Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cowok Cantik

Jangan mengira kalau rapat jurusan akan diadakan di ruangan HMJ yang rapi. Dengan meja besar dan kursi-kursi yang mengelilinginya, persis gambaran konferensi PBB. Rapat jurusan kami dilakukan di bawah pohon di halaman gedung satu. Duduk melingkar di tanah tanpa alas dan tanpa konsumsi yang layak.

Katanya rapat mulai pukul 16.00. Tapi sekarang sudah pukul 16.30 dan belum ada tanda-tanda rapat akan dimulai. Aku, Maya, dan Donna memilih duduk di salazar gedung sambil menikmati teh poci dan Pocky.

"Lo harusnya nanya, Ra." Kata Maya untuk yang kesekian kalinya setelah kuceritakan soal pertemuanku dengan Langit. "Kalian benar-benar butuh bicara empat mata. Dan entah kenapa, gue ngerasa gosip itu belum tentu benar. Biasa lah, netizen suka bumbu-bumbuin."

"Bicara apa lagi sih, May?" Protes Donna tak habis pikir. "Rara bener lho. Kalau Langit menganggap Rara penting, harusnya dia udah jelasin dari kemarin-kemarin!"

"Bisa jadi Langit nggak menemukan momen itu kan? Secara Rara kabur melulu!"

Dia bahkan bisa menjelaskannya malam itu, jawabku dalam hati. Tapi dia memilih untuk tidak menjelaskannya.

"Gue tahu ini berat banget, Ra. Bertanya dan mendapat jawaban dari Langit itu berat buat lo juga. Dan gue juga ngerti kalau alasan lo nggak mau ngomong sama Langit itu karena lo takut..."

"Wait, what? Takut? Kenapa gue..."

"Akui aja, Ra." Potong Maya cepat. "Banyak yang lo takutkan. Takut mendengar konfirmasi dari Langit langsung bahwa gosip itu benar. Takut kalau kenyataannya mungkin saja Langit nggak bermaksud apa-apa sama lo selama berbulan-bulan ini. Dan lo enggan ngomong langsung sama Langit karena lo memegang satu kata mungkin. Mungkin gosip itu nggak bener. Mungkin Langit dijebak. Mungkin Langit nggak seburuk itu. Ya kan?"

"May!" Sergah Donna.

"Apa? Itu wajar kok. Gue juga akan begitu kalau jadi Rara. Tapi nggak bisa dibiarin lama-lama kan? Rara nggak bisa selamanya mengandalkan kata mungkin. Rara yang bilang sendiri kalau kenyataan harus dihadapi. Like lo mau kabur ke mana lagi kalau terus-terusan menghindari kenyataan gitu? Dan untuk melanjutkan hidup, Rara harus mengakuinya. Katakanlah, mengakui kalau Langit brengsek dan dia kena jebakan PHP. Baru deh dia bisa move on. Kayak teori forgiveness-nya Hannah Arend. Kejahatan harus diakui, pelakunya harus dihukum, dengan begitu semuanya bisa melanjutkan hidup. Jadi kalau perlu Rara marah-marah ke Langit. Eh bener kan ya?"

"Auk dah!"

"Anggap aja bener. Untuk move on, kalian harus mengucapkan salam perpisahan dengan cara yang lebih baik."

Donna dan Maya berdebat dengan sengit. Cara mereka menyebut Rara ini Rara itu, seolah-olah aku tidak ada di sana saja. Tapi setelah kupikir-pikir, Maya benar juga. Kurasa memang itu jawaban kenapa aku menghindarinya selama ini. Bukan aku takut tidak bisa tahan emosi saat berhadapan dengannya. Tapi aku takut pada banyak fakta tentang Langit. Fakta bahwa semua gosip itu benar. Fakta bahwa Langit dan Senja memang berhubungan. Sedang aku, aku tak lebih dari sekadar cewek naif yang tertipu oleh dirinya sendiri. Ya, kurasa bukan Langit yang menipuku, tapi diriku sendiri yang menipu dengan ekspektasi. Bukan Langit yang mengecewakanku, tapi aku yang mengecewakan diriku sendiri. Bukankah begitu sebagian besar kejadian yang sebenarnya dari sebuah patah hati? Kenyataan yang tak sesuai ekspektasi, padahal ekspektasi itu kita yang buat sendiri.

Aduh, kenapa njelimet sekali sih teori tentang manusia ini?!

Well, aku sudah pernah memikirkan soal kesalahan mengartikan sikap Langit ini. Tapi mendengarnya dari Langit langsung tentu bukan hal yang gampang. Aku mengaku. Tapi Maya yang sok tahu itu kan tidak tahu bagaimana perasaanku. Dia tidak mengalaminya sendiri, dan dia tak tahu bahwa semuanya tidak semudah itu. Aku butuh waktu, setidaknya untuk memastikan kalau aku tidak akan menangis guling-guling memohon-mohon supaya Langit mencintaiku. Cih.

"Ra!"

Lamunanku terputus. Donna dan Maya menatapku dengan dahi berkerut. Selanjutnya mereka mengedikkan bahu ke arah kananku. Aku menoleh ke sana, dan menemukan Bimo melambaikan tangannya dengan heboh. Dia sedang berada di bawah pohon yang cukup jauh dari posisi kami, bersama seorang cowok berambut panjang yang sedang main gitar dengan serunya.

"Dipanggil tuh," Kata Maya.

"Itu siapa sih?" Tanyaku, setelah memberi isyarat 'Bentar ya' pada Bimo. "Yang di sebelahnya Bimo."

"Ya Allah Ra, itu kan Bang Yos. Yang bakalan duet sama situ!" Jawab Dona.

Aku ber-Oh panjang. Deskripsi Heru kurang tepat. Benar, Yos gondrong. Rambutnya lurus dan panjang hingga sepundak. Mulus seperti iklan sampo. Tapi Yos tidak berewokan. Wajahnya putih bersih, mulus, seperti aktor Korea.

"Cantik." Gumamku. "Kok gue baru tahu ada cowok cantik gitu di jurusan kita? Eh tapi ganteng juga sih."

"Bukan lagi!" Decak Maya. "Biasanya dia berewokan. Kalau dicukur gitu jadi kelihatan banget androgini*-nya ya. Tapi ya tetep ganteng. Sayang agak berandalan. Nggak jelas bakal lulus kuliah kapan."

"Huh?"

"Iyaaa, doi jarang ngampus. Kalau masuk kelas juga kerjaannya cuma tidur. Paling rempong kalau sekelompok sama dia. Nyariinya lebih susah daripada nyari presiden!"

"Lo pernah?"

"Pernah dulu di kelas Filsafat Abad Pertengahan."

Pada dasarnya aku kurang tegar menghadapi cowok-cowok yang bermain alat musik. Melihat tangan Yos yang lincah bergerak di senar gitar, juga suaranya yang serak-serak basah membuatku jadi sulit konsentrasi.

"Ya udah, gue ke sana deh." Pamitku.

"Good luck!" Sorak Donna lebay.

Aku mendekat ke bawah pohon itu. Bimo tersenyum.

"Hai, Ra. Itu si Maya kenapa datang-datang cemberut?" Tanyanya. Sudah lama aku curiga Bimo menyukai Maya. Hobinya cari-cari masalah melulu dengan sahabatku itu.

"Ngaret bang rapatnya. Dia kan pengusaha sibuk." Jawabku.

Bimo tertawa kecil. "Eh, jadi gini nih." Bimo berpaling ke arah temannya yang masih menggenjreng gitar. "Kemarin gue udah ngobrol sama Rara. Dia ini anggota Senar Budaya lho. Dia mau ikutan perform buat festival musik. Nah, kira-kira kalian mau bikin apa nih?"

Kutatap lekat-lekat sosok yang duduk di hadapanku sambil mengenjreng gitar. Sungguh luar biasa. Pria ini memiliki kesan yang membingungkan. Aku yakin bila dipakaikan makeup dan dress, dia bisa menjadi cewek super cantik yang bikin cowok-cowok patah lehernya. Tapi bila dia dipakaikan baju sangar dan mungkin juga berewokan seperti penampilannya sebelum ini, pasti dia sangat tampan dan bikin cewek-cewek nggak konsen. Wajahnya cantik dan tampan di saat yang sama.

Yos melirikku sedikit. Lalu mengedikkan bahu. "Dia bisa main apa?" Tanyanya pada Bimo.

Pada Bimo! Kenapa tidak padaku langsung? Aku kan duduk tepat di depannya!

"Biola. Ya kan, Ra?"

Aku mengangguk. "Selain biola gue nggak bisa."

"Nyanyi?"

Aku menjawabnya dengan menyanyikan sepotong lagu Photograph milik Ed Sheeran. Baru dua kalimat, Yos menyipitkan mata dan Bimo menyuruhku berhenti. Aku meringis kecut.

"Sulit."

Aku meringis kecut. Kernyitan di dahi dan kata "sulit" yang dia ucapkan jelas bukan sesuatu yang berhubungan dengan pujian.

"Gimana kalau bikin band? Kita coba cari anggota anak maba." Tawar Bimo.

"Atau gue ngiringin Bang Yos nyanyi sambil main gitar." Aku ikut menawarkan. "Emang kalau Bang Yos bisa instrument apa aja?"

"Waduh, Ra," Bimo menyela. "kalau Sastra Inggris punya Langit. Filsafat punya Yosefa, Ra!"

Yos berdecak. Aku meringis lagi. Bukan karena Yos, melainkan karena saat nama Langit disebut tak sengaja, hatiku terasa dicubit.

"Oke ya?" Bimo menepuk pundakku dan Yos bersamaan. "Soal permusikan ini bisa gue serahkan ke kalian?"

Aku mengangguk tipis.

"Yos? Kalau perlu lo kurangin sks dong, lo kan nggak buru-buru lulusnya."

"Lah, Bro. Gue aja cuma ambil 12 sks. Mau dikurangin jadi berapa lagi?"

Bimo tergelak-gelak. Sementara aku mengerutkan dahi tidak mengerti.

"Kok bisa sih bang cuma ambil 12 sks?"

Mahasiswa pada umumnya akan mengambil 21 sks per semester. Atau dia yang IPK-nya diatas 3,6 bisa mengambil 24 sks. Sementara aku mau gila mengejar IPK biar bisa mengambil 24sks dan cepat lulus, kok bisa-bisanya dia hanya mengambil 12sks? Apa rasanya kuliah hanya mengambil 12sks?

"Kan udah gue bilang Ra, si curut ini nggak buru-buru lulusnya." Bimo berbaik hati menjawab. "Kalaupun ngambil 24sks, gue yakin yang 10 sks nggak lulus. Kebanyakan absen."

"Oh gitu..." Aku mengangguk-angguk. "Pastinya sibuk banget ya Bang Yos ini. Bagi nomor HP-nya, Bang." Kukeluarkan ponsel dari dalam tas, bersiap mencatat.

Tapi sosok di depanku hanya memasang wajah datar dan bertanya. "Untuk?"

"Lha Bang, gimana kita bisa berkolaborasi kalau kita nggak saling berkomunikasi?" Tanyaku tak habis pikir.

Di sebelah kami, Bimo tergelak-gelak. "Maafin dia Ra. Orang ini emang cerminan harafiah manusia goa-nya Plato. Bergaulnya sama buku dan gitar doang, kalau sama manusia agak lamban dia."

Sambil melempar tatapan sebal pada Bimo, Yos menyebutkan angka-angka nomor teleponnya dengan cepat. Terlalu cepat, seolah berharap aku tak sanggup mencatat. Tapi jangan salah. Tanganku ini bisa bergerak dengan sangat cepat. Langsung saja kuulang nomor yang sudah kucatat, dan Yos mengangguk tanda catatanku sudah tepat. Tak ketinggalan kumisscall nomor tersebut, untuk memberitahunya nomor ponselku.

"Oke deh. Nanti berkabar ya, Bang." Kataku sebelum pamit.

Lalu aku kembali pada Donna dan Maya dengan wajah cerah. Kedua sahabatku itu sedang sibuk membukai foto-foto pernikahan Song-Song Couple sambil menjerit-jerit baper setiap foto terbuka.

"Gimana, say?" Tanya Donna melirik sebentar.

Aku tersenyum lebar. Kurasa kolaborasi ini pun akan sedikit menyulitkan. Terutama karena sikap Yos yang sama sekali tidak bersahabat itu. Namun aku punya ide yang jauh lebih baik lagi.

"Perfect!" Sahutku mantap. "Dia orang yang gue cari!"

Maya dan Donna saling berpandangan.

"Perfect untuk rekan duet kan maksudnya, Ra?" Tanya Donna.

Aku menggeleng. "Yah, itu juga sih. Tapi siapa tahu dia cocok juga untuk digebet."

"Heh? Apa maksudnya?? Lo mau jadiin dia pelarian?" Tanya Maya.

"Gila lo, Ra! Dia kan madesu!" Protes Donna.

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. "Kalian mau gue move on dari Langit kan?"

Maya dan Donna tidak menjawab.

"Salah satu caranya adalah melanjutkan hidup. Banyak cowok keren di luar sana. Yos adalah salah satunya. Kenapa gue nggak boleh nyoba hubungan dengan cowok lain?"

"Tapi ya nggak gitu juga sih Ra..."

"Udah deh, pokoknya gitu. Jadi kalian berdua jadi saksi yah. Mulai hari ini, gue buka lembaran baru. Lembaran yang nggak ada Langitnya. Dan gue bakal jadi Rara yang baru. Yanh keren! Yang nggak ngumpet-ngumpet lagi dari langit. Another words, kisah gue sama dia game over!"

***

 "May, kita kerjain tugasnya sekarang aja yuk? Please!" Pintaku sekali lagi pada Maya yang sedang sibuk di belakang kasir.

"Ih, apaan sih?! Lo ganggu aja. Kan gue jadi salah hitung nih. Tugas buat akhir semester masa dikerjain sekarang. Lo lebih nggak masuk akal dibanding gue yang beberes lima menit sebelum kelas kelar!"

Aku meringis. "Please dong May, pleaseeeee? Biar gue punya alasan."

"Hadeeeh. Mana yang tadi katanya mau buka lembaran baru? Yang mau move on? Yang keren?" Sindir Maya.

Aku merengut. Move on kan juga butuh proses, May!

"Ayo dong, May. Please...."

"Kagak! Kagak! Udah sono lo, jangan ngerecokin gue dulu. Soal numbers nih!"

Dengan lemas kutinggalkan sahabatku yang sepertinya sedang pusing menghitung keuntungan kafe itu. Aku pilih duduk di mini bar, tempat Desta berdinas setiap harinya, mengolah berbagai varian kopi. Jam dua siang memang bukan jam ramai Cheesy Romance. Tapi menjelang akhir bulan, biasanya Maya memang jadi galak dan sok sibuk.

"Kenapa lagi sih, princess?" Tanya Desta sambil mengelap cangkir.

Abang Maya yang lulus kuliah Ekonomi tahun lalu itu memang hobi memanggilku Princess. Alasannya cukup kuat, karena menurutnya, aku hobi mendramatisir suasana. Katanya aku berhasil meyakinkannya bahwa cewek memang suka drama. Apalagi setelah kubilang aku pengagum dongeng-dongeng Disney. Aku pernah ngambek selama seminggu ke Desta saat dia bilang bahwa dongeng-dongeng Disney yang kutonton itu sudah dimanipulasi. Naskah aslinya justru jauh dari konsep happily ever after.

"Mas, bisa pesan bir? Satu botol please? Kalau gue mabok kan jadi ada alasan!"

"Heh!" Kontan Desta menoyor kepalaku. "Belum minum aja udah mabok ini anak! Sejak kapan coffee shop gue jualan bir?!"

Lagi-lagi kuhela napas panjang. Kubuka lagi aplikasi WhatsApp yang menampilkan pesan dari Lestiana, berisi reminder soal jadwal mengajar biola di Saung Ilmu. Reminder ini kudapat setiap kali aku mendapat jadwal mengajar di Saung Ilmu. Lestiana, sekretaris Saung Ilmu itu dengan rajin mengingatkan setiap guru beberapa jam sebelum jadwal mereka mengajar.

Entah menguap ke mana keyakinanku saat bilang pada Maya dan Donna bahwa episodeku Langit sudah tutup buku kemarin. Faktanya, aku masih tidak berminat datang ke Saung Ilmu untuk mengajar anak-anak jalanan main biola sebagaimana yang sudah kukerjakan selama beberapa bulan belakangan. Datang ke Saung Ilmu, sama artinya cari perkara. Karena di sana pasti ada Langit Arswandaru sebagai foundernya.

Minggu lalu aku beralasan ada kelas pengganti untuk menghindari tanggung jawab. Sekali lagi aku menghela napas panjang. Kalau begini, tidak ada pilihan lain. Dengan berat hati kuketik pesan untuk membalas chat Lestiana sambil berdoa supaya aku tidak kualat nanti.

Les, sorry banget gak bisa ngajar hari ini. Gw diare dari tadi pagi. Kirain udah baikan sebelum jam ngajar. Trnyta belom. Sorry ya? Ada yg bisa gantiin gw hari ini?

Balasan Lestiana muncul tidak lama. Dia bilang aku tak perlu cemas karena Langit bisa menggantikanku mengajar. Selanjutnya dia juga memberiku saran soal ramuan-ramuan tradisional untuk menyembuhkan diareku. Aku jadi bertanya-tanya: Lesti, ada nggak ramuan tradisional untuk menyembuhkan patah hati?

Tapi Lestiana bukan masalah besar. Tak lama berselang setelah chat Lestiana soal ramuan tradisional, muncul chat baru, yang membuatku teringat kembali akan rencanaku mem-block nomor seseorang beberapa hari yang lalu.

'Sakit apa? Udah minum obat?'

"ARGH! Ngapain sih tanya-tanya?!" Decakku reflek, membuat Desta yang sedang menuang biji kopi ke dalam coffee storage nyaris menumpahkan biji-biji kopi mahal itu.

Itu belum seberapa. Aku sudah feeling sejak berbohong kepada Lestiana tadi. Aku tahu aku akan kualat. Aku tahu malaikat sudah mencatat perilakuku sebagai dosa dan aku akan dihukum di neraka kelak. Tapi hukuman di dunia datang terlampau cepat.

Sore harinya saat aku keluar kamar membawa seember cucian untuk kujemur, Langit slash you-know who muncul tepat di depan kamar kosku.

***

*Androgini: sosok yang punya penampilan maskulin dan feminin di saat yang sama

Langit ke kosannya Rara karena.....
*Isilah titik-titik di atas*

Kalau inspirasi lagi kenceng dan nulis lancar, aku tak pernah menunda-nunda update kok. Soalnya ku selalu kepo dengan komen-komen kalian yang seperti candu. Whahahahahha

Jadi jangan baper ya kalau aku nggak balas komennya. Tapi pasti kubaca kook. Terus jangan bosen komen juga. Karena semakin banyak komen, semakin ku semangat memacu tulisan ;p

Ketjoep mandjah.
💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro