11 - Mengalah Versi Kabiru
Fani tersenyum kecil. Dia menyukai restoran yang sedang dikunjunginya saat ini. Antik dan terasa cukup tenang meski para pengunjung tidak bisa dikatakan sedikit saat mendekati jam makan siang. Hampir seluruh perabotnya berbahan kayu berikut pajangan yang menghiasi ruangan restoran tersebut. Bahkan seluruh dindingnya dikelilingi jendela kaca tinggi dengan bingkai kayu berukiran antik.
Bangunan tersebut berbentuk persegi panjang dengan ruangan memanjang ke belakang seperti koridor lebar. Ruangannya termasuk luas hingga jarak antar meja cukup bisa memberi privasi bagi penggunanya. Atapnya juga dibuat tinggi, hingga kesan sejuk sangat terasa. Sangat cocok untuk pertemuan formal, keluarga, ataupun untuk menikmati momen romantis bersama pasangan.
Intinya, Brandon Atmaja memiliki selera yang sangat bagus menurut versi Fani. Tampilan elegan pria itu selaras dengan restoran miliknya. Fani bahkan menyayangkan karena tidak pernah menyempatkan mampir. Restoran The Taste milik Brandon jelas akan menjadi salah satu tempat rekomendasi Fani kalau nanti dia berniat membuat janji dengan para klien.
"Kalau kita makan siang dulu baru setelahnya bahas kerjaan, nggak masalah, kan?"
Fani berpaling dari keasyikannya mengamati interior restoran, menatap Brandon yang tersenyum di depannya. Pria itu duduk santai di seberang meja, menatap Fani dengan binar ketertarikan yang sangat terlihat di matanya.
"Bapak meminta janji bertemu dekat jam makan siang begini karena memang ingin menyempatkan menjamu kami, kan?" balas Fani, masih tersenyum sopan.
Brandon tertawa kecil mendengar tebakan akurat Fani. "Sudah lama saya pengin sekali pamer kemampuan masak saya sama kamu. Tapi kamunya selalu menolak kalau diajak berkunjung ke sini. Dan juga," jeda Brandon, berpura-pura memperingatkan Fani sambil mengangkat alisnya, "saya sudah bilang untuk panggil nama saja. Saya merasa belum terlalu tua untuk dipanggil bapak. Umur kita bahkan mungkin cuma beda beberapa tahun aja, kan."
Fani hanya tersenyum tipis mendengar pengakuan dan teguran halus Brandon yang menolak dipanggil Bapak sejak awal mereka bertemu di pesta bosnya. Tapi Fani tetap bersikap profesional, apalagi saat sekarang pria itu menjadi kliennya.
Sedangkan Angga, yang sedari tadi duduk tenang di samping Fani, menipiskan bibirnya mendengar perkataan Brandon yang terdengar sok akrab baginya.
Angga memang sangat bersedia ketika Fani menawarinya ikut bertemu Brandon. Fani merasa akan membutuhkan peran Angga saat nanti dia mulai mendiskusikan perihal keuangan Brandon. Angga bisa melihat raut kurang suka Brandon saat pertama kali mendapati Fani datang bersama dirinya. Pria itu hanya akan tersenyum manis saat berbicara kepada Fani saja, tidak dengannya. Hingga makin menguatkan tebakan Angga yang beranggapan bahwa Brandon lebih tertarik mendekati Fani dibanding mengurusi keuangannya sendiri.
"Saya menyesal karena terlambat mampir ke sini. Restoran Bapak nyaman sekali untuk dikunjungi," ucap Fani, kembali mengedarkan tatapan tertariknya ke sekitaran ruangan sebelum kembali menatap Brandon. "Berikutnya, saya pasti akan menyempatkan sering berkunjung ke sini, tapi tentu setelah mencicipi masakan Pak Brandon dulu."
Brandon terkekeh atas kekeraskepalaan Fani yang tidak menggubris permintaannya untuk tidak memanggil dengan sebutan Bapak. Bagi Brandon, sikap tegas namun tenang milik Fani malah membuatnya semakin gemas. Menantang untuk bisa mengusiknya.
"Bener kamu, Fan. Suasana The Taste nyaman banget. Kayaknya cocok sekali kalau mau ngadain acara besar di sini," ujar Angga, ikut memuji restoran Brandon.
"Tentu," sahut Brandon lugas. "The Taste terbuka untuk acara pun. Mungkin lain kali bisa dijadikan referensi buat acara kantor kalian."
Angga tersenyum tipis. Dia berpaling untuk menatap Fani. "Kemarin kamu lagi nyari tempat buat acara pertunangan, kan? Dibanding rumah, kayaknya lebih enak kalau di sini. Kateringnya bahkan bisa sekalian, kan?"
Saran bernada santai dari mulut Angga sukses membuat kedua orang yang duduk satu meja dengannya langsung terdiam kaku. Pasalnya Fani tidak merasa pernah berkata akan mengadakan acara pertunangan.
Kabiru bahkan langsung memasangkan cincin pertunangan mereka malam itu juga saat dia dan keluarganya mendatangi rumah orang tua Fani. Tanda bahwa mereka sudah terikat tanpa perlu ada acara formal, selain nanti saat prosesi ijab kabul dan resepsi.
Sedangkan Brandon, setelah bisa memahami perkataan Angga, langsung melarikan matanya untuk menatap Fani. Ditatapnya Fani dengan sorot tanya yang tidak bisa dia kendalikan akibat merasa kaget, sambil sesekali meneliti tangan kiri Fani untuk mencari cincin pertunangan wanita itu.
Fani yang cepat tanggap dengan permainan Angga, menghela napas dengan tarikan pelan. Tidak menjauhkan tangan kirinya yang baru beberapa saat lalu dinaikkan ke atas meja, tanpa sengaja memperlihatkan cincin pemberian Kabiru.
"Boleh juga saran kamu. Nanti coba didiskusikan dulu." Sengaja Fani mengikuti permainan Angga, seakan benar-benar sedang berencana mengadakan acara pertunangan.
Fani mengerti maksud Angga, meski baginya itu terlalu kekanak-kanakan. Tapi dia juga mulai jengah dengan cara Brandon menatapnya.
Pria bertubuh besar dengan wajah rupawan serta berkulit agak gelap tersebut sepertinya juga sengaja menunjukkan ketertarikannya. Mungkin karena dia berharap Fani menyambut pancingannya. Meski kenyataannya Fani sama sekali tidak tertarik kepada pria itu.
"Wow!" celetuk Brandon, masih agak kaget, namun tampaknya sudah bisa mengendalikan ketenangannya. "Saya baru aja berniat mau ngajak kamu dinner nanti malam. Tau-taunya sudah nggak ada peluang, ya?" tanyanya dengan nada bercanda, namun tetap menyiratkan kekecewaan.
Fani kembali tersenyum sopan. "Kalaupun saya masih single, tetap tidak akan ada peluang, Pak. Kan Pak Brandon sendiri juga sudah mau menikah," balasnya, ikut-ikutan menggunakan nada ringan seakan sedang bercanda, namun bertujuan menyindir langsung.
Brandon tersenyum miris, lalu mendesah kasar. "Kamu sepertinya kurang mengikuti perkembangan berita, ya. Pertunangan saya sudah berakhir," ucapnya, tanpa beban. Seakan menganggap hal biasa atas pertunangannya yang telah berakhir.
"Oh, kalau begitu saya minta maaf karena ketidaktahuan saya. Saya memang sangat terkendala waktu kalau ingin mengikuti tayangan infotainment." Lagi, Fani bicara dengan tenang tapi kembali menyindir halus.
Brandon tertawa ringan, mengibaskan sebelah tangannya tanda bahwa dia tidak masalah dengan ketidaktahuan Fani. Bahkan tampak tidak peduli dengan sindiran wanita itu.
"Begitulah risiko dalam sebuah hubungan. Bahkan yang bertunangan lama saja bisa berakhir di tengah jalan. Saya harap kamu tidak mengalami seperti saya. Tapi kalaupun memang kamu juga tidak beruntung," lanjut Brandon, menarik ujung bibirnya untuk tersenyum, "saya bersedia menawarkan peluang untuk kita berdua."
Fani melunturkan sedikit senyumnya, meski raut wajahnya masih tampak tenang. Brandon malah membalas segala sindirannya dengan rayuan yang semakin berani. Tak ayal Fani langsung dibuat muak seketika.
Angga yang juga ikut merasa muak, langsung memalingkan wajah demi bisa menetralkan kegusarannya. Bahkan ketika akhirnya Brandon berpamitan karena ingin menyiapkan makan siang mereka, Angga menatap punggung pria itu dengan sorot tajam.
"Kelihatan banget kalau dia nggak peduli meskipun lo udah punya suami sekalipun," desis Angga. "Jangan sampai lo khilaf ngeladenin tuh berengsek," ancamnya.
Fani mendengkus geli. "Tumben lo bawel banget hari ini."
Angga mengedikkan bahu. "Kalau Sania yang ikut kenalan sama nih koki, dia mungkin cenderung bakal ngedukung, saking terpesonanya sama tuh orang. Sayangnya gue keburu gampang ngebaca isi kepalanya Brandon. Karena dari awal kita dateng tadi, matanya nggak jauh-jauh dari dada sama bibir lo."
Fani tertawa miris. Ucapan Angga pastilah sebuah kebenaran. Karena Fani sendiri juga merasa sangat tidak nyaman dengan cara Brandon menatapnya sejak awal mereka datang.
***
Tiga bulan adalah waktu yang diputuskan untuk persiapan pernikahan Kabiru dan Fani. Kabiru tidak ingin menunda terlalu lama. Keinginannya kembali didukung oleh hampir seluruh anggota keluarga dari kedua belah pihak.
Fani yang kalah argumen terpaksa sepakat meski dalam persiapannya dia menolak keluarga—terutama papanya—untuk terlalu ikut campur.
Alhasil, setiap akhir minggu atau di sela waktu senggangnya dalam bekerja, Fani harus merelakan waktu santainya demi mengurusi perihal persiapan pernikahan.
Beruntungnya agenda pernikahan Fani bersama Kabiru beriringan dengan bulan-bulan di mana pekerjaan di kantornya tidak sepadat di akhir dan awal tahun. Hingga membuat Fani hampir selalu bisa meluangkan akhir minggunya demi urusan persiapan pernikahan.
Sudah lewat sebulan lebih saat Kabiru memasangkan cincin di jari manis Fani. Sejak saat itu pula tidak ada kemajuan signifikan dari hubungan mereka. Bertunangan, tapi rasa-rasanya tidak ada beda seperti mereka masih berstatus teman.
Dengan santainya, Kabiru bahkan membiarkan Fani mengurus sendiri hampir semua persiapan pernikahan mereka selama sebulan ini. Pria itu mengaku akan setuju saja dengan semua pilihan Fani.
Awalnya Fani biasa saja. Dia berpikir mungkin akan lebih mudah saat memang dia yang menentukan semuanya, dibantu WO dan para vendor. Tapi pada praktiknya, Fani akhirnya menyadari bahwa terasa sangat melelahkan dan memusingkan saat dia harus memutuskan semuanya sendirian.
Bukannya Fani tidak sanggup melakukannya sendirian, hanya saja ada beberapa hal yang memang harus diputuskan bersama-sama, tidak hanya dirinya.
Apalagi ketika ditanyai, Kabiru tidak merespons seperti yang diharapkannya. Pria itu hanya "iya-iya" saja tanpa berinisiatif menawarkan bantuan ataupun pertimbangan. Bahkan saat Fani meminta datang saja, pria itu kadang menggunakan pekerjaan sebagai alasan untuk tidak datang atau terlambat merespons.
Sampai akhirnya Fani mengambil sikap. Sudah hampir empat hari dia berhenti menghubungi Kabiru. Mendiamkan pria itu.
Fani memprediksi bahwa bisa jadi Kabiru tidak akan peka, tapi dia tetap berniat mencobanya. Ingin tahu seberapa lama Kabiru merasa biasa saja dengan aksi diamnya.
Pukul setengah delapan malam, Fani sudah duduk santai di ruang TV. Dengan rambut basah setelah mandi dan juga baju kaus kedodoran serta celana pendek beberapa senti di atas lutut, dia asyik mengamati layar iPad yang menampilkan beberapa pilihan gaun pengantin untuk acara resepsi.
Mulutnya sibuk mengunyah kacang almond saat bel pintu berbunyi. Alisnya terangkat saat mencoba menebak-nebak siapa yang bertamu malam-malam begini. Tempat tinggal Fani jarang didatangi tamu karena memang dia tidak begitu suka mengundang orang lain, kecuali Aria atau Sania. Biasanya Fani lebih memilih berurusan di luar tempat tinggalnya.
Tapi saat menyadari bahwa sekarang dia bersama Kabiru, maka Fani hampir meyakini bahwa pria itulah yang saat ini mendatanginya. Fani mendengkus sambil berjalan menuju pintu. Hebat juga Kabiru, pikirnya. Hanya empat hari. Kalau wanita lain mungkin akan menganggapnya terlalu lama. Tapi bagi Fani yang sudah mengenal Kabiru, empat hari sudah termasuk luar biasa.
Fani membuka pintu dan menatap santai pada Kabiru yang berdiri di depan pintunya. Pria itu masih mengenakan pakaian kerja, balas menatap Fani dengan sorot yang sama santainya.
"Apa?" tanya Fani, setelah diam cukup lama karena Kabiru tampaknya tidak berniat bicara lebih dulu.
Kabiru mendesah kasar, memijit lehernya dengan sebelah tangan. "Belum makan malam," ucapnya pelan.
"Aku nggak ada bikin apa-apa. Tadi udah makan di luar." Fani masih berdiri di pintu, belum mempersilakan Kabiru masuk. "Aku beli mie instan di minimarket bawah," ujar Kabiru sambil mengangkat sebelah tangannya yang membawa kantong belanjaan.
Fani terdiam sambil mengerjapkan mata beberapa kali, menatap bawaan Kabiru. Sampai akhirnya dia berbalik untuk masuk, meninggalkan Kabiru tanpa bicara.
Kabiru yang tahu kalau dia sudah diizinkan masuk langsung mengekor dan menutup pintu. Fani terus berjalan menuju dapur. Merebus air untuk mie, lalu mengambil sayuran dan cabai dari dalam kulkas.
Disiapkannya semua dalam diam, tidak menggubris Kabiru yang berdiri diam di seberang meja.
Kabiru meletakkan tiga bungkus mie instan kuah yang tadi dibelinya di atas meja, lalu menyingkirkan bawang putih yang baru saja dicuci Fani. "Bawang merah aja," ucapnya, sambil menyodorkan bawang merah ke arah tangan Fani yang sedang memotong-motong sawi dan beberapa cabai.
Fani masih bungkam meski tangannya terus bekerja. Melihat itu, Kabiru mendesah pelan. Dia memutari meja untuk bisa mendekati Fani.
"Aku sempet lupa kalau cara marah kamu begini. Nyeremin, diam kayak mayat hidup," celetuk Kabiru sambil menggulung kedua lengan kemejanya hingga siku, lalu mulai membuka bungkus mie instan.
"Aku nggak ingat kalau kamu suka nuduh orang sembarangan. Siapa yang lagi marah?" Akhirnya Fani bicara. Dia berbalik menuju meja kompor untuk memasukkan potongan bawang merah, sawi serta cabai ke dalam panci berisi air rebusan.
Kabiru bersandar di meja, menatap Fani yang berdiri membelakanginya. Saat remaja, dia sering melihat rambut basah Fani ketika mereka bermain ke pantai atau berenang bersama. Terlihat biasa saja.
Tapi ketika sekarang Fani sudah berdiri di depannya dalam wujud wanita dewasa, Kabiru menyadari kalau dia sangat terpengaruh dengan penampilan wanita tersebut malam ini. Terutama rambut setengah kering dan kaki jenjang Fani yang hanya dibalut celana pendek di atas lutut.
"Aku nggak ngerti ngurus-ngurus begitu," ucap Kabiru, masih sibuk menatap tubuh belakang Fani. Dia memutuskan untuk lebih dulu mengangkat topik terkait penyebab sikap diam Fani beberapa hari ini.
"Kamu pikir aku langsung ngerti?!" tanya Fani, berbalik untuk bisa menghadap Kabiru.
"Pilihan kamu pasti lebih bagus."
Mendengar sahutan santai Kabiru, Fani menarik napas panjang sambil menatap pria itu dengan mata menyipit. Tiba-tiba dia mematikan api kompor, lalu melangkah cepat menuju sofa untuk mengambil iPad miliknya, lalu kembali mendatangi Kabiru yang masih bersandar di meja dapur.
"Aku mau gaun yang ini," ucap Fani sambil menyodorkan iPad-nya kepada Kabiru.
Layar iPad menampilkan seorang model wanita asing yang sedang mengenakan gaun pengantin. Gaun dengan bahu terbuka dan berbelahan dada rendah, juga sangat ketat karena memperlihatkan dengan jelas lekuk tubuh si model.
Kabiru mengerutkan kening dengan tatapan tajam. "Nggak usah ada acara resepsi kalau kamu mau pakai beginian," ancamnya meski dengan suara yang terdengar tenang.
"Kenapa? Karena gaunnya? Kan tadi kamu bilang kalau pilihanku pasti lebih bagus," cerca Fani sambil menaikkan alisnya.
Kabiru tidak langsung menyahut. Dia masih menatap tajam Fani selama beberapa saat. Ketika akhirnya dia bisa memahami maksud dari sikap menantang Fani, Kabiru melunakkan tatapannya dan mengembuskan napas panjang. "Sori," ucapnya pelan, menatap Fani dengan sorot mengalah.
Fani memalingkan wajah, bersedekap di depan Kabiru. "Yang mau punya acara itu kita berdua. Aku capek harus mikir dan milih semuanya sendirian. Berasa kayak mau nikah sama diri sendiri aja."
"Iya, aku minta maaf," ulang Kabiru, bangkit dari posisi bersandarnya di meja dapur untuk bisa melangkah mendekati Fani.
"Terus?" ujar Fani, kembali menatap Kabiru dengan alis terangkat. "Maaf aja nggak akan bisa ngubah pilihan gaunku."
Kabiru menipiskan bibirnya. "Iya, nanti gaunnya kita pilih sama-sama."
"Gaun aja?"
Refleks Kabiru berdecak. "Iya, iya. Sama yang lainnya juga. Nanti kita diskusikan sama-sama."
Fani memilih terus menatap mata Kabiru demi memastikan kesungguhan pria itu untuk berbagi tugas. Sebelum akhirnya mengangguk kecil tanda sepakat.
"Udah, kan?" tanya Kabiru, membuat Fani agak mengernyit penuh tanya atas pertanyaan pria itu.
"Lanjutin masak mienya, aku lapar banget," ujar Kabiru, menjauh untuk mengambil gelas lalu mendekati dispenser. Kembali bersikap santai, dibiarkannya Fani terus menatapnya dengan senyum tipis yang terlihat masam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro