AYU
Sama sekali tidak pernah ada yang bisa menebak bagaimana kepala manusia merencanakan kepada siapa perasaannya akan berlabuh. Katanya, mereka adalah hal misterius paling menyenangkan dan menyakitkan. Tidak bisa ditolak. Tidak bisa juga diterima.
Setelah menu andalan di warung kopi Setiadji tersaji, Ayu dengan lahap menyantapnya. Setiadji tersenyum. Ia senang kalau masakannya disukai banyak orang. Baginya, orang bahagia karena masakannya adalah kebanggaannya.
"Kurasa masakanku emang seenak itu, ya?" tanya Setiadji.
Ayu tidak menjawab. Gadis itu sambil menyantap makannya, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah selesai makan, Ayu mengelap bibirnya yang sedikit basah dan berminyak gara-gara kuahnya.
"Enak, kok, Ji. Masakan kamu enak. Walau emang dasarnya produk itu emang enak, tapi ada bumbu yang buat indomie bikinanmu jadi lebih enak"
"Yang benar?"
"Iya."
Yang namanya manusia, saat dirinya mendapat komentar baik atas sesuatu yang diciptakannya, pasti manusia tersebut tidak akan pernah bisa bohong kalau dirinya akan sangat senang. Seperti Setiadji saat ini.
"Omong-omong, Teh Ayu emang sengaja mampir atau gimana?"
"Aku, sebetulnya ada yang mau ditanyain sama kamu. Jadi sekalian mampir deh."
"Oh, ya? Apa?"
"Itu, anu ....," ucap Ayu pelan dan sedikit malu-malu, "sebetulnya aku sedikit penasaran."
"Soal?"
"Soal temanmu yang waktu itu."
Setiadji mengerutkan keningnya. "Teman yang mana?"
"Yang kita karaokean bareng itu loh."
"Oh ...." Setiadki dengan spontan membtuk mulutnya menyerupai lingkaran. "Pangestu dan Candil itu."
"Pangestu yang mana? Candil yang mana?"
Lalu, Setiadji perlahan mulai menjelaskan Pangestu orangnya yang mana dan Candil orangnya yang mana. Dalam deskripsinya, Setiadji menjelaskan bahwa Pangestu orangnya tinggi dan besar. Badannya bagus. Karena ia adalah persona yang senang terhadap olahraga. Ia selalu menjaga postur tubuhnya. Rambutnya ikal tipis-tipis. Kulitnya tan. Tidak putih dan tidak gelap.
Sedangkan Candil, laki-laki itu rambutnya gondrong. Kulitnya lebih putih darinya. Badannya sedikit pendek dan montok. Akan tetapi, tidak gendut. Lumayan tampan. Minusnya, tidak pernah ada kata serius di dalam kehidupannya. Semuanya akan ia berncandai. Termasuk status dirinya yang sudah melajang cukup lama.
"Temanmu itu asik-asik, ya, orangnya."
"Yah, aku patut bersyukur dipertemukan sama manusia seperti mereka. Kalau tidak, ya, hidupku nggak tahu lagi akan berwana seperti apa. Paling hitam, kalau nggak abu-abu."
"Aku iri sebenarnya. Waktu kamu gundah, dan teman-temanmu sampai ada segitunya buatmu. Kayak, beruntung banget gitu."
"Memangnya Teh Ayu nggak punya teman?" tanya Setiadji dengan polosnya.
Ayu mebelalak. Lalu, sedikit tersenyum setelahnya. "Aku bukannya nggak punya teman. Temanku banyak. Cuma, ya, gitu. Mereka datang pas lagi mau datang aja. Kebanyakan ya kita berteman karena saling membutuhkan. Bukan kayak pertemanan yang kamu miliki. Saat aku nggak punya apa-apa untuk dibagikan, mereka nggak ada. Tapi, saat aku memiliki apa pun yang mereka butuhkna, mereka selalu ada. Miris, ya?"
"Manusia emang nggak ada yang benar-benar baik, Teh. Aku yakin di balikku, Pangestu dan Candil pasti pernah mengeluh terhadapku. Cuma, aku tidak mau tahu. Ketimbang aku tahu dan itu justru malah menjauhkanku dari mereka. Aku juga, Teh Ayu juga. Kita pasti ada waktunya muak sama pertemanan. Contohnya aku, karena aku paling tua di antara mereka, aku sempat merasa kesal saat mereka terlalu banyak bercanda. Mungkin, Teh Ayu berlum bertemu sama orang yang tepat aja buat diajak berteman."
"Dari dulu aku nggak pernah bertemu dengan orang yang tepat. Meskipun aku sudah berbuat sebaik itu terhadap mereka. Selalu ada buat mereka. Selalu menjadi tameng untuk mereka. Tapi, giliran aku yang butuh mereka, mereka sama sekali nggak ada buatku. Hal itu berputar sampai sekarang."
"Tapi, meski begitu, Teh Ayu tetap bisa bertahan. Tetaplah menjadi manusia kuat. Aku rasa, orang baik akan datang kepada kita yang baik-baik juga."
Ayu tersenyum. Benar kata Setiadji. Hal yang baik pasti datang kepada kita yang baik juga. Meskipun perjalannya berada di atas tanah yang buruk.
"Ji," panggil Ayu.
"Ya?"
"Sejujurnya aku datang ke sini ada yang mau ditanyain."
"Oh, ya?"
"Iya."
"Berdasarkan deskripsimu, aku ingin tahu seseorang."
"Aku kenal?"
"Kamu sangat mengenal."
"Siapa?"
"Aku rasa, namanya Pangestu."
"HAH? PANGESTU?" teriak Setiadji. Laki-laki itu benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Iya. Kalau dilihat-lihat, ternyata orangnya manis juga, ya."
Setiadji tidak bisa berkata-kata. Sebagai reaksi, laki-laki itu hanya bisa menepuk jidatnya sendiri.
"Kenapa harus Pangestu, Teh?
"Aku nggak tahu. Tapi, di kepalaku sejak terakhir kali kita ketemu, aku selalu kepikiran aja. Makanya hari ini aku datang ke sini."
"Tapi, aku nggak larang kalau Teh Ayu mau mengenal Pangestu. Dia juga orangnya baik. Bertanggung jawab. Baik, kok. Kocak orangnya."
"Boleh aku minta nomor ponselnya?"
"Tentu saja."
Setelah itu, Setiadji memberikan nomor ponsel milik Pangestu kepada Ayu. Pun, ia tidak mengorek lebih jauh lagi sejauh mana Ayu ingin mengenal Pangestu. Menurutnya, menyaksikan bagaimana manusia bisa saling mengenal adalah hal paling menyenangkan. Bagaimana nantinya ia akan tersenyum. Bagaimana nantinya ia akan tertawa. Bagaimanan nantinya ia akan menangis. Duhai, semesta. Hal seperti itu meskipun sudah lumrah. Tetap saja menjadi special.
***
Dan kita tidak pernah benar-benar tahu akan ditemukan dalam keadaan seperti apa. Oleh siapa,. Dan bagaimana caranya. Laiknya Pasan dan malam. Surut dan terang. Dan kita yang teduh duduk diatas rumput, berpayung langit. Semesta tersenyum. Indah katanya. Bagi kita yang akan terbentuk sebagai karya seni dari tangan-tangan jahil semesta.
Dan kita tersenyum saat itu. Menanggapi bagaimana doa-doa kita saling bergandengan di cakrawala menemukan persinggahan untuk selamanya. Bersandar pada amin yang lantang di hadapan Tuhan. Bahwa Kamilah. Kamilah yang terbentuk dari dosa-dosa yang tidak pernah kami sematkan satu bahasa pun dalam doa-doanya.
Kepada kedamaian yang jauh dari semestanya, datanglah. Datanglah dalam bentuk manusia yang mempu menariknya dari pekatnya malam saat sang rembulan sedang disembunyikan oleh awan. Agar nuraninya bisa berhengti minta tolong. Dari segala hening-hening yang hinggap di nalarnya. Agar ia mampu tertidur. Meninggalkan segala kelelahan yang sebenarnya tidak pernah berarti di matanya.
Datanglah. Datanglah wahai kamu yang selalu ia aminkan di dalam doa-doa kecilnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro