Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•03• Wajah yang Sama

Dilihat dari sudut mana pun, wajah penulis yang akan dibimbingnya memang mirip seperti Irma. Hanya saja rambut perempuan itu lebih pendek. Seisi dada Adipati terus memberontak. Jantungnya seakan-akan ingin meledak. Tangannya tidak sabar untuk menyentuh wajah itu, merengkuh tubuh yang selama ini selalu dirindukan.

Siapa perempuan ini? Apa dia salah satu kerabat Irma? Kalau benar, harusnya Adipati bertemu dengan perempuan ini sebelumnya. Tidak mungkin perempuan ini tidak muncul di momen-momen penting Irma. Adipati berusaha mengais ingatannya, barangkali dia pernah melihat perempuan ini ketika masih bersama Irma. Namun, hasilnya kosong. Adipati tidak ingat apa pun.

Atau jangan-jangan teori yang mengatakan ada tujuh kembaran yang hidup di dunia memang benar. Saking rindunya dengan Irma, dulu Adipati sempat berpikir gila akan mencari kembaran istrinya. Setelah istrinya tiada, kewarasannya juga ikut terkubur bersama jasad Irma.

Sekarang Tuhan seolah-olah sedang mengejeknya. Menghadirkan sosok perempuan yang dulu sempat Adipati cari keberadaannya. Perempuan ini hadir tanpa dicari.

Setelah hampir dua puluh menit ia hanyut dalam perasaan, Adipati kembali membawa pikirannya ke dunia nyata. Dia kembali melihat laptop, membaca nama serta sinopsisnya. Saat itulah ia teringat kalau sinopsis yang ditulis perempuan ini jauh dari kata sempurna. Semalam Adipati sampai pusing membacanya. Adipati sampai mencari bagian mana yang membuat Damara suka. Seperti yang diucapkan Firman, ide cerita perempuan ini memang bagus meskipun pasaran, toh ide cerita memang tidak ada yang original. Hanya saja teknik menulisnya yang perlu dibenahi lagi. Menulis premis saja masih asal-asalan.

"Sinopsis kamu jelek, garing, dan nggak jelas konfliknya seperti apa. Saya heran kenapa Firman memilih kamu sebagai salah satu penulis padahal tulisan kamu nggak ada nilainya."

Ketika di depan laptop, jangan harap Adipati akan mengeluarkan kata-kata manis untuk penulisnya. Kalau jelek ya bilang jelek, begitu pun sebaliknya. Dia ingin penulis bisa belajar dari kesalahannya, tidak terpaku pada pujian-pujian yang melenakan.

Adipati rasa Amanda si penulis Duda itu Suamiku hidup dengan banjir pujian. Terbukti saat dia mengatakan itu, wajahnya terkejut, kaku, dan seperti ingin mengeluarkan suara. Adipati berharap perempuan ini tidak gugur di standar yang ketiga. Namun, harapan tinggallah harapan. Saat Adipati meminta menulis ulang sinopsis dalam waktu satu jam, Amanda menolak, malah minta keringanan waktu sampai besok pagi.

Memang, sih, Adipati sangsi perempuan ini bisa menulis sinopsis dalam waktu yang ia tentukan. Bukannya membaik, tulisannya makin amburadul.

Tiba-tiba saja Adipati teringat dengan kejadian Bima di sekolah tadi, juga Yati yang terus memintanya menikah lagi. Dia ingin melihat Bima bahagia. Dia mau Bima berhenti diejek karena tidak punya ibu. Yang paling menyesakkan, dia merindukan Irma.

Karena dorongan itulah, Adipati berani memberikan syarat Amanda harus jadi istrinya. Bahkan, Adipati rela menurunkan egonya, membawa nama Bima, terlihat menyedihkan agar Amanda mau menerima syarat itu. Dia tahu ini tidak masuk akal. Dia siap dianggap gila oleh perempuan ini. Hidupnya sekarang bukan tentang dirinya lagi. Ada makhluk kecil yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. Perasaan Bima jauh lebih penting ketimbang perasaannya.

"Pertama, saya mau pisah kamar, mungkin saya akan tidur dengan anak Bapak. Yang kedua, saya nggak mau pernikahan ini diketahui peserta lain, apalagi Pak Firman, saya juga akan merahasiakannya dari teman-teman saya. Jadi, nggak usah ada acara besar-besaran. Yang ketiga, kita tetap ada di jalan masing-masing, nggak boleh saling usik. Saya nggak akan mengganggu urusan Bapak, Bapak juga nggak boleh ganggu privasi saya."

Ada secercah cahaya saat Amanda mengeluarkan syaratnya. Adipati tidak keberatan. Yang penting, Amanda mau menikah dengannya dan Bima akan punya ibu.

Di rumah, Adipati tiduran di kasur. Kejadian demi kejadian tiba-tiba terputar saat ia memandang langit-langit kamar. Setelah kesepakatannya dengan Amanda di kantor Aratha itu, hari ini Adipati mempertemukan Amanda dengan Bima. Lewat pertemuan itu, Adipati melihat sisi keibuan di dalam diri Amanda meski perempuan itu mengakui tidak suka anak-anak. Perempuan itu cukup sabar menghadapi Bima. Adipati tidak melihat sandiwara di sana. Interaksi antara Amanda dan Bima tampak natural.

Kepada Bima, Adipati tidak memberitahu apa pun. Anak berusia empat tahun belum paham dengan hubungan manusia. Adipati bingung bagaimana menjelaskannya. Terlalu rumit untuk dicerna anak seusia Bima. Biarkan saja waktu yang menentukan. Entah dorongan dari mana, ia percaya Bima dan Amanda akan dekat seperti memiliki ikatan darah.

Selama ini Bima tidak pernah tahu seperti apa rupa ibunya. Adipati sekali pun tidak pernah menunjukkan foto Irma. Jadi, pertemuannya dengan Amanda benar-benar terlihat seperti pertemuan orang baru. Tidak ada drama Bima mengatakan Amanda adalah ibunya.

Masih ada tugas yang menanti, yaitu menemui ibunya Amanda. Tadi Amanda bilang kalau ayahnya sudah meninggal dan tidak ada kerabat dekat. Otomatis perempuan itu akan memakai wali hakim. Amanda belum bisa mempertemukan Adipati dengan keluarganya. Katanya Amanda ingin bicara dulu. Tidak masalah bagi Adipati. Toh dia juga membutuhkan waktu.

Soal usia, Adipati sempat terkejut setelah membaca biodata singkat Amanda di fail proyek. Usia perempuan itu 23 tahun, sepuluh tahun lebih muda darinya. Artinya sebentar lagi dia merenggut masa muda seseorang.

Lelaki itu mengubah posisi. Tangannya memungut ponsel di sampingnya. Adipati nyaris lupa mengabari Yati. Biar bagaimanapun, Yati masih keluarganya.

Telepon tersambung setelah beberapa detik Adipati menunggu. Suara Yati terdengar.

"Aku mau bicara, Bu. Ini soal pernikahan aku." Kalimat itu yang pertama keluar dari mulut Adipati.

"Kamu mau terima perempuan yang Ibu tunjukin waktu itu?"

"Nggak, Bu. Aku sudah menemukan perempuan yang cocok jadi ibunya Bima."

"Oh, ya? Siapa?" Yati tampak antusias. "Dia anaknya siapa? Apa Ibu kenal sama dia? Kamu ketemu dia di mana? Kok, tiba-tiba?"

"Dia temen aku, Bu. Kami udah kenal lama, terus ketemu dan kami merasa cocok untuk jadi pasangan. Dia juga udah ketemu sama Bima." Adipati mengarang cerita. Tentu saja siapa yang percaya seorang lelaki yang mengaku tidak bisa move on tiba-tiba ingin menikah.

"Perempuan itu masih single atau udah pernah menikah sebelumnya?"

"Dia masih single, Bu."

"Bisa kamu tunjukkan fotonya? Ibu mau tahu seperti apa wajah perempuan yang akan jadi ibunya Bima."

Ini masalahnya. Adipati tidak mungkin menunjukkan foto Amanda pada ibunya Irma. Bagaimana kalau setelah melihat foto itu Yati jadi teringat anaknya? Selain dirinya, Yati adalah orang yang paling terpukul atas kepergian Irma.

"Aku nggak bisa tunjukin fotonya sekarang, Bu."

"Lho, kenapa? Jangan-jangan kamu lagi mengarang cerita biar Ibu nggak bawa Bima?"

"Nggak, Bu. Aku beneran mau nikah sama perempuan itu. Nanti Ibu bisa lihat dia kalau Ibu udah di sini aja. Aku telepon Ibu sekalian mau minta doa ke Ibu supaya di pernikahan kali ini diberi kelancaran."

Tidak ada suara Yati setelah itu. Adipati mengira ibu mertuanya sedang merenung.

"Jadi, Ibu nggak perlu ke sana? Kamu nanti kerepotan mengurus pernikahan."

"Nggak perlu, Bu. Soalnya kami hanya menikah di KUA."

"Ya sudah. Ibu memang nggak tahu isi hati kamu sekarang, tapi Ibu berharap semoga kalian bisa menjaga pernikahan ini sampai kapan pun."

Meski tertohok, Adipati mendengar nasihat itu. "Iya, Bu."

Begitu Yati menutup telepon, Adipati meletakkan ponsel ke tempat semula. Tangannya pindah membuka laci, mengeluarkan sebuah foto berpigura kecil yang menampilkan wajahnya dan wajah Irma saat menjadi pengantin. Foto ini sengaja dia sembunyikan saat Bima tidur di sini. Menurut Adipati, belum waktunya Bima tahu kisah ibu dan bapaknya. Dia sendiri belum siap menceritakan semuanya pada Bima.

Jemari lelaki itu bergerak mengusap wajah Irma. Kala matanya terpejam, kejadian yang merenggut nyawa istrinya kembali berputar.


Gimana bab tiganya gaes? Mulai bab berikutnya kita plesbek dulu yak.

Oh ya ada istilah medis yang menggambarkan situasi Amanda dan Irma. orang yang memiliki karakter fisik yang mirip tapi tidak berhubungan genetik disebut dengan doppelgangers.

Orang-orang ini terlihat seperti anak kembar karena wajahnya terlihat sama. Selain itu, mereka juga bahkan bisa memiliki gaya hidup yang serupa.

Sebuah penelitian yang dilakukan Dr. Manel Esteller dalam jurnal Cell Reports mengatakan, doppelgangers ternyata memiliki DNA, gaya hidup, bahkan sifat yang sama meskipun mereka tidak terlahir sebagai saudara.

Artinya, dua orang yang lahir dalam keluarga atau lingkungan yang berbeda ternyata bisa memiliki gen sama sehingga fisiknya terlihat mirip satu sama lain.

Hal ini terjadi karena ada tumpang tindih genetik yang muncul di antara jutaan populasi manusia. Kondisi tersebut memungkinkan terjadi pengulangan DNA di antara orang yang berbeda.

Sudah cukup dipahami ya?

***

Jujur aku sedih waktu baca komentar di bab satu Konjungsi Rasa, yang bilang "hanya ada di wattpad". Sedihnya tuh kenapa harus ngomong gitu? Padahal di dunia nyata, banyak orang yang melakukan segala cara kalau udah kepepet banget. Ya seperti yang dilakukan Adipati ini. Mungkin menurut kita nggak masuk akal, tapi bagi mereka yang ingin bertahan dengan orang yang dicintai, itu pasti berharga.

Sama satu lagi, pas aku baca ulang Konjungsi Rasa, aku ngerasa ada sesuatu yang harus aku ubah. Doain ya semoga proses revisinya berjalan dengan lancar dan kalian bisa membaca lagi dengan versi yang lebih baik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro