Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KALAH - 19


Hembusan angin malam yang kian kencang, tak membuat Dirga bergegas masuk. Ia tetap pada posisinya. Berdiri menatap langit, dengan sebatang rokok terselip dijari tangan kirinya. Menikmati rasa sakit yang berada di wajah dan hatinya. Entah, batang rokok keberapa yang Dirga hisap, yang pasti kini Dirga sangat kacau. Sesekali ia membenturkan kepalanya pelan pada pembatas balkon. Lalu tersenyum dengan pandangan kosong.

Dirga terlalu asik dengan dunianya, hingga ia tak sadar, bahwa sejak tadi ada seorang gadis dengan piyama beruang tengah memperhatikannya.

“Kenapa nyesek banget sih?” monolog Dirga dengan kekehan mirisnya. “Gua lemah banget njir. Gara-gara gini aja, gua bisa sekacau ini.”

“Ya itu cinta. Kadang melemahkan, kadang juga menguatkan.” Dirga berbalik, mendapati Dian dengan piyama beruangnya tengah duduk di atas tempat tidurnya yang berantakan.

“Dian.” Dian melangkah, mendekati Dirga lalu merampas rokok Dirga, melemparnya begitu saja. Lalu, Dian memperhatikan wajah Dirga yang terdapat banyak luka.

Dian bingung, pasalnya, saat Dirga pulang tadi, Dian tengah berada di kamar. Jadi ia tak tahu, kondisi kakaknya saat pulang.

“Ini kenapa?” tanya Dian dengan memperhatikan wajah Dirga dengan sorot mata yang menajam.

“Berantem, sama suami bu Yessa.” Jawab Dirga sambil terkekeh pelan

“Bu Yessa?”

“Iya, Psikolog yang itu.”

“Dia bersuami?”

“Iya.” Dirga kembali menatap langit, dengan tangan kanannya berada di pundak Dian. “Bu Yessa itu dosen mantan, Mas. Dan brengseknya, Mas suka sama dia. Dan Mas berharap bisa memiliki Dia. Lalu bahagia, hahaha.”

“Mas ….”

“Dia baik. Perhatian. Tapi sayang, dia gak mau ninggalin suaminya dan memilih Mas. Dia bilang, karena dia sedang hamil, padahal Mas juga sudah menyanggupi. Kalau Mas sanggup menghidupi bu Yessa dan anaknya. Tapi bu Yessa tetap gak mau, dan dia malah mengusir Mas dari rumahnya. Dia ngusir Mas, saat Mas baru saja mukul suaminya. Hahaha, emang Mas jelek ya? Sampai bu Yessa nolak Mas?”

“Mas ….”

“Mas baru ini jatuh cinta. Mas baru ini, bener-bener ngerasain jatuh sendirian. Mas suka sama dia. Mas sayang. Mas cinta sama dia. Tapi apa? Dia sama sekali gak melirik Mas. Kenapa cinta sesakit ini Di? Ap ….” Dirga menghentikan ucapannya, ketika Dian memeluk Dirga dengan erat. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Dirga. Menghirup aroma tubuh Dirga yang bercampur dengan bau nikotin.

“Cinta tidak akan sesakit ini, kalau Mas menjatuhkannya pada hati yang tepat.” Dirga diam. Menikmati aroma segar dari rambut Dian. Merasakan pelukan hangat malaikat kecilnya. “Dian gak tau, berapa banyak hal sulit yang Mas lewati sendiri. Saat Dian gila kemarin, entah berapa banyak darah yang tumpah dari diri Mas. Kadang Dian benci diri Dian sendiri. Ketika Dian hanya bisa menyalahkan tanpa mau berusaha ikhlas. Andai saja Dian sedikit lebih ikhlas, Dian yakin, Mas tidak akan semenderita ini. Dan mungkin, Mas gak perlu berhubungan dengan bu Yessa dengan Dian sebagai alasan.” Dian memeluk erat Dirga.

“Dian gak gila. Wajar Dian ada di posisi itu. Gadis mana yang baik-baik saja setelah melewati hal semacam itu, Di?” Dirga mengecup puncak kepala Dian sesekali. “Dan ya, Mas mohon. Berhenti menganggap diri kamu sebagai penyebab dari menderitanya Mas. Karena sebenarnya, Mas penyebab dari menderitanya kamu dan Ibu. Maaf, Mas gagal menjaga kalian dengan baik. Mas gagal melindungi kalian. Mas tidak becus. Mas ….”

“Mas terbaik. Mas hebat. Mas tidak gagal.” Dengan cepat, Dian memotong ucapan Dirga. Sudah cukup. Sudah cukup Dirga menderita. Dian tidak ingin ada penderitaan lagi. Entah untuk dirinya, Dirga ataupun sang Ibu. Ah, atau mungkin juga pada Gani, sang ayah.

Hiks.

Sebuah isakan lolos dari bibir ranum Dirga. Membuat Dian semakin tak kuasa menahan tangisnya. Serapuh inikah Dirga? Laki-laki yang kerap ia ganggu dengan candaan sarkasnya? Laki-laki yang begitu gagah berdiri dihadapannya, menghabisi siapa saja yang mengusiknya. Seberat apa sebenarnya beban Dirga?

Don't cry. Dian janji, Dian gak akan ninggalin Mas lagi. Maafin Dian.”

Dan malam ini, biarkan pekatnya langit malam menjadi saksi, betapa rapuhnya seorang Dirga. Betapa hancurnya sosok itu. Hingga menangis sesenggukan sembari merangkul Dian dengan erat. Seakan enggan melepas, meski hanya sejenak.

^Kalah^

Setelah adegan tangis menangis, kini Dian tengah tertidur lelap di kasur Dirga. Dengan paha Dirga menjadi bantalnya. Kini, wajah Dirgaa pun sudah di obati, sebelum Dian tertidur, Dian sempat mengobati luka-luka sang Kakak, sembari mendengar cerita tentang Yessa selama Dian tak tersentuh kemarin. Dirga juga menceritkan tentang perasaannya terhadap Yessa, dan tak lupa dengan Dirga yang memutuskan untuk melupakan Yessa. Demi Dian.

“Lupain Bu Yessa, Mas. Bu Yessa sudah berkeluarga. Dian gak mau, Mas merusak hidup Bu Yessa. Cukup kita aja yang menjadi Dian dan Dirga yang kehilangan arti keluarga sebenarnya. Jangan ada lagi Dirga dan Dian yang lain”

“Tapi Di ….”

“Janji sama Dian! Kalau Mas sayang sama Dian, Mas harus ngikutin kemauan Dian! Kalau Mas masih gak mau melepas Bu Yessa, jangan berharap Dian mau ngomong lagi sama Mas!”

“Baiklah, demi kamu. Tapi Mas mohon. Jangan diemin Mas.”

“Dian janji. Dan Dian percaya, kalau Tuhan akan mengirim Yessa yang lain untuk Mas. Yessa yang jauh lebih perhatian dan pantas untuk Mas, Yessa yang memang menanti Mas, bukan Yessa yang sudah memiliki kehidupan bahagiannya.”

“Semoga Tuhan masih mau berbaik hati sama Mas. Mengirimkaan wanita baik untuk Mas. Pelengkap kebahagiaan Mas, selain kamu dan Ibu.”

“Tuhan itu Maha Baik. Hanya, terkadang kita saja, sebagai umatnya yang tidak tahu diri. Tuhan sudah berbaaik hati memberi apa yang kita butuh, tapi masih menuntut lebih dari-Nya.” Dirga merasakan sentuhan hangat di puncak kepalanya. Ia menengok ke arah datangnya tangan itu, dan didapati seorang wanita paruh baya dengan senyum hangatnya. Wajahnya yang berseri meski sudah termakan usia.

“Ibu” Dirga menarik tangan Dira. Meminta Dira duduk di dekatnya.

Dira, kini sudah kembali normal. Tiga hari yang lalu, Dira di izinkan untuk pulang, meskipun masih harus banyak istirahat. Dira juga sudah bisa mengendalikan diri sendiri, bahkan kini Dira sudah bisa menjalani kehidupannya dengan normal.

“Kenapa belum tidur? Lalu ini kenapa? Kenapa wajah kamu babak belur, Mas?” Dira menatap wajah Putranya dengan khawatir. Tubuh kurus Dirga, dan wajah penuh lebam adalah kolaborasi terburuk yang pernah Dira lihat. Dan Dira benci itu. “Kamu beraantem sama siapa? Apa gara-ara Ibu? Ibu yang bikin kamu babak belur? Maafin Ibu, Mas. Ibu gagal menjaga kamu. Ibu gak becus ngurus kamu. Ibu ….” Dirga memotong ucapan Dira dengan memeluk Ibunya. Meski memeluknya dengan kesusahan, karena Dian yang tertidur dengan pahanya menjadi bantal, membatasi ruang gerak Dirga.

“Ibu, tenang. Ini bukan salah Ibu. Ini salah Dirga. Dirga yang cari masalah, jadi Dirga babak belur kaya gini, Ibu jangan panik. Dirga gapapa kok. Kan Dirga anak laki-laki, harus kuat kaya yang sering Ibu bilang.” Dirga menatap dalam mata Dira. Meyakinkan Ibunya, bahwa ia memang baik-baik saja. Mengulas senyum, yang sangat atau bahkan mungkin, tidak pernah Dirga tunjukkan beberapa tahun terakhir ini. Senyum yang benar-benar tulus tanpa ada kepalsuan.

“Ibu sayang kamu, Nak.”

“Dirga juga, Bu.”

“Oh ya Nak. Ayah, di mana Ayah?”

Dirga menegang di tempatnya. Ia bingung, jawaban apa yang harus ia berikan pada Ibunya. Dengan gugup Dirga hendak menjawab.

“Ay ….”

Ting Tong
Ting Tong
Ting Tong

Terimakasih Tuhan, kau mengirimkan bantuan di waktu yang tepat!

“Ada tamu. Dirga liat dulu ya, Bu.” Dirga bergegas pergi, sesaat sebelumnya, ia memindahkan Dian ke tempat yang pas, lalu menyelimuti tubuh adiknya.

Dirga pun membuka pintu dengan cepat. Ia penasaran, siapa orang yang bertamu malam-malam begini? Dan Dirgea terdiam sesaat, saat pintu sudah ia buka.

“Dirga.”

^Kalah^

04102019
Anjar - Habi

1200+ sebagai permintaan maaf karena telat Up.. heheheh, selamat membaca

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro