•05• Mendung yang Menggelayuti
Adipati membuka mata. Dia cukup terkejut dengan ruangan yang ditempati saat ini. Harusnya dia berada di sebuah musala rumah sakit, tetapi kenapa sekarang ada di ruangan serba putih?
Adipati bangkit, melangkah pelan sembari menyibak tirai putih yang menutupi ruangan ini. Saat tiba di tirai terakhir, dia melihat istrinya berdiri, tersenyum, dan mengenakan pakaian serba putih. Adipati mengernyit. Bukankah seharusnya Irma berada di ruang operasi? Kenapa bisa ada di sini?
"Irma?" Adipati mencoba memanggil istrinya. Ya, matanya tidak salah lagi. Perempuan di hadapannya ini memang Irma. Makin membingungkan lagi begitu melihat perut Irma tampak mengempis. Ke mana anaknya sekarang?
Irma melangkah maju, lalu meraih kedua tangan Adipati. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. Adipati bisa merasakan betapa wanginya Irma saat ini. Dia ingin memeluk tubuh perempuan itu. Namun, Irma justru mencegahnya.
"Mas, selamat, ya! Sekarang kamu udah jadi bapak!"
Mendengar itu, Adipati makin kebingungan. "Terus, anak kita di mana sekarang?"
"Dia ada di tempat paling nyaman. Tolong rawat dan jaga dia baik-baik, ya. Aku yakin kamu akan jadi bapak yang baik dan dia akan jadi anak yang kuat."
"Terus kamu mau ke mana? Kenapa kamu pakai baju ini? Kita akan rawat anak kita sama-sama, kan?" tanya Adipati seraya menyentuh kedua bahu istrinya. Namun, tak lama, Irma melepas pegangan itu. Wajahnya yang semula tersenyum kini tampak mendung.
"Aku ... harus pergi, Mas. Aku udah selesai di sini. Udah nggak ngerasain sakit lagi. Aku udah maafin kamu."
Mata Adipati menyipit. Benar-benar tidak paham maksud perkataan Irma.
"Kalian akan bersama. Aku harap kamu sayang sama anak kita apa pun yang terjadi. Kasih nama Abimana, ya! Kamu masih inget, kan, kalau anak kita cowok, aku mau kasih nama itu."
Irma kembali meraih kedua tangan suaminya. "Untuk kamu ... terima kasih untuk segalanya. Aku bahagia pernah jadi temen kamu, pernah jadi istri kamu, dan pernah mengandung dan melahirkan anak kamu. Semoga kelak kamu bisa melanjutkan hidup meskipun aku udah nggak ada. Kamu harus cari ibu sambung yang baik buat anak kita. Dia harus dapet kasih sayang yang cukup dari seorang ibu. Aku nggak mau dia diasuh oleh perempuan yang salah. Setelah ini, banyak rintangan yang kalian hadapi dan aku yakin kamu bisa melewati semuanya."
Dari arah depan, entah sejak kapan, muncul cahaya putih yang terang, menarik perhatian Adipati. Dari cahaya itu datang seorang perempuan. Yang membuat Adipati terkejut, wajah perempuan itu tak lain adalah ibunya. Bahkan, ibunya memanggil Irma, menyuruhnya untuk segera tiba di cahaya itu. Adipati heran, dari mana mereka saling kenal? Ibunya sudah lama meninggal dan Irma tidak pernah tahu rupanya.
"Aku harus pergi sekarang, Mas. Selamat tinggal."
Irma melangkah menghampiri ibunya. Kedua perempuan itu saling berpegangan tangan memasuki cahaya itu, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Adipati tak dapat mencegah Irma karena kakinya tiba-tiba saja tidak bisa digerakkan. Lelaki itu hanya bisa memanggil nama istrinya. Berharap perempuan itu berbalik. Namun, Irma terus maju dan sampai titik cahaya putih itu. Ketika menghadap ke arahnya, Irma tersenyum lebar dan lama-lama cahaya itu merenggut tubuh Irma bersama ibunya.
Saat Adipati memanggil Irma entah untuk yang keberapa kali, suasana yang semula putih berubah gelap. Saat matanya terbuka, dia kembali di tempat semula, musala rumah sakit. Dia rupanya tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya bersandar di dinding, masih di atas sajadah. Ketika matanya melirik angka pada arloji di pergelangan tangan kiri, Adipati tersentak. Sekarang waktunya Irma keluar dari ruang operasi. Adipati bergegas menuju ke sana.
Setibanya di tempat itu, hanya tangisan Yati yang terdengar. Wanita itu tampak kacau, dipeluk oleh suaminya. Entah kenapa, kaki Adipati terasa berat. Perasaannya mulai campur aduk. Dia bukan pakar ekspresi. Dia tidak bisa menerjemahkan arti tangisan Yati saat ini. Namun, saat para suster keluar dari ruang operasi, mendorong bed berisi seseorang yang seluruh tubuhnya tertutup kain hijau, dan berhenti tepat di hadapannya, Adipati akhirnya tahu sesuatu yang terjadi pada Irma.
Perjuangan Adipati dimulai dari sini. Meskipun sudah terjamin diurusi rumah sakit, Adipati ikut memandikan jenazah Irma, memakaikan kafan, menyalatinya untuk terakhir kali, dan turut ke makam untuk menguburkan jasad Irma.
Di hari terakhirnya, Irma tampak cantik. Wajahnya tersenyum, tubuhnya harum, persis seperti di mimpi itu. Katanya, wanita yang meninggal setelah melahirkan anak disebut mati syahid. Harusnya Adipati bangga. Harusnya Adipati lega karena Irma tidak perlu merasakan sakit terlalu lama. Akan tetapi, tidak ada yang bisa bahagia setelah kehilangan setengah hidupnya.
Selesai pemakaman, Adipati justru kembali ke rumah sakit, sementara Yati dan suaminya pulang ke rumahnya untuk menyambut para pelayat yang datang. Seharusnya rumah tersebut dipadati dengan orang-orang yang ingin menyambut kelahiran anak pertamanya, bukan mengucapkan kata bela sungkawa.
Adipati memasuki sebuah ruangan dengan bunyi alat-alat yang menegangkan. Tubuhnya kini terbungkus kain serba hijau dan masker. Dokter pun sudah mengizinkannya masuk. Langkah lelaki itu sangat berat. Berkali-kali dia berhenti untuk meneguhkan hatinya. Seakan-akan jarak antara pintu dengan kotak inkubator ribuan kilo meter hingga napas Adipati terengah-engah.
Makin dekat dengan kotak itu, alat-alat di sekitarnya makin terdengar nyaring, mencabik hati Adipati untuk kesekian kalinya. Adipati tidak sanggup melihat tubuh mungil anaknya yang dikelilingi selang rumah sakit. Tanpa ibunya, anak itu harus berjuang bertahan hidup pada alat-alat tersebut.
Salah satu tangan Adipati terangkat, menempel pada telinga kanannya. Dia belum melaksanakan kewajiban sebagai orang tua saat anaknya pertama kali tiba di dunia. Suaranya bergetar, terdengar samar. Matanya pun mulai berkabut. Ini merupakan air mata pertamanya setelah beberapa jam Irma meninggal.
Adipati menyeka matanya menggunakan ujung lengan pakaian rumah sakit. Lalu, dia melihat tangan anaknya bergerak. Entah kenapa, bibirnya melengkung ke atas. Adipati mencoba meraih tangan mungil itu.
"Kamu nggak boleh tinggalin bapak, ya. Bapak udah nggak punya siapa-siapa lagi di sini. Bapak bakal cari uang yang banyak biar kamu tumbuh sehat."
Adipati membayangkan perjalanan selanjutnya bersama Bima. Membayangkan bagaimana nanti Bima tahu hari ulang tahunnya juga bertepatan dengan hari kematian ibunya. Membayangkan Bima tumbuh tanpa sosok ibu di sampingnya. Baru membayangkan saja, rasanya sudah sakit sekali.
Hari demi hari, Bima menunjukkan perkembangan yang bagus. Setiap hari Adipati selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Bima di rumah sakit. Adipati juga mencari pekerjaan lebih layak karena tidak mungkin mengandalkan penghasilan kedai dengan kondisi Bima yang seperti itu. Akhirnya, Adipati diterima bekerja di Aratha Publisher.
Melihat Bima tumbuh, melihat Bima berhasil hidup tanpa alat-alat rumah sakit lagi, Adipati mendapatkan api semangatnya kembali. Adipati terus belajar mengurus bayi supaya tidak merepotkan Yati lagi saat malam hari. Adipati bahagia melihat tumbuh kembang Bima setiap bulannya. Perlahan-lahan, Adipati berdiri tegak meskipun tanpa Irma di sisinya. Bima menjadi alasan utamanya untuk selalu bertahan.
Namun, Adipati kembali hancur lagi ketika Rifa tiba-tiba datang setelah berbulan-bulan menghilang. Perempuan itu dengan wajah sedih berdiri di depan rumahnya, mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya saat malam itu.
"Kenapa baru sekarang? Setelah aku udah berusaha ngelupain semuanya, kenapa baru sekarang kamu datang?"
Rifa menunduk. Wajahnya sudah basah karena air mata. Mulutnya tercekat. Sungguh, dia juga malu berdiri di hadapan Adipati. Setelah apa yang diperbuat berhasil merenggut nyawa Irma.
"Setelah tahu Irma meninggal, aku bener-bener nggak sanggup untuk sekadar minta maaf ke kamu, Di. Aku beneran ngerasa bersalah. Harusnya aku nggak ngelakuin itu."
"Siapa yang nyuruh kamu, Rifa? Coba bilang sama aku."
"Nggak ada." Rifa menggeleng. "Aku begitu atas inisiatif sendiri. Aku nggak tahu apa yang aku pikirin saat itu. Aku bener-bener minta maaf."
Sesungguhnya, Adipati masih merasa ganjil. Tidak mungkin Rifa begini kalau tidak ada orang lain yang menyuruhnya. Akan tetapi, dia bisa apa? Lagi pula, Adipati tidak mau membahasnya lagi. Baginya, Rifa berani minta maaf saja sudah cukup. Dia bisa melanjutkan hidupnya bersama Bima walaupun mendung terus menggelayuti.
Empat tahun setelah peristiwa itu, Adipati bertemu seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan Irma.
•Trivia Adipati•
Dalam penulisan novel fiksi, ada dua sudut pandang yang sering digunakan, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.
Dalam narasi sudut pandang orang pertama selalu memakai kata ganti "aku", "saya", atau "gue". Sementara sudut pandang orang ketiga memakai nama tokoh, kata ganti "dia" atau "ia".
•••
Yang nangis siapa? 😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro