Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10. Saranghaeyo Oppa

            Langkah kaki terburu terdengar, tanpa salam tanpa sapa, Renny masuk ke dalam rumah Ayun. Gadis yang tengah serius membaca buku kiat sukses tes wawancara pekerjaan tersebut sampai terlonjak.  Janda muda yang baru datang mengempaskan bokongnya ke dipan berlapis kasur busa milik sang adik sepupu.

            “Yun, tolong Mbakmu ini,” ucapnya tiba-tiba.

            Ayun menutup bukunya. “Tolong apa Mbak?”

            “Aku mau nikah. Eh enggak, aku dipaksa nikah. Eh, aku kepaksa nikah. Eh … ya itu intinya.”

            Ayun menatap sang sepupu dengan seksama. “Alhamdulillah, sama siapa?”

            “Mas Zulham.” Selepas menyebut nama dokter duda dari komplek sebelah, Renny kembali menutup wajahnya. Ia bahkan kini memposisikan diri berguling-guling di kasur Ayun. “Aku kudu piye, Yun. Aku arep dirabi wong sing ora tak kenal. Aku mau dinikahi orang yang nggak aku kenal.”

            Tingkah Renny justru membuat adik sepupunya terkekeh geli. Sementara pria sepuh yang baru selesai mandi pasca pulang dari sawah terlihat kaget di ambang pintu. “Astagfirullah, Yun, Mbakyumu ngopo kuwi?”

            Renny menghentikan tingkahnya dan duduk ketika menyadari jika kakek berusia tujuh puluh dua tahun tersebut tengah memperhatikannya. “Mbah,” lirihnya.

            “Kamu itu kenapa?”

            “Mbah, aku mau nikah, aku dilamar sama mas … dokter Zulham. Aku … bingung Mbah. Apa kata orang nanti? Aku, aku, nggak siap berkhianat sama suamiku.”

            Pria sepuh itu tertawa. Ia duduk di kursi goyangnya. “Ajaran siapa yang bilang kalau seorang janda yang ditinggal mati suaminya, berdosa kalau menikah lagi. Kalau kamu punya pikiran begitu, berarti kamu menyalahkan Siti Hafsah, istri Rasulullah. Menyalahkan Ummu Salamah, Zainab bin Jahsy?”

            Seketika Renny mengucap istigfar. “Astagfirullah, Mbah, mboten kados ngoten maksud kulo. Bukan gitu maksudnya. Aku ….”

            Renny tak bisa berkata-kata, sang kakek berhasil membungkamnya. Pria sepuh yang kini meregangkan tubuh sebelum mengayun kursinya pelan hingga mendapat sensasi nyaman seolah tengah dipijit dengan tempo perlahan itu, kembali bicara.

            “Ini hanya perkara gengsimu Ren. Kamu, nggak benar-benar menolak dia kan? Bahkan kamu bersyukur atas kehadirannya. Dokter Zul berhasil membawamu lari dari jerat paksa orang tuamu yang memaksa menikahkanmu lagi hanya karena malu punya anak janda, dan kesal karena kamu lebih perhatian pada Bu Latmi dari pada mereka, orang tua kandungmu.”

            Renny tertunduk diam, sementara adik sepupunya mengamati situasi. Seperti biasa, ide-ide kreatif muncul di kepala Ayun jika sudah melihat gambaran konflik manusia di dunia nyatanya. Imajinasinya seketika bebas liar, memuaskan dahaganya akan bait-bait kata yang ingin ia sambung menjadi satu dalam indahnya cerita di situs maya.

            “Sekarang, jangan banyak bicara. Tambah bekalmu saja agar dokter Zul tidak kecewa menumbalkan diri menikahi janda miskin sepertimu.”

            “Mbah, kok gitu sama cucunya,” protes Renny.

            Pria tua itu terkekeh sembari menyulut rokok lintingnya. “Loh, gimana nggak menumbalkan diri. Coba pikir, dari pernikahan ini nanti, siapa yang lebih diuntungkan? Kamu apa dokter Zul?”

            “Ya jelas, Mas Zulham, aku masih muda, dia udah berumur.”

            “Pedemu, Ren, Ren. Kamu itu janda, mau muda, tetep saja janda. Kamu bekas orang. Kalau kasarnya begitu, yak an?”

            “Tapi dia juga duda, Mbah. Dia juga bekas orang.”

“Loh, ini dia. Pikiranmu loh, cetek. Kamu cuman menang muda, sedang dia? Dia mapan, tampan, gagah, pekerjaannya idaman, penghasilannya lebih dari jutaan perbulan, semua perempuan pasti mau sama dia. Simbah juga yakin bahkan banyak yang menawarkan diri, biar dinikahin sama dia. Sedang kamu? Kamu cuma menang muda dan ayu, Nduk cucuku.“

Renny serasa ditampar oleh kakeknya sendiri. Namun, itulah dia, dia terlanjur gemas dengan tingkah sok pahlawan dari Zulham yang tiba-tiba saja mendekatinya dan langsung melamarnya dengan dalih menyelamatkannya dari perjodohan.

“Kamu juga diuntungkan, bisa tetap merawat Bu Latmi, meski menikah lagi. Bukannya itu doamu selama ini. Allah sudah mengijabahnya, masih aja kamu nggerundel. Malu Simbah punya cucu kayak kamu. Kufur nikmat. Udah janda, dilamar dokter, baik, soleh, perhatian, tulus, masih aja marah-marah. Mbok wis sana, dandan cantik, rawat dirimu, persiapkan sebaik-baiknya, untuk mengabdi pada suami barumu nanti. Apresiasi ketulusannya dengan pengabdian sebagai istri yang sebaik-baiknya. Paham ora?”

Seperti kambing congek, Renny mengangguk-angguk bodoh. Sang kakek menyadarkannya. Ia tak seharusnya ketus padaa Zulham seperti kemarin. Ia bahkan tak membalas satu pun pesan sang dokter yang menanyakan keberadaannya, menanyakan apakah ia sudah makan atau belum dan masak apa hari ini, seperti tagline penyedap rasa di TV.

“Dalam banyak riwayat, diberitakan jika surga sebenarnya mudah digapai untuk wanita. Namun, sebuah kemudahan dalam satu kebaikan, akan lebih sulit didapat disbanding dengan seribu kemudahan dalam melakukan keburukan. Kenapa? Muslihat setan. Ah, tidak, tidak melulu setan, nafsu kita, semua itu bisa menuntun kita melakukan hal-hal terlarang dengan sangat mudah meski liku-likunya rumit. Dan sulit melakukan kebaikan, meski caranya mudah.”

Ayunan pria itu di kursi sedikit lebih kencang.

“Maksude, pripun Mbah?” tanya Ayun.

Kepulan asap membumbung sebelum sang pria menjawab. “Loh, coba pikir. Kamu liat mafia-mafia birokrat itu. Mereka melakukan penyelewangan. Kucuran dana pemerintah, yang harusnya disampaikan ke masyarakat, dicekut, disunat, dialihkan ke rekening pribadi. Tapi, alurnya rumit. Mbulet. Dari atas turun, dibelokkan ke klien A, belok ke B, untuk dana ini, dana itu, muter, sampai ujung-ujungnya masuk kantong mereka. Tapi, saking rumitnya, yang curiga dan mau ngusut itu sampai menyerah, saking panjangnya jalan ini tadi. Nah, bukankah itu contoh dari kejahatan yang jalannya ada seribu pintu tapi tetap lancer jaya. Direwangi nuduh sana sini, sumpah sana sini, fitnah sana sini, demi memuaskan keserakahan diri. Kalau orang pikir, itu ruwet kan? tapi buktinya mereka para mafia atau sebut saja oknum itu bisa melakukannya.”

Simbah kini menyeruput tehnya yang mulai dingin karena dibuatkan oleh Ayun ketika beliau mandi tadi.

“Coba bandingkan dengan yang sekarang. Kamu, punya uang seratus ribu. Buat belanja sayur, ada kembalian receh. Lima puluhan, dua puluh, sepuluh, lima ribu, dua ribu, seribu. Secara ilmu, kalian tahu, kalian paham kalau sedekah itu lebih banyak lebih bagus. Uang yang kita sedekahkan itu adalah tabungan kita kelak di akhirat. Tapi, nyatanya, Sembilan puluh persen manusia, akan mengambil uang seribu atau dua ribu, ya sebut saja pecahan terkecil yang ia miliki untuk diberikan pada peminta-minta, bukan pecahan terbesarnya. Bukan begitu? Bahkan ada yang bilang, nggak punya receh, dan nggak ngasih apapun. Padahal jelas, Rasulullah melarang kita mengusir pengemis, karena itu alah satu jalan kita untuk bersedekah.”

Ayun mengangguk-angguk. “Oh, iya Mbah, Ayun paham sekarang.”

“Makanya, kalian ini sebagai perempuan, harus hati-hati. Jaga sikap, jaga diri, jaga iman, jaga adab, jaga kestabilan logika dan hati kalian. Kalian itu makhluk istimewa. Jangan biasakan diri untuk mengumbar amarah. Bahaya. Biasakan itu. Utamanya, ketika besok kalian punya anak, jaga tutur kalian, jaga hati kalian. Ucapan kalian itu doa, jangan sampai kalian menyesal, karena berujar tak baik hanya akibat emosi sesaat dan hal itu benar-benar terjadi pada anak kalian. Naudzubillahi min dzalik.”

Renny dan Ayun mengangguk. Setiap kali mengobrol dengan pria itu, keduanya selalu mendapatkan ilmu. Tak perlu dalil yang diucap secra penuh, mereka butuh inti dari pengajaran agama yang harus mereka ketahui sebagai ilmu yang akan mereka jadikan pedoman untuk hidup ke depannya.

***

Dinginnya angin malam menerpa. Aroma wedang ronde dan gulai ayam tercium, bergulat setiap angina berhembus. Gerbang tinggi itu masih tertutup, padahal sudah pukul Sembilan kurang lima. Mobil SUV putih milik si empunya rumah belum tampak di sana. Renny baru akan berbalik badan saat sorot lampu mobil meneranginya. Ya, pria yang ditunggu datang.

“Dek? Ngapain?” tanya Zulham sedikit heran mendapati calon istri dadakannya menyambangi rumahnya.

“A-anu … nganter gulai ayam sama ronde, buat Mas.” Agak terbata dan tak berani menatap wajah pria berjas putih itu. Zulham terkekeh.

“Ayo masuk. Pardi, tolong masukin mobilnya,” titah Zulham pada petugas keamanan yang juga suami dari asisten rumah tangganya. Rumah mewah itu memang ditinggali Zulham bersama pasangan suami istri yang mengabdikan diri di rumahnya, sepeninggal sang istri beberapa tahun lalu.

“Duduk dulu, aku mandi dulu ya, takut bawa virus pulang.”

Renny mengangguk. Ia disambut oleh Tinah, istri Pardi. “Ealah, calon Nyonyah to ini. Ayo sini. Alhamdulillah, akhirnya ya, jodoh memang nggak kemana. Pak dokter kepincut kembang desa,” ucap Tinah ramah.

Ya, sudah lama keduanya kenal. Sebelumnya, Tinah pernah mengontrak di rumah sewa milik ayah Renny, sebelum akhirnya diminta oleh istri Zulham terdahulu untuk menjadi ART di rumahnya bersama Pardi sang suami yang menjadi petugas keamanan sekaligus sopir pribadi sang dokter.

“Mbak Tin bisa aja. Mbak, emang Mas Zulham biasanya jam segini baru pulang?”

“Nggak mesti, ini masih awal hitungannya. Kadang kalau ada operasi bisa sampai jam satu atau jam dua pagi. Kadang setengah tujuh pagi udah berangkat lagi. Kasihan Bapak itu. kerja terus. Ya, namanya hubungannya sama nyawa orang ya, jadi ya gimana.”

Renny mengangguk-angguk. Ia kemudian meminta tolong pada Tinah untuk menunjukkan dapurnya, agar bisa menyiapkan makanan untuk calon suaminya. Zulham, kali ini mandi dengan lebih cepat. Ia tak mau calon istrinya terlalu lama menunggu. Setelah memilih celana dan baju rumah yang biasa ia pakai, Zulham segera mencari Renny.

“Mbok Tin, Dek Rennynya kemana?”

“Di dapur, Pak. Baru nyiapin makan. Duh, perhatian banget ya, Pak. Saya ikut seneng,” ucap Tinah girang.

Zulham terkekeh, ia segera melangkah ke dapur. Renny tengah menyiapkan hidangan special yang sudah ia masak dari rumah. Wanita sederhana itu terlihat begitu cantik. Mungkin karena Zulham terbawa suasana. Penatnya seharian ini seketika hilang.

“Mas … makan dulu,” ucap Renny lembut.

Jauh berbeda dengan Renny yang ia kenal kemarin. Kini, tak ada lagi auman khas macan yang biasa ia geramkan pada Zulham. “Hm … jadi, kenapa hari ini nggak ada balasan sama sekali di hapeku?”

Renny mengerjapkan mata, mencoba mencari alasan yang tepat. “Aku … mau bikin kejutan. Sengaja, biar Mas kesel atau kepikiran,” ucapnya bak anak gadis yang tengah berbicara pada sang kekasih.

Zulham kini yang jual mahal. “Oh, kirain kamu lagi berusaha membatalkan rencana pernikahan kita. Aku padahal udah siap-siap mau ke rumahmu dan mengabulkan permintaanmu buat ngebatalin rencana pernikahan kita.”

“Ha? Mas mau batalin? Mas … tapi … tapi papa sama mama udah nyiapin semuanya. Aku juga udah lengkapi surat-suratnya tadi buat daftar di KUA.” Renny panic. Ya, jelas ia panik. Matanya berkaca-kaca. Entah kenapa, sejak bertukar pikiran dengan sang kakek dan sepupunya, pikiran Renny terbuka. Sejujurnya ia juga sangat bersyukur dengan pinangan Zulham. Dan, sekarang tiba-tiba Zulham berkata seperti ini.

Renny tak sadar, air mata mengalir di kedua pipinya. Ia linglung menatap Zulham yang tengah menyeret kursi dan duduk di depannya.

“Dek, kamu nangis?” Kali ini Zulham yang bingung. Renny menangis.

“Mas … maaf aku emang ketus kemarin. Tapi, itu semua karena aku … aku masih terbiasa sama pertahanan diriku. Aku nggak mau luluh gitu aja di depanmu. Aku … aku ….” Renny terisak dan menutup wajah dengan kedua tangan.

“Astagfirullah, Dek. Dek Renny. Aku tadi belum selesai ngomongnya. Aku mau ke rumahmu, bilang kalau batalin nikah tanggal dua puluh, karena aku bisanya cuti tanggal sebelas. Jadi, aku mau pernikahan kita dimajukan. Minggu depan, kalau KUA sudah ACC tentunya.”

Renny mencoba mengerem isaknya, ia membuka wajahnya, menatap Zulham. “Kok cepet?”

“Aku nggak bisa cuti di tanggal dua puluh. Bisanya tanggal sebelas sampai delapan belas. Dari pada mundur, mending dimajukan, kan?”

            Renny terdiam, ia terlanjur malu karena menangis di prank calon suaminya. Zulham sekuat tenaga menahan tawa tetapi ia tak bisa. Ia akhirnya terbahak melihat tingkah Renny.

            ‘Aduh, ada yang mewek, takut nggak jadi dinikahin sama Ayank, ya?” goda Zulham.

            “Ih, apa sih. Nggak usah rese. Nyebelin!” ketus Renny. Hilang sudah tingkah lembut nan manis yang tadi sudah ia persiapkan dari rumah. Baginya menghadapi Zulham benar-benar seperti menghadapi orang menyebalkan yang akan selalu membuat bibirnya manyun, alis tertaut atau kadang pipi menggembung.

            “Nah, galaknya Mas Zul balik lagi. Udahlah gini aja terus, jangan manis-manis kayak tadi, bikin kegoda iman. Kalau galak-galak gini kan, Mas jadi bis ajaga jarak, takut digigit.”

            “Aku sebel sama Mas!” ketus Renny.

            “Iya, Mas tahu. Sebel, Seneng Betul kan?”

            Renny mencebik. “Ih, apaan, singkatan jaman old. Tua.”

            Zulham mengernyit. “Oh ya? Udah nggak jaman ya? Emang kalau jaman sekarang bahasanya gimana?”

            Renny terlihat berpikir sebelum menjawab. “Saranghaeyo Oppa.”

            Zulham tersenyum dan membalas. “Nado Saranghae, Uri Renny-ya.”

            Mata Renny melotot, lidahnya mendadak kelu. “Ini bapak-bapak nonton drakor apa begimana? Kenapa bisa ngomong begituan! Ya Allah, dokter satu ini bikin cenat cenut!”

            Zulham melihat wajah calon istrinya memerah sempurna. Ia tak melanjutkan serangan gombalnya, lebih memilih jalan lain agar tak berujung war dengan Renny. Pria itu menyodorkan sepiring nasi untuk Renny. “Ayo temenin aku makan.”

            Renny yang masih terserang gelombang baper hanya bisa pasrah. Keduanya makan dalam diam. Tidak sepenuhnya diam karena beberapa kali Zulham memuji masakannya. Benar saja, pria itu bahkan sampai lupa mengajak Pardi dan Tinah makan bersama. Di pertengahan barulah ia memanggil dua ARTnya untuk makan bersama.

            “Mas, aku pulang dulu, ya.”

            “Aku anter.”

            “Mas, kan cuman deket. Sebelahan gang doang. Mas istirahat aja.”

            Zulham tetap keluar, ia meletakkan jaketnya di punggung Renny. “Kamu nggak punya jaminan kesehatan kan? Pakai ini jangan sampai sakit. Sekarang biaya berobat mahal.”

            “Biar aja sakit, kan calon suamiku dokter.”

            Jawaban Renny membuat Zulham terbahak. Keduanya berjalan menyusuri jalanan. “Besok pagi aku jemput jam setengah tujuh ya? Ibu control kan?”

            Renny mengangguk. “Mas, semoga Mas nggak pernah menyesali keputusan Mas ini.”

            Zulham tersenyum, satu tangannya terulur. Menutupkan hoodie ke kepala Renny. Tindakan itu membuat sang wanita terdiam, menghentikan langkah.

            “Kenapa?” tanya Zulham.

            “Please, Mas. Jangan manis-manis. Aku jadi nyesel kenapa lewat sini, kenapa nggak lewat pintu utama komplek depan sana. Biar muter jauhan gitu.”

            Kali ini Zulham benar-benar terbahak. Ia gemas pada calon istrinya yang kadang manis, kadang menyeramkan, kadang galak, dan kadang menggemaskan.

            “Udah sana, buruan masuk rumah. Mas liatin dari sini, ya. Nggak enak sama tetanggamu. Keseringan ngapel.”

            Renny tersenyum dan mengangguk. “Makasih, Pak Dokter. Duh, pasti pasiennya cepet sembuh deh disenyumin manis kayak gitu.”

            Zulham tak henti tertawa. “Kalau kamu jadi pasienku, aku nggak bakal kasi bat yang manjur. Biar kamu nggak sembuh-sembuh. Biar kita bisa ketemu terus, tiap hari. Aku kaish kamu surat control tiap hari.”

            “Lebay, ih. Bye, jangan kangen ya.”

            “Nggak janji kalau itu.”

            Sejoli itu akhirnya berpisah karena gerimis turun membasahi tubuh mereka.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

Lanjut???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro