Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•06• Pilihan yang Sulit

From: [email protected]

Besok Bapak bisa ke sini? Saya udah bilang dan Ibu pengen ketemu. Alamat rumah saya ada di biodata proyek Duda Series.

Setelah membaca surel Amanda semalam yang baru saja dibuka pagi ini, Adipati bergegas mengantarkan Bima ke sekolah. Selanjutnya, memacu kendaraannya menuju rumah Amanda. Adipati tidak membawa apa-apa, bahkan tidak mengajak siapa-siapa. Padahal, dia belum tahu bagaimana perangai orang tua Amanda. Dia sekarang seperti sedang masuk ke medan perang tanpa senjata.

Setibanya di sana, Amanda yang menyambut kedatangannya, lalu Adipati diajak duduk menghadap ibu dan kakak Amanda. Seperti orang tua pada umumnya, ibunya Amanda yang bernama Ratmi itu menanyakan hal-hal yang basic, seperti nama, pekerjaan saat ini, tinggal di mana, dan sudah berapa lama berhubungan dengan Amanda. Adipati menjawabnya dengan lugas. Ya, meskipun di sela-sela jawaban terdapat suara yang kurang menyenangkan dari baik dari Ratmi maupun dari kakaknya Amanda. Bahkan, mereka sempat ribut setelah Adipati mengatakan pernikahannya hanya diadakan di KUA tanpa perayaan apa pun.

Sudah dikatakan sebelumnya, kan, Adipati ke sini tanpa senjata. Kini, lelaki itu terkena peluru tajam dari Ratmi. Sebuah permintaan yang cukup sulit untuk direalisasikan. Ratmi meminta uang 50 juta sebagai bentuk terima kasih padanya yang sudah merawat Amanda, dengan tenggat sampai besok sore. Uang sebanyak itu dan harus didapatkan dalam waktu singkat, bagaimana caranya?

Adipati justru berkata akan memberikan uang tersebut dalam waktu dekat, padahal dia sendiri masih kebingungan dengan cara apa mendapatkan uang itu.

Saat Adipati keluar dan hendak masuk ke mobilnya, Amanda tiba-tiba saja datang dan menggamit tangannya.

"Pak, yang uang itu mendingan nggak usah dituruti. Uang itu nggak mungkin ada di tangan saya."

Adipati tertegun. Bukan karena ucapan itu, melainkan tangan Amanda yang menempel di tangannya. Entah kenapa jantungnya berdetak saat kulitnya saling menempel.

Amanda menyadari itu langsung menarik tangannya. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja. Tapi, yang soal uang itu, beneran nggak usah. Kalau Bapak turuti, nanti ibu saya pasti minta lagi. Atau mendingan kita nggak jadi nikah aja, deh, daripada ngerepotin Bapak."

Ya, bisa saja Adipati menuruti perkataan itu. Toh, dia sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini. Namun, kalau nantinya Ratmi justru mempersulit bagaimana? Semakin kecil usahanya untuk menikahi Amanda, perempuan yang wajahnya mirip dengan Irma.

"Saya udah sungguh-sungguh mau nikahi kamu, jadi apa pun rintangannya, pasti akan saya hadapi. Kamu tenang aja soal itu."

"Tapi, Pak—"

Sebelum Amanda membuka mulutnya lagi, Adipati masuk ke mobil, lalu menyalakan mesinnya dan pergi meninggalkan Amanda yang masih berdiri di depan rumahnya. Sepanjang jalan itu pula, Adipati terus putar otak, memikirkan dari mana uang itu didapatkan.

Sebenarnya Adipati punya tabungan, tapi untuk Bima. Tabungan tersebut juga bukan dari gajinya saja, melainkan dari Yati yang tidak pernah berhenti mengirimkan uang. Tentu saja Adipati tidak bisa memakai tabungan itu. Dia tidak mau mengacaukan masa depan Bima.

Opsi selanjutnya adalah kedai dan rumah. Adipati bisa saja menggadaikan sertifikat keduanya. Namun, dia sangsi uangnya cukup. Apalagi, kalau dikumpulkan dengan gajinya bulan ini. Meminjam uang pun sepertinya akan sulit.

Sampai di kantor Aratha, Adipati terus memikirkan uang 50 juta itu. Padahal, saat ini dia harus mengikuti rapat dengan empat editor yang tergabung dalam proyek Duda Series ini, bersama Firman tentunya.

"Sejauh ini cuma Rama sama Damara yang penulisnya cepet, ya?" tanya Firman.

"Iya, tapi Gea ini kurang diajak kerja sama orangnya. Masa, tiba-tiba dia kirim konsep yang beda jauh sama yang aku arahin," jawab Damara dengan wajah yang ditekuk karena menahan kesal.

"Tapi, bagus, kan?" Kali ini Rama yang membuka suara.

"Ya, bagus, sih. Cuma, kan, enaknya ngobrol dulu sama aku, bisa nggak pake konsep ini. Sekarang aku cuma benerin penulisannya aja. Soal konsep biar dia aja. Udah males aku."

"Nah, kalau Alya gimana, Ram?" tanya Firman pada Rama.

"Oke, sih, dia. Banyak tanya pas bikin konsep. Nggak ada drama juga. Kalau misalnya dia nggak nyaman gitu, dia bakal ngomong."

"Kalau Amanda gimana, Di? Dia paling belum kirim konsepnya." Firman beralih ke arah Adipati. Namun, Adipati tidak memberikan respons apa pun. Lelaki itu sedang menyangga dagunya dengan telapak tangan, kemudian sikunya bertumpu pada alas meja.

"Woi!" Rama yang duduknya dekat dengan Adipati menepuk tangannya tepat di depan wajah Adipati. Seketika Adipati tersentak dan mengubah posisi duduknya.

"Apa?" Adipati bersuara dan itu mengundang decakan dari Firman.

"Nggak nyimak ternyata. Gimana Amanda?"

"Sinopsisnya aja baru dibenerin. Ya mungkin besok baru jadi konsepnya," jawab Adipati berdusta. Sebenarnya dia belum membicarakan proyek ini setelah lamaran dadakan itu. Sinopsis Amanda saja masih seperti yang dikirimkan ke surel. Entah kenapa skill-nya tiba-tiba menghilang sejak bertemu Amanda.

"Oh, ya udah. Yang penting harus sesuai target, ya, Di. Si Safa sama Cahya udah ngirim bab satu soalnya, ya nggak?" Kini Firman beralih ke dua editor yang nama penulisnya disebutkan barusan.

"Wih, keren banget!" seru Damara.

Sementara itu, Adipati memijat pelipisnya. Pusing langsung mendera setelah memikirkan banyak hal sekaligus pagi ini.

Setelah pertemuan itu, Adipati mengerjakan satu naskah yang seminggu yang lalu masuk ke surel redaksi. Dia memeriksa ejaan, penulisan kalimat, serta alur cerita. Jemarinya mengetik catatan di sana, terutama bagian alur cerita. Menurutnya, alur yang ditulis penulis ini terlalu cepat sehingga harus menambah beberapa bab supaya terkesan tidak buru-buru.

Usai mengirim ulasannya ke email penulis, Adipati baru membuka sinopsis milik Amanda. Adipati mencoba memperbaiki berdasarkan apa yang dia koreksi kemarin. Tindakan ini sebenarnya melanggar kode etiknya sebagai editor. Namun, sekali lagi, entah kenapa Amanda begitu menarik semua hal yang ada pada dirinya.

Pekerjaannya selesai pada siang hari. Adipati pamit sebentar menjemput Bima. Dari sekolah Bima, Adipati belok ke arah kedai kopinya, usaha milik Irma yang sekarang dikelola Guntur. Adipati hanya sesekali datang ke sana. Selain karena waktunya habis untuk Aratha dan Bima, Adipati juga tidak mau ke sana lantaran selalu mengingat kejadian itu.

Begitu sudah tiba, Adipati membantu Bima keluar dari mobilnya, lalu menggandeng tangan anak itu saat memasuki kedai.

"Bima sama Mbak Canti dulu, ya?"

"Iya, Pak."

Usai menyerahkan Bima kepada Canti, Adipati melangkah menuju ruangan yang ditempati Guntur. Melihat kedatangan Adipati, Guntur sontak bangkit dari kursinya.

"Pak Bos datang! Tumben banget!"

Adipati tidak menggubrisnya. Dia memilih duduk di kursi yang letaknya di depan meja Guntur. "Gimana pendapatan kedai bulan ini?"

"Wih, baru datang langsung tanya duit." Guntur pun duduk, kemudian mengeluarkan map berisi laporan pendapatan kedai bulan ini. "Nih, liat sendiri."

Adipati membacanya. Keningnya sedikit mengerut saat membaca angka yang tertera di kertas. "Beneran segini?"

"Iya. Bulan ini lumayan rame dibandingkan bulan lalu."

"Kalau aku ambil sebagian gimana? Apa nanti bakal ngaruh ke gaji para karyawan?" tanya Adipati langsung.

Guntur mengerjap. "Lagi butuh uang?"

"Iya. Waktunya sampai besok sore."

"Buat apa?"

Adipati menelan ludah. Haruskah dia katakan bahwa uang tersebut digunakan untuk menikah? Ya, alangkah baiknya dia jujur dari sekarang. "Aku bakal nikah dan ibunya minta uang 50 juta sekarang."

Mendengar pengakuan itu, mata Guntur melebar. "Ya ampun, Di! Mau nikah sama siapa? Kapan kamu deket sama cewek?"

"Panjang ceritanya. Aku bakal kenalin dia kalau aku ngadain resepsi."

"Lho, jadi nanti nggak ada resepsi? Kenapa harus ada uang 50 juta?"

"Ya, katanya buat tanda kalau kakaknya setuju mau dilangkahi."

"Aduh, Di. Kenapa nggak batalin aja, sih? Uang segitu banyak, lho. Belum apa-apa, kamu udah dimanfaatin sama keluarganya!"

Adipati tertegun. Kata-kata itu persis seperti yang dikatakan Amanda tadi pagi. Namun, entah kenapa, hatinya terus menginginkan perempuan itu. Entah kenapa, dia melakukan hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Apalagi, Bima sudah telanjur tahu perempuan itu.

"Kalau kamu tetep mau nikahi dia, kamu bisa ambil sebagian pendapatan ini, nanti biar aku yang kasih sisanya."

Saat itu juga, Adipati menatap Guntur. Ya, sebenarnya Guntur sangat berkecukupan. Dia berasal dari keluarga berada. Namun, Guntur lebih memilih membantunya di sini daripada mengelola bisnis ayahnya. Selama ini, Guntur selalu baik padanya. Tidak segan membantu dalam segi keuangan. Guntur juga yang membantunya membiayai Bima operasi dua tahun yang lalu. Meski sudah mengeluarkan banyak uang, Guntur tidak meminta gantinya satu peser pun.

"Tapi, ini sistemnya pinjaman, ya. Kamu harus ganti sesuai tenggat," lanjut Guntur.

Adipati menyambutnya dengan suka cita. "Nggak apa-apa, aku pasti bakal ganti!"

"Satu lagi, aku juga mau ada jaminan."

"Apa? Aku pasti akan kasih."

"Aku mau jaminannya sertifikat kedai ini."

Jantung Adipati merosot saat itu juga. Seluruh sarafnya mendadak berantakan. Kalau dia menyerahkan sertifikat kedai ini, lalu tidak bisa mengganti uangnya dalam waktu yang sudah ditentukan, otomatis usaha ini akan menjadi milik Guntur. Lantas apa yang akan dia beri kepada Bima jika sudah dewasa nanti?

Babnya bakal lebih sedikit daripada Konjungsi Rasa dan mungkin bakal aku take down kalau udah selesai. Terhalang kontrak cuy. Jadi, mumpung masih ada kesempatan, bacalah di saat on going 🤣

Nah aku lagi ngadain GA buku Konjungsi Rasa. Bisa kalian lihat di instagram aku @pesulapcinta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro