Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11. Kisah

           

            Pepohonan cemara, berdiri dengan jarak dua meter perbatangnya. Gugusan bintang dari lampu-lampu hias melilitnya, netra jernih milik pria yang kini berjalan menyusuri lorong berkeramik putih itu terus menangkap pemandangan yang sudah lama tak ia jumpai.

            “Nggak mau! Nggak mau! Aku mau ke sana, itu pacarku udah nunggu! Mbak e nggak tahu apa, itu loh Iwan udah necis di sana!”

            “Rukmi, ayo mandi dulu, nanti Iwannya kabur kalau kamu belum mandi gini. Ayo selesaikan dulu, ya. Wan, Iwan tunggu dulu ya, Ayank Rukminya mau mandi dulu.”

            Pemuda itu menoleh. Ingatannya seketika kembali, saat pertama kali menginjak tempat ini. “Iki Yusuf, anakmu. Rum. Iki loh Yusuf pengen ketemu.”

            Iyus, masih ingat bagaimana kakeknya mencoba memberitahu sang ibu jika dirinya ingin bertemu. “Anakku? Anakku gimana to, Bah. Abah ki loh. Wong Rumi belum jadi ijab sama Mas Taufik loh. Kok punya anak. Ya sebentar dulu. Abah selak pengen punya cucu ya? Sabar Bah, sabar.”

            Kala itu, Iyus baru berusia lima tahun. Ia, yang mulai sekolah TK menanyakan perihal ibunya pada sang kakek. Kenapa ia tidak tinggal bersama sang ibu seperti teman-temannya. Iyus, menginginkan kehidupan seperti rekan-rekannya yang selalu diantar jemput sang ibu, juga ayahnya.

            “Maaf, Mas. Cari siapa?” Sapaan dari seorang wanita, membuat Iyus tersadar.

            “Saya, putra Bu Arumi Nur Faizah. Saya mau ketemu sama ibu. Apa boleh?”

            “Bu Rumi? Oh, Bu Rumi sudah tidak di sini, Mas. Bu Rumi sekarang sudah pindah di gedung sana. Di tempat pelatihan. Bu Rumi sudah bukan pasien lagi, Bu Rumi bagian dari kami.”

            Iyus menoleh ke arah yang ditunjuk. “Boleh saya ketemu ibu?”

          “Mari saya antarkan.”

            Iyus mengucap terima kasih. Ia kemudian mengekor wanita berseragam putih tersebut. Sembari berjalan ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Beberapa orang tengah sibuk membuat kerajinan tangan dari barang bekas. Beberapa yang lain tengah terlihat sibuk menyulam, ada juga yang sibuk dengan kertas-kertas mereka.

            Mata Iyus terus menangkap gambaran orang-orang yang sibuk di sana, hingga ia mendapati sosok cantik dengan jilbab krem tengah tersenyum pada sekelompok pemudi di depannya. Seolah ia tengah menjelaskan sesuatu.

          “Bu Rumi, ada tamu,” ucap pengantar Iyus tadi.

            Wanita yang terlihat ramah itu kemudian berpamitan pada pemudi di ruangan yang ia ajar tadi, kemudian keluar. Sorotnya yang penuh bahagia seketika berubah.

            “Ibu, Assalamualaikum.” Iyus memberanikan diri menyapa.

            Wanita itu menatapnya dengan ekspresi ketakutan. Ia kemudian melangkah mundur dan berpegangan pada handle pintu. “Mbak, usir dia. Usir dia.”

            Hati Iyus seketika terasa sangat sakit. Bak diremas paksa, napasnya sulit sekali ia hela.

            “Ngapain kamu ke sini? Bukannya kamu sudah mati! Pergi kamu! Pergi!” jeritnya. Wanita yang tadi mengantar Iyus segera menenangkan Arumi.

            “Bu, ini anak ibu. Ini anak Bu Rumi, loh.”

            “Bukan! Bukaaan! Dia laki-laki bejat yang membuat saya batal dinikahi Gus Taufik!” jerit Arumi.

            Air mata meleleh di kedua pipi sang pemuda. “Bu, ini Yusuf Bu. Ini Yusuf. Bukan Nugi. Ini Yusuf, Bu. Anak ibu. Yusuf Tabriz Albirru, putra ibu.”

            Iyus memberanikan diri mendekat dan bersujud di kaki sang ibu. Wanita yang tadi menjerit-jerit ketakutan bercampur marah itu kini sedikit melunak.

          “Anakku ada di pondok, di Solo. Anakku masih kecil, sudah Hafidz Qur'an.”

            “Yusuf sudah besar, Bu. Yusuf sudah selesai kuliah. Maaf, Yusuf baru ke sini lagi. Tiga tahun lalu Yusuf ke sini, tapi ibu menolak Yusuf. Dan, sekarang, Yusuf ke sini, pengen ajak ibu pulang. Yusuf ... mau tinggal sama ibu. Sekarang Yusuf tinggal di Jogja, Bu. Yusuf pulang ke Jogja. Ke sini. Ke kampung halaman dimana ibu melahirkan Yusuf.”

            Iyus menangis sembari memegang kaki sang ibu, menciuminya penuh hormat dan sayang. Dari rahim Arumi, ia tumbuh dan lahir. Meski tak diharapkan, tetapi Iyus tak pernah menaruh benci pada ibunya. Dulu, ia tak mengerti kenapa ibunya begitu takut setiap melihatnya. Kini, iya paham jika dirinya tumbuh mirip dengan Nugi, ayah biologisnya.

            Laki-laki bejat yang menodai sang ibu hingga membuat sang ibu harus tersiksa karena hamil di luar nikah. Ya, ini adalah latar belakang Iyus yang sesungguhnya. Itulah kenapa, dulu ia diasuh oleh kakek dan nenek dari pihak ibu. Sedang ibunya mengalami depresi berkepanjangan pasca melahirkan. Ia, yang sejatinya sudah mempersiapkan pernikahan dengan pria idamannya, putra dari kyai tempatnya menimba ilmu. Harus menerima ketika kabar dirinya berbadan dua sampai di telinga sang kyai.

            Acara pernikahan itu dibatalkan seminggu sebelum pelaksaan. Pihak keluarga Gus Taufik tentu tak mau menerima kondisi Arumi yang tak lagi suci, meski ia adalah korban pemerkosaan. Tindakan bejat yang dilakukan oleh anak dari atasan sang ayah. Kala itu,kakek Iyus adalah seorang sopir pribadi dari dokter ternama di Jogja. Arumi yang awalnya ditugasi sang ibu mengantar baju ganti untuk sang ayah yang harus lembur, malah apes, diserang oleh anak dari atasan sang ayah yang kebetulan saat itu sendirian di rumah.

            Hingga setelah beberapa minggu tanda-tanda kehamilan muncul dan pupus sudah rencana indah Arumi membangun mahligai bersama Gus Taufik.

            “Pergi,” ucap wanita itu sembari menarik kakinya dari Iyus. Tak sekeras tadi, ia hanya menyuruh Iyus untuk menjauh. Beberapa staf rumah sakit jiwa berdatangan, memastikan apa yang terjadi di sana.

            Arumi dituntun untuk masuk ke dalam asrama, sementara Iyus diajak oleh seorang pria masuk ke sebuah ruangan.

            “Jadi, Mas ini putranya Bu Rumi?”

            Iyus mengangguk, ketampanan pemuda itu memang benar-benar menurun dari sang ayah biologis.

            “Mas memang mirip sama Pak Nugi, makanya, Bu Rumi jadi histeris.”

            Kalimat itu menggelitik batin Iyus. “Bapak kenal Nu- Pak Nugi?”

            “Pak Nugi adalah donatur utama di sini, beliau sering datang ke sini. Tapi, tolong jangan menceritakan apapun pada Bu Rumi ya, beliau tidak tahu jika bapaknya Mas ke sini.”

            “Pak Nugi bukan ayah saya.”

            “Tapi, beliau suami Bu Rumi, dan ayah kandung Mas kan?”

            “Suami?” Iyus seketika ingat ucapan sang kakek ketika ia masih kecil ketika ia bertanya dimana ayahnya.

            “Bapakmu, di Amerika.”

            Si Iyus kecil tak pernah tahu apakah kedua orang tuanya menikah atau tidak. Yang jelas, selama hampir dua puluh tahun, ia tinggal di pesantren Nurul Ilmi tanpa pernah dijenguk kedua orang tuanya. Dan, Elhaq-lah yang membesarkan hatinya.

            “Tenang, Yus. Aku juga nggak pernah ditengokin. Bapakku kebanyakan istri, kebanyakan anak, sampai lupa anak bungsunya di sini nggak pernah dijenguk.” Begitulah ucapan Elhaq tiap kali melihat Iyus menatap lekat rekan-rekannya yang tengah dijenguk saat tanggal merah atau hari libur pondok.

            Ketika perpulangan santri di akhir tahun atau saat idul fitri, Iyus juga jarang pulang. Kalaupun dia pulang, ya seperti inilah, ia berusaha menemui sang ibu dan pada akhirnya ibunya akan menolak kedatangannya. Lama-lama Iyus kecil sadar jika sang ibu tak suka dengan dirinya. Sesimpel itu pemikirannya kala itu, meski sang nenek berusaha meyakinkan jika sang ibu amat menyayangi Iyus.

            “Pak Nugi mungkin pernah salah, tapi beliau berusaha untuk membayar semuanya. Beliau setia dengan Bu Rumi.”

            Iyus mengembus napas. “Mohon maaf, Pak, sebelumnya. Saya tidak punya banyak waktu, apa saya boleh titip ini buat ibu? Dan saya tinggalkan ini, nomor HP saya, kalau ada apa-apa dengan ibu, tolong hubungi saya.”

            Pria bernama Priyono itu mengangguk. “Baik, Mas. Sebenarnya sudah dua setengah tahun ini, Bu Rumi membaik dan dinyatakan sehat. beliau diperbantukan di sini. Sudah tidak pernah lagi histeris. Ya baru kali ini beliau seperti itu.”

            Pemuda dua puluh lima tahun tersebut menyugar rambutnya. “Ini salahku ... harusnya aku nggak nekat muncul dan bikin ibu sakit lagi.”

            “Besok coba datang lagi, Mas. Jangan menyerah. Saya sangat yakin, Bu Rumi sangat sayang sama Mas.” Ucapan itu terdengar seperti angin surga di atas keringnya gurun. Dingin sekejap tetapi segera menguap.

            “Ya Allah, bolehkah aku meminta ... ijinkan aku bisa tinggal bersama ibuku, menjalani sisa umurku bersamanya. Membayar seluruh waktu dipisahkannya kami selama ini.”

***

           

            Panasnya kota Solo hari itu bertambah-tambah pengapnya ketika beberapa pelamar kerja berdesakan di ruang auditorium perusahan konstruksi Dewangga Kingdom yang baru saja membuka lowongan untuk cabang baru di Solo. Ayun, mendapatkan kesempatan khusus untuk melamar di sana dari Ustazah Zia. Ia memiliki golden ticket karena sang ustazah sangat yakin dan percaya jika Ayun memang cocok mengisi salah satu posisi di perusahaan, yang didirikan oleh sahabat mendiang ayah ustazah Zia.

            “Ayun, kamu harus ngelamar di sana. Kamu kan udah pernah bantuin saya ngurus administrasi outlet, belum lagi kamu kan lulusan terbaik di jurusanmu, dulu. Misal kamu nggak lolos, saya bakal rekrut kamu buat join tim Z collection.”

             Pesan dari sang ustazah membuat Ayun semangat, meski saingannya jelas bukan orang sembarangan. Beberapa bahkan sudah memiliki pengalaman kerja yang mumpuni di bidangnya. Ini sudah sesi ketiga, sesi terakhir untuk mereka yang memiliki golden ticket alias rekomendasi dari orang dalam.

            Dari ratusan orang di auditorium tadi, Ayun dan sepuluh orang lain digiring ke ruangan lain untuk mengikuti seleksi khusus tanpa harus melewati tahap-tahap serumit pelamar biasa yang lain di luar sana.

            “Saya sudah kerja di BUMN lama, tapi mau coba peruntungan di sini. Dewangga Kingdom kan bukan perusahaan ecek-ecek.” Pria bertubuh subur di samping Ayun berbicara pada wanita bersetelan merah maroon di seberangnya.

            “Sama Pak, saya juga pernah kerja di Hwang Corps, tapi saya mau coba ke sini. Bosen gitu,udah nggak ada tantangannya lagi, kalau di Hwang Corps saya kan udah di posisi atas gitu, jadi saya cuman tanda tangan meeting sana sini, bosen. Pengen yang menantang, mulai dari level manajer dulu gitu.”

            Ayun mendengar ucapan orang-orang itu, hampir dia insecure. Namun, pemuda di sampingnya yang sedari tadi bersedekap dan menutup mata tiba-tiba bicara entah ke siapa.

            “Jangan insecure, ini trik dari mereka untuk menjatuhkan mental fresh graduate.” Ucapan itu setengah berbisik. Ayun menoleh, pemuda di sampingnya kini membuka mata dan menoleh ke arahnya. Sepertinya pria yang berada di kanan Ayun ikut mendengar ucapan pemuda di samping kiri sang dara.

            “Maksudnya apa? Kamu anak kemarin sore kan? Jaga bicaramu, attitude itu penting. Dasar, bocah jaman sekarang. Udahlah pulang sana, minta duit bapakmu sana. Beli boba, nonton, cari pacar, nikmati hidupmu selagi orang tuamu masih hidup. Ngapain sok-sokan daftar di perusahaan besar gini. Sebelum melamar, harusnya kalian ngaca, tahu diri, apa kemampuan kalian sesuai dengan kriteria atau tidak. Pede boleh tapi jangan kepedean.”

            Pemuda di samping Ayun terkekeh. “Saya memang anak kecil, Pak. Saya memang anak kemarin sore. Tapi, saya juga paham jika seseorang pindah kerja atau mencari pekerjaan lain ketika sudah berumur. Sudah matang. Alasan seperti bosan duduk manis dan tanda tangan seperti ibu ini atau mencoba-coba pindah karena iseng, bukanlah alasan yang masuk akal. Bukankah enak kalau kerja duduk, tinggal tanda tangan saja, lalu mendapat gaji besar? Anak TK saja tahu magabut itu enak, Pak, Bu. Makan gaji buta, itu hal ternikmat.”

            Pemuda tadi tak gentar meski beberapa pasang mata di sana menatap tajam padanya. Terlebih dua orang yang tadi menyombongkan diri sepanjang waktu istirahat menunggu sesi wawancara berlangsung.

            “Tau apa kamu. Kamu saja belum pernah kerja.”

            “Anak kemarin sore saja sombong sekali!”

            Ayun memberanikan diri untuk angkat bicara. “Maaf, Pak, Bu, Masnya nggak salah loh. Kalau menurut pendapat saya. Semisal perkataan Mas ini tidak benar, seharusnya bapak dan ibu tidak perlu tersinggung. Kalau bapak dan ibu tersinggung, berarti ada sedikit kebenaran diucapan Mas ini.”

            “Ngapain kamu ikut-ikutan bela dia? Dasar anak jaman sekarang, mainnya keroyokan.”

            Ada seseorang yang memberanikan diri menyela. “Maaf, sesi wawancara lima menit lagi dimulai. Sebaiknya jangan adu ngotot di sini. Simpan tenaganya untuk wawancara. Lagi pula, hanya ada sembilan kandidat untuk lima kursi. Peluangnya cukup besar kan?”

            “Sebelas orang. Apa kamu nggak bisa ngitung?” protes si ibu erah maroon.

            Pemuda tadi terkekeh, ia berdiri dan mengajak si penyela bersetelan jas tadi pergi. “Sembilan, Bu. Kalau ibu mau tahu, ini Mas ini namanya Ar Rauf Haidar Ali, beliau tangan kanan CEO di sini. Tangan kanan Abimanyu Dewangga. Dan, si bocah kemairn sore ini, Abyakta Haikal Dewangga, adik dari CEO di sini, dan putra dari Pradipta Dewangga, owner Dewangga Kingdom. Bukan pelamar kerja. Kami di sini karena di dalam ruangannya sedang distrerilisasi.”

            Si setelanmerah dan pria tambun tadi seketika menelan ludah. Ayun menatap sosok pemuda yang kini berdiri di depannya.

            “Pak Rauf, Mas Haikal, silakan, ruangannya sudah dapat digunakan. Sebentar lagi Pak Pradipta dan Pak Abimanyu akan segera datang.”

            Ucapan salah seorang staf wanita yang menangani penerimaan karyawan baru membuat pengakuan Haikal semakin kuat. Rauf, pria lulusan arsitektur itu segera masuk, karena ia adalah salah satu orang yang ditugaskan sebagai pewawancara siang ini. Sementara Haikal, pemuda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu menatap Ayun.

            “Sini, biar aku yang masukin.” Haikal menarik map yang sedari tadi di pangku Ayun.

            “Eh, Mas, itu....”

            “Nusayba Qurrota’ayun?”

            “Ya, saya. Ayun. Panggilan saya, Ayun.”

            Pemuda itu hampir mengulurkan tangan dan Ayun segera menangkupkan tangan. Ia cepat memberi sinyal jika tak bersalaman dengan non mahram. Haikal menyimpan kembali keinginannya menjabat tangan Ayun sebagai tanda perkenalan.

            Langkah kaki dari dua orang gagah berkulit putih, mengalihkan padangan semua orang di sana. Haikal dengan santai menyodorkan satu map milik Ayun pada sang kakak.

            “Titip, awas kalau sampai ditolak,” kekeh Haikal.

            Abimanyu, sang kakak mengernyitkan dahi. “Hmm, Nusayba? Ikut saya,” titah si pria. Ayun segera mengangguk dan mengekor pria-pria tadi ke dalam ruangan.

            “Duduk di sana.”

            “Baik, Pak.”

            Ayun duduk diam sembari tertunduk. Ia menurut saja tanpa curiga apapun. Satu persatu peserta lain diwawancara. Namun, dirinya yang masuk pertama malah belum mendapat bagian.

"Nusayba."

Ayun baru menaikkan pandangnya, ia msnjawab. "Ya, Pak."

Pria bernama Pradipta memintanya duduk di kursi depan mejanya.

"Apa yang kamu dengar selama duduk di sana tadi."

Ayun agak bingung dengan pertanyaan itu. Ia pikir dia akan ditanya apa alasannya mendaftar di sana. Apa background pendidikannya dan lain-lain. Namun, ia salah.

Sejujurnya Ayun tidak tahu harus menjawab apa karena yang ia dengar adalah suara ponsel dari pemuda yang sedari tadi duduk di pojokan dekat meja tempat Ayun duduk.

"Saya ... saya dengar suara game yang dimainkan Mas Haikal."

Haikal seketika menoleh. Dua pria lain terkekeh. Sementara Pradipta menahan diri tidak tertawa.

"Apa kamu tidak mendengar wawancara kami dengan kandidat lain?"

"Saya dengar Pak, tetapi saya sengaja tidak mendengarkannya. Saya alihkan ke yang lain karena bukan hak saya mendengar apa yang seharusnya tidak saya dengar. Saya sengaja tidak menggubris percakapan bapak-bapak sekalian dengan peserta lain."

Pradipta tersenyum. "Besok, datang ke sini jam setengah delapan. Kalau bisa sebelumnya kamu sudah siap di sini. Tidak ada seragam di perusahaan ini untuk staf tetapi biasanya ada ketentuan anak magang selama dua bulan diberikan tanda pengenal khusus."

"Magang, Pak? Jadi ... apa saya diterima?" tanya Ayun heran.

"Iya. Mulai besok kamu menjadi bagian dari perusahaan ini."

"Tapi, Pak. Saya belum ikut sesi wawancara," tukas Ayun dengan ekspresi heran.

Ketiga pria di sana tertawa. "Ini tadi, sudah ada wawancara kan? Kamu saja yang tidak sadar. Sudah, kamu boleh pulang. Persiapkan diri untuk hari pertama besok. Selamat bergabung dengan Dewangga Kingdom."

Ayun seketika tersenyum dan membungkuk beberapa kali sembari mengucap terima kasih, sebagai ganti karena ia tak bisa menyalami empat pria di sana.

"Selamat Ukhti!" teriak Haikal ketika Ayun kembali mendekati meja tempat ia menitipkan tasnya tadi.

"Terima kasih, Mas. Ini bukan KKN kan?"

"KKN sedesa nari?" celoteh Haikal.

"Horror dong."

Haikal tersenyum, setengah berbisik ia berkata. "Semoga betah ya di sini, hati-hati kakakku galak. Jadi, sabar-sabar ya jadi anak buahnya. Semangat Ayun!"

"Makasih, Mas. Assalamualaikum."

"Wa alaikumussalaam."

 Obrolan itu berhenti dengan ledekan dari Rauf dan Abimanyu.

"Ikal! Jangan SKSD dong. Selesaiin dulu kuliahmu baru godain cewek. Nih, dia seumuran kamu tapi udah lulus kuliah. Eh kamu masih betah aja ngampus."

Mendengar ejekan sang kakak, Haikal mencebik. "Aku menikmati hidup, nggak kayak kakak, hidupnya nggak asik."

Ayun tak menggubris obrolan itu. Ia melangkah keluar dari Dewangga Kingdom dengan begitu gembira.

"Ya Allah, terima kasih, sudah memberiku jalan mudah yang diluar perhitungan. Aaaaaah! Yaa Rabb, Yaa Rahman, Yaa Rahim. Yaa Allah, aku bahagia."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro