Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36.417

Prompt:
Buatlah cerpen berlatar di tahun 1800-an, minimal 500 kata.

***

"Aku mencintaimu."

Kau harus tahu itu Rama, bahwa perasaanku telah meluap-luap bak gunung berapi yang telah siap mengeluarkan semburat lava panas. Kau telah membuatku luluh, maka engkau harus bertanggung jawab.

Kumohon jawablah.

"Tidak."

Detik ini dentang waktu seakan terhenti. Bohong, rasanya baru kemarin kau menunjukkan rasa sukamu secara terang-terangan kepadaku. Baru kemarin kita saling bertukar surat, menyiratkan kerinduan satu sama lain. Baru kemarin, kau memberikan puisi romantis.

Sekarang kau bilang tidak?

Mengapa hatimu sulit dipahami? Bibirku terkunci-bergetar hebat-tak mampu berkata-kata. Apakah kepedulianmu padaku palsu? Lantas mengapa kau memberiku bucket mawar merah dari Paman Cheng yang harganya bisa membuatmu kenyang tiga hari.

"Bagaimana dengan 3 tahun hubungan kita? Malam itu saat kau menyelinap diam-diam ke dalam kediamanku untuk berkencan, apakah itu palsu?"

"Kita teman dan itulah jawabanku. Kau adalah nona baik dari negeri yang jauh, aku hanyalah seorang pribumi yang tengah memperkenalkan kebudayaan daerahku kepada pendatang sepertimu,"

"Bohong! Kau pasti membual! Ucapanmu adalah dusta, hanya bualan semata. Benarkah begitu, Rama?"

"Cecilia, aku tak bohong. Itulah jawabanku, aku tak bisa mencintaimu dan aku tak akan pernah membalas perasaanmu, pergilah sebelum tunanganmu datang kemari,"

Kucoba menguatkan diriku. 3 tahun kita saling mengenal, saling menghabiskan waktu bersama dan kau bahkan pernah berjanji untuk selalu melindungiku. Dulu kau selalu mendekapku sekarang kau malah mendorongku.

"Bohong ... kau pernah berjanji untuk melindungiku. Apakah kau ingin aku menikahi pria gendut mesum itu? Kau rela aku dijual untuk menjadi selirnya? Bohong ... kau mencintaiku, jangan lepaskan aku ... "

Aku tak bisa kau bohongi. Perlakuanmu padaku, aku tahu betul. Kau meletakkan rasa padaku.

"Kau ingin mengakhiri hubungan kita? Kau rela membuangku ... haha ... "

"Cecilia, kita bahkan tak pernah menjalin hubungan asmara. Hentikan omong kosongmu,"

Hari ini pada pukul 6 dini hari, pada tanggal 26 Agustus, aku akan menikahi seseorang yang aku benci dan hari di mana aku didorong oleh orang yang aku cintai. Tubuhku seakan tersambar petir, ini terlalu pahit, aku tak ingin menerima kenyataan ini.

Benar, hanya aku yang mencintainya secara sepihak. Kita tak pernah memulai begitu juga mengakhiri. Tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Memang benar jika aku tak bisa memeluknya.

Perlahan bulir-bulir air mata mengalir dan membasahi pipi. Membanjiri wajah senduku. Bibirku terasa getir. Banyak kata yang tersendat, tak mampu terucap. Menyisakan penggalan kata untuk diucap lirih. "benci ... aku ... "

"Pergilah, dasar penjajah!"

"Rama ... aku ... " Mengapa aku masih tersenggal. Benarkah ini akhir dari kita? Bak sebuah kisah klasik yang berakhir singkat.

Kudengar semilir angin berbisik dan hawa dingin yang menusuk tulang. Sosoknya berjalan mundur 1 meter, memberi jarak diantara kita. Benar, inilah akhirnya. Tiada lagi sisa rasa yang terpatri. Kandas sudah, rungkat sudah, pupus sudah.

"Pergilah segera!"

Kapan kali pertama dan terakhir kau meneriakiku dengan kasar? Tak pernah. Ini yang pertama dan terakhir kalinya. Kau benar aku harus pergi, meski begitu banyak kata-kata yang ingin kuucapkan. Setidaknya aku harus berterimakasih atas kebahagiaan serta luka yang kau berikan.

Peluklah aku sekali saja
Di pagi yang bersahaja
Mendekapmu dengan kampana
Abadikan kamu dalam guratan rasa

"Kali ini, untuk terakhir kali ijinkan aku memelukmu. Mendekapmu dengan kata-kata yang tak mampu kuucapkan, sebelum aku melepasmu."

"Baiklah, untuk terakhir kali."

Aku mendekapnya, seerat belenggu yang mengikat takdir kita. Rasa ini tercuat dalam dekapan, terlepas tanpa secuil kata yang terucap. Hanya selaksa rasa yang tinggal ditemani tangis isakan.

Bukan aku dan bukan kamu juga yang salah. Bukan takdir, tapi mereka yang memisahkan kita. Jika kita bertemu lagi, aku akan bersamamu bagaimana pun caranya.

Dekapannya terasa hangat, begitu erat hingga aku sulit bernapas. Mengapa kau selalu berbohong? Semua yang kau katakan pada akhirnya hanyalah kebohongan. Pengecut, kau seharusnya menggenggam tanganku dengan erat.

"Akhir-akhir ini trend menjalin asmara antara nona muda dan ksatrianya menjadi marak. Bukankah itu konyol? Pada akhirnya bangsawan akan tetapi menikahi bangsawan dan ksatria itu akan tetapi menjadi ksatria disisinya."

"Tidakkah nona ingin membuat keajaiban?"

"Aku bukan anak kecil, aku tak mempercayai hal itu. Berimajinasi saja enggan, apalagi mencoba untuk merealisasikannya."

Tidak. Sedari awal, akulah yang telah mendorongnya. Menyuapinya dengan kata-kata mustahil. Kita sama-sama pengecut, aku yang pesimis dan kau yang merasa rendah diri.

Jadi beginilah akhir dariku. Mendambakan pernikahan atas dasar cinta hanyalah imajinasi semata. Memilikimu adalah fatamorgana. Dan mencintaimu hanyalah kisah sesaat.

***

Pukul 12:53 lonceng gereja berdentang. Benar saja, rombongan orang Papa menjemputku tadi pagi dan langsung membawaku ke Anyer.

Suara pelor terdengar berdecit, menembus semilir angin dengan kecepatan tinggi. Membawa sosoknya terhempas dalam seperkian detik. Menatap nabastala yang mulai menitikkan rinai dan sosoknya pun berpaling.

"Rama ... "

Mulai sekarang aku akan hidup di dalam sangkar, selamanya.

Di detik ini, bersama dentang lonceng gereja. Kisah kita berakhir untuk selama-lamanya. Tak ada lagi sosok Rama yang singgah dalam diriku.

"Letusan. Gunung Krakatau meletus! Cepat lakukan evakuasi dan bersiap untuk gelombang tsunami!" teriak seorang pria dengan wajah paniknya menembus upacara pernikahan.

Mungkinkah, ini saatnya aku dapat berjumpa dengannya?

Aku melepas tudung renda yang menutupi wajahku. Menggunakan alasan gunung Krakatau untuk kabur.

"Papa, kita harus menyelamatkan diri. Lakukan upacaranya besok. Nyawa lebih penting!" Aku berlari menghampiri sosok Papa yang tengah terpatung menghadapi situasi genting.

"Lakukan evakuasi segera!"

Puluhan orang berlarian keluar gedung. Berusaha menyelamatkan diri dari amukan sang alam. Apa yang akan kulakukan sekarang? Kami semua terpisah tanpa arah dan tujuan seperti orang gila. Meneriaki kematian dan memanjatkan doa-menjadi orang beriman dalam sekejap.

"Aku ... " langkahku tertatih-tatih oleh kebingungan yang melanda. "jika aku tak dapat memilikimu di sini, maka di suatu tempat nan jauh di sana, kita dapat bersama."

Dalam hitungan detik gelombang air laut mulai naik ke permukaan. Melahap setiap bangunan yang dilaluinya dengan terjangan yang dasyat. Suara letusan gunung Krakatau memicu teriakan histeris. Nyanyian belasungkawa dilantunkan, doa-doa di panjatkan.

Bibir ini bergetar hebat tak mampu berucap. Sorot mataku terpaku pada gelombang air laut yang sebentar lagi akan menghantamku dan ajal yang siap menjemput.

Sungguh aku takut. Situasi ini mengerikan. Akan ada mair yang menjemput-sebentar lagi-di depan mata.

Berapa banyak orang yang akan mati? Mungkin 36. 000 ribu jiwa? Seharusnya penduduk di sekitar Krakatau terlahap oleh muntahan lava panas ataupun gelombang tsunami. Aku pasti salah satu dari 36.000 ribu jiwa itu.

Teriakan, tangisan, kericuhan. Orang-orang berdesakan, menghantam sana-sini untuk kabur dari kematian. Padahal, semuanya sudah terlambat.

"Nona Cecilia, apakah anda tak ingin mencoba untuk keluar? Melihat sesuatu yang belum pernah anda lihat?"

"Tidak, percuma saja. Sekalipun aku mau, aku tak bisa,"

"Tentu saja Nona bisa. Saya bisa membawa Nona melihatnya sekarang jika anda mau!" Sorot matanya berbinar-terlihat hidup. Sungguh menyilaukan untukku yang mati.

" ... Benarkah?"

Tanganmu menarik lembut, menggenggam begitu erat penuh kepedulian. Aku dapat merasakan hangatnya mentari dan melewati badai bersalju dengan mudah saat bersamamu.

Malam ini kau memperlihatkan dunia baru yang belum pernah kulihat. Mengajakku menjelajahi area perkampungan yang kumuh. Aku yang selama ini hidup di dalam sangkar emas sembari membayangkan rasanya terbang bebas. Ternyata pergi keluar sangkar belum tentu kita dapat terbang bebas.

Kami tertawa mengelabui para penjaga, napas kami saling bertautan. Debaran jantung terdengar begitu nyata, melukis rasa cinta dalam diriku dan juga kamu.

Jika ditanya saat terindah dalam hidupku sekarang, inilah saatnya.

Inilah saatnya.

Di ujung pulau jawa
Aku jatuh cinta padamu
Di dalam gulungan ombak
Aku dan kamu menjadi satu

-fin.

.

.

.

.

.

I die. Ngebut di detik-detik terakhir benar-benar memberiku sensasi mendebarkan. Kepada kepdiv tolong jangan arahkan pisau padaku. Aku telah berusaha dan berhasil meskipun mletoy.

Ini bukan kisah nyata, tentu saja hanya fiktif belaka. Tapi, siapa tahu saja diantara 36.417 jiwa yang menjadi korban, mungkin salah satunya memiliki kisah cinta yang kandas di hari gunung Krakatau meletus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro