Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•02• Pertemuan Tidak Terduga

Pagi hari, Adipati sudah sibuk di dapur. Masak sarapan untuknya dan Bima. Sebelumnya Bima sudah dimandikan lalu dipakaikan seragam sekolah. Sekarang anak itu menunggu di ruang tamu. Tentu saja dengan mainan-mainannya yang berserakan.

Telur dadar dan oseng kangkung menjadi menu sarapan hari ini. Biasanya Adipati beli makanan jadi di luar, tetapi karena tadi dia terlambat bangun dan Bima susah diatur, pedagang nasi uduk yang biasa mangkal di depan rumahnya pergi karena sudah habis. Lagi pula, Bima tidak suka makanan itu. Anaknya kerap memilih makanan dan itu membuatnya pusing.

Jauh sebelum Irma muncul, Adipati melakukan semuanya sendirian. Ayahnya meninggal saat dia berusia sepuluh tahun, lalu ibunya menyusul lima tahun kemudian. Mau tidak mau, dia harus belajar mandiri sebab tidak punya siapa-siapa di sini. Kerabatnya tinggal jauh-jauh.

Kehadiran Irma pun tidak lantas menjadikan Adipati laki-laki manja. Dia tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membantu istrinya. Apalagi, sewaktu hamil Bima, Irma harus istirahat di tempat tidur. Hanya saja setelah perempuan itu pergi, dia kehilangan semangat hidup. Rumah dibiarkan berantakan, persis seperti hatinya yang porak-poranda.

"Pak, aku mau pipis."

Suara Bima di belakang terdengar. Adipati menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian menunduk.

"Kalau mau pipis, langsung ke kamar mandi. Bapak lagi masak."

Bima langsung berlari ke kamar mandi. Sekelebat Adipati melihat celana anak itu basah. Saat itu juga dia mematikan kompor, lalu mengejar anaknya, masuk kamar mandi.

"Bima! Kamu ngompol lagi?"

Bima tidak menjawab. Tangannya hendak menyalakan keran air, tetapi segera ditepis oleh Adipati.

"Jawab bapak! Kamu ngompol di mana?"

"Di kursi, Pak."

Adipati memejamkan mata. Menahan gejolak di dalam dada. Pipis sembarangan masih dilakukan anak ini. Bima sudah lepas popok sejak dua tahun yang lalu karena sering ruam. Anak itu kerap menangis karena tidak nyaman. Entah sudah berapa kali Adipati menjemur sofa akibat kelakuan Bima. Tidak hanya di rumah, Bima bisa mengompol waktu di kelas, makan di luar, bahkan pernah saat menghadiri acara ulang tahun temannya. Adipati tidak tinggal diam. Dia sudah mengajarkan Bima pipis yang benar berkali-kali, tetapi tidak ada yang berhasil. Dia harus menebal muka di depan guru setiap kali mendapat laporan.

"Bima, bapak udah sering bilang, kalau kamu pengin pipis itu ngomong. Biar bapak antar kamu ke kamar mandi. Kamu tahu nggak, ini celana seragam untuk hari ini. Kalau basah, kamu mau pakai celana apa?"

"Bima nggak bisa tahan pipisnya, Pak!"

Bima mulai merengek, lalu menangis kencang. Adipati yang mendengar itu lantas menghela napas. Hatinya kembali hancur untuk kesekian kalinya.

Irma, apa aku gagal jadi orang tua?

Tidak mau anaknya terlambat sekolah, Adipati segera mengusap air mata di pipi Bima. Mengusap punggungnya. "Sudah, jangan nangis. Bapak maafin kamu kali ini, tapi nanti jangan diulangi lagi, ya."

"Iya, Pak."

Setelah Bima tenang, Adipati melepas celana yang basah, kemudian tubuhnya dibasuh dengan air. Setelah itu Bima dibawa ke kamar. Memakaikan celana olahraga yang harusnya digunakan hari Jumat.

"Nanti kalau Bu Guru tanya, bilang aja celana Bima belum kering, ya."

"Iya, Pak."

Adipati mengelus kepala Bima. "Jangan nakal di sekolah, ya."

Bima rupanya tidak ingin bapaknya tenang walau hanya sebentar. Siangnya, Adipati mendapat telepon dari guru, mengatakan kalau Bima bertengkar dengan teman sekelas. Katanya, Bima memukul hidung temannya sampai berdarah. Begitu Adipati tiba di ruang guru, orang tua dari anak yang dipukul Bima sudah datang, di sana juga ada Bima dan temannya. Mata anak itu sembap.

"Saya nggak mau tahu, anak ini harus dikeluarkan dari sekolah. Masih kecil, kok, udah jadi preman!" ucap seorang perempuan yang tak lain adalah ibu dari anak yang dipikul Bima.

"Bu, berdasarkan penjelasan Bima, Fajar dulu yang mendorong Bima dari perosotan. Mungkin karena refleks membela diri, makanya Bima sampai memukul wajah Fajar," balas Bu Indah, guru yang mengampu kelas Bima.

"Ya sama saja anak ini salah! Kalau dibiarkan, kasihan anak lain akan jadi korban selanjutnya."

Adipati tidak tahan mendengar itu. Dia tahu Bima anak yang tidak akan mengganggu jika tidak diganggu. Dia tidak membenarkan tindakan anaknya. Hanya saja dia yakin Bima tidak mungkin begini kalau tidak ada pemicunya.

"Bima kenapa mukul dia?" Akhirnya Adipati bertanya pada Bima sambil menghapus air mata di kedua pipinya.

"Kata Fajar aku nggak punya ibu. Aku nggak suka dibilangin begitu, Pak," jawab Bima dengan napas tersendat.

"Oh, ternyata nggak punya ibu. Pantes kelakuannya begitu. Nggak heran saya. Anak yang nggak punya ibu itu biasanya jadi liar. Saya setuju kalau anak ini dikeluarkan dari sekolah," ucap perempuan itu seraya menaikkan alisnya.

Tangisan Bima makin kencang. Dada Adipati bergemuruh saat itu juga. Dia tidak terima, tetapi masih mempertahankan kewarasan demi Bima.

"Pak, bisa minta tolong ajak Bima keluar dulu? Biar saya yang bicara dengan ibunya Fajar," kata Bu Indah.

Akhirnya Adipati menggendong Bima keluar dari ruangan itu. Dia melangkah ke sebuah ayunan. Mendudukkan Bima di sana.

"Aku mau ibu, Pak. Temen-temen aku semuanya punya ibu. Kenapa aku nggak punya? Kenapa ibu nggak ada di sini?"

Adipati tidak bereaksi. Dia membiarkan Bima meluapkan perasaannya. Dia tidak akan menuntut Bima memendam rasa sakitnya. Mau laki-laki atau perempuan, sama saja. Soal emosi tidak boleh dibeda-bedakan.

Sama seperti Bima, Adipati juga berharap Irma di sini, Irma masih bersamanya, mengurus anak mereka sama-sama. Karena kesalahannya, Bima tidak pernah merasakan kasih sayang ibunya. Karena kesalahannya, Bima tidak pernah mendapatkan air susu dari ibunya. Karena kesalahannya, Bima tidak pernah menyentuh wajah ibunya.

"Kapan aku punya ibu, Pak? Kapan ibu pulang dari surga? Ibu emang nggak mau ketemu sama aku?"

Tangis Bima tidak berhenti, bahkan semakin kencang. Adipati ingin menghentikan semuanya. Dia ingin melihat Bima ceria seperti anak-anak lainnya.

"Bapak kenapa diam aja? Pertanyaan aku sulit, ya?"

Kini yang bisa Adipati lakukan adalah memeluk tubuh anaknya, meski dia tahu tidak akan bisa mengganti semua yang sudah terjadi. Tidak akan mampu meredam perasaan yang berkecamuk. Entah sampai kapan awan mendung ini bergelayut di atasnya. Entah sampai kapan hujan badai mengguyur tubuh mereka. Mungkin tidak akan pernah ada pelangi setelah hujan.

Pelukan itu harus terurai saat Bu Indah menghampiri mereka. Bima menenggelamkan wajahnya ke dada sang bapak.

"Bima, kenapa masih nangis?"

Bima mengeratkan pelukannya. "Bima nggak punya ibu."

"Kata siapa Bima nggak punya ibu? Di sini, ada Bu Indah, Bu Zakia, Bu Erna. Semuanya ibu Bima."

"Tapi, di rumah Bima nggak ada ibu."

"Sini, sama Ibu dulu, yuk!"

Setelah dibujuk Adipati, akhirnya Bima mau melepaskan pelukannya, mendekati Bu Indah.

Bu Indah lantas mengelus kepala Bima. "Ibu Bima memang tidak bisa dilihat dan tidak bisa disentuh, tapi ibunya Bima selalu ada di sini." Bu Indah membimbing tangan Bima ke arah dada anak itu. "Jadi Bima jangan sedih lagi, ya. Karena ibu Bima akan selalu di dekat Bima."

"Kenapa ibu Bima nggak mau muncul?"

"Karena ibu Bima sudah di rumah Allah. Ibu Bima bahagia di sana. Jadi, Bima juga harus bahagia di sini, ya."

"Iya, Bu."

"Nah, pinter."

Adipati cukup lega melihat anaknya sudah tenang. Semoga ini yang terakhir kalinya Bima menangis karena ibunya.

"Soal anak tadi gimana, Bu?" tanya Adipati pada Bu Indah.

"Sudah selesai, Pak. Ibunya Fajar ingin memindahkan anaknya ke sekolah lain."

Mata laki-laki itu mengerjap. "Kenapa, Bu?"

"Ya itu tadi, beliau tidak terima kalau Bima masih ada di sini, padahal kami sudah mempertimbangkan keputusan yang terbaik. Pihak sekolah sudah paham karakter anak-anak didiknya. Saya paham walaupun Bima anak yang aktif, tapi dia tidak pernah mencari masalah dengan teman-temannya. Bima juga salah di sini, tapi tidak menjadikan kami langsung mengucilkan dia."

Bu Indah kemudian menyentuh bahu Bima. "Ibu tahu Bima kesal, Bima marah, tapi jangan sampai memukul lagi, ya. Dipukul itu sakit. Janji jangan diulang lagi, ya."

"Iya, Bu Guru."

Masalah selesai. Adipati membawa Bima ke parkiran, mendudukkan anaknya di carseat. Namun, belum sempat dia duduk, ponsel di dalam saku celana berdering. Telepon dari Firman.

"Di, udah di jalan, kan?"

"Aku masih di sekolah Bima."

"Waduh! Acara udah mau mulai. Penulis udah datang semua."

"Dimulai aja, terus bilang ke dia kalau aku masih di jalan."

"Ya udah."

Adipati memutus sambungan telepon lalu mulai melajukan mobilnya. Dia harus pulang dulu untuk menitipkan Bima ke tetangga. Setelah itu, barulah pergi ke kantor Aratha.

Sebenarnya Adipati tidak enak dengan Firman, juga malu dengan penulis yang nanti akan dibimbing. Terlambat satu jam bukanlah hal yang patut dibanggakan. Adipati sudah terbiasa dengan tenggat dan dia selalu mematuhinya. Itu juga berlaku untuk penulis di bawah bimbingannya. Dia tidak suka jika ada penulis yang terlambat mengirim naskah atau ada yang punya segudang alasan.

"Maaf, Man, tadi ada masalah di sekolah Bima."

"Nggak masalah, Di. Yang penting kamu udah ke sini. Tuh, penulisnya udah nungguin, tapi kamu jangan kaget, ya."

Kening Adipati berkerut. "Kenapa jangan kaget?"

"Ya, liat aja sendiri. Sana samperin! Dia udah kelamaan nungguin kamu."

Adipati menurut saja. Dia melangkah menghampiri seorang perempuan muda yang duduk sendirian. Namun, saat perempuan itu menoleh hingga menapakkan wajahnya, kaki Adipati otomatis berhenti. Jantungnya berdebar kencang.

Irma.

•Trivia Adipati•

Selain memaparkan gagasan cerita, sinopsis juga harus menjelaskan rincian cerita secara garis besar dari awal sampai akhir. Jadi, jangan sampai menutupi bagian akhir cerita karena yang kamu hadapi itu editor, bukan agen FBI.

•••

A/N

Mohon maklum ya, ini lapak bapak editor, udah pasti ada materi kepenulisan 😂

Lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro