Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Di Balik Jeruji Besi

Terinspirasi dari film: "Frozen."

***

Siang itu, tidak peduli betapa terik atau terangnya dunia luar, ruangan yang ditempatinya hanya berisi kegelapan. Cahaya hanya menghampiri melalui celah jeruji yang dingin, dari lorong sunyi yang lampunya berkedip sesekali. Meski begitu, ia tahu, ada satu-dua penjaga yang berdiri di dekat tangga untuk menjaganya.

Ia bersandar, dengan pakaian abu-abu muram, compang-camping, dipenuhi debu dan bau keringatnya sendiri, tapi itu tak seberapa dibanding bau pesing bekas kencing seseorang yang dulu pernah tinggal di sini.

Kini, bulan demi bulan telah terlewati dan ia ia nyaris tak bisa dikenali. Kulitnya yang pucat kemerahan kini tampak kusam, rambut cokelat lurusnya yang selalu ia sisir rapi sudah kusut dan berantakan, serta setengan wajahnya telah dipenuhi kumis dan janggut—yang membuatnya tampak seperti pria tua.

Meski matanya menutup, ia dapat mendengar suara langkah mendekat. Seorang wanita dari bunyi sepatunya, lalu, suara itu terhenti di depan sel tahanannya.

“Hans,” panggil wanita itu. Suaranya terdengar penuh wibawa.

Ia membuka mata, tapi tidak bicara.

“Anna hari ini akan menikah.”

“Lalu apa urusannya denganku?”

Wanita itu, Ratu Arendelle, menghela. “Kau benar-benar belum berubah. Seharusnya kau bersyukur aku tempatkan di sini daripada menerima hukuman mati.”

Wajah Hans mengernyit tak senang. “Kenapa tidak bunuh saja aku di sini? Bukankah kau bisa melakukannya?”

Mendadak udara menjadi dingin ketika Ratu Arendella mengangkat tangan, dan es muncul membentuk es-es runcing yang mirip dengan stalagmit, yang ujungnya nyaris menancap pada pangkal leher Hans.

“Aku membiarkanmu hidup karena aku kasihan padamu, Hans. Seharusnya kau menginstropeksi diri.”

Hans tidak lagi bicara, dan Elsa, sang ratu Arendelle berbalik, melangkah menjauh menuju pintu keluar hingga langkah kakinya benar-benar menghilang.

Hans merosot, lalu ia pukul es itu hingga ujungnya hancur, berteriak beberapa lama, sampai suaranya memenuhi seluruh lorong dan menggema.

--

Hans, yang nyaris tak lagi memiliki ekspresi di wajahnya—kecuali kemarahan yang meledak-ledak dan sering kali muncul mendadak—memilih tidur meringkuk di atas kasurnya; anyaman jerami yang kasar dan penuh debu. Perasaan ini membuatnya lelah, jadi dengan segera ia terlelap.

Hans tidak yakin berapa lama ia tertidur, namun kasurnya tak lagi terasa kasar, dan udara tak pula dingin. Ketika membuka mata, yang ia lihat adalah tirai merah yang menutupi jendela kamarnya yang besar dan tinggi, dengan tubuh yang diselimuti kain beludru, ranjang yang empuk, dan sesuatu yang meringkuk di bawah kakinya. Hans menyibak selimut, dan menemukan anjing hitamnya, Sitron, yang terbangun dengan terkejut, lalu tiba-tiba melompat ke arahnya dan menjilati wajahnya dengan semangat.

Hans terkikik geli, sebelum menghalau jilatan Sitron dengan tangan, lalu turun untuk menyibak tirai jendela. Sudah pagi. Dan halaman kerajaan Pulau Selatan dipenuhi salju.

“Hey, Sitron, apa yang akan kita lakukan hari ini? Hmm,” gumam Hans dengan tampang berpikir dan jemari tangan mengapit dagu, “Bagaimana kalau main lempar kayu?”

Sitron menggonggong sambil menggoyang-goyangkan ekornya semangat, tapi Hans buru-buru menekan bibirnya sendiri dengan telunjuk. “Shhhht! Jangan berisik, atau kita akan ketahuan,” bisiknya pada anjingnya.

Sitron terus menggoyangkan ekor, tapi tak lagi menggonggong. Lalu, sambil mengendap-ngendap Hans mencoba membawa Sitron keluar kamar; melongok dari pintu kamarnya yang ia buka sedikit, lalu melangkah dengan Sitron yang ia sembunyikan dalam jubah musim dinginnnya.

Barulah, setelah beberapa ratus meter setelah mereka keluar dari gerbang, Hans berani mengeluarkan Sitron. Namun, yang tidak mereka tahu, ada seseorang yang mengikutinya. Mereka berjalan menuju kota, namun Hans tak berhenti di sana. Ia terus, terus berjalan melalui jalan setapak menuju hutan, dan setelah beberapa lama mereka berhenti di tepinya.

Di sana, Hans dan Sitron bermain lempar batang kayu, hingga akhirnya seseorang muncul dari balik pohon dan berseru, “Hans!”

Hans berhenti dengan kayu di tangan, terkejut dan membeku. Ia kenal suara ini. Seseorang yang kini berdiri di belakangnya adalah Jim; pangeran ke sebelas. Salah satu kakaknya dari dua belas bersaudara.

“Aku tahu ada yang salah. Beberapa kali aku menemukan kotoran anjing meski jelas-jelas tidak ada anjing di keranjaan. Dan yang paling menyebalkan, anjingmu pup di depan kamarku!”

Hans pucat pasi. “Jim, kumohon, tolong jangan adukan ini pada Ayah, ya?” seru Hans seraya berlari ke arah Jim dengan kedua telapak tangan menyatu.

Jim berlakon seolah-olah berpikir. “Kau tahu kan aku tidak membenci anjing, tapi siapa pun akan benci kotorannya. Itu benar-benar bau dan aku bahkan pernah sekali menginjaknya. Jadi, aku akan mempertimbangkannya jika kau mau lebih berhati-hati.”

Hans mengangguk dengan lega dan penuh semangat.

“Lalu, eum, sebenarnya aku butuh bantuanmu.”

Hans, yang saat itu berusia sepuluh tahun masih tak mengerti bahwa Jim, Pangeran Pulau Selatan ke Sebelas, tengah memanfaatkannya. Awalnya ia meminta Hans melakukan hal-hal mudah. Sekali, dua kali, dan terus belanjut. Namun, semakin lama pemintaan Jim terasa semakin sulit dan tidak masuk akal. Dan di saat itu Jim mulai mengancam Hans.

“Kau seharusnya membantuku! Aku sudah membantumu menyembunyikan keberadaan anjingmu!”

Di saat itu, kepala Hans dipenuhi dengan ketakutan. Ia tidak mau kehilangan Sitron, teman satu-satunya yang ia punya. Bayangan-bayangan dia yang kesepian mulai menghantuinya; ia yang bermain sendirian, dan tak banyak orang yang bisa diajak bicara, terutama orang tuanya. Seluruh kakak laki-lakinya pun tampak sibuk, atau mungkin sesungguhnya mereka tidak peduli. Hans pun tak yakin apa mereka masih mengingat namanya.

Namun suatu hari, dengan mata kepala sendiri, Hans melihat tubuh sitron yang kaku di musim semi. Seseorang memberinya racun, tapi tidak ada satu orang pun yang peduli. Termasuk Jim. Di saat itulah Hans sadar bahwa Jim memanfaatkannya. Ia terlalu polos dan bodoh.

Sejak saat itu, Hans tak mau membuka hati. Pengalaman mengajarkan hal yang begitu pahit tentang cinta; cinta membuatmu menjadi rapuh. Pengakuan hanya bisa didapatkan melalui kekayaan dan kekuasaan. Ia ingin orang-orang melihat dirinya. Ia ingin orang-orang yang pernah merendahkannya merundukkan kepala dengan sukarela.

Tapi, Anna dan Elsa menunjukkan hal yang berbeda. Cinta membuat keajaiban. Namun, Hans masih bertanya-tanya, lalu kenapa Sitron bisa mati begitu mudah? Kenapa dunia begitu tak adil? Karena dunia tak adil, maka tak masalah jika ia tak adil bukan? Tapi kenapa sekarang ia dipenjara?

Hans membuka mata, terduduk dengan pandangan kosong dan perasaan hampa. Lalu, ketika ia mengangkat kepala, dilihatnya sang Ayah berdiri di depannya, dengan tubuh gagah—meski kulit mulai dimakan usia dan rambut sebagian telah memutih—dan jubah kebesarannya, tepat di balik jeruji besi dan menatap langsung ke arahnya.

Untuk apa pria tua itu di sini?

“Bagaimana kabarmu?”

“Bagaimana menurutmu, Ayah?”

“Sangat buruk.”

Hans tersenyum kecut. “Aku pikir kau tidak ingat aku.”

Wajah Raja Kepulauan Selatan menjadi pedih. “Maafkan aku.”

Hans tidak menjawab. Ia merasa semua sudah terlambat. Namun, salah satu penjaga yang sejak tadi diam di belakang sang Raja segera membuka pintu jeruji. Hans mengerut kening. Benar-benar tak mengerti.

“Ayo, pulang.”

Hans menangis. Di saat itu pun ia masih berpikir, apakah ia benar-benar memiliki tempat yang disebut ‘rumah’?

---Tamat---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro