Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cerita - Cerita Tika


Lalu, bahasa-bahasa itu terdengar sangat menyenangkan sampai ke telinganya. Padahal, yang sedang diceritakannya adalah hal yang tidak baik. Resah-resah dikepalanya adalah ketakutan paling sempurna di kepalanya. Tidak. Tidak ada lagi hal paling menyeramkan daripada takdir yang dibuat dirinya sendiri. Di dalam nalarnya.

Seperti bagaimana jika langit milik semesta runtuh menimpa ketetapannya, sedangkan perasaan ya ia punya saja belum pernah bisa berdiri utuh. Laiknya rindu-rindu yang beterbangan bebas mengarungi waktu dan jatuh tepat di depan pintu milik seseorang yang tidak akan pernah bisa melihatnya sama sekali dalam langkah-langkahnya yang tidak pernah patuh dalam langkah-langkahnya yang tidak pernah utuh dan kaki-kaki lusuh itu tidak pernah berbalik arah meski hanya untuk sekedar tersenyum dan berpamitan kalau ketetapan miliknya dan milikmu tidak akan pernah bisa berjalan berbarengan.

"Susah, ya, Mas ternyata cuma sekadar bertahan hidup," kata Tika.

"Ya memang. Nggak pernah ada yang mudah di dunia ini."

"Kerja pagi, pulang pagi. Nggak ada libur. Gaji nggak seberapa. Badan setiap hari sakit-sakit. Rasanya mau nangis kalau di ceritain kayak gini tuh. Tapi, nggak diceritain malah jadi kesal. Aneh, ya. Manusia itu nggak jelas maunya apa."

"Kamu kerja apa, Tik?" tanya Setiadji.

"Aku kerja di Pabrik."

Setiadji membelalak. "Beneran?"

Tika mengangguk.

Setiadji tersenyum tipis. "Dari sudut pandangku, kamu adalah orang yang hebat. Dari sudut pandangmu, kamu adalah manusia tidak beruntung. Kenapa, ya, bisa beda sekali?"

"Menurutku, kamu manusia yang beruntung."

Setiadji diam sebentar. Sambil menatap cakrawala yang mulai diwarnai oleh jingga.

"Menurutku, daripada disebut orang yang beruntung, bakal lebih pas kalau aku disebut orang yang nggak ada kemauan."

"Loh, kenapa?"

"Ya soalnya aku nggak punya kemauan. Dari dulu, aku nggak pernah memaksa diriku sendiri buat bekerja di luar kapasitasnya. Dan kamu, adalah orang yang punya banyak kemampuan. Dan dirimu mungkin lelah. Menurutku, daripada disebut tidak beruntung, bakal lebih tepat kalau dirimu ini disebut manusia yang sedang terbentuk."

"Terbentuk dari apa?"

"Dari masa-masa yang menurutmu pantas buat di anjing-anjingin, kan?" ucap Setiadji sambil menatap tajam.

Sepasang mata milik Tika membelalak. Ia tidak pernah menyangkan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Setiadji akan seperti itu. Lalu, ia terdiam sebentar. Dan tertawa kecil setelahnya.

"Kamu benar, Mas. Mungkin aku akan terbentuk. Tapi, aku lelah."

"Aku tahu."

"Kenapa tahu?"

"Setelah kedatanganmu dua minggu yang lalu, dan kamu baru datang lagi sekarang. Pasti kamu kelelahan. Dan kamu datang ke sini. Pasti ingat sama telingaku, kan?"

"Emang kenapa sama telingamu?"

"Kan aku dah bilang kalau telingaku sangat siap buat dengarin keluh kesahmu."

Tika tersenyum. "Ternyata kamu orangnya romantis, ya."

Setiadji tertawa kecut. "Kalau iya aku romantis, mana mungkin sampai sekarang aku masih jomlo."

"Ah, itu mah Mas-nya aja yang males nyari."

"Iya, sih," jawab Setiadji, "makin tua bukannya mikirn soal jodoh, malah makin gak mikirn soal jodoh."

"Keburu keriputan loh," sindir Tika."

"Iya, ya."

Setiadji dan Tika diam sebentar. Ketika hening-hening itu datang memeluk semesta yang sebenarnya sedang sama-sama kesepian. Sampai pada akhirnya suara Tika kembali berbicara, dan bertanya.

"Bukannya Mas mau nyari orang Yogyakarta, ya?"

"Iya, sih. Penginnya."

"Kenapa nggak coba main ke Yogyakarta aja? Atau udah pernah."

Setiadji menggeleng. "Belum."

"Kenapa?"

"Nggak ada teman. Takut."

"Kok Takut?"

"Takut nyasar di sana. Kalau aku hilang, gimana caranya ngabarin Ambu sama Abah?"

Tika dengan refleks menepuk Jidat. Gadis itu benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir Setiadji. Sedikitnya, dengan umurnya yang mau menginjak kepala tiga dan laki-laki itu berbicara seolah-olah masih berumur lima tahun, semesta, ia benar-benar menggemaskan.

"Lagian, siapa yang mau nyulik om-om?"

Setiadji dengan kesadaran penuh menunjuk dirinya sendiri. "Aku emang udah kelihatan kayak om-om, ya?"

Tika tertawa. "Harusnya Mas Adji udah punya anak dua."

"Ya Tuhan!" Laki-laki itu tergelak.

Tika sekali lagi tertawa. Agak kencang kali ini. Semesta, melihat bagaimana reaksi Setiadji dalam setiap hal itu benar-benar menyenangkan. Seperti ada pada nuraninya yang berbicara bahawa sebentar lagi akan datang sebuah dinding di belangkang punggungnya. Entah untuk apa. Padahal, jaraknya dengan segala sesuatu yang jatuh itu masih terpaut beberapa langkah lagi.

"Kamu kenapa malah kerja di Bandung?" tanya Setiadji.

"Aku? Aku sebenarnya nggak pernah punya rencana buat kerja di Bandung, kok."

"Terus?"

Tika mengembuskan napas panjang sebelum menjawab.

"Sekarang cari kerja susah, Mas. Aku udah masukin CV dan surat lamaran kerja ke mana-mana. Nggak pernah ada satu pun respon baik. Satu-satunya yang ngasih aku kepastian, ya, tempat kerjaku sekarang. Walau pun, ya ...., gaji kecil. Tapi tekanannya tinggi."

"Sudah tahu kecil, masih saja kamu terima."

"Habisnya, aku, nggak punya pilihan Mas. Mau makan di mana kalau aku nggak kerja."

"Kamu seharunya memiliki tempat yang lebih layak."

"Kita semua memipikan tempat yang layak, Mas."

Lalu, jawaban dari Tika benar-benar menamparnya kali ini. Tika benar, semua orang pasti memimpikan tempat yang layak. Hanya saja, bagaimana cara kita berjuang untuk sampai pada rumah adalah garis finisnya. Tidak jelas akan sampai di mana. Tempat-tempat itu tidak akan pernah bergerak menjauh. Akan tetapi, tidak pernah mudah untuk menggapainya. Padahal, kaki-kaki kita tidak pernah berhenti berusaha.

"Kamu pasti akan segera terbentuk, Tika. Benar-benar keren."

"Kita sedang sama-sama terbentuk, Mas."

Setiadji dan Tika tersenyum.

"Semoga doa-doa kita nggak berakhir di asing."

"Semoga doa-doa kita sampai kepada pangkuan terakhirnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro