Setiadji dan Kegundahannya
Malam ini, setelah mengurus anak-anak muda itu, Setiadji memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah. Entah usianya yang sudah semakin tua atau bagaimana, bahkan mengahbiskan waktu dengan melamun saja berhasil membuat pinggangnya pegal linu-linu.
Setelah sampai di rumah, ia menyimpan sepeda ontelnya di pekarangan. Hal yang paling ia sukai ketika pulang adalah wangi masakan ambu yang begitu harum dan mengguggah selera. Ia kemudian masuk.
"Assalamu'alaikum," ucap Setiadji.
"Waalaikumsalam," balas Ambu.
"Masak apa, Ambu? Wangi sekali sampai ke luar rumah," tanya Setiadji.
"Masak ayam balado, Ji. Sebentar lagi matang. Panggil Abah sana."
"Abah di mana?"
"Paling di bale belakang. Lagi bikin asbak."
Setiadji beranjak lagi dari dapur menuju ke bale di halaman belakang rumahnya. Sampai saat ini, Setiadji adalah anak satu-satunya dari Ambu dan Abah. Sebetulnya nyaris Setiadji memiliki seorang adik laki-laki. Hanya, saat Ambu menginjak kandungan tiga bulan, Ambu mengalami kegugura.
1". Hayu, ah, urang tuang hela. Kedeui we nyieun asbak mah. Tuang hela," ujar Setiadji.
2"Tos asaknya si Ambu masakna? Abah ge tatadi teh lapar pisan. Ngan si Ambu keur hayang masak hayam. Jadi we rada lami ngantoBahsana."
3"Muhun. Hayu atuh ah. Seger sigana, Bah. Masakan si Ambu mah da tara pernah gagal geuning."
Setiadji dan Abah berjalan beriringan menemui Ambu di dapur untuk makan. Setiadji memiliki postur yang sedikit lebih tinggi dari Abah. Cuma sedikit kurus. Kalau Abah, tidak terlalu tinggi dan badannya berisi. Jauh lebih bagus daripada badannya Setiadji. Sesampainya di dapur, Setiadji dan Abah duduk bersama Ambu yang sudah selesai menyiapkan makan malam.
Malam itu, menunya tidak banyak. Hanya ada ayam balado, sambal cabai hijau, dan lalapan daun singkong. Akan tetapi, Setiadji dan Abah makannya sangat lahap. Sampai nambah dua piring. Ambu hanya tertawa. Melihat bagaimana orang-orang paling berharga dalam hidupnya bisa makan dengan begitu nikmat.
"Pelan-pelan atuh. Nggak akan kehabisan ini," keukeuh Ambu.
"Nggak bisa, Ambu. Ini enak banget," ujar Setiadji sambil menyomot daun singkong lagi.
"Abah laper banget, Ambu. Dikasih ayam balado, sambal, lalapan, mah, nikmat pisan," kata Abah.
"Ya udah. Makan yang banyak, ya," titah Ambu. Setiadji dan Abah mengangguk.
Malam itu adalah malam yang nikmat. Pilihan Setiadji untuk pulang ternyata tidaklah salah. Karena bisanya, kalau Setiadji lelah berjualan ia akan mengistirahatkan dirinya dirumah Candil atau Pangestu.
Setelah selesai makan, Setiadji dan Abah sampai sendawa sebanyak dua kali. Sambil mengusap-ngusap perutnya yang sudah terasa penuh, tadinya Setiadji akan segera beranjak untuk mandi. Akan tetapi, niatnya urung ketika mendengar suara ambu memanggil namanya.
"Aji," panggil Ambu.
"Iya, Ambu?" sahut Setiadji.
"Si Dadang ... teman kamu, minggu depan nikah."
Setiadji membulatkan sepasang matanya. Si Dadang? Teman masa kecilnya yang sering ingusan itu? Sudah mau menikah? Sial.
"Serius, Ambu? Si Dadang yang leho-nya kalau keluar suka ngebentuk angka sepuluh itu mau nikah? Ya Allah, kenyataan memang nggak bisa ketebak. Kayaknya aku harus beli baju batik baru buat kondangan. Malam minggu nanti mau ke BIP ah sama si Candil dan Pangestu. Aduh, euy. Nggak nyaka sama di Dadang," kata Setiadji panjang lebar sambil kegirangan.
"Kamu nggak kepikiran buat ngasih Ambu mantu gitu, Ji?"
Untuk pertama kalinya dalam duapuluh delapan tahun, Setiadji merasa semestanya runtuh seruntuh-runtuhnya. Padahal di dalam hatinya ia tahu kalau Ambu dan Abah pasti suatu saat nanti akan mempertanyakan hal serumit ini kepadanya. Dan saat ini, saat yang selalu dihindarinya tiba, rasanya benar-benar mengejutkan dan menyakitkan. Dengan pikiran-pikiran di kepalanya, laki-laki itu pada akhirnya terdiam.
"Ambu ... jangan gitu, ah. Lihat. Si Aji jadi ngelamun gitu. Kaget dia," bela Abah.
"Tapi, Bah. Nggak bagus kalau melajang lama-lama. Setiadji udah mau tigapuluh tahun, loh. Dia juga sudah mampu hidup mandiri tanpa kita. Walau warung kopinya kelihatan kecil, tapi selalu ramai, Abah. Bahkan, meskipun kita nggak minta Aji buat nyisihin penghasilannya untuk kita, anak itu dengan tulusnya nyisihin sedikit penghasilannya ke kita."
Abah tersenyum. "Dulu juga Abah ketemu Ambu, kan, di usia tigapuluhan juga. Nggak apa-apalah, Ambu. Biar dia ngelakuin hal yang dia mau. Jangan di Buru-buru."
"Bukan gitu maksud, Ambu. Ambu cuma takut umur Ambu nggak cukup panjang buat lihat Aji bahagia."
"Hus! Jangan ngomong gitu, Ambu. Justru kita harus berdoa supaya umur kita panjang. Supaya kita bisa lihat Setiadji memilih untuk mempunyai keluarga. Jangan ngomong yang nggak-nggak, Ambu."
Tidak ada percakapan lagi. Ambu hanya mengangguk sambil mengembuskan napas panjang. Setelah tersadar kembali dari lamunannya, Setiadji tersenyum. Lalu beranjak memeluk Ambu.
"Ambu tenang saja. Setiadji pasti akan menikah, kok. Mungkin si Dadang memang dipertemukan jodohnya lebih cepat saja dari Setiadji. Lagian, pekerjaan si Dadang di Kontraktor penghasilannya lebih banyak dari Setiadji. Jadi Setiadji harus nabung lebih lama supaya bisa bertanggung jawab, ya, Ambu."
"Tuh, dengar. Betapa dewasanya anak bujang kita ini, Ambu," ledek Abah sambil tertawa.
Setiadji juga itu tertawa. Tertawa karir lebih tepatnya. Padahal, jauh di dalam hatinya, laki-laki itu sedang meringis atas nasib yang dialaminya. Yang sabar, Setiadji. Yang sabar.
***
Pukul sembilan, Setiadji langsung mengungsi ke rumah Pangestu. Di sana, ternyata Candil sudah sampai duluan. Karena panggilan mendadak dari Setiadji, yang mengatakan kalau ia sedang gundah gulana.
4"Kunaon maneh, Aji? Datang-datang jol mewek. Edan sugan mah," ledek Pangestu ketika melihat kedatangan Setiadji ke teras rumahnya sambil meneteskan air mata.
5"Anying ... maenya preman Cihapit mewek? Saha nu nyien cees aing mewek. Wanian kieu," tukas Candil.
Di teras rumah pangestu, terdapat tiga kursi kayu dan satu meja kecil yang sudah dihiasi oleh berbagai cemilan dan kopi. Setiadji kemudian duduk di kursi tengah yang sengaja Pangestu dan Candil kosongkan.
"Ambu sama Abah. Dil, Nges."
"Kenapa Abu sama Abah?" tanya Candil dan Pangetus.
6"Tadi, pas makan malam. Si Ambu tiba-tiba nanyain kapan bawa mantu. Ya Allah, nyeuri hate pisan urang ngadengena. Asa, dosa ka kolot ges jebrog kieu can bisa ngabagjakeun kolot," rengek Setiadji.
Candil dan Pangetus yang tadinya tidak bisa berhenti tertawa kini terdiam tanpa suara. Perlahan, mereka berdua mengusap punggu Setiadji pelan sambil menenangkan laki-laki yang sedang gundah gulana itu.
Berbeda dengan Setiadji yang sudah menginjak duapuluh delapan tahun, sebetulnya usianya dengan Pangestu dan Candil bisa dibilang terpaut cukup jauh yaitu sekitar lima tahunan. Setiadji adalah pria kelahiran tahu 1987. Sedangakan Candil dan Pangestu lahir pada tahun 1992. Akan tetapi, meski begitu, pertemanan mereka terjalin bergitu erat sejak Setiadji sekolah menengah pertama.
7"Geus, ulah kanyenyerian kitu. Keun bae, da jodoh mah saha nu apal. Jep. Ulah ceurik. Ke kuurang jeung si Candil urang ontrog si Dadang. Bisa-bisana nyien cees aing nyeri hate," ucap Pangestu.
"Heeh, geus. Ieu mah salah si Dadang." Candil mengikuti setelahnya.
Malam itu, menjadi malam Jumat yang panjang. Setiadji banyak sekali berceloteh tentang dirinya yang kesulitan menemukan tambatan hatinya. Pangestu dan Candil tentu tidak tinggal diam. Kedua laki-laki bujangan itu dengan ide-ide kerennya menyarankan Setiadji untuk banyak-banyak nongkrong setiap malam di Braga, rajin-rajin mengikuti kencan buta, dan tentunya datang ke karaoke siapa tahu dari sekian banyak pemandu lagu yang bekerja di sana, bisa membuka hati Setiadji untuk jatuh cinta.
"Iya, da urang teh banyak duit nyewa PL segala," racau Setiadji.
"Tapi benar, Ji. Urang dulu pernah kerja, diajak karaokean sama si Bos, pakai PL. Beuh, cakep-cakep," ungkap Candil.
"Kalau mau kita patungan aja gimana? Paling habis berapa, sih?" tanya Pangestu.
"Sejuta mah ada, kali. Mau nggak, Ji?" tukas Candil. Kini, sepasang mata milik Pangestu dan Candil menatap Setiadji.
"Nggak, deh, kalau ujung-ujungnya aku yang bayar mah," jawab Setiadji malas.
"Eh, asli ini mah. Kita patungan," ujar Candil.
"Kalau mau, malam minggu nanti karaokean bareng. Tenang, kita pasti patungan, kok," bujuk Pangestu.
"Benar, nih?" tanya Setiadji.
Pangestu dan Candil mengangguk pasti. Sebabnya, sedikit senyum dari sepasang sudut bibir Setiadji mulai terbentuk. Memang dasarnya otak seorang bujangan tidak pernah beres kalau disuruh berpikir. Pada akhirnya, kegundahan Setiadji sirna begitu saja setelah membentuk rencana untuk petualangannya yang menyenangkan.
1"Hayu makan dulu nanti. Hayu, ah, urang tuang hela. Kedeui we nyieun asbak mah. Tuang hela," ujar Setiadji.
2"Tos asaknya si Ambu masakna? Abah ge tatadi teh lapar pisan. Ngan si Ambu keur hayang masak hayam. Jadi we rada lami ngantoBahsana."
3"Iya, ayo. Enak, kayaknya, Bah. Masakan dari ambu mah nggak pernah gagal. "
4 "Kenapa, kamu? Datang-datang nangis."
5 "anjing, masa preman cihapit nangis? siapa yang bikiin sobat aku nangis? berani gini."
6"Tadi, pas makan malam. Si Ambu tiba-tiba nanyain kapan bawa mantu. Ya Allah, sakit hati banget aku dengarnya. Kayak dosa ke orang tua gitu. Udah gede belum bisa bikin orang tua bahagia."
7 "Udah, jangan ngerasa sesakit itulah. gak apa-apa. jodoh siapa yang tahu? Udah, jangan nangis. Nanti aku sama si candil datengin rumahnya. Bisa-bisanhya bikin sobat kita nangis."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro