Turn Back Beauty
Terinspirasi dari film: "Coraline"
****
ADA sebuah konspirasi gelap yang mengatakan bahwa sebetulnya Coraline tak pernah betul-betul lepas dari dunia pararel buatan Beldam. Sejak pertama kalinya gadis itu masuk ke dalam sana, ia tak pernah betul-betul kembali pulang; masih berada di dunia lain yang 'lain' dari ciptaan penyihir itu.
Lantas, bagaimana jika kubilang bahwa ... teori itu benar adanya?
Terlalu banyak kejanggalan pada ceritanya; seorang penyihir tetaplah penyihir. Apa yang bisa menjamin seseorang bisa terlepas dari pengaruh sihir kecuali pikirannya sudah 'tersihir'?
Dan itulah yang dilakukan Beldam. Dengan kekuatannya yang mengerikan, ia menjebak gadis itu sekali lagi. Menyamar sebagai orang tuanya, membuat tetangga yang baik hati, menciptakan akhir cerita bahagia yang palsu. Hanya untuk bermain-main bersama jiwa terakhir sebelum kemudian memakannya.
Dari atap apartemen Pink Palace, Noem memperhatikan semua yang dilakukan wanita terkutuk itu beberapa hari ke belakang. Lantas tersenyum miris memperhatikan bagaimana ia menyamar dan bermain-main dengan gadis yang diincarnya itu. Matanya beralih pada dunia palsu di sekitarnya. Sejauh matanya memandang, ia bahkan menemukan ujung dunia ini.
Ketika para tetangga dan orang-orang kembali ke dalam rumahnya untuk beristirahat, pria itu melayang turun dengan kekuatannya. Ia mengintip dan memperhatikan Beldam. Saat wanita itu balas menoleh sebab merasa diperhatikan, Noem baru menarik kembali kepalanya.
Beldam menghampiri untuk mengecek apa hal yang baru saja ia lihat. Dalam wujud ibu dari Coraline, ia terkejut kala mengetahui Noem 'menjenguknya' di sini.
Noem tersenyum tipis. Ah, entah sudah berapa abad Beldam tak melihatnya. Tetapi karismanya tak pernah luntur. "Apa kabar?" sapanya sedikit berbasa-basi. "Kau tampak bahagia sekali, ya. Apa kau menyukai wujud ini?"
Bukannya membalas dengan ramah, Beldam melayangkan tatapan tajam. Amarah seketika memenuhi dirinya. Kejadian berabad-abad yang lalu seketika mampir di benaknya padahal ia sudah berusaha melupakannya. Hatinya perih.
"Mau apa kau ke sini? Ingin merusak kebahagiaanku lagi?"
Noem mengernyit. "Apa maksudmu?"
Beldam mengeraskan rahang. Tangannya terkepal. "Apakah tidak cukup bagimu membunuh suamiku? Membuat mereka merenggut anakku dan mengambil mataku?" Nada bicaranya sedikit meninggi. "Jangan kau kira aku sudah melupakan kejadian itu."
Hati Noem mencelus. Sudah lama sekali, tetapi Beldam masih ingat peristiwa kejam itu.
Sama sekali tidak ingin membahasnya, Noem mengalihkan pembicaraan. "Aku datang menawarkan hal penting."
Beldam mengeluh dalam hati. Ia sama sekali tak suka dengan pria ini ketika tahu Noem pernah sangat terobsesi dengannya bahkan tega membunuh suaminya. Hal ini yang mendasari kebencian di hatinya.
Wanita berwujud palsu itu menatap tegas. "Tidak perlu. Aku tidak mau—"
"Apa kau tidak ingin melihat tempat peristirahatan anak dan suamimu, Melian?"
Beldam tercekat. Melian ... ia bahkan sudah melupakan identitas aslinya.
"Apa kau tidak ... barangkali ingin melihat foto terakhir mereka?Tidakkah kau rindu? Tidakkah kau menginginkan kehidupanmu yang dulu?"
Perlahan Beldam tertunduk. Matanya mulai terasa memanas. Gelisah, ia mencengkeram kuat ujung blusnya. Pertanyaan itu benar-benar mengusik bagian terdalam dari hatinya. Pikirannya kacau. Perasaan aneh yang sudah ia kubur dalam-dalam sedari dulu kini muncul kembali ke permukaan. Ia benci sensasi ini.
"Tidakkah kau lelah dan kesepian, Melian?"
"Jangan sebut nama itu."
"Kau bisa makan sesuatu yang lebih layak, bukan jiwa anak-anak lagi. Lepaskan dia, dan kembalilah."
Dalam satu sentakkan, wanita itu mendongak. Pandangannya nyalang ke arah Noem hingga pria itu terkejut dibuatnya.
"Buat apa aku kembali jika alasanku untuk kembali saja tidak ada?!" hardik Beldam telak, membuat Noem terdiam. Kali ini ia betul-betul marah. Tampak sekali kalau ia berusaha untuk tidak berubah dalam wujud buruk rupanya dengan mata kancing dan menyerang pria di hadapannya. Ia bisa menyerang pria itu kapan saja karena ini adalah dunianya.
Noem berkedip sebentar dan menatap Beldam lurus. Pandangan iba yang dilayangkannya menambah persentase kebencian Beldam padanya. "Kami menawarkan 'pengembalian'. Akan kami kembalikan kehidupanmu dan matamu."
Beldam terkesiap. Kami?
Seolah mengerti keterkejutan Beldam, Noem mulai menjelaskan. "Semenjak dewi itu tidak ada, segalanya menjadi lebih damai." Baik Beldam dan Noem sama-sama tahu siapa yang dimaksud, tetapi wanita itu tak paham mengapa ia enggan menyebut namanya. "Kami memperbaiki apa yang kacau, dan sadar bahwa saat itu tak seharusnya kami mengikutinya untuk menghukummu."
Beldam tersenyum miring. "Dan setelah mata indahku terenggut, kalian baru menyesal? Di mana otak kalian saat itu? Direnggut olehnya juga?" tanyanya sarkas.
"Sekarang kami berencana untuk mengembalikannya lagi padamu. Kau tahu? Ia masih menyimpan matamu."
Bulu kuduk Beldam berdiri. Itu ... menyeramkan.
"Hanya perlu mematahkan kutukannya. Lalu dengan sedikit sihir, matamu akan kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada."
Dan sekarang Beldam yang terdiam. Sungguh, ini bukanlah pilihan yang mudah, tetapi bukan juga pilihan yang sulit. Ia ragu.
Wanita itu berbalik. Netranya mendapati Coraline yang masih berkebun bersama Wybie. Senyum kecilnya terbit. Ia menyayangi gadis itu, tetapi ingin memakan jiwanya juga di saat yang bersamaan. Sepertinya terjebak dalam kutukan dalam kurun waktu yang tak sebentar ikut membuatnya menjadi monster itu sendiri.
"Aku paham alasanmu sulit memutuskan," kata Noem. "Ia mirip sekali dengan anakmu bukan?"
"Aku memang tidak mengingat wajahnya, tapi aku masih ingat warna matanya. Coklat," balas Beldam sambil menerawang masa lalunya yang bagai kertas lusuh. "Gadis itu, Coraline, sangat cerdik. Baru kali ini aku menemukan target yang sulit sekali kudapatkan. Melihatnya selalu mengingatkanku pada anakku, dan ... aku ingin memakan jiwanya."
Noem menelan salivanya yang entah mengapa terasa sulit ketika mendengar kalimat terakhir Beldam. Pria itu memutuskan untuk mengabaikannya. "Jadi, apa kau sudah memutuskan?"
Pandangan wanita itu beralih dari Coraline pada kedua mata hitam Noem. "Apa kau masih menyimpan perasaan untukku?" Beldam balik bertanya.
"Um ... tidak."
"Baguslah," katanya lega. "Lalu apa yang akan kau lakukan untuk menebus dosamu padaku?"
"Um ...." Sekarang malah Noem yang kesulitan menjawab. Seharusnya ia tahu dari awal, membujuk Melian tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih, ia telah melakukan kesalahan besar dalam pertemanan mereka. "Mungkin ... membantumu memulai hidup yang baru?"
Hening sejenak. Suasana itu justru membuat Noem merasa canggung lantaran pertanyaan terakhirnya hanya tergantung begitu saja di udara, entah Melian dengar atau tidak. Tapi ia bisa memahami wanita itu memerlukan waktu untuk berpikir lebih.
"Kau tau, Noem? Aku sama sekali tidak punya alasan untuk kembali ke kehidupanku yang dulu. Aku suka di sini karena dunia ini milikku; aku bisa menciptakan apa pun. Walau setiap detiknya energiku terus digunakan untuk mempertahankan ilusi ini; untuk membuat permainan. Dan sekarang aku lelah.
Kau tahu, Noem? Semenjak mataku direbut dan makhluk psikopat itu menggantinya dengan kancing, aku tidak pernah bisa sungguhan melihat. Segalanya hanya tampak monoton. Aku bahkan kelaparan, sementara energiku terus digunakan. Tidak mudah mendapatkan anak-anak di sini."
Beldam tersenyum. "Tawaranmu menyenangkan. Tapi bukankah nantinya hidupku akan sama hampanya?"
Noem mulai khawatir. Apa wanita ini akan menolak tawaran darinya dan dewa-dewi yang lain?
"Namun ada yang kupertimbangkan. Di kehidupanku yang baru nanti, aku bisa 'berkembang' bukan? Tidak hanya terjebak di dimensi terbatas ini."
"Jadi, kau menyetujuinya?" Noem bertanya sekali lagi.
Tetapi alih-alih menjawab, Beldam malah balik bertanya. "Apa kau masih ingat warna mataku?"
Noem sempat kebingungan dengan jalan pikir Melian. Tetapi kemudian ia mengangguk saja. "Warnanya berbeda. Coklat hazel dan hijau emerald, tetapi jika terkena sinar maka akan berubah jadi kuning keemasan dan biru safir. Indah sekali."
Beldam balas dengan diam, tetapi ada senyum tipis di bibirnya. Wanita itu masih berpikir sambil menatap Coraline dari jauh. Setelah beberapa lama, ia akhirnya memutuskan.
"Penawaranmu masih berlaku bukan? Aku menyetujuinya," katanya sambil tersenyum teduh. "Tapi aku akan mengembalikan gadis itu pada orang tua yang sebenarnya terlebih dulu. Mereka beruntung sekali."
Setelah mengalami rasa was-was, akhirnya Noem bisa tersenyum lega. Sebetulnya apa yang terjadi pada wanita itu adalah sepenuhnya tanggung jawab mereka para dewa-dewi, terlebih Melian hanyalah manusia biasa yang kebetulan memiliki berkat kecantikan yang tak biasa. Dan akhirnya hari ini, ia bisa membebaskan Melian dari kutukannya.
— Tamat —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro