KALAH - 20
Dirga tidak pernah merasa seberuntung ini sebelumnya. Bukannya tidak ingin memberitahu Dira ihwal pernikahan Gani, Dirga hanya ingin menunggu waktu yang tepat. Saat dirinya siap dan ketika Dira juga Dian lebih kuat untuk menghadapi kenyataan lain yang bisa kembali melukai mereka.
Berkat Ratna yang saat ini berdiri di hadapannya dengan mata besar yang berkedip khawatir, Dirga bisa dengan mudah menghindar dari pertanyaan Dira.
Namun, siapa sangka, lepas dari mulut singa, Dirga masuk ke mulut buaya. Terhindar dari Dira, Dirga terpaksa dihadapkan pada amarah Ratna.
“Ratna?”
“Iya, ini Gue. Lo bener-bener ya, Ga!” Ratna bersungut-sungut, wajah putihnya berubah merah, marah sambil meneliti setiap senti wajah Dirga yang babak belur. “Udah dibilangin jangan macem-macem, itu muka kenapa bisa kayak gitu? Berantem sama siapa lagi? Trus ngapain hp kamu mati?” lanjutnya.
Masih banyak yang ingin Ratna utarakan malam itu. Tetapi, Dirga lebih dulu menariknya masuk ke dalam, mendudukannya di ruang tamu kemudian menyodorkan segelas air putih. Ratna bungkam, dia menerima semua perlakuan Dirga padanya, termasuk saat Dirga yang duduk tepat di sebelahnya meminta Ratna untuk segera meminum air putihnya.
Ratna meneguknya perlahan, hampir tersedak saat Dirga menyentil dahinya pelan.
“Udah ngomelnya? Sekarang giliran Gue!”
Ratna mengangguk kaku, mereka berdua tidak pernah dalam jarak sedekat ini sebelumnya. Jantung Ratna berdebar aneh.
“Lo masih pake daster, sandal jepit, trus nyetir sendiri jam segini gara-gara khawatir sama Gue?”
Ah iya … saking khawatirnya Ratna belum sempat mengganti pakaiannya, apalagi mengenakan sepatu. Bagaimana tidak khawatir? Terakhir dia meninggalkan Dirga di rumah kosong menyeramkan dan lingkungan asing yang sepertinya rawan tindak kejahatan. Ditambah lagi ponsel Dirga yang tidak bisa dihubungi sejak sore.
Memang sih … mereka bukan dalam hubungan khusus atau sebagainya. Lagipula Ratna tidak membutuhkan alasan semacam itu untuk peduli pada Dirga. Dia akan melakukan hal yang sama jika kejadian serupa menimpa teman-temannya. Mungkin ….
“Heh jawab! Malah bengong!”
“Ya iyalah, salah Lo juga, ngapain pesan sama telepon Gue enggak Lo angkat?”
Dirga berdecak, mengambil alih gelas yang masih digenggam Ratna sambil berujar pelan.
“Hape Gue mati bu guru …, yaudah yuk Gue anter balik.”
Dirga melangkah lebih dulu, sementara si berisik Ratna mengekor tepat di belakangnya.
“Itu muka Lo kenapa bisa sampai kayak gitu, Ga? Jelasin dulu ih!”
“Kelihatannya kenapa?”
“Dihajar orang.”
“Nah, itu tahu. Pinter ih!”
Ratna mendengkus sebal. Namun, tetap mengikuti Dirga masuk ke dalam mobilnya. Menerima tawaran Dirga untuk mengantarnya pulang.
***
“Iya … sabar! Ini Gue jalan.”
Dirga yang semula berniat menghabiskan seharian penuh di dalam kamar, terpaksa keluar rumah oleh ancaman Ratna. Kata Ratna, dia akan dengan sengaja melaporkan kehilangan mobil jika dalam setengah jam Dirga tidak menjemputnya. Padahal semalam, Ratna sengaja meminta Dirga untuk membawa mobilnya pulang, daripada naik taksi atau kendaraan umum lainnya.
Sekali lagi dengkusan sebal keluar dari mulut Dirga saat dia sampai di meja makan. Sudah ada Dira dan Dian di sana.
“Kenapa, Mas?”
“Ratna tuh, Bu. Semalem aku diminta bawa mobilnya, sekarang mobilnya suruh balikin kalau enggak mau dilaporin ke polisi.”
Dian terkekeh-kekeh, rencananya berhasil. Pagi tadi, Dian sengaja menghubungi Ratna dan menceritakan semua yang terjadi pada Dirga. Dian sekaligus meminta bantuan Ratna untuk mengembalikan Dirga jadi kakaknya yang dulu, sebelum Dirga merasakan remuknya patah hati.
“Mas siapin mental aja, seharian ini bakal jadi sopir pribadinya Mbak Rat.”
“Enggak bisa, enak aja!”
“We’ll see, kapan sih Mas pernah nolak maunya Mbak Ratna sama Mbak Nov?”
Dirga berdecak, menenggak habis susunya kemudian berderap cepat keluar rumah setelah kembali mendapatkan panggilan video dari Ratna.
“Bu, Dek, Mas berangkat dulu. Kalo ada apa-apa langsung hubungi Mas ya!” teriak Dirga dari balik kemudi pada Dian yang melepas kepergiannya dari depan pintu.
***
Persis seperti prediksi Dian sebelumnya, seharian Dirga benar-benar menjadi sopir pribadi Ratna. Mulai dari ke kampus untuk screening FSM, mondar-mondir ke desa binaan, belum lagi memenuhi permintaan COD mahasiswa dari fakultas lain yang ingin menyumbangkan buku bacaan bekas untuk mendukung kegiatan mereka.
Saking sibuknya membantu Ratna ini-itu, Dirga tidak sempat merasakan kesedihan patah hati. Seharian ini nama Yessa seolah tertelan oleh permintaan tolong yang ratusan kali terlontar dari bibir peach Ratna.
"Dirga cepat jalan!"
"Dirga tolong bawain bukunya!"
"Dirga mampir makan dulu bentar!"
"Dirga buruan makannya!"
Ratna hari ini cerewet sekali, lebih dari biasanya.
Dikatakan bersyukur, harus. Dirga memang mencintai Yessa, menyicipi penolakan memang begitu menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi? Dirga tidak bisa terlalu lama diam saat hatinya terbelenggu duka. Dirga tidak boleh! Karena itu, terima kasih Ratna.
Dirga tahu butuh waktu dan usaha untuk benar-benar bisa melepaskan Yessa. Dirga juga tahu kalau bukan sekarang waktunya, belum. Namun, Dirga yakin kesakitannya hari ini akan perlahan sirna oleh keluarganya, oleh teman-teman di sekitarnya, termasuk oleh Ratna yang saat ini tengah mengerjakan laporan praktikum sambil sesekali meminum latte.
"Ngapain sih Lo, Ga? Bengong mulu, bantuin kek?!"
"Yang Gue angkat-angkat buku, jadi sopir Lo ke mana-mana, sampai makan aja harus balapan, enggak Lo hitung sebagai bantuan?"
Ratna nyengir, terus kembali cemberut. Tadi setelah pulang dari desa binaan, Ratna mengeluh lelah, sementara masih ada sembilan laprak yang belum dia kerjakan.
Hidup mahasiswa memang keras.
"Lo seminggu praktikum sembilan kali?"
"Tiga kali, Dirga …."
"Kok laporannya sembilan?"
"Anak teknik mana tahu, udah diem aja kalau gitu!"
Ratna berdecak, sebal. Dirga mendengkus, kemudian tersenyum, dan begitu arah pandang keduanya bertemu, derai tawa mengalir begitu saja. Dalam alirannya membawa alunan nada ganjil yang keduanya sulit tafsirkan. Suasana yang semula hangat, berubah canggung. Saking canggungnya, Dirga merasa perlu membenahi posisi duduknya, merapikan kemeja, dan yang terakhir menyugar rambut cepaknya.
"Ngapain Lo?"
"Barusan ada cewe masuk, lumayan cakep,"dalih Dirga.
"Playboy tobat memang mitos gaeshhh, enggak mungkin ada."
Keduanya kembali tergelak. Tanpa Dirga tahu, bahwa Ratna merasakan kecanggungan yang sama.
***
Sejak perginya Dirga, Dian dan Dira disibukkan oleh pekerjaan rumah. Dian yang belum siap kembali ke sekolah memutuskan untuk menempuh homeschooling, sekalian bisa menemani Dira jika sewaktu-waktu Dirga disibukkan oleh tugas dan kegiatan di kampusnya.
Dian mengambil keputusan yang tepat. Karena ternyata bukan hanya Dirga yang sibuk sebagai mahasiswa, Gani yang selalu sibuk oleh pekerjaannya, semakin menjadi. Terhitung satu bulan sejak Dira sadar, Gani belum sekali pun pulang, menelepon sekadar menanyakan kabar pun tidak.
Bayangkan, jika dirinya memutuskan kembali sekolah. Siapa yang akan menjaga Dira di rumah?
Memang benar, Dira sudah sembuh. Ibunya sudah sepenuhnya sehat, dan terlihat lebih segar. Tetapi jika mengingat bagaimana tersiksanya Dian dulu melihat Dira yang terbujur lemah di ranjang pesakitan, rasa-rasanya tidak rela jika harus meninggalkan Dira sendirian di rumah.
"Ibu enggak kangen sama Ayah?"
Dian membuka obrolan, kedua tangannya sibuk mengupas wortel sementara perhatiannya tertuju penuh pada Dira. Dian tidak salah lihat, saat itu Dira benar-benar tersenyum, jenis senyuman tulus tanpa setetes kepura-puraan.
"Ayah kalian adalah satu-satunya lelaki yang Ibu cintai, mustahil Ibu tidak rindu, Sayang. Tapi kerinduan Ibu tidak lebih berharga dari kebahagiaan kamu dan Dirga."
Dian mengangguk, matanya basah, dan sekon berikutnya berubah menjadi aliran yang tidak tertahankan. Dira merengkuh Dian dalam hangat pelukan seorang Ibu, Dira menenangkannya dengan kalimat-kalimatnya yang mujarab.
"Cukup kita bertiga, dan kita pasti bahagia. Apa pun itu, Ibu ikhlas jika demi kalian berdua."
***
"Tante sama Dian udah tahu soal Om?"
Dalam perjalan pulang, Ratna sempat mengungkit soal Gani. Bagaimanapun Dirga tidak bisa selamanya menyembunyikan kebenaran tentang Gani dari Ibu dan adiknya. Dira dan Dian berhak tahu. Akan sesakit apa rasanya nanti, mereka harus rela menerimanya. Hingga setelah kesakitan mereka berlalu, ada indahnya hikmah yang bisa mereka syukuri. Seperti yang sudah Dirga alami.
Dirga menggeleng dalam bungkam. Matanya berkedip ragu, seolah pertanyaan Ratna vonis untuknya.
"Enggak berani bilang? Dian sama Tante kuat, Ga."
Kali ini Dirga mengangguk. Sedikit pun tidak meragukan Dian dan Ibunya. Tapi, apa yang membuatnya sulit mengungkap kebenaran tentang Gani?
"Gue yakin kalian bertiga pasti bisa melewatinya, Ga."
Dirga kembali mengangguk. Ratna benar, banyak yang telah Dirga lalui bersama Dian dan Dira. Tidak sedikit bekas luka yang tertinggal, dan semua karena Gani. Jadi kalau sekarang mereka harus hidup tanpa Gani, bukankah itu lebih baik?
Tanpa Gani, Dirga selalu bisa menjadi kakak yang sempurna untuk Dian.
Tanpa Gani, kini Dira lebih baik. Ibunya lebih sering tersenyum, desing tawanya kerap Dirga dengarkan.
Tanpa adanya Gani, Dirga menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.
Tanpa Gani, keluarga mereka utuh.
Mungkin benar kata Ratna, Dian, Dira, dan dirinya pasti bisa melewati luka terakhir yang Gani torehkan. Dirga hanya perlu mengaku kalah sekali lagi, kemudian dengan berani mengakui kekalahannya.
Iya, Dirga telah kalah. Dirga memang gagal mempertahankan Gani untuk keluarganya.
Namun, di balik kalah Dirga temukan banyak pelajaran. Lebih banyak daripada sejuta kemenangan.
END
15.10.19
Habi🐘-Anjar
A.n
Ehm … ini Tante Tante pecinta daster, Habi.
Assalamualaikum,selamat malam
Kita benar2 sudah di penghujung Kalah
Jadi, saya ingin mengucapkan banyak sekali terima kasih untuk pembaca setia Kalah.
Saya dan Mbak Anjar sayang kalian semuaaaaa 😍
Terima kasih banyak atas apresiasi kalian, setelah bagian terakhir ini, akan ada dua epilog masing masing versi saya dan Mbak Anjar.
Jadi … tungguin terus Kalah setiap malam Jumat ya … ehm tapi nungguin mbak Anjar yang mau UTS dulu, 😊
Sekian dari saya, silakan tulis kritik dan saran, pesan dan kesan, pertanyaan, quotes, pantun, lirik lagu entah apa, curhatan, atau apa pun itu untuk kami berdua di kolom komentar yang sudah disediakan ya … pasti kami baca, 😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro