•01• Penulis Meresahkan
Adipati menghentikan mobilnya di carport. Dia turun, berjalan masuk ke sebuah rumah minimalis yang lantainya dipenuhi berbagai jenis mainan anak-anak. Rasa sungkan muncul perlahan sebab ini bukan rumahnya.
Ya, laki-laki itu datang ke rumah sang mertua, dalam rangka menjemput anak laki-lakinya. Sebulan sekali mertuanya yang tinggal di luar negeri itu menjenguk Bima, juga melancarkan sebuah rencana.
"Bapak!"
Bima langsung melempar robot-robotan begitu melihatnya. Adipati tersenyum simpul. Tangannya meraih mainan yang baru saja dibuang anaknya.
"Lain kali jangan dilempar begitu, Bima. Kalau rusak siapa yang sedih? Kasihan Eyang Uti yang beresin mainan kamu."
Anak itu diam. Kembali tenggelam dengan mainan-mainannya. Adipati menghela napas.
"Sudah, nggak apa-apa. Namanya juga anak-anak."
Adipati mengangkat kepalanya ke sumber suara. Matanya berkedip menatap wanita paruh baya yang pernah melahirkan istrinya. Kemudian, kembali menatap sang putra. Bima anak pertama, cucu pertama, dan orang pertama yang berhasil mengantarkan ibunya ke alam berbeda, berpisah selamanya.
Tidak. Dia tidak sedang menyalahkan Bima. Dia justru bahagia Irma pergi setelah berjuang. Namun, Bima tidak tahu ibunya meninggalkan dunia tanpa mendengar fakta yang sebenarnya. Ini yang membuatnya berkali-kali digulung rasa penyesalan.
"Sini duduk! Ibu mau tunjukkin sesuatu."
Adipati menurut. Sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang akan ditunjukkan. Dia menurut agar ibu mertuanya tidak kecewa.
Yati duduk di samping Adipati, lalu mengeluarkan ponsel. Benda itu dinyalakan, kemudian tampak sebuah foto perempuan berkerudung dengan pakaian dinas cokelat.
"Namanya Safira. Dia guru SD. Sudah PNS katanya. Waktu itu pernah datang ke sini, lho. Pas Ibu mengadakan pengajian."
Adipati diam saja. Bingung ingin menanggapi apa.
"Kalau kamu suka, nanti Ibu ngomong ke ibunya perempuan ini. Kamu nggak usah pikirkan gimana-gimana. InsyaAllah dia perempuan yang baik, mampu mengasuh Bima."
"Bu, tapi--"
"Apa? Kamu mau bilang nggak siap?"
Mulut Adipati terkunci rapat.
"Mau sampai kapan? Ini sudah empat tahun. Kamu nggak mikirin Bima?"
"Aku masih bisa ngurus Bima sendiri--"
"Mana buktinya? Kamu lihat anak itu. Dia lebih kurus dari anak seusianya. Dia masih ngompol di celana. Kamu tinggal kerja, pulang sudah capek, kan? Waktu untuk Bima nyaris tidak ada. Kalau ada istri, kamu nggak perlu mikirin Bima lagi."
"Kalau begitu, aku bisa sewa baby sitter--"
"Nggak, Adi! Ibu mana rela kamu tinggal satu atap sama perempuan yang bukan mahram? Ibu tahu kamu mampu, tapi Ibu tetep nggak setuju."
Hening menyambut. Dua manusia itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Adipati tahu maksud ibu mertuanya baik. Beliau ingin cucunya diurus dengan baik. Beliau ingin dirinya melanjutkan hidup. Akan tetapi, bagaimana bisa dia melanjutkan hidup, sementara separuh jiwanya sudah hilang? Bagai kursi yang kehilangan salah satu kakinya, hidup laki-laki itu pincang tanpa Irma di sisinya.
"Ibu nggak mau tahu, Di, bulan ini kamu harus nikah," ucap Yati. "Kalau nggak, Ibu akan bawa Bima tinggal sama Ibu di luar negeri. Ibu nggak main-main."
Hati Adipati rontok seketika. Dia sudah kehilangan orang tua, dia sudah kehilangan istri, dan sekarang kalau tidak menikah juga dia akan kehilangan anak?
"Kamu itu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri. Ibu pengin yang terbaik buat kamu sama Bima. Irma sudah tidak bisa balik lagi. Hubungan kalian sudah putus sejak Irma dikebumikan."
Ada yang tersangkut di tenggorokan Adipati sehingga tidak bisa mengeluarkan bantahan. Ucapan sang mertua sungguh meremukkan hatinya sekali lagi. Apa yang diharapkan dari seseorang yang telah tiada? Tidak ada. Jangankan berharap kembali, datang ke mimpi saja tidak pernah. Sejenak dia menertawakan penulis-penulis yang mengkhayal bertemu dengan orang yang sudah mati di dalam mimpi.
Akhirnya Adipati mengajak Bima pulang karena sudah mau malam. Berada di sini, luka-luka yang semula tertutup kini terbuka kembali. Ucapan Yati memang benar, tetapi hatinya masih tidak siap.
Sepanjang perjalanan terasa sunyi. Bima tertidur di carseat-nya di belakang. Memang selalu seperti itu ketika di dalam mobil. Saat berhenti di lampu merah, Adipati memandang langit yang perlahan gelap. Tidak ada yang istimewa. Dia hanya sedang mengingat Irma yang sering melihat langit ketika di jalan.
Adipati menoleh ke samping kirinya, menatap kursi kosong yang dulu sering diisi Irma. Semua yang pernah dilakukan perempuan itu terputar jelas. Tawanya, candanya, senyumnya, bahkan ketika sedang marah pun dia masih ingat bagaimana ekspresinya.
Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Empat tahun bukan perkara mudah. Dia tidak bisa menggeser posisi istrinya untuk perempuan lain. Rasanya tidak akan mungkin dia menjabat tangan penghulu lalu mengucapkan ikrar untuk perempuan lain. Adipati tidak mau melakukan itu untuk demi orang lain, termasuk anaknya sendiri.
Katakan saja dirinya egois. Adipati masih enggan keluar dari penjara penyesalan.
Lamunan Adipati buyar saat klakson di belakang berbunyi. Laki-laki itu segera melajukan mobilnya lagi dengan perasaan hampa. Sekitar 30 menit kemudian, Adipati tiba di rumah. Dia angkat tubuh Bima tanpa membangunkan. Dia letakkan di kamar. Setelah itu, barulah dirinya bersih-bersih.
Adipati menyalakan lampu kamar, kemudian membuka laptop yang tergeletak di kasur. Barusan Firman mengirim pesan yang mengabarkan kalau fail sinopsis milik salah satu peserta proyek Duda Series masuk ke surelnya.
Belum membuka failnya saja, Adipati sudah tertawa karena membaca judul novel yang akan ditulis peserta itu. Dia akhirnya menghubungi Firman.
"Man, kenapa kamu ambil naskah nggak jelas gini?"
"Nggak jelas gimana?"
"Judulnya coba dibaca."
"Belum lihat isinya, kan? Coba, deh, dibaca. Bagus, kok, ceritanya. Cukup menarik idenya. Tadinya naskah itu mau diambil sama Damara, tapi aku rasa lebih cocok kamu yang menangani."
"Dari judulnya aja udah aneh. Bagian mana yang bagus, sih?"
"Makanya buka dulu failnya."
Tanpa memutus sambungan telepon, Adipati membuka fail tersebut, kemudian membaca kalimat pertama. Kali ini dia memijit keningnya. "Dia bahkan nggak bisa nulis premis, Man. Mendingan Damara aja yang ambil atau yang lain."
"Nggak, ya, Di. Damara udah mulai brainstorming sama penulisnya lewat chat, yang lain juga. Cuma kamu yang belum apa-apa. Ini udah aku kasih kelonggaran. Lagian, aku percaya kalau kamu bisa perbaiki tulisan dia."
"Masalahnya, Man--"
"Mendingan baca sampai selesai, deh. Udah, ya."
Telepon akhirnya diputus oleh Firman. Adipati melempar ponselnya ke kasur, lalu membaca sinopsis itu sampai selesai sambil mencoret beberapa baris kalimat yang menurutnya tidak cocok. Jika salah satu tidak terpenuhi, penulis tersebut dianggap meresahkan.
Adipati punya standar sendiri untuk penulis. Pertama, penulis tidak buta dengan PUEBI dan KBBI, minimal dia paham sedikit. Kedua, penulis mampu menampilkan sisi unik dari ide yang sama. Ketiga, penulis siap diajak kerja sama. Si penulis 'Duda itu Suamiku' ini sudah gugur di standar pertama dan kedua, Adipati sangsi penulis ini mau mengikuti standar yang ketiga.
Ponselnya berdering. Pesan dari Firman di grup editor yang tergabung dalam proyek muncul di layar.
Firman: Besok pukul satu kita kumpul sama penulisnya.
Tidak lama balasan dari editor lain bermunculan. Adipati memilih mengabaikan pesan itu. Dia sendiri bahkan tidak yakin akan menangani naskah ini.
•Trivia Adipati•
Saya selalu dapat laporan dari Mbak Nis tentang kata ini. Jadi, kata file dalam bahasa Inggris sudah diserap ke bahasa Indonesia. Karena Mbak Nis menulis naskah bahasa Indonesia, maka dia pakai kata yang sudah masuk ke KBBI. Semoga tidak ada yang bertanya-tanya lagi.
Lalu, terkait sinopsis, sebisa mungkin paparkan premis di paragraf pertama, supaya editor tahu naskah ini tentang apa. Premis itu apa, sih? Premis adalah gagasan ide dari novel yang akan ditulis. Singkatnya, kalau ada yang bertanya 'ceritamu tentang apa?', maka jawabannya adalah si premis ini.
•••
•A/N•
Halo! Salam kenal dan selamat datang! Terima kasih sudah bertemu akun ini melalui cerita JUSTIFIKASI HATI. Kamu bisa panggil aku Nis.
Kaget nggak? Aku aja nggak nyangka bisa lancar nulis ini, padahal lagi ada deadline dua novel, Dedek Xania juga belum tamat. Aku sengaja up sekarang karena aku mau merayakan satu juta pembaca Konjungsi Rasa. Seneng banget aku! Makasih buat dukungannya.
Ini bukan sekuel ya, tapi ini Konjungsi Rasa versi Adipati. Kan kalau di KR Amanda mulu yang cerita, nah di sini giliran Bapak editor kita yang cerita. Kita akan tahu perasaan bapaknya Bima yang sesungguhnya.
Nah, karena Dedek Xania belum tamat dan aku belum selesai editing, jangan berharap aku update cepat ya. Doakan semoga cepat selesai biar aku bisa fast update.
[Start 28 Maret 2023]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro