Paet 18. Berkunjung ke Jogjanya
Tanggal merah berjajar di hari Selasa dan Rabu, serasa sebuah pemberian Tuhan yang tak terkira nikmatnya bagi budak korporat. Bagaimana tidak, hanya di hari Senin, Kamis, dan Jum'at saja artinya mereka bekerja minggu ini.
Kebahagiaan itu juga dinikmati Ayun dengan ikut serta dalam rombongan calon pengantin yang akan pergi ke Jogja. Rencananya, hari ini Zulham mengajak Renny ke rumah ayahnya, sekalian menjemput sang ayah diajak ke Solo, untuk persiapan pernikahan mereka di hari Jum'at.
"Kenapa sih, Dek. Tumben diem aja?" tanya Zulham ketika mobil yang dikendarainya memasuki wilayah perbatasan Klaten, Prambanan, menuju Kalasan, Sleman, Jogja.
"Nggak apa-apa, ngantuk."
Zulham tersenyum. "Ngantuk apa takut ketemu Romo?"
Renny tak menjawab gamblang, ia hanya bergumam seperti mencicit. "Dua duanya." Jawaban itu sontak membuat Zulham tertawa.
"Kan udah pernah telponan, kenapa takut? Romoku nggak galak. Tenang."
Renny sebenarnya bukan takut ke arah itu, ia lebih ke insecure. Bagaimana tidak, dirinya hanya janda miskin sementara Zulham adalah dokter spesialis. Keluarganya pun ternyata masih darah biru karena pria yang akan ditemuinya nanti masih memiliki kekerabatan dekat dengan beliau sang pemangku wilayah keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Renny terlambat mengetahui semua itu. Ia bahkan tak tahu ada sebutan Raden tersemat di depan nama Zulham. Secara nasab, ia sudah terbanting jauh, karena ia hanya gadis dari kalangan serba biasa.
Mobil terus melaju melewati candi Kalasan, sampai ke bandara Adi Soetjipto, masuk ke flyover janti dan Zulham mengambil arah ke kiri, bukan ke arah kota. Di perempatan lampu merah RS AU Hardjo Lukito, ia membelokkan mobil ke kanan. Hingga berhenti di gang dekat JEC, Jogja Expo Center. Memasuki komplek perumahan elit di sana.
Sebuah rumah dengan nuansa minimalis tetapi tak minimalis itu menjadi tujuan mereka siang itu. Ada mobil lain yang mengikuti mereka, mobil yang ditumpangi Anthony, Eka, kedua orang tua Renny.
Sementara di mobil Zulham tadi ada Bu Latmi, Renny, dan Ayun yang ikut. Sang kakek tak mau ikut, terlalu jauh katanya untuk tubuh rentanya diajak jalan-jalan. Lebih memilih menjaga rumah.
Sambutan hangat nampak di sana. Ayun membantu Bu Latmi turun. Renny dan yang lain sudah mengekor masuk bersama Zulham. Pria gagah berambut putih berdiri di teras, menyambut tamunya.
"Masyaallah, ayune. Oalah, pantes ya, Zul pengen cepet-cepet," puji pria bergelar Gusti Bendara Pangeran Harya Samudra Aji Jati Kusumaningrat, atau yang akrab disapa Romo Sam tersebut.
Renny bingung harus berbuat seperti apa. Ia menjawab sebaik mungkin dengan bahasa jawa tersopan yang ia kuasai.
"Monggo, Pak, Bu, Mbak, Mas, pinarak mlebet. Pangapunten gubuknya seadanya, yang nempatin soalnya laki semua jadi ya, nggak ada cantik-cantiknya. Semoga kedatangan Dek Renny ke sini jadi membawa suasa baru biar nggak surem terus ini gubuk Aji Jati," celetuk Nugrah, kakak Zulham.
Ayun tertegun melihat sosok tampan yang meski sudah berumur tetap menunjukkan pesona tak biasa itu.
"Dik? Kok malah ngelamun?" tanya pria berusia empat puluh satu tahun tersebut saat mendapati Ayun termangu menatapnya.
"Ah, eng- anu, enggak. Om mirip sama temen saya. Mirip banget, kaget saya tadi," jujur Ayun.
Pria itu tersenyum. Benar-benar mirip, wajahnya, senyumnya, hanya matanya yang berbeda.
"Oh ya? Memang siapa temennya?"
"Temen saya, nanti kami janjian mau ketemu di sini juga, Om. Namanya, Mas Yusuf. Dulu santri di Solo, deket rumah saya. Terus dia pulang ke sini. Tinggal sama ibunya."
Wajah pria itu sedikit berubah. "Yusuf?"
Ayun merogoh ponsel di tasnya dan menunjukkan sesuatu pada Nugrah. Foto Iyus di unggahannya di aplikasi chatting ia tunjukkan.
"Yusuf Albirru?" ucap pria itu.
"Loh, Om tau?"
"Kamu kapan ketemu Yusuf?"
"Rencananya ini nanti Om, saya mau keluar sebentar sama Mbak Eka sama Mas Anton mau ketemuan. Nonton pameran di JEC. Ada titipan dari temen Mas Yusuf yang mau saya sampaikan."
"Ayun! Yun! Dipanggil budemu itu," panggil Eka. Ayun segera meminta ijin untuk masuk, sementara Nugrah terlihat berpikir.
"Yusuf ... putraku?" gumamnya.
****
Aroma parfum semerbak mengalahkan bau masakan yang disajikan oleh Rumi. Rambut berpotongan undercut itu ditata rapi. Kaos putih yang tadi terlihat pas di badan cenderung kurus, Iyus, kini tertutup hoodie. Celana panjang hitam membalut kaki jenjangnya.
"Masyaaallah, gantenge Ibu mau kemana?"
"Bu, habis ini, aku mau ketemu sama temen. Dia bawain barangku yang ketinggalan di Solo dulu. Mumpung dia ke Jogja."
Rumi mengibaskan tangan di depan hidungnya. "Parfummu hmm ... Mau ketemu Nusayba?" tebak sang ibu membuat Iyus menghentikan kegiatan bercerminnya.
"Kok ibu tahu?" herannya. Rumi terkekeh.
"Ibu juga pernah muda. Pernah tahu gelagat orang kasmaran. Mau ketemu dimana? Kenapa nggak di sini aja?"
"Di JEC bu, sekalian mau nonton pameran buku."
"Kamu nggak mampir di rumah Simbah sekalian? Ajak aja ke sana."
"Dia ke sini cuma sebentar, Bu. Nganter kakaknya ke rumah calon mertuanya. Semalem ceritanya gitu. Jadi kayak kenalan besan atau apa itu namanya."
Rumi mendekati sang putra, membenahi posisi hoodie yang menurutnya tak simetris.
"Yaudah, kalau ada waktu, ajak ke sini. Ibu mau kenal juga."
Iyus tersenyum malu. "Tapi nggak cantik lo, Bu. Cuma soal kerja keras dan masak memasak, dia jempolan."
Rumi semakin penasaran saja dengan gadis yang berhasil mencuri hati putranya itu. "Oh ya? Mau ibu tantangin di dapur kalau gitu," canda Rumi.
"Ayo sarapan dulu, baru kamu pergi. Nanti ibu mau rewang, bantu-bantu di rumah tetangga yang mau punya hajatan. Kuncinya depan ibu bawa, kamu bawa kunci deket garasi, ya?"
Iyus mengangguki ucapan sang ibu. Keduanya kini menempati rumah milik Sarah. Rumah kecil dengan tiga kamar, satu dapur, dua kamar mandi, dan satu ruangan yang digunakan sebagai ruang serbaguna.
Iyus pergi dengan motor miliknya yang sudah ia beli sejak tiga tahun lalu. Motor itu diantarkan Ali dari Solo lima hari setelah Iyus dipulangkan.
Semalam, Ayun mengabarinya akan pergi ke Jogja, seketika ia memiliki ide yang sedikit mengada-ada. Menyuruh Ali ke rumah Ayun dan menitipkan peci miliknya yang awalnya sengaja ia tinggal di pondok.
"Modus yo, Bang?" Begitu komentar Ali saat ia ditelpon Iyus menyuruhnya datang malam-malam ke rumah Ayun mengantar pecinya.
Modus sedikit tak masalah, kan? Iyus pun tak tahu kenapa ia bisa senekat ini sekarang. Terlebih, hubungannya dengan Ayun, semakin menghangat meski hanya lewat dunia maya.
Motor matic berwarna hitam 150cc itu melaju membelah jalanan, dari Jalan Kaliurang, masuk melalui selokan mataram, melewati kawasan UGM, ke timur, menjelajah daerah samirono, lewat depan UNY, belok kanan ke arah pasar Demangan setelah itu belok kiri, sampai UIN Sunan Kalijaga ia belok kanan. Menyusuri jalanan Jogja yang padat namun tetap bersahabat, kemudian sampai di gedung dengan halaman luas tempatnya janjian dengan Ayun.
Iyus melepas helmnya, ia memasukkan satu tangan di kantong hoodienya. Sosok lain yang sudah duduk di pelataran gedung menyadari kedatangannya.
"Assalamualaikum." Sapaan itu diucap keduanya, di saat bersamaan, mereka kemudian tertawa dan kembali kompak menjawab. "Wa alaikumussalaam."
Ayun menyodorkan titipan Ali pada Iyus. "Ini, titipannya Bang Alek."
Iyus mengernyit. "Kok banyak? Yang ini?" tanyanya sembari menunjukkan paper bag bermotif kotak-kotak.
"Ini ... Royalti buat tokoh novelku yang alhamdulillah cukup terjual lumayan."
Iyus tertawa. Ia mengingat betapa bodohnya dirinya dulu saat salah paham dengan Ayun. Mengira Ayun sengaja menjiplak tulisannya di laman web Kalam Maya. Ternyata Ayun cukup tahu aturan mainnya.
"Makasih, Ya, Dek. Berarti tinggal nunggu yang on going ini end terus dipinang penerbit lagi dan aku bakal dapet royalti lagi."
Ayun mendongak menatap si jangkung. "Eh, kan aku cuma pakai nama Albirru di novel Tabayun yang udah cetak."
"Tapi, novel barumu kan pakai nama Yusuf. Namaku."
Ayun baru ingat, ia memang menggunakan nama Yusuf, Yusuf Abyakta.
"Ah iya, aku nggak sengaja loh kalau ini."
"Idih, pura-pura nggak sengaja, padahal udah jelas itu malah nama depanku. Apa iya sedalem itu aku masuk di pikiranmu sampai nulis namaku aja kamu nggak sadar?"
Ayun berjengit. "Astagfirullah, Mas Yus sekarang serem ih. Kok jadi alay sih? Mas kehilangan karakter deh. Mas kan kaku karakternya, kenapa jadi lenjeh?"
Mendengar itu Iyus terbahak. "Aku cuma kayak gini sama kamu. Sama temen-temen deketku. Kalau sama yang lain, enggak."
"Ciee ... Aku spesial ya? Waah Mas bikin ketar ketir, jadi pengen mencet tombol Alt+H."
Iyus terkekeh. "Ngapain? Cari help, bantuan?"
"Takut baper soalnya."
"Aku malah kayak mencet Alt+O setiap kali ketemu kamu. Langsung masuk ke Favorite tanpa harus klik yang lain. Tapi, aku lupa kalau belum mencet Alt+Home, aku belum start program tapi udah masukin kamu ke Favorite."
Ayun terkikik. "Mas udah ah, serem ih. Seriusan kalau begini aku bisa baper beneran. Mending kamu jadi Mas Yusuf yang dulu deh, galak, dingin, kaku. Jangan cerewet-cerewet. Takut. Udah ya, aku klik Alt+Q, keluar dari permainan berbahaya ini."
Keduanya kemudian masuk, mencari Eka dan Anthony yang sudah duluan masuk. Mereka kemudian melihat-lihat jajaran buku yang ditawarkan di sana.
Iyus sengaja mengcandid Ayun, tetapi si korban melihat dan menutupi samping wajahnya.
"Mas, ih main candid."
"Nih, Alek nanyain udah sampai belum paketnya. Buat bukti loh."
"Mana liat? Modus pasti," canda Ayun.
"Beneran. Nggak percayaan amat. Eh, Dek, ibu pengen ketemu sama kamu."
"Ibu? Ibumu?"
Iyus mengangguk.
"Kok bisa, Mas? Maksudku, emang Mas cerita tentang aku?"
Lagi-lagi Iyus mengangguk. "Iya, aku cerita semuanya. Soalnya ibu tanya kenapa aku bisa terusir dari Nurul Ilmi. Aku ceritain dari awal. Dan ibu jadi penasaran sama kamu. Ibu juga baca novelmu. Bagus katanya. Ibu suka. Ibu jadi ngerasa kembali ke jaman ibu masih jadi santri."
"Astagfirullah, terus ibumu gimana, Mas? Ya Allah, gara-gara aku kan Mas jadi dipulangkan." Ayun seketika takut.
Iyus terkekeh. "Abah udah nyuruh aku balik ke sana, tapi ... Aku milih buat tetep di sini. Soalnya, mau nikmatin kebersamaan, sama ibu. Kan selama ini kami kepisah. Aku nggak bisa ninggalin ibu lagi. Aku harus tanggung jawab ngerawat ibu, setidaknya nemenin ibu, lah."
Ayun tanpa sadar menatap pemuda itu dengan binar kagum. "Masyaallah, soleh, soleh. Aku kasih jempol buat keputusan, Mas. Selagi orang tua masih ada, perlakukan mereka sebaik mungkin. Bukankah itu yang sering jadi tag line Kalam Maya? Dan kini, waktunya Mas buat praktekin itu. Bukan cuma bisa nulis doang tapi nggak dijalanin. Ya kan?"
Iyus tertawa. "Iya, kamu bener."
"Eheem ... Oh jadi ini yang namanya Yusuf? Ganteng euy, pantes namanya diabadikan jadi tokoh dinovelnya Dedek Ayun," ledek Anthony yang kini tengah berjalan mendekati Ayun dan Iyus, bersama Eka, kekasihnya.
"Mas Anton ih. Eh Mas Yus, kenalin, ini Mbak Eka, ini Mas Anton. Mereka kakak angkatku ehehe."
"Kalau sama Mbak Eka aku kenal, kan sering ambilin jahitannya Ummah Hana di toko. Dan aku jaga outlet kebab lama dulu di sebelah ruko jahitnya kan." Iyus menjelaskan.
"Iya, nah ini anak yang punya ruko," kata Eka.
"Wah enak dong Mbak, sewa ruko gratis anaknya."
Semua tertawa dengan lelucon garing Iyus. Ia mencoba untuk berkenalan dengan orang terdekat Ayun.
"Mojok dulu yuk, haus nih. Mau?" ajak Anthony sembari menepuk bahu Iyus.
"Boleh, yuk."
Ayun membalas tindakan Iyus tadi dengan mengcandidnya.
Ia unggah foto itu. Sebuah caption mengiringi postingan tersebut. "Albirru di kehidupan nyata. Si kaku di luar tapi receh di dalem. Eh ...."
Belum sampai satu menit. Ada sebuah pesan masuk.
Mas Haikal
[Oh ada yang pamer haluannya ya?
Dapet foto dari google?
Atau nyolong di IG orang?]
Ayun mencebik, si tengil kembali muncul merusak hari liburnya.
Ayun
[Mohon jangan merusak hari libur saya dengan war tak penting kita. Nggak bosen apa tiap hari julid? Astagfirullah, pengen gigit beneran deh terus aku lepehin, biar buat makanan Serbi, anjing yang suka mangkal di depan kantor]
Mas Haikal
[Ay, jangan gitu ih
Aku lagi patah hati
Kamu dimana?
Keluar yuk
Aku butuh kamu]
Ayun
[Aku lagi di Jogja.]
Mas Haikal
[Sama siapa?
Aku susul ya]
Ayun
[Sama yang barusan aku foto
Sama Mas Yusuf]
Mas Haikal
[Halu lagi, halu lagi
Yusuf di sini weeh.
Kan kamu udah ngaku
Kalau kamu terinspirasi sama aku
Tokoh barumu di novelmu kan aku]
Ayun
[Ah susah ngomong
Sama Sad Boy.
Aku mau having fun dulu
Aku matiin hapenya
Bye]
Mas Haikal
[Ay Ay! Tega kamu
Seriusan aku susulin ya
09.35
Ayuuuuuuun!
Buruan share loc kamu dimana
Ayuuuuun!
09.47
Nusayba Qurata'ayun!
Buruan bales
Kamu dimanaa!!!
09.52
Ay, kamu tega ih
Nggak berperipersahabatan
10.12]
Ayun benar-benar tak menggubris pesan Haikal yang bertumpuk. Ia lebih memilih mengobrol dengan Iyus yang sekarang jauh lebih menyenangkan.
"Eh Mas, kakaknya dokter Zulham, itu mirip banget loh sama kamu." Celetukan Ayun membuat Eka dan Anthony mengangguk.
"Eh iya loh, aku juga mikir gitu. Mirip banget kamu sama kakaknya Mas Zulham."
"Oh ya? Macem dopplerganger gitu?" Iyus terkekeh mendengarnya sembari menikmati makanan yang tersaji di depan meja.
Dan, tanpa mereka kira sosok itu muncul. Berdiri di samping meja mereka.
"Yusuf Tabriz Albirru?"
Mendengar namanya disebut, Iyus mendongak. "Saya, Pak?"
"Eh, Om. Nah baru aja kami omongin. Ini Mas Yus temen Ayun, Om. Mas Yus, ini Om Nugrah, kakaknya Om Zulham."
"Nugrah? Pak Nugi?" gumam Iyus.
"Kamu inget sama bapak?" ucap pria itu haru.
Keduanya bak pinang dibelah dua, bedanya hanya Nugrah telah beruban, sedang putranya masih dalam fase tampan-tampannya. Tinggi mereka sama, bentuk tubuhnya pun mirip meski tubuh Nugrah lebih berisi. Struktur wajah sama persis. Hanya saja mata Iyus menurun dari Rumi.
"Bapak ...." Iyus lirih bergumam.
Tiga orang lain hanya saling pandang tak paham.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
❤❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro