny terlihat mengagumi sebuah gaun berpayet nan cantik. Matanya mengerjap-ngerjap, bibirnya menggumam kata ‘Masyaallah’.
Zulham mengamatinya, ia tak tahan untuk tidak mendekati calon istrinya. “Nyonya mau ini?” tawar Zulham.
Gelengan menjadi jawaban. Baginya gaun dengan harga lima belas juta itu jelas hanya mimpi untuk dimiliki. Pendapatannya sebagai penjual bubur hanya meninggalkan laba bersih seratus lima puluh ribu perhari. Berapa hari ia bisa menutup lima belas juta dengan hasil jerih payahnya?
“Kalau kamu mau am—“
“Ambil aja? Jangan terlalu royal buat aku Mas. Royal-lah pada mereka yang lebih membutuhkan. Ikuti ajaran Rasulullah, kasih sedekah ke anak yatim piatu macam Ayun, mungkin. Atau orang-orang miskin, dan semua yang berhak mendapatkan bantuanmu. Lebih manfaat.”
“Loh, aku kan juga lagi mengikuti sunah rasul.”
“Apaan emang?”
“Memuliakan janda, nikahin janda.”
Renny seketika melotot dan memukul lengan pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan hari itu.
“Dua kali malah, aku nikah sama janda. Dua kali mengikuti sunnah nabi. Rasulullah menikahi Sayyidah Khadijah yang lebih tua dari beliau. Dan, menikahi sayyidah Hafsah, janda muda nan cantik putri sahabatnya. Kurang apa aku hm?”
“Dasar penikmat janda,” ejek Renny. Keduanya tertawa. Memang terlihat tak enak didengar di telinga tetapi jokes seperti itu kini sudah biasa saling mereka lemparkan. Zulham kemudian mengikuti Renny.
“Ambil aja yang kamu suka yang kamu mau, jangan ragu.Aku emang niat beliin buat kamu kan. Pilih yang sekiranya kamu bakal pakai, jangan liat price tag-nya.”
Renny baru akan memprotes sang calon suami tetapi matanya tertuju pada seseorang. “Masyaaallah, gantengnya. Ya Allah ... ganteng banget,” gumam Renny.
Awalnya Zulham tersenyum-senyum mendengar sang calon istri mengucap kalimat itu tetapi semuanya buyar ketika ia menyadari arah tatap sang istri. Bukan dia yang ditatap, tetapi pria yang tengah menggendong anak perempuan berjilbab di dekat kasir. Al Ustaz Hafidz Abidzar Ibrahim, sosok suami dari pemilik gerai toko yang disambangi Renny.
Tak hanya Renny, banyak ibu-ibu yang meminta foto dengan dai muda dengan ketampanan di atas rata-rata itu. Tidak hanya ketampanannya, auranya yang dingin dan misterius justru membuat daya tarik tersendiri. Di sampingnya, seorang pria yang tidak lain adalah pelanggan buburnya, Ustaz Kafaby berdiri bersama sang cucu, putra dari Gus Ubay dan Ning Sahla.
“Ya Allah, Mbak, beruntung banget kita ke sini pas ketemu Ustaz Hafidz.” Ayun hampir memekik kegirangan.
Zulham mendengkus. “Buruan pilih, ini kartunya aku udah kasih pinnya kan, aku tunggu di luar,” ucapnya.
Ayun melihat sesuatu tak beres dari wajah Zulham yang melenggang pergi sementara Renny masih mengagumi sang Ustaz. “Mbak, Mbak, Mas dokter cemburu tuh,” kikik Ayun.
“Ha? Cemburu? Ada-ada aja kamu.”
Renny kembali memilih kebutuhannya, ia sebenarnya tidak enak menghabiskan uang Zulham untuk membeli seserahan yang akan dibawa keluarga sang pria untuknya. Dua juta tujuh ratus enam belas ribu, jumlah total yang dibayarkan oleh Renny. Ia segera keluar pasca membayar. Didapatinya pria itu tengah duduk di bangku menunggu sendirian karena Anthony juga tengah sibuk menggantikan Eka mengantri membayar di outlet sebelah.
“Mas, ini. Maaf ya, habis banyak, dua juta tujuh ratus,” cicit Renny takut.
“Ha? Dua juta?” Zulham terkejut. Renny menatap Zulham dengan tatapan ketakutan, tangannya gemetar.
“Kok cuma dua juta, kamu beli apa aja?”
“Udah semua kok, gamis, kerudung, mukena semuanya.”
Zulham heran. “Serius? Tapi kok cuman dua juta?”
Renny sejujurnya lega, ia pikir Zulham tadi marah karena ia membeli banyak barang. “Iya, itu ada kok struknya.”
Renny kemudian duduk di samping sang calon suami.
“Nggak minta foto tadi sama ustaz ganteng?” tanya Zulham sembari melihat ke ibu-ibu yang heboh setelah keluar dari outlet yang sama dengan tempat Renny berbelanja.
Wanita cantik itu tersenyum. “Jadi, sekarang tahu kan gimana rasanya kalau calon kita lagi fokus ke orang lain? Itu yang aku rasain kalau Mas lagi ngeladenin perawat-perawat praktek yang PDKT sama Mas berdalih nyari nilai buat laporan mereka.”
Zulham menatap calon istrinya. Ia yang tadi kesal kini tertawa. “Aku cuman iseng aja itu. Sengaja, mau tahu reaksimu. Eh, nyatanya kamu diem aja. Aku pikir kamu bakal marah-marah.”
“Ya emang aku harus gimana? Aku belum sah jadi istrimu, mau mengklaim nggak bisa. Coba kalau aku udah jadi istrimu, aku jambak dia. Orang tenaga medis kok kekantor rambutnya ngelewer kemana-mana. Kibas sana sini. Dia perawat apa model iklan sampo?”
Kali ini Zulham terbahak. Ia tak menyangka Renny sejulid itu jika tengah cemburu. “Awas aja kalau diulang lagi,” ancam Renny.
“Eh, ini tadi kan ceritanya aku yang kesel, kenapa malah kamu yang ngamuk sih?”
“Habisnya Mas ngingetin sih kemarin ditempel cewek chibi-chibi.”
“Tuh, itu ustaz idolamu pergi tuh.”
Zulham awalnya hanya bercanda tetapi Renny justru menjawab ejekan sang pria dengan tindakan. Ia berdiri dan tersenyum sangat manis pada sosok tampan yang melenggang keluar dari toko sang istri.
“Assalamualaikum, Abah Aby, Ustaz Hafidz, Ning Fiza, Gus Syaqil.”
“Wa alaikumussalaam. Loh, Mbak Ren. Jalan-jalan ini?” Kafaby, pria yang disapa Renny merespon dengan baik, ia adalah pelanggan setia warung bubur Renny.
“Mbak Renny kapan buka lagi warungnya? Udah kangen nggak makan bubur, Ya Fiza ya,” ujar Ustaz Hafidz, diangguki putrinya.
“Ante Len, Piza mau bubulnya Ante.”
Renny tersenyum. “Besok saya bikinin spesial deh, buat Abah sama Ustaz, buat Ning Fiza juga sama Ummah Hana, Buna Zia. Saya anter ke rumah ya.”
“Wah, boleh-boleh. Beneran loh, saya kangen sama Mbak Renny. Lama nggak ngobrol-ngobrol juga.” Perkatan Kafaby membuat Renny merasa diatas angin. Zulham terbatuk dan berdehem sebelum berdiri.
“Ustaz,” sapanya kemudian.
Ketiganya beramah tamah. “Jadi yang dari tadi sama Mbak Renny pak dokter to.”
“Nggih, nyari komplitan buat seserahan.”
“Loh siapa yang mau nikah?”
“Saya sama Dek Renny, insyaallah besok Jumat, Ustaz. Mohon doanya.”
“Alhamdulillah, selamat ya. Semoga dilancarkan.” Serentetan doa diucap oleh Kafaby dan Hafidz. Acara ramah tamah itu berhenti saat Ustazah Zia keluar bersama putra bungsunya dan mengajak suai serta iparnya pulang. Ia sempat bertegur sapa dengan Renny sebelum pergi.
Renny tak sadar jika sedari tadi tangan pria itu memegang pinggang belakangnya. “Pak, tangannya mohon dikondisikan.”
“Mulutnya juga tolong dikondisikan, jangan nebar senyum seenaknya. Godain ustaz, segala. Dobel dosamu.”
Renny terkikik. “Cie cemburu, cie. Ya kan?”
Zulham meraih belanjaan Renny. Ia mengembus napas dan melenggan pergi ke arah dimana Anthony dan eka serta Ayun berada.
“Mas, eh, kok aku ditinggalin.”
Zulham tak menggubrisnya.
“Mas! Mas!” rengek Renny. Ia tetap dicueki. Tak habis ide, ia akhirnya meraih tas belanjaannya, kemudian berjalan beriringan. Jinjingan tas itu dipegang bersama Zulham.
“Mas, jangan ngambek,” cicit Renny.
“Ayaaaank,” rengek Renny.
Zulham seketika tak bisa berpura-pura kesal lagi mendengar kealayan calon istrinya. Ia seketika terkekeh salah tingkah karena dipanggil ‘Ayank’.
“Dalem,” jawab Zulham.
“Jangan cuekin aku,” pinta Renny.
“Kalau kamu nakal lagi, aku bakal diem.”
“Iya, maapin dedek dong, Ayank.”
Eka dan Anthony terbahak sementara Ayun berjengit jijik mendengar kakak sepupunya mendadak alay dan bucin.
***
Seloyang pizza, beberapa burger, paket makan ayam dan nasi, beberapa botol air mineral dan cola. Ayun mengamati semua makanan itu, ia merangkai kata dan menulis di ponselnya, mencatata, apa saja hidangan di sana dan bagaimana rasanya setiap makanan yang dianggap makanan orang kaya itu.
“Ayun, kok didiemin doang?” tanya Zulham heran.
“Bentar, dia lagi semedi. Cari inspirasi buat tulisannya. Mas makan aja,” jelas Renny.
Zulham mengangguk-angguk. Tak lama dua orang pemuda muncul, Jonathan, adik Anthony dan seorang teman.
“Wuidih, double date ceritanya?” celetuk Jonathan yang akrab disapa Jojo.
“Eh ada Ayunan di sini, ngapain? Jadi kacung ngintil orang pacaran?” ejek Jonathan. Ayun mencebik, Jonathan adalah teman sekolahnya dulu di SMP dan SMA.
“Berisik.”
“Ayun?”
Sapaan itu membuatnya beralih fokus ke sosok berjersey sama dengan Jonathan. “Mas Haikal?”
“Kalian kenal? Sejak kapan?” tanya Jonathan.
Ayun tersenyum lebar. “Jojon kepo,” celetuk Ayun.
Haikal tersenyum dan menarik kursi di samping Ayun. “Dia yang aku ceritain, anak baru di tempat ayahku.”
“Serius? Widih, kamu kerja di DK?” tanay Jonathan.
Ayun mengangguk.
“Oh, jadi udah mulai kenal sama anak bos juga?” goda Anthony.
“Nggak sengaja kok kenalnya.” Ayun menjawab dengan sesantai mungkin.
Sejatinya Ayun agak canggung dengan kedatangan Haikal yang tiba-tiba diantara orang-orang terdekatnya. Dua pasangan romanis tengah berbincang satu sama lain, Eka tak segan menyuapi kekasihnya yang tengah mabar dengan sang adik, Jonathan, sementara si calon penganten tengah berbincang setengah berbisik sembari menikmati makanan mereka.
“Punyamu?” tanya Haikal sembari menunjuk ponsel yang tergeletak di meja depan Ayun. Gadis itu mengangguk. Haikal segera mengambilnya dan menggunakan ponsel itu menelpon ke nomornya.
“Ih, pencurian,” cicit Ayun.
“Kamu bakal butuh nomorku nanti.” Haikal tak sengaja menekan notifikasi ponsel yang masuk, ada nama Mas Yusuf di sana.
“Kamu anak tunggal kan? Ini siapa panggil adek?”
Ayun merebut ponselnya. “Eh nggak sopan ih,” protes Ayun meski tak keras. Haikal meringis. Sementara Ayun segera mengambil ponselnya membaca pesan dari Iyus.
“Alhamdulillah, Dek. Aku ikut seneng. Selamat ya, semoga berkah. Mulai sibuk dong besok? Pasti banyak fansmu yang nungguin karyamu di Write Me,” gumam Ayun membaca bunyi pesan itu. Ia tersenyum, Haikal meliriknya.
“Pacar?” selidik Haikal.
Ayun menggeleng. “Bukan, nggak boleh pacaran kata Simbahku. Kalau mau langsung lamar, terus nikah.”
Haikal mengerutkan dahi. “Kenapa sih rata-rata cewek sekarang begitu? Kayak jaman dulu aja, nggak mau pacaran.”
“Jadul? Namanya bukan jadul tapi melek ilmu. Aturan agama kan begitu,” ucap Ayun agak pelan, ia tak mau jika Eka mendengar ucapannya.
Gerak-gerik Ayun membuat Haikal paham, gadis itu tak nyaman. “Ay, kamu nggak nyari tempat co-card? Besok kamu butuh loh, buat gantungin identitasmu. Mumpung di sini.”
Ayun mengernyitkan dahi. “Oh ya? Terus apa lagi, Mas? Spill dong, aku kan newbie.”
Haikal memanfaatkan situasi. Ia sedikit mengada-ada, sebenarnya ada tujuan lain dia mengajak Ayun ngobrol lebih jauh.
“Mbak aku ke toko buku dulu ya, bentar cari stationery.”
“Sendiri?”
“Aku temenin yuk, boleh ya Mbak? Pinjem adiknya bentar. Jo, mau ikut?” tanya Haikal. Jonathan menggeleng dan asik dengan gamenya.
“Boleh, tapi balikin ya nanti.”
“Enak aja main pinjem,” celetuk Ayun sembari meraih tas selempangnya dan pergi bersama Haikal.
Ayun menjaga jarak tentunya dengan Haikal yang berjalan di sampingnya.
“Ay, aku mau tanya-tanya soal cewek hijrah kayak kamu gini.”
“Cewek hijrah?” Ayun terkikik.
“Apa namanya, ukhti-ukhti?”
“Emang kenapa sih?”
“Aku ... punya inceran, dia baru aja hijrah. Aku pengen deketin dia. Tapi ya kayak kamu tadi, dia itu selalu bilang khitbah nikah gitu mulu kalau dideketin.”
Ayun terkekeh. “Oh boleh-boleh Mas, kita bisa tukar pikiran nanti. Semoga bisa membantu Mas biar dapet pencerahan sama calonnya.”
Haikal tersenyum senang. Akhirnya, ia dapat tempat bercurah hati tentang hubungannya dengan sang gadis pujaan hati, Alifiya Yasna, si mantan manajer tim futsal yang kini telah berhijrah.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaanyaaaaaaaa
Lanjut nggak???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro