Part 1. Secuil kisah masa lalu
Sukoharjo, 2016
Padang hijau yang tersisa enam petak saja itu terlihat tersenyum pada semesta. Sepasang manik legam dengan binar terang mengamati dari dekat ayunan padi yang seolah terombang-ambing dalam ketidakpastian di depannya. Ayunan batang hijau yang mulai berisi, membuat biji-biji gabah berpegang erat, seolah takut untuk terlepas dari rumahnya. Tertiup ke kiri dibagian ujung dan belum selesai memposisikan diri, angin sudah menyeretkan ke kanan. Tak bisa dibayangkan betapa lelah dan sakitnya padi-padi itu. Berusaha untuk tetap tegak berdiri dan melindungi bakal-bakal gabah yang dikandungnya.
Jemari lentik itu terulur, membiarkan padi-padi tadi bergerak-gerak menyapa tangannya. Manik itu mengerjap-ngerjap saat menemukan hewan kecil seperti kumbang menempel di tangannya. Begitu kecil, begitu rapuh, namun, kenapa makluk seperti itu hidup?
Apakah benar semua makhluk yang ada di dunia ini memiliki alasan mengapa diciptakan? Lalu, bagaimana mereka yang bermula dari bayi suci, yang tidak tahu apa-apa bisa tumbuh menjadi sosok-sosok ambisius atau sosok-sosok pengumbar nafsu? Meski sebagian dari mereka, tumbuh menjadi sosok yang bermartabat dan sosok yang baik hati.
“Nusayba Qurota’ayun!”
Merasa dipanggil, dara itu menoleh. Sosok bertopi caping yang berdiri di dekat sepeda ontel tuanya melambaikan tangan, menandakan jika dara itu harus segera mendekat.
“Sebentar!”
Langkah kaki kecil beriring senandung shalawat nariyah, yang tanpa sadar dihapalnya karena selalu ia dengar setiap hari selepas azan, keluar dari bibirnya.
“Nah, gitu dong. Sekali-sekali shalawatan. Jangan nyanyi lagu yang kamu aja nggak paham itu bahasanya apa.”
“Lah, memang Mbak Ren bisa bahasa arab?” tanya Ayun, panggilan akrab sang dara.
Wanita yang mengajak bicara Ayun itu meringis.
“Nggak juga sih, tapi kalau itu shalawat, udah pasti kan bagus artinya. Kalau lagu bahasa lain, belum tentu bagus artinya. Takutnya kamu malah salah nyanyinya kan, kalau diulang-ulang bisa bahaya. Misal ternyata itu lagunya ngajak nyembah berhala, atau kalau nggak lagunya itu mantra santet. Bisa bahaya kan?”
Ayun terkekeh, dia segera naik ke atas sepeda dengan keranjang di depan berisi termos nasi itu.
“Mbak, mampir es dulu yuk,” ajak Ayun.
“Aku puasa, sekarang hari Kamis,”
Ayun akhirnya mengurungkan niat untuk mampir ke warung Mbak Sri membeli es kucir seribuan favoritnya karena menghormati Renny.
“Mbak, pakai jilbab panas nggak?”
“Enggak, justru adem. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Pengen tahu aja.”
Ayun terus mengayuh sepedanya menuju rumah khas jawa, yang sudah turun temurun, ditinggali keluarganya.
“Mbak, ibuku dulu pakai jilbab?”
“Iya, seinget Mbak. Terakhir kali ketemu dulu, ibumu pakai jilbab.”
Ayun mengangguk-angguk.
“Kalau bapak, apa bapakku muslim?”
Renny tak segera menjawab.
“Yun, Mbak nggak tahu kalau soal itu. Dulu setelah menikah, orang tuamu kan nggak tinggal di sini. Waktu itu Mbak juga masih kecil, jadi nggak bener-bener tahu apa sebenarnya yang terjadi sama orang tuamu.”
Ayun tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Maaf, aku kadang cuma penasaran. Oma mengajariku beribadah dengan cara yang berbeda dari Eyang. Aku bingung, sebenarnya aku harus ikut yang mana.”
Renny mengelus punggung gadis yang memboncengkan dirinya.
“Tuhan itu cuma satu, tetapi memang manusia memiliki jalan iman sendiri. Memiliki cara ibadahnya masing-masing.”
“Jadi, semua agama itu baik?”
“Iya, tentu saja. semua orang berhak menentukan pilihannya masing-masing.”
Ayun mengangguk-angguk.
“Yun, mampir ke tempat Eka dulu sebentar. Mau ngambil jahitan.”
“Siap ndoro,” jawab Ayun sembari membelokkan sepedanya ke arah butik di depan masjid dengan plang nama ‘Eijaz Collection’ itu.
Renny turun dari boncengannya dan masuk ke dalam butik. Ketidak hati-hatiannya membuat kaki wanita bergamis tadi terjerat kain bajunya sendiri.
“Astagfirullah,” pekik Renny.
Ayun yang baru berkonsentrasi memarkirkan sepedanya tak sempat menolong. Justru sosok pria yang saat Ayun dan Renny sampai, terlihat baru turun dari mobilnya yang meraih tubuh wanita itu. Ayun merekam kejadian itu dalam ingatannya, interaksi antar orang dewasa yang jarang ia lihat itu sungguh menarik perhatian.
Ayun yakin kejadian itu berlangsung tak sampai sepuluh detik, tetapi sepertinya sepuluh detik terlalu lama untuk saling bertatapan dengan lawan jenis dalam jarak sedekat itu.
“Abi.”
Ucapan itu membuat sang pria melepaskan tangannya dari tubuh Renny. Wanita berjilbab yang keluar dari butik tersenyum. Lagi-lagi Ayun merekam semua gerak-gerik dan ekspresi orang-orang di sana.
“Umi, sudah selesai?” kata pria itu dengan suara seperti sedang gugup.
Wanita tadi mendekat, berjalan menggunakan tongkatnya.
“Pak, terima kasih. Bu, maaf, tadi bapak nolong saya.”
Wanita itu tersenyum. “Iya Mbak, wah, itu bajunya sobek loh.”
Renny menilik gamisnya, ada sedikit robekan. Mungkin karena tadi tersangkut bagian sepeda Ayun.
“Nggak apa-apa Bu, nanti bisa direparasi,” kata Renny sambil tertawa receh karena malu.
Interaksi itu berakhir saat Renny masuk ke dalam butik Eka, dan sepasang suami istri tadi pergi menggunakan mobil sedan hitam mereka. Sedangkan Ayun memilih untuk menunggu di luar, di tangga masuk, dekat gerobak kebab yang baru mulai bersiap untuk membuka kedai.
Jemari Ayun lincah, menuliskan apa yang dilihatnya tadi dalam buku catatan kecil miliknya. Sejak dulu, gadis itu mempunyai kebiasaan menuliskan semua hal yang ia alami dalam sebuah buku. Kehilangan kedua orang tuanya ketika masih balita membuat gadis itu sering merasa kesepian. Ibunya meninggal saat anak itu berusia dua tahun. Ayahnya meninggal saat anak itu berusia enam tahun. Selama tinggal dengan sang ayah, dia lebih sering diasuh neneknya karena ayahnya sibuk bekerja.
Oma Magda, begitu Ayun menyapanya, seorang penganut katolik taat. Setiap hari minggu, ia mengajak Ayun kecil ke gereja. Sepulang dari gereja, Ayun akan diajak ayahnya ke rumah Eyang Mad, ayah dari ibunya yang selalu mengajarinya membaca iqro’ dan selalu memberinya hadiah setiap berhasil menambah hapalan surah pendek.
Semakin dewasa, Ayun semakin bertanya-tanya tentang jati dirinya. Sejatinya kemana arah pilihannya untuk bertemu Tuhan. Oma dan Eyang, mengatakan jika keputusan ada di tangan Ayun. Jalan mana yang ia pilih, sama saja, asal ia memiliki iman pada Tuhan. Jemari gadis itu menuliskan sebuah kata, IMAN.
“Iman itu apa.” Monolognya.
“Iman? Iman itu secara etimologi artinya percaya. Menurut para ulama, Iman bisa dimaknai dengan meyakini sepenuh hati, mengikrarkan dalam lisan, dan mewujudkannya dalam perbuatan.”
Ayun mendongak, menatap pemuda berbaju koko yang tengah sibuk mencuci selada segar berlabel salah satu nama supermarket ditangkainya itu.
“Maksudnya?”
“Kamu yakin adanya Tuhan?”
Ayun mengangguk.
“Kenapa?”
Ayun menggeleng. “Apa perlu alasan? otak dan hatiku bilang Tuhan itu ada.”
Pemuda yang berbicara tanpa menatapnya itu tersenyum.
“Itu artinya hatimu memang sudah yakin akan keberadaan Dzat Yang Maha Agung.”
“Lalu. Apa yang harus aku ucapkan?”
“Laa ilaha illallah. Menurut kepercayaan saya, kalimat itulah yang menduduki tahta tertinggi dalam pengakuan iman. Tidak ada sesembahan lain, tidak ada Tuhan selain Allah.”
Ayun memegang dadanya yang berdenyut lebih kuat dari biasanya.
"Apa belajar agama harus di pesantren?" tanya Ayun tiba-tiba.
Pemuda itu menggeleng.
"Dimana saja bisa, tetapi harus hati-hati dengan sumbernya. Karena ajaran agama itu hal yang sensitif," terang pemuda itu.
"Sebenarnya nggak cuma ilmu agama sih. Semua ilmu juga begitu Mbak, kalau kita nggak belajar langsung dari ahli yang sebenar-benarnya dalam bidang itu, kan bisa saja kita keliru memahami," lanjutnya.
Ayun mendengarkan dengan seksama.
“Laa ilaha illallah,” ucap gadis itu lirih dengan suara bergetar.
Pemuda tadi menoleh. Dia bingung mendapati gadis yang bicara dengannya tiba-tiba memegangi dada dan mengucap kata itu berulang kali.
“Astagfirullah, Ayun. Kamu kenapa?”
Si pemuda yang kebingungan hanya mematung.
“Mas, adikku kenapa ini?”
“Nggak, nggak tahu, Mbak. Ta-tadi cuman ngomongin iman.”
Renny mendekati Ayun yang masih terisak.
“Yun, kenapa?”
“Aku ... aku ... udah tahu jawabannya Mbak. Jawaban pertanyaanku selama ini,” kata Ayun sambil terisak.
“Apa?”
“Laa ilaha illallah. Di sini, ada di sini. Rasanya ada di sini,” ucap Ayun sambil menunjuk dadanya.
Pemuda tadi masih mematung.
“Kenapa to Mbak?” tanya pemuda itu hati-hati.
Renny malah tersenyum sambil menepuk-nepuk kepala Ayun.
“Ndak apa-apa. Adikku baru cari jalan buat sampai ke Tuhannya.”
"Masyaallah, jadi karena itu Mbaknya tanya soal iman? Mbak bisa baca-baca di buku, di situs-situs web. Banyak, tapi sekali lagi hati-hati mengambil ilmunya," ujar pemuda itu.
“Nah, bener nih kata Masnya. Satu lagi, kalau kamu sudah mengaku beriman, harus diamalkan. Jangan hanya di bibir, apalagi di KTP doang. Paham?”
Ayun mengangguk. Rambut panjangnya berkibar diterpa angin. Renny merapikan rambut gadis yang lebih muda darinya itu.
“Sekarang pulang yuk,” ajak Renny.
Ayun mengangguk. Suara lantunan azan terdengar keras. Pemuda tadi bergegas beranjak dari kedai yang baru dibukanya.
“Loh mau kemana?” tanya Ayun heran.
“Salat Mbak, udah dipanggil.”
“Lah kedainya?”
“Ya biarin ditinggal dulu.”
“Kalau dimaling gimana?”
Pemuda itu tersenyum.
“Kembali lagi pada pengertian Iman tadi, Mbak. Saya meyakini, melisankan, dan mewujudkan dalam perbuatan. Ini salah satu contohnya. Saya percaya, saya yakin, Allah akan menjaga kedai saya. Terlebih panggilan itu adalah panggilan azan, panggilan untuk kita segera menyembah-Nya. Maaf permisi, Assalamu alaikum.”
“Wa alaikumusalam,” jawab dua wanita itu bersamaan.
“Mas namanya siapa?” teriak Ayun.
“Ha?”
“Namanya?”
Suara bising kendaraan yang berlalu lalang membuat pendengaran pemuda itu agak terganggu.
“Warnanya?” batin pemuda itu saat melihat Ayun menunjuk-nunjuk arahnya.
“Biru!” jawab pemuda itu.
“Biru?” tanya Ayun heran.
“Oh, ini. Albirru, ini pasti nama masnya tadi.”
Renny menunjuk kotak dengan khat bertulis Albirru.
“Oh, Albirru,” gumam Ayun sambil tersenyum.
“Terima kasih, sudah membantuku menemukan jawaban kegundahanku selama ini. Teman seiman,” batin Ayun.
📜📜📜📜📜
"Aku baru memahami tentang Iman, saat usiaku lima belas tahun.
Ketika kalimah Laa ilaha illallah menjadi penghantar
Allah menggetarkan hatiku, membuat kehampaan jiwaku seolah terus meronta, meminta tetesan ilmu agama lagi dan lagi, terus dan terus, seolah sedang kehausan.
Dan aku menemukan tempat yang tepat untuk belajar, KALAM MAYA. Situs web islami yang sejak tiga tahun terakhir menjadi sumber ilmuku memahami ajaran agamaku.
Aku ingin membagi pengalaman spiritualku pada para pembaca karyaku.
Tak hanya melulu tentang romansa, tetapi juga mengusung ilmu agama yang ku ambil dari KALAM MAYA."
--NUSAYBA QUROTA'AYUN--
📜📜📜📜📜
"Hidup di pesantren di jaman modern ini sangat asyik. Bisa berbagi ilmu agama yang kami punya dengan memanfaatkan kecanggiham tehnologi.
Itulah alasan kami membuat situs KALAM MAYA.
Situs web islami dengan bahasa ringan dan mudah dipahami.
Namun, satu hal yang aku benci, adalah ketika beberapa orang memanfaatkan situsku seenaknya tanpa permisi."
--YUSUF TABRIZ ALBIRRU--
📜📜📜📜📜
Assalamualaikum
Halo semua salam kenal dari
Ayun
Yusuf
Renny
Eka
❤❤❤
😍😍😍
🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro