18 - Ketidaksukaan Kabiru
Aria dan yang lainnya tidak tahu karena dari awal Fani memang merasa tidak perlu bercerita kepada sahabatnya itu terkait ketertarikan Brandon kepadanya. Baginya, hal tersebut bukan perkara penting. Terlebih dia bukan lagi remaja labil yang apa-apa harus selalu dibagi kepada para sahabat. Masih banyak urusan yang harus dipikirkan olehnya selain hal remeh seperti itu.
Tapi Sania dan Angga jelas mengerti situasinya. Terutama Angga yang sudah sejak awal mencela cara Brandon mendekati Fani.
Dan juga Kabiru. Yah, pria itu juga mengetahui kalau calon istrinya sedang diincar oleh pria lain. Sesuatu yang tidak pernah dialaminya mengingat dia tidak pernah punya kekasih, hingga hal tersebut buntutnya sukses mengusik pikirannya.
Ketika mereka akan berpisah di parkiran kafe Alex. Angga mendekati Fani yang baru saja akan membuka pintu mobil. Alex masih di dalam kafe. Aria dan Nando baru saja pergi, jadi leluasa bagi Angga menyampaikan isi kepalanya tanpa harus membuat yang lain ikut campur.
"Baiknya entar Senin lo langsung menghadap ke Bos. Ajuin permohonan pergantian auditor. Biar gue yang handle," tegas Angga, menatap Fani dengan sorot serius.
Tanpa menyahut, Fani hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Melihat respons Fani yang dianggapnya terlalu santai, Angga mendesah kasar. Dia menatap Kabiru yang berdiri sambil menyandarkan punggungnya di pintu mobil, di belakang Fani berdiri, menunggu dan mendengarkan pembicaraan. Tersirat, keduanya bertukar tatapan dengan pikiran yang sepertinya serupa.
Angga tidak bermasalah dengan Kabiru. Malah cenderung mulai menyukai pria itu. Beberapa kali bertemu dan tadi menyempatkan saling bicara banyak saat menunggui para wanita, membuat Angga mengerti mengapa Fani menyerah begitu saja pada pria itu.
Kabiru lebih dari mampu menjaga Fani, Angga tahu itu. Hingga membuatnya merasa tidak perlu canggung saat harus memberi peringatan kepada Fani, meski di depan Kabiru sekalipun karena dia tahu saat ini Kabiru pastinya memiliki isi kepala yang sama dengannya.
"Dari awal gue udah bilang, kan? Nggak usah lembek sama si tukang masak itu. Dia jelas punya maksud sama lo." Angga kembali bicara dengan nada mulai jengkel, juga khawatir.
"Maksud yang gimana?" tanya Fani, mengernyit.
Angga berdecak. "Ini hasil pikiran Sania yang doyan baca novel cinta-cintaan," ungkapnya dengan agak jengah namun tetap melanjutkan, "Dia mikirnya ini kayak aneh aja. Lo udah lumayan sering kan ketemu Brandon, bahkan yang cuma berdua aja juga pernah beberapa kali. Tapi kenapa baru-baru ini aja nyebar fotonya? Kenapa nggak yang pas kemarin-kemarin? Lagian, foto yang nyebar itu kan pertemuan seminggu lalu. Harus banget, ya, nunggu seminggu dulu baru disebarin?"
"Intinya?" Fani tidak ingin berbelit-belit. Diliriknya Sania yang berdiri dekat mobil suaminya sambil berbicara di telepon, sibuk menenangkan anaknya yang merengek memintanya segera pulang.
"Sania mikirnya ini setting-an," ujar Angga seraya mengangkat bahu.
Sebenarnya dia tidak ingin mengungkapkan isi kepala istrinya yang dibisikkan wanita itu beberapa saat lalu, ketika mereka bersiap pulang, karena sudah pasti terdengar penuh drama.
Tapi mau tidak mau akhirnya Angga juga kepikiran. Terlebih sejak awal dia memang selalu curiga kepada Brandon. Pikirannya hampir selalu negatif kepada pria itu yang jelas-jelas selalu menatap Fani dengan sorot penuh maksud.
Fani mengerjap pelan. Tidak tertawa mendengar hipotesa Sania yang disampaikan Angga. Konyol, mengada-ada, dan semacam drama. Tapi sungguh, dia tidak ingin tertawa karena nyatanya Fani juga mulai memikirkannya dengan serius.
"Dari foto juga kelihatan aneh."
Fani menoleh cepat ketika akhirnya mendengar suara berat Kabiru. Pria itu bersedekap santai, tapi memandangnya dengan sorot yang baru saja diartikan Fani sebagai ketidaksukaan.
Sial. Fani lupa memikirkan respons pria itu atas kekacauan tadi. Jujur saja, dia belum sepenuhnya terbiasa menempatkan Kabiru sebagai sosok nomor satu untuk hidupnya.
Sejenak tadi dia melupakan peran pria itu sebagai tunangannya. Serasa masih teman yang dianggap setara dengan yang lain. Sialnya lagi, Fani sudah menebak bagaimana risiko akibat kelalaiannya karena melupakan peran pria itu. Kabiru jelas akan menuntut pertanggungjawaban setelah ini.
"Angle fotonya terlalu bagus untuk foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Jaraknya juga terlalu dekat. Harusnya dia yang posisinya menghadap kamera bisa tahu kalau ada orang lagi ngawasin kalian."
Angga tercenung. Memikirkan apa yang dibicarakan Kabiru. Tidak butuh waktu lama, dia langsung mengerti.
"Tuh kan, bener. Punya lambu tiroh aja nggak sebagus itu hasil jepretannya. Macem kayak difotoin sama yang udah pro." Sania sudah berdiri di samping Angga dan langsung menyambut perkataan Kabiru. Dia menyebutkan salah satu akun media sosial yang biasanya memberitakan gosip dan skandal para artis, didapat dari hasil memantau secara sembunyi-sembunyi.
Fani memijit pangkal hidungnya. Dia paham apa yang ingin diungkapkan mereka, namun memilih tidak ingin menanggapi lebih lanjut. Kepalanya mulai terasa pusing memikirkannya.
Dia mendekati Kabiru untuk mendorong pelan pria itu agar menyingkir dari pintu penumpang yang disandarinya. "Aku capek banget," keluhnya, meminta pria itu mengakhiri perbincangan menyebalkan ini dan segera mengantarnya pulang.
Kabiru tidak menolak permintaan tersirat Fani. Dia membukakan pintu untuk wanita itu. Menatap Angga dan Sania untuk menyudahi diskusi dadakan mereka. Pasutri tersebut mengerti, mengangguk untuk ikut berpamitan.
"Pikirin saran gue tadi, Fan. Senin gue tunggu keputusan lo," pinta Angga, sebelum menggandeng Sania menuju mobil mereka.
Sejenak, Sania menyempatkan diri tersenyum miris ke arah Fani yang belum menutup pintu mobil. Menunjukkan simpatinya kepada sang sahabat dan juga sebagai kode bahwa mereka akan segera mengadakan girl talk secepatnya.
***
Sepuluh menit lebih sejak mobil meninggalkan parkiran kafe. Belum ada yang bicara. Kabiru fokus menyetir. Sedangkan Fani menatap jalanan di depannya tanpa minat.
"Ikutin saran Angga."
Fani tidak kaget dengan ucapan Kabiru. Dia bersedekap, masih menatap kesibukan jalanan di depannya.
"Fan?" Kalau orang lain yang mengabaikannya, Kabiru tidak ambil pusing. Tapi saat ini Fani teramat memengaruhinya. Pengabaian wanita itu membuatnya tidak senang.
Fani menghela napas panjang, sebelum mengembuskan dengan kasar. "Aku nggak bakal berada di posisi sekarang kalau bersikap nggak profesional begitu sama pekerjaan."
Kabiru tidak langsung menyahut, tidak juga menoleh untuk menatap Fani. "Bentar lagi semua beritanya nggak bakal bisa ditemukan. Tapi apa gunanya kerja Arga, kalau besok-besoknya lagi ada foto dan berita yang serupa?"
Fani menggigit bibir. Mulai jengkel dengan situasi yang mengusik ketenangan hidupnya saat ini.
"Kemarin kamu larang aku buat ketemu pria itu," lanjut Kabiru, masih terdengar tenang tapi Fani bisa menangkap maksudnya.
"Apa gunanya kamu ketemu sama dia?"
Kabiru mengernyit. Mobil berhenti di lampu merah, dia refleks menoleh untuk menatap calon istrinya. "Kalau sudah ada berita begini, masih nggak ada gunanya ketemu sama dia?"
"Maksudnya, kamu mau ngelarang dia deket-deket aku, gitu? Astaga, Bi. Aku kan ada kerjaan sama dia, pasti nggak mungkinlah nggak berinteraksi," jawab Fani, menoleh menatap Kabiru untuk mempertanyakan keinginan pria itu bertemu Brandon.
Kabiru masih mengernyit, namun kali ini dilengkapi sorot menyipit tajam. "Dia masih sering ngebahas hal-hal di luar kerjaan?" tanya Kabiru tiba-tiba, agak keluar dari topik sebelumnya.
Fani diam, tapi langsung diartikan Kabiru sebagai jawaban. Toh, Fani tidak ingin menyangkal karena memang begitu adanya.
Brandon masih terus menunjukkan dengan gamblang kalau pria itu menginginkannya meski Fani tidak pernah meladeni.
"Bahkan setelah dia tahu kita akan menikah beberapa minggu lagi?" lanjut Kabiru, setelah mendapat jawaban tersirat dari Fani.
Fani masih diam. Lagi-lagi memberi jawaban kepada Kabiru.
Pria itu berdecak. Lampu merah berakhir dan dia kembali fokus melajukan mobil dengar raut yang tidak lagi santai. Dia sudah akan kembali memuntahkan ketidaksukaannya, namun terinterupsi oleh panggilan telepon di ponsel Fani yang baru beberapa waktu lalu diaktifkan wanita itu saat mereka memasuki mobil.
Fani memeriksa ponselnya, tercenung sejenak sebelum menatap kesal pada kontak yang sedang menelepon. Dia sudah akan menolak panggilan tersebut, tapi Kabiru keburu mengambil ponsel di tangannya.
Fani mengerjap kaget, tapi setelahnya hanya bisa mendesah kesal ketika mendapati Kabiru langsung membelokkan mobilnya untuk memasuki parkiran mini market di pinggir jalan, berniat memarkirkan mobil seraya mengangkat panggilan tersebut.
Kabiru membiarkan si penelepon bicara lebih dulu, sebelum menanggapi, "Selamat malam juga, Brandon."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro