Cerita Tika
Dan kita kembali kepada kehidupan laki-laki itu yang serba biasa-biasa saja. Ia hanya terbangun. Dari tidurnya saat di langit sedang tidak ada siapa-siapa. Bulan sudah tidak terlihat. Sedangkan awan-awan itu entah sedang dibuai angin ke arah mana.
Ia menghela napas. Lagi-lagi harus capek dagang. Andai saja dunia bisa bersikap sebaik itu dengan memberikan kehidupan serba lebih kepadanya secara cuma-cuma. Mobil banyak, duit banyak, rumah tiga, vila lima, perempuan cantik ..., memikirkan ketidak mungkinan adalah hal paling berdosa dari semua hal yang ada di permukaan semesta.
"Adji ... Adji ...," teriak Ambu.
Dari Kamar, Setiadji dengan segera menghampiri ambu yang sedang memasak sarapan di dapur. Wajahnya terlihat sedikit panik.
"Ada apa, Ambu? Kenapa?" tanya Setiadji.
Saat tiba di dapur, laki-laki itu sedang melihat ambu berdiri di atas sebuah kursi.
"Ada tikus, Adji. Ambu takut banget sama tikus. Tolong tangkap."
"Di mana?"
Lalu, ambu menunjuk ke arah pantri. "Ke situ, dia masuk ke sela-sela perabotan."
Setiadji mengangguk. Laki-laki itu kemudian membawa sapu ijuk. Karena dengan badannya yang cukup besar, ia tidak bisa menjangkau area-area yang terlalu dalam. Dari ukuran pintunya, ia hanya bisa masuk setengah badan.
Banyak perabotan yang tidak terpakai tersimpan dan berdebu di dalam sana. Jujur sana, Setiadji sangat tidak tahan dengan debu. Hidungnya akan segera gatal dan ia tidak akan berhenti bersin seharian setelahnya.
Perlahan, laki-laki itu mulai mendorong perabotan seperti baskom besar, toples besar, wajan besar dengan sapu ijuk yang dibawanya. Akan tetapi, tikus itu tetap tidak keluar. Yang ada, endapan debuu-debu di atas perabotan mulai berterbangan menghampiri hidung Setiadji.
Karena terlalu fokus terhadap tikus, laki-laki itu tidak menyadari jika ada debu berterbangan di sekitarnya. Perlahan, hidung milik Setiadji yang lumayan putih itu mulai memerah. Tubuhnya menunjukkan pertanda bahwa akan segera melancarkan serangan udara dari kedua lubang hidungnya.
Matanya menyipit, dan tepat pada hitungan ketiga terdengar bunyi ledakkan disertai dengan butir-butir hujan dari hidung Setiadji menimbulkan reaksi yang luar biasa. Karena tenaganya yang tidak sedikit itu, kepala Setiadji akhirnya bertabrakan dengan langit-langit di dalam pantri.
"Aduuh ...," ringisnya.
1"Alah siah, Adji. Adji teu kunanaon? Karunya anak Ambu tidagor. Hampuranya, Ji. Gara-gara Ambu, Adji tidagor.
2"Teu nanaon, Ambu. Sakieu mah teu nyeuri, da," jawabnya sambil tetap mencari tikus yang bersembunyi di balik perabotan.
Walau pada kenyataannya, ia sempat berhenti sebentar dan mengusap-usap puncak kepalanya yang berbenturan dengan beton.
Sampai beberapa menit kemudian mulai terdengar cicitan dari tikus tersebut, Setiadji semakin mempercepat gerakannya. Akan tetapi, yang namanya hewan pengerat, kebanyakan dari mereka memiliki refleks yang begitu cepat. Kecepatan gerak Setiadji masih tergolong lelet di mata mereka. Pada akhirnya, karena keacakan gerakan yang dilakukan oleh Setiadji, tikus itu berhasil keluar. Pula, berhasil membuat ambu teriak-teriak ketakutan.
"Adji-Adji! Itu tikusnya keluar. Buruan pukul," teriaknya histeris di atas kursi meja makan.
"Bentar Ambu. Susah," balas Setiadji.
Untungnya, setelah Setiadji masuk ke dapur, ia menutup seluruh akses ke ruangan lain di rumahnya kecuali satu pintu yang mengarah ke halaman belakang sengaja ia biarkan terbuka. Dengan bergerak secepat yang ia bisa, laki-laki itu memukul ke mana pun itu beranjak.
Hingga pada akhirnya, Perlahan tapi pasti, walau Setiadji tidak berhasil menangkap tikus tersebut, ia berhasil membuat tikus itu ke luar dari rumahnya lewat pintu belakang. Sampai tikus itu benar-benar pergi, Setiadji sama sekali tidak memalingkan mata sedikit pun.
"Udah, Ambu. Tikusnya udah kabur," ucap Setiadji.
Ambu mengembuskan napas panjang lega, "Alhamdulillah."
"Lain kali, mah, beli lem tikus aja, Ambu. Sama jebakannya. Biar semua tikus yang masuk ke rumah bisa ditangkap."
"Ah, buat apa. Kan ada kamu sama Abah di rumah," elak Ambu.
"Tapi, kan, kita gak selalu ada di rumah," ujar Setiadji sambil memutar bola mata malas.
"Ah. Nggak apa-apa. Kan bisa pas kamu atau Abah pulang."
Setiadji mengangguk, "Ya sudah. Terserah Ambu aja. Setiadji mau buka warung dulu."
"Loh, mau jualan? Kirain Ambu kamu mau libur hari ini. Soalnya, kamu nggak pulang, kan, semalam?"
Setiadji membelalak, "Kok Ambu tahu?"
"Tahulah. Jangan remehkan Ambu soal firasat mah," ledek Ambu sambil tersenyum jail, "ya sudah kalau mau ke warung. Tahu gitu, Ambu bangunin."
"Nggak apa-apa Ambu. Lagian, Setiadji juga niatnya buka habis Dzuhur. Senin gini mah warung suka sepi kalau pagi."
Pun, Setiadji berlalu dari hadapan Ambu untuk bersiap-siap. Hingga tigapuluh menit setelahnya, laki-laki itu beranjak. Menuju peraduannya yang tidak pernah bergerak itu.
***
Kita adalah masa pada sebuah ketetapan yang baik dan tidak baik. Semuanya akan sama-sama melangkah dan berhenti saat fajar dan malam terbilang dan mengenang. Lalu, tersnyum. Menatap bagaimana cakrawala memayungi kita. Menyelimuti rasa-rasa milik kita dari gelapnya angkasa, dan semesta menyaksikan bagaimana awal mula kita bisa berbicara.
Bagaimana awal mula kita bisa sama-sama tahu kalau di antara banyak doa-doa di atas sana, hanya milik kita yang susah sekali bersandar pada heningnya penerimaan. Dan kita tertawa. Menertawakan tapak tilas milik kita yang jauh dari baik-baik saja itu.
Kala itu, saat Setiadji sedang syahdu dengan alunan lagu The Sigit dan "Aku" pada bait yang ditulis oleh seniman paling mengagumkan baginya, Chairil Anwar. Ia duduk di meja pelanggan di depan warung. Lalu, perempuan itu datang lagi. Dan Setiadji tidak menyadarinya.
"Mas Adji ini kalau lagi fokus sama sesuatu, seolah-olah di dunia ini nggak ada siapa-siapa lagi, ya," ujar Tika.
Lalu, hening sesaat. Sebelum pada akhirnya Setiadji menyadari kalau sudah ada Tika dan tersenyum ke arahnya.
"Eh, Tika?"
"Halo, Mas. Apa kabar?"
"Nggak ada yang luar biasa. Lihatlah. Persis seperti apa yang kamu lihat."
"Aku datang lagi," katanya.
"Aku menunggu cerita-cerita barumu."
"Dengan Indomie rebus dan GoodDay Cappucino, ya."
"Tentu saja. Dengan senang hati."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro