Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Gone Girl

Terinspirasi dari film : "Gone Girl (2014)."

****

Setiap aku menatap cermin, mengamati pantulan gadis berkuncir dua atau wanita bersurai pirang panjang dengan mata cemerlangnya, aku selalu membayangkan meremas mukanya yang selalu tenang. Mencari jawaban dalam debaran ketakutannya.

“Apa kamu sudah bahagia sekarang?”

****

Selalu mudah untuk percaya bahwa setiap orang memiliki kadar kebusukan dan kebaikan masing-masing. Namun, makanan yang sedap adalah makanan yang punya tampilan menarik. Tidak ada siapa pun yang tergoda pada hidangan berbau bangkai atau sayap kupu-kupu goreng.

Dalam hubungan antar manusia pun sama. Jika kamu bersikap lembut, seorang teman perempuan akan mendudukan kotak bekal di meja makan siangmu. Jika kamu sedikit perhatian mendengar cerita cowok yang terkenal bengal di kelasmu, besoknya dia akan membagimu mainannya. Jika kamu bersikap sopan pada seseorang yang lebih tua, mereka akan memujimu baik dan diam-diam memberimu uang saku. Jika seseorang mengejek baju yang kamu pakai, menyingkirlah dari mereka. Atau, buat mereka tersingkir.

Selalu baik bersikap secara tepat, karena jika kamu memperlihatkan sedikit kelemahan, tinggal menghitung waktu untukmu dibuang. Seperti hidangan berbau bangkai.

“Amy.”

Rambutku dibelai halus oleh seseorang, dia memberiku senyuman cerah dalam wajahnya yang kuyu dan kantung mata berlipat-lipat.

“Apa yang sedang kamu gambar?” tanya Mama.

Kusapu debu-debu penghapus di buku gambarku. Memiringkan bukunya agar Mama dapat melihat gambar tiga manusia kerdil berdiri di depan rumah kayu dua tingkat dengan taman bunga mekar di halaman rumah.

“Mama, aku, dan papa.” Kutunjuk manusia-manusia kerdil dalam urutannya. “Ini rumah kita. Bertingkat dan punya halaman luas, seperti yang Mama selalu inginkan.”

Mama tercengang. Kemudian, mengatupkan bibir tipisnya saat aku terus mengamati. Dengan halus, jarinya menyingkirkan poni dan mengelus dahiku.

“Itu rumah yang sangat bagus,” katanya, sambil menyedot cairan dari hidung yang mau keluar. Matanya berkaca-kaca. “Sekarang kamu mau membantu Mama menulis cerita lagi?”

Walau tidak pernah dibicarakan, aku selalu tahu ini. Ketika teman-temanku hidup di rumah bertingkat dua dengan ruang lebih dari lima kamar, keluargaku hidup di apartemen dua kamar. Satunya toilet dan satunya gabungan ruang tengah, tempat tidur, makan, dan dapur. Aku tahu keluargaku miskin.

Papa bekerja sebagai penjual obat herbal sejak lepas dari profesi menulisnya. Mama, hanya ibu rumah tangga dan penulis yang dulunya laku. Kehidupan kami sangat sederhana di apartemen yang punya banyak bercak kuning di dinding dan tikus yang selalu berlarian malam-malam di langit-langit.

Di antara semuanya itu, Mama masih menyempatkan waktu menulis. Beliau bilang, menulis adalah caranya melihat dunia. Dia bisa menjadi siapa saja, menyelamatkan siapa saja, dicintai siapa saja, dan hidup menjadi siapa pun. Kemudian, dia melihat mataku, dan wajahnya berubah sendu seperti hari ini. Ia meminta maaf tidak mampu membahagiakanku yang nyata dan hidup di dunia, dan berterima kasih kalau dalam keadaan terpuruk pun aku menjadi anak baik.

“Kamu membantu anak lain dengan menceritakan kisahmu,” kata Mama, selepas aku selesai bercerita semua yang terjadi di sekolah.

Tepat sebulan lalu, Mama mengungkapkan keinginannya menulis cerita anak-anak dan ingin aku membantunya. Aku menyetujuinya karena senang dijadikan tokoh utama. Selanjutnya, tiap pulang sekolah, Mama menungguku dengan pena berbulu, buku, dan kupingnya. Mendengarku bercerita sambil menggambar atau menggigit roti sandwich. Itu adalah waktu-waktu menyenangkan.

Saat itu, aku tidak pernah menduga, kisah sehari-hari anak delapan tahun yang membosankan lalu diterbitkan, dan begitu disukai warga New York.

Dua tahun kemudian, buku “Amazing Amy” dimuat dalam halaman pertama koran The New York Times.

****

“Aku berhenti memainkan cello, karena aku tidak pandai memainkan cello. Kenapa aku harus mengaku kalau aku menyukainya di depan wartawan saat aku tidak suka?”

Ini sudah menjadi kali ketiga dalam hari ini aku mengomentari ‘suntikan’ tidak wajar dalam buku-buku Mama. Setelah buku pertama Mama, “Amazing Amy and Her Little World”, sukses besar dan dicetak jutaan ribu eksemplar. Kualitas hidup keluarga kami naik tingkat. Kami pindah dari Staten Island ke Manhattan, tinggal di kondominium di pusat kota, memiliki mobil sedan seharga ratusan ribu dolar, dan bisa makan steak kapan pun kami mau.

Papa keluar dari pekerjaannya yang bergaji rendah dan menjadi manajer Mama. Itu keputusan yang tepat meninjau jadwal kerja Mama cukup padat sebagai penulis cerita anak-anak tenar. Sebagai inspirasi dari buku, aku pun kena imbasnya. Aku harus beberapa kali menyempatkan diri di sela sekolah untuk wawancara talkshow, surat kabar, dan mengikuti acara-acara dari orang-orang penting.

Selain uangnya, kehidupanku yang berubah drastis berjalan tidak semenyenangkan yang kuharapkan. Tokoh fiksi yang harusnya meniruku, dipoles dan diperbaiki sana-sini oleh ketikan tombol-tombol mesin tik, juga fantasi Mama. Aku menjadi otak sapi lembek di atas piring porselen. Sosok cacat, biasa, dan tidak sesempurna ciplakan bernama Amazing Amy.

Mama meremas kedua lenganku, mengulang kalimat yang selalu ia katakan dalam setiap situasi rumit, dan kuhapal di luar kepala.

“Jika itu layak dilakukan, maka itu layak dilakukan,” katanya. “Kamu The Amazing Amy. Semua orang tahu Amazing Amy suka memainkan cello, seperti dia suka menggambar atau menulis diary.”

“Dia yang suka, bukan aku. Aku, Amy Elliot. Amy yang tidak suka cello atau ballet, dan benci anak anjing.”

“Semua anak suka anak anjing. Mereka lucu.”

“Bulu anjing selalu rontok dan air liur mereka menjijikkan.”

Mama mengambil tanganku, kurasakan telapak tangannya yang kasar dalam genggamannya. Ia membujuk, “Ayolah, Amy. Wartawan sudah menunggumu di luar. Kamu harus menyapa mereka.” Dia membelai rambutku. “Amy kan, anak baik. Anak baik tidak mengecewakan.”

Aku mendesah keras-keras. Tahu, merengek sebanyak apa pun tidak berguna. Selalu begini akhirnya.
Mama menggambar lengkungan senyum di depan mulutnya dengan jari. Aku menatap bayangannya dalam cermin, lalu memaksa bibirku mengikutinya.

Seorang wanita melongokkan kepala dari pintu, mengabari ini sudah waktuku naik panggung.
Sekali lagi, kulihat wajah Mama dalam cermin meja rias. Wajahnya jauh lebih cerah, tanpa kantung mata berlipat-lipat, matanya kental dengan sorot bangga pada pencapaian diri dan keluarganya, ia memiliki anak gadis sempurna yang disukai publik, dan punya kehidupan lebih baik.

Jika itu layak untuk dilakukan, maka itu layak untuk dilakukan.

Menjadi Amazing Amy yang hebat dalam segalanya, itu adalah hal layak dilakukan. Setidaknya, untuk saat ini.

****

Pada tahun kedua SMA, sekelompok orang menobatkanku sebagai ketua dewan sekolah. Selalu ada orang yang serba bisa, pintar, dan berkepribadian baik yang senang direpotkan untuk mengerjakan tugas-tugas sulit. Dan sepertinya, mereka menganggapku orang yang memenuhi kualifikasi itu.

Mereka tidak salah. Image yang ditangkap publik dari tokoh Amazing Amy, yaitu aku, adalah anak emas yang serba bisa. Aku mengeluhkannya pada orang tuaku, tentang beban yang kudapat setelah berperan menjadi Amazing Amy, mereka menjawab, “Beban ada agar manusia bisa terus bertumbuh.”

Setelahnya, aku tidak pernah mengeluh lagi.

Rumah tidak lagi menjadi zona aman bagiku, membuatku mencari kebaikan lain di luar. Aku menemukannya dalam bentuk pria ceking berkacamata dengan rambut perak dan seragam yang selalu lebih rapi dari semua orang. Dia, Desy Collings. Kami bertemu saat aku mengunjungi klub catur ketika meninjau klub-klub yang akan ditutup.

Dia adalah siswa terkaya dan punya isi otak paling rumit dan kaku yang pernah kutemui. Dia selalu suka membicarakan Hukum Proust, teori Atom Modern, ahli kimia lain, dan teori-teori filsafat.

Yang membuatku terkesan bukanlah semua itu, tapi ini.

“Amy Eliott?” sapanya, di lorong depan pintu klub catur. Lalu menarik bibir tipisnya yang tidak akan pernah lebih tipis lagi saatnya tersenyum. “Kamu perwakilan lomba essay Filsafat tingkat Nasional tahun lalu, kan?”

Dia mengenaliku bukan sebagai siapa yang selama ini orang-orang kenang. Bukan sebagai Amazing Amy. Pertemuan singkat itu memberi kehangatan dalam dadaku untuk mendekatinya.

Cara mudah menaklukan pria angkuh sepertinya adalah dengan bumbu kepintaran yang setara, kepercayaan diri tinggi, dan pendengar yang baik.

“Aku belum pernah ketemu wanita yang tahu biografi Dalton, dan tahu dia mendonorkan matanya diteliti. Wanita-wanita lain cuma tahu bersolek tanpa peduli isi otaknya. Kamu berbeda,” tuturnya, sebelum mengajakku berkencan dan kami resmi pacaran.

Desy Collings yang kaya, angkuh, dan amat sangat perhatian, adalah bunga yang tepat untuk mempercantik hidangan otak sapi. Bersamanya, aku yakin akan menemukan kebahagiaanku.  Tapi ternyata, aku salah.

“Apa yang salah dari pacar menanyakan keberadaan ceweknya? Wanita-wanita lain senang diperhatikan, kenapa kamu tidak?”

Kupegang dahiku, lalu meringis. Pasti memar. Dahiku menumbuk dashboard mobil saat Desy menepikan mobilnya ke trotoar jalan secara mendadak dan menabrak trotoar jalan. Kulihat asap melayang keluar dari kap mobil, moncongnya penyok, dan lampu sen kupastikan pecah.

“Kamu melakukannya di setiap tempat pemberhentianku,” ucapku, berusaha tenang.

“Karena aku perlu tahu kamu di mana!” bentaknya. “Kamu mulai bersikap seperti wanita-wanita lain. Berbicara seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan apakah kamu tidak punya terusan lebih panjang dari itu? Apa kamu senang memperlihatkan pahamu ke cowok-cowok lain?”

“Tidak seperti itu, Desy. Aku-”

“Kamu sudah berbeda,” potongnya, terdengar seperti sebuah penilaian buruk. “Selama ini kamu selalu menurutiku. Apa setelah ini kamu akan selingkuh, seperti wanita-wanita itu juga?”

Aku menjadi kekasih bengal yang tidak tahu diuntung. Orang mengerikan yang menyia-nyiakan cinta kekasihnya.

“Maafkan aku,” mohonku. “Aku salah.”

Seketika, mukanya yang merah padam penuh amarah, teredam. Dia menarikku dalam pelukan. Mengelus punggungku sayang, seperti sepenuhnya orang yang berbeda. Dia mengecup dahiku. “Tidak apa-apa. Asal kamu tidak mengulanginya.”

Setiap usapannya kala itu membuat bulu kudukku merinding. Hari itu aku tahu, pacarku yang perhatian berubah menjadi monster pengekang. Ia menginginkanku menjadi wanita penurut. Wanita yang hidup hanya untuk mendukungnya. Menjadi salah satu miliknya yang sempurna, bukti hidup akan selera tingginya. Ia mengharapkan aku mencintainya secara absolut.  Hal yang tidak bisa kulakukan.

Desy Collings berubah menjadi seseorang yang tidak kuinginkan. Dia menjadi jamuan yang tidak menarik.

Apa yang harus dilakukan dengan hidangan yang tak layak makan?

Meminjam kalimat Mama, ‘jika itu layak dilakukan, maka itu layak dilakukan’. Dia harus dibuang.

Jadi, ini yang kulakukan. Aku menulis diary putus asa sepanjang tiga ratus enam puluh  hari kami bersama, mendekati teman bodoh yang simpatik dan menceritakan perilaku dan obsesi mengerikannya Desy. Menambahkan bumbu kekerasan dan pelecehan seksual. Semua orang benci kekerasan dalam pacaran. Bersikap uring-uringan di rumah, memancing simpatik orang tua, membuat memar-memar dari benda tumpul di tangan dan kaki, dan selalu memakai pakaian tertutup untuk menyembunyikannya. Terakhir, letakkan diary putus asa di tempat yang bisa orang tua jangkau.

Viola.

Desy Collings yang malang dilaporkan atas tuduhan kekerasan kencan dan pelecehan seksual. Dia kehilangan status sosialnya yang tinggi, martabatnya, dan kehilangan benda yang paling dia sukai. Aku.

Seminggu berlalu, kudengar dia mengancam bunuh diri agar bisa menemuiku, tapi polisi memberlakukan jarak seratus meter untuk pelaku pelecehan seksual. Dan setelahnya, aku tidak mendengar kabar tentangnya lagi.   

****

“Apa kamu sudah bahagia sekarang?”

Kutatap wanita rambut pirang sepinggang, matanya cemerlang, kulitnya putih pucat dan tidak berseri. Dia menyisiri rambutnya dengan halus seolah sedang memetik harpa. Di dalam matanya, terpantul sosok gadis berkuncir dua yang terdiam sedih.

“Honey, pertandingannya sudah mau mulai, cepatlah kemari! Pizzanya sudah hampir dingin!” teriak Nick dari sebelah ruangan.

“Iya!” jawabku.

Kuletakkan sisir pada tempatnya dan memandang pantulanku kembali. Gadis berkuncir kuda itu telah pergi, meninggalkan sosok gadis berkulit pucat itu. Wanita ini adalah wanita manis yang ramah dan tenang. Dia humoris dan pintar. Dia bekerja sebagai penulis majalah wanita ternama. Dia memiliki suami yang menyayanginya. Kehidupannya sempurna.

Kepada dirinya, aku berkata, “Aku bahagia.”

Setidaknya, untuk saat ini.

---Tamat---




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro