Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KALAH-8

Dirga memandang gamang pintu kayu mindi di depannya. Di balik pintu itu ada dua perempuan yang begitu Dirga kasihi. Tengah kesakitan, terluka begitu dalam, mungkin oleh Dirga. Karena Dirga. Semua yang terjadi pada Ibu dan Adiknya bisa jadi karma untuk Dirga.

Sekali lagi Dirga menghisap rokoknya, menunduk, kemudian membuang asap beracunnya perlahan. Baru kali ini Dirga kebingungan, dia butuh seseorang untuk sekadar membagi bebannya, untuk sedikit membantunya memilih jalan yang seharusnya.

Karena satu-satunya tempat Dirga berbagi kini menolaknya.

Diandra hancur dan Dirga berjuta kali hancur untuknya. Sejak pulang dari rumah sakit, anak itu tidak pernah sekalipun keluar kamar. Selalu berteriak histeris begitu Dirga coba mendekat. Hanya Dira yang sanggup menenangkan Diandra.

Walau tidak dipungkiri, Dira hancur, sama hancurnya dengan Dirga. Berkeping-keping hingga rasanya mustahil untuk utuh kembali. Belum cukupkah siksaan yang selama ini Dira dapatkan? Kenapa sekarang, Diandra juga harus merasakan cobaan yang sama beratnya?

“Sayang,” panggil Dira pada Dirga begitu mendapati putra sulungnya itu terduduk lesu di depan pintu kamarnya.

“Ibu.” Dirga mengangkat pandangannya, menatap langsung pada mata sembab Dira. Berharap rasa sesak yang tiap kali datang saat Dirga melakukannya, bisa membunuhnya saat itu juga.

Dira mundur, dia tahu Dirga tidak bisa berlama-lama melihatnya. Dira tahu, sang putra akan mendapatkan serangan sesak yang menyiksa jika dia tetap di sana. Namun, tangan besar Dirga menahan kepergian Dira. Belum sempat Dira menolak, Dirga sudah menarik Dira ke dalam pelukannya. Memeluknya erat sambil terisak sesak.

Dirga menangis, keras, dan baru kali ini Dira melihatnya.

Bagi Dira, Dirga adalah sosok yang kuat. Tidak pernah sekali pun menunjukan kelemahannya. Dan itu artinya, kali ini, Dirga  tidak sanggup lagi menahannya.

“Ibu, aku harus gimana?”

Masih dengan tangis yang menyayat hati, Dirga bergumam rendah. Napasnya mulai memburu, dan Dira semakin cemas dibuatnya.

“Sayang, lepasin Ibu dulu! Kamu gak boleh kayak gini!”

Dirga bergeming, tidak sedikitpun berniat melepas pelukannya dari Dira.

“Aku gak sanggup, Bu. Lihat Ibu aja aku gak bisa, rasanya sakit banget, Bu buat napas. Sekarang Dian juga gak mau aku deketin. Aku harus gimana, Bu?”

Dirga semakin kepayahan, lehernya seperti tercekik, dan dia menantikan kematian segera datang menjemputnya.

Mungkin lain kali, karena Dira tidak akan membiarkan itu terjadi. Maka, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Dira mendorong Dirga menjauh. Hingga anak itu jatuh terduduk dengan napas satu-satu.

Dirga masih menangis, semakin keras saat punggung hangat Dira yang selalu dia rindukan hilang tertelan jarak.

***

Siang harinya, jadwal UAS memaksa Dirga untuk tetap berangkat kuliah tanpa peduli perasaan. Sebenarnya UAS Dirga sudah selesai minggu lalu, hanya saja ada satu mata kuliah yang dosen pengampunya sedang menghadiri seminar di Spanyol. Jadilah UAS yang tertunda itu, baru terlaksana hari ini.

Sabar Dirga, kamu tidak sendiri.

Baru juga turun dari mobil, Dirga disambut oleh Lina. Dia membawa kotak makan siang berwarna kuning di tangan kirinya. Dirga yakin, isinya pasti penuh dengan lumpia isi tahu yang dicampur dengan daging dan sayur.  Sejak Dirga bilang lumpia buatan Lina adalah lumpia terenak yang pernah Dirga cicipi, anak psikologi klinis itu jadi sering sekali membawa bekal lumpia untuk diberikan pada Dirga.

Padahalkan Dirga cuma basa-basi.

Lina adalah cewek paling sensitif dari sekian banyak cewek yang pernah Dirga temui. Ada yang janggal sedikit saja dengan Dirga, Lina pasti tahu. Contohnya sekarang, mata kecil gadis itu mulai berkaca-kaca saat Dirga menghampirinya. Rok coklat panjangnya dia angkat sedikit, membantunya berjalan lebih cepat, kemudian menarik Dirga untuk segera duduk di anak tangga teratas, tepat di depan pintu lobby gedung fakultas Dirga.

“Dirga lagi ada masalah? Itu kenapa jidatnya?”

Dirga tersenyum tipis, dia menarik ujung jilbab merah jambu Lina yang terselak oleh angin. Merapikannya kemudian menggeleng kecil.

“Jangan bohong. Muka sama mata Dirga aja kayak gitu!”

Tidak biasanya Lina sengeyel ini, biasanya tiap kali Dirga bilang baik-baik saja, dia akan percaya dengan dalih menghormati privasi Dirga. Mungkin hari ini Dirga benar-benar terlihat kacau, sampai-sampi Lina berani melewati privasi Dirga.

Dirga menghela napasnya sedikit kasar, sedikit saja, membuat Lina langsung kelimpungan meminta maaf.

“Eh maaf, Dirga. Yaudah, aku gak maksa  lagi. Jangan marah ya.”

Dirga mengangguk kecil, melirik pada kotak makan Lina, selanjutnya berujar, “Itu lumpia? Buat aku bukan?”

“Eh iya, hampir aja lupa.”

Dengan telaten Lina membuka kotak makannya, menyiapkan tisu, juga air mineral untuk Dirga.

“Kebetulan, dari pagi aku belum makan.”

“Heh? Kok bisa? Jangan lewatin sarapan, Ga. Gak baik. Maaf ya, besok-besok kalo udah agak free aku bawain sarapan buat kamu.”

Mata Lina kembali berkaca-kaca. Dirga jadi bingung sendiri dibuatnya.

“UAS kamu belum selesai? Kok masih sibuk aja?”

“Udah selesai dari minggu kemarin, Ga. Tapi ini, Bu Yessa minta tolong dicariin sepuluh judul jurnal sama sekalian diterjemahkan,” keluh Lina, jemari kecilnya mengusap sudut matanya yang berair.

“Bu Yessa, psikologi bukan? Yang baru nikah itu kan? Buat apa?”

“Iya. Buat disertasinya, Ga. Beliaunya lagi sibuk seminar sana sini, buat nyusun prosiding, makanya minta tolongnya ke aku. Tapi aku sanggupnya cuma sepuluh judul.”

“Emang butuhnya berapa?”

“Banyak.”

Dirga manggut-manggut berlagak paham. Sepertinya kali ini dia akan membutuhkan bantuan Lina, untuk mendekat pada Yessa, yang Dirga pikir bisa membantunya menjauhkan Diandra dari trauma psikisnya.

Bersambung
02.07.19
Habi🐘-Anjar

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro