Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 - Pendukung Kabiru

Setelah kepulangan klien, Fani dan Angga sengaja tetap tinggal di ruang rapat untuk melanjutkan diskusi terkait klien tadi yang pekerjaannya akan dilimpahkan kepada Fani.

"Gue nggak suka sama nih orang," ucap Angga, mengetuk berkas milik klien yang sedang mereka bahas.

"Jangan sampai Bos dengar. Ini anaknya sahabat Bos, diprioritasin banget," sahut Fani, tidak begitu kaget dengan komentar sinis Angga.

Angga berdecak. "Entar gue ngelobi ke Bos. Biar lo nanganin PT ASKAR aja. Gue yang ambil nih klien."

"Profesional ajalah, Ga," sahut Fani, masih tenang-tenang saja sambil memeriksa berkas di tangannya.

"Lo juga lihat kan gimana cara nih orang natap lo?!" sergah Angga, agak kesal dengan respons santai Fani. "Mesum banget matanya! Nggak ditutup-tutupin kalau dia mupeng sama lo!"

"Bos nunjuknya gue, gimana dong?" ucap Fani, masih biasa saja, tidak ambil pusing dengan kekesalan Angga.

"Iya, karena pasti nih cowok yang minta langsung ke Bos biar lo yang nanganin duitnya," sanggah Angga. "Dia bilang tadi kalian pernah ketemu pas acara ulang tahunnya Bos, kan?"

"Dia udah punya tunangan. Nggak bakal juga dia macam-macam. Lagian palingan entar gue berhubungan sama manajernya. Tipe kayak dia pastinya pengin tinggal beres doang. Nggak mau ribet." Fani membereskan berkas-berkas di atas meja, bersiap untuk kembali ke ruangannya.

Angga terlihat membuang napas kasar. "Lo tau kan gue peduli sama lo," katanya dengan suara melunak.

"Tau. Lo favorit gue, pokoknya. Sampai istri lo aja kadang cemburu, saking kelewat care-nya lo sama gue," canda Fani dengan gaya santainya.

"Bullshit!" umpat Angga, lalu mendengkus geli mendengar penuturan berlebihan Fani. "Sania sayang banget sama lo," lanjutnya, menyebut nama sang istri.

"Memang. Yang gue maksud cemburu tadi, Sania yang kesel karena tugas buat care ke gue selalu diserobot sama lo. Sedangkan dia cuma bisa dengar sisa-sisa cerita lo doang pas di rumah."

Angga terkekeh, secara tidak langsung telah membenarkan penuturan Fani terkait istri tersayangnya.

Sania dan Fani satu kampus saat kuliah. Fani juga yang mengenalkan Angga dengan Sania hingga keduanya menikah dan sudah memiliki dua anak. Meski yang berteman akrab adalah Fani dan Sania, tapi Angga yang satu kantor dengan Fani dan sama-sama berprofesi sebagai Auditor Senior di kantor mereka, jauh lebih sering berinteraksi dibandingkan Fani dan Sania.

"Pokoknya kalau ada apa-apa sama kerjaan lo yang ini, lo harus langsung laporan ke gue," pinta Angga, kembali serius mengingatkan Fani.

Masalahnya, Brandon Atmaja, klien yang tadi meminta langsung ingin ditangani oleh Fani adalah sosok pria terkenal karena profesinya sebagai seorang chef muda berwajah tampan dan menawan. Kehadirannya di layar TV juga bukan hal baru. Apalagi dia berasal dari salah satu keluarga berpengaruh di Indonesia dan juga memiliki kekasih dari kalangan model papan atas.

Angga seorang pria. Jadi tentu saja mudah baginya membaca apa yang sedang ada di pikiran Brandon saat tadi terus-terusan menatap tanpa henti ke arah Fani.

Apalagi saat tahu kalau bos besar mereka sendiri yang memilih Fani untuk menangani anak temannya itu, maka dengan gampang juga Angga bisa menebak kalau sejak awal Brandon memang menginginkan Fani berurusan dengannya.

"Iya, iya," sahut Fani, tetap biasa dan tenang-tenang saja. Dia sudah akan berdiri dari duduknya saat melihat layar ponsel yang tergeletak di atas meja sedang menyala, tanda panggilan masuk. Dari sebelum rapat, ponsel Fani memang dalam mode silent. Baru saja dia benar-benar memperhatikan ponselnya.

"Tumben," celetuk Angga, ketika tanpa sengaja melihat kontak siapa yang sedang menghubungi Fani saat ini.

Fani diam saja. Dia berpikir untuk menebak-nebak, ada apa gerangan hingga orang tersebut menghubunginya setelah sekian lama tidak saling berbincang?

"Nggak diangkat?" Angga menatap geli kepada Fani yang masih menatap ponselnya tanpa ada gelagat ingin mengangkat panggilan tersebut.

"Mikir dulu. Tiba-tiba ditelepon, emang ada apaan, ya," jawab Fani asal, masih menatap ponselnya. Panggilan terhenti.

"Alah! Palingan pengin ngejodohin lo lagi," ujar Angga, bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi.

Perkataan ringan Angga seketika mengingatkan Fani akan sesuatu. Refleks, dia langsung berdecak pelan sambil memijat pelan pelipisnya.

"Kenapa?" tanya Angga, menyadari kalau Fani sepertinya sudah menemukan sendiri jawaban atas penyebab kenapa panggilan telepon tersebut didapatnya.

Fani tidak menjawab. Terlebih lagi saat ponselnya kembali mendapat panggilan dari kontak yang sama.

"Wah! Pasti urgent, nih," celetuk Angga, penasaran namun juga geli melihat respons enggan Fani. Sayangnya dia sudah punya meeting di luar dan harus segera bersiap, tidak bisa berlama-lama menemani Fani yang tampak masih mempertimbangkan untuk mengabaikan telepon tersebut.

"Jangan lupa datang entar malam, ya. Sania udah wanti-wanti gue dari tadi pagi," ujar Angga, sambil berjalan ke pintu ruang rapat, lalu menghilang di baliknya.

Setelah Angga pergi, Fani akhirnya memutuskan mengangkat panggilan tersebut. "Halo? Iya, Pa?" sapanya dengan nada datar. "Maaf, baru bisa angkat telepon. Tadi lagi meeting," ucapnya beralasan duluan menjelaskan sebelum papanya mencerca kenapa panggilan teleponnya terlambat diangkat.

Basa-basi papa ketika menanyakan kabar dijawab Fani dengan seadanya karena memang kondisi hidupnya saat ini biasa saja. Tidak ada yang perlu dijabarkan dengan terlalu berlebihan meski mereka lama tidak saling berbincang dan bertemu

Sejak tadi tersadar akan sesuatu, Fani sudah memperkirakan hal apa yang akan disampaikan papanya hingga tiba-tiba menelepon.

"Kabiru datang menemui Papa tadi malam. Minta izin melamar kamu."

Tidak kaget. Fani hanya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan mata memejam sejenak saat mendengar laporan ayahnya.

"Fani? Kamu dengar Papa bicara?"

Fani menghela napas panjang perlahan. "Iya, Pa. Dengar," sahutnya, masih dengan suara datar, tanpa minat.

"Pulang ke rumah malam ini. Kita bicarakan langsung."

Kalau dia adalah sosok Fani lima belas tahun yang lalu, maka tanpa pikir panjang akan mengiyakan permintaan papanya yang terdengar seperti perintah itu.

Sayangnya, saat ini Fani telah terbiasa dan sangat menikmati segala kebebasannya dalam hal apa pun, termasuk mengambil keputusan dan menentukan kehendak. Maka tanpa merasa takut, Fani menolak untuk menuruti titah sang papa.

"Maaf, Pa. Aku nggak bisa pulang malam ini. Sudah ada janji ketemu dengan klien," dusta Fani, meski tidak sepenuhnya berbohong.

Kenyataannya dia memang sudah ada agenda nanti malam, tapi bukan bertemu klien. Jawaban tadi hanya supaya papanya tidak bertanya-tanya lagi tentang alasan kenapa dia tidak bisa pulang ke rumah orang tuanya.

"Masih ngurusin kerjaan sampai malam?" tanya papanya dengan nada mencemooh. "Capek-capek kamu kerja kayak begitu, tapi hasilnya bahkan nggak bisa menyamai kakak kamu yang bisa pulang ke rumah pukul 5 sore."

Fani menipiskan bibir. Sama sekali tidak tersinggung dengan sindiran papanya yang memang sudah terlampau sering didengar. "Aku beneran nggak bisa pulang, Pa. Masalah Kabiru nggak usah terlalu dipikirkan. Nanti aku sendiri yang akan ngomong sama dia."

"Gimana nggak usah dipikirkan?! Kabiru melamar kamu langsung ke Papa, berarti urusannya harus dengan Papa juga." Suara papanya menajam, berbanding terbalik dengan suara Fani yang masih tenang-tenang saja.

"Dia datang cuma sekadar formalitas. Tetap aku, kan, yang ngambil keputusan?" Sengaja Fani memberi pertanyaan tantangan kepada papanya, demi mencari tahu mau seperti apa kali ini papanya merespons.

"Kamu nggak berniat menolak lamaran Kabiru, kan?" tanya papanya dengan nada semakin tajam, terdengar sangat tidak suka.

"Masih aku pertimbangkan," sahut Fani, masih dengan nada tenang seakan sedang menjawab pertanyaan terkait perkiraan cuaca hari ini.

"Fani!"

Seruan keras papanya hanya membuat Fani kembali menipiskan bibir. Kabiru benar-benar mencari masalah. Padahal sudah Fani peringatkan bahwa niat baik pria itu cenderung tidak akan berakhir baik kalau memilih berurusan dengan papanya. Terutama untuk Fani sendiri.

"Nanti aku kabari lagi kalau udah bisa pulang ke rumah," ucap Fani, berniat segera mengakhiri perbincangan mereka.

"Nanti Kabiru juga aku ajak bicara. Papa nggak usah khawatir. Yang penting Papa nggak bermasalah kan kalau dia orangnya?" tanya Fani, lagi-lagi sengaja memancing papanya yang sudah pasti memang menyukai Kabiru dengan segala reputasi pria itu yang sesuai standar papanya.

Mendengar keterdiaman papanya, Fani hanya tersenyum masam. Sudah pasti, selain para sahabat mereka, sekarang Kabiru mendapatkan pendukung tambahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro