Bapak Il Kwon
Terinspirasi dari drama: "18 Again."
***
Lima tahun berlalu. Banyak hal berubah sejak aku keluar dari penjara sialan ini. Termasuk pada wajahku yang makin tua dan penuh berewok. Ah, menjijikkan. Wajah tampanku jadi tidak bersinar lagi. Sesampainya di rumah, aku berjanji, hal pertama yang akan kulakukan adalah membabat habis jenggotku.
"Ah, sepertinya tidak ada yang menyambutku keluar penjara," monologku sesampainya di halte bus.
Bagaimana kabar Jung Dajung sekarang, ya? Haish, penyihir wanita itu, berani-beraninya dia menjebakku seperti ini. Aku harap semua netizen masih membencinya sebagai pembawa acara yang sudah tua dan tidak pantas muncul di televisi. Haha.
Ah, hampir lupa. Satu orang lagi yang harus kuhadiahkan bogem dahsyat nanti. Go Deokjin. Pria babi berkacamata itu, aku tidak akan membiarkanmu lagi kali ini. Selama ini aku sudah terlalu baik membiarkanmu hidup tenang, bukan?
Bus pun datang menghalau pikiranku. Dengan segera kuayunkan langkahku memasuki bus, dan mengambil duduk di kursi paling belakang.
"Sudah kubilang aku bisa berangkat sendiri, Dayoung-ah. Aku sudah di bus sekarang."
Suara itu ..., suara penumpang yang tepat berada di depanku sekarang ini, sepertinya tidak asing. Dan tunggu, tadi dia menyebut Dayoung?
"Kau urus saja seharian semua jadwal dengan partnermu yang cantik itu. Kau kan harus bekerja maksimal, Tuan Manager."
Wanita tersebut nampak mematikan telponnya secara sepihak, setelah mengucapkan kata 'Tuan Manager' dengan nada yang ditekankan dan terkesan kesal. Tidak salah lagi. Wanita paruh baya yang masih setia dengan rambut panjangnya itu ...,
"Jung Dajung?"
Seketika kepala wanita itu menoleh ke belakang setelah mendengar gumamanku. Wah, benar itu Jung Dajung! Kenapa tadi aku tidak menyadarinya?
Wajah awet cantik Jung Dajung awalnya kebingungan melihatku. Wajar saja dia tidak mengenalku. Cukuranku kini plontos dengan sedikit rambut, juga wajah yang setengah tertutup berewok. Namun selang beberapa detik, sepertinya wanita itu mulai menyadari siapa aku. Yah, wajah tampanku yang sudah bersinar dari dalamnya tak akan sulit dikenali.
"Choi Il Kwon?"
Aku menyeringai sembari melambaikan tangan padanya. "Apa kabar, Dajung-ssi? Apa kau hidup bahagia?"
Wanita itu segera menetralkan wajah terkejutnya, dan kembali menghadap depan. "Aku baik-baik saja."
"Wah, sepertinya kau benar baik-baik saja sekarang. Masih menjadi pembawa acara?" tanyaku sembari mendekatkan tubuhku pada punggung kursi yang diduduki Dajung.
"Aku masih. Oiya, bagaimana dengan kabarmu, Il Kwon-ssi? Kuharap kau menjadi lebih baik lagi setelah keluar dari penjara," ucapnya sembari menolehkan wajahnya ke samping kanan.
Wah, wah, wanita ini tetap sama menyebalkannya dari lima tahun lalu. Tapi dia masih menjadi pembawa acara? Ah, meski begitu paling dia menjadi buangan di kantornya. Sejak dulu kan dia memang diperlakukan begitu.
"Tentu saja aku akan menjadi lebih baik lagi. Bahkan kurasa ingin menyapa Go Deokjin hari ini ...," dengan pukulaku seratus kali.
"Ah, halteku sudah sampai. Aku turun dulu, Il Kwon-ssi." Dajung segera berdiri, dan melangkah keluar bus dengan sebelumnya tersenyum kecil padaku.
Cih, bisa-bisanya wanita tua itu masih mempunyai sikap anggun. Dan ..., dia masih cantik. Cinta pertamaku masih secantik itu. Sialan!
***
Ah, segarnya sudah mandi. Kulihat bayanganku di cermin. Barusan berewok yang menutupi ketampanan wajahku sudah kumusnahkan. Meski ada beberapa keriput yang muncul di wajahku, badan kekarku ini setidaknya tidak memudar. Ya, Choi Il Kwon, kenapa kau tampan sekali? Bahkan di usia 40an kau masih macho. Haha.
"Kau sudah keluar rupanya."
Mendengar itu, segera kutolehkan wajahku pada si sumber suara. Oh, ternyata ayahku. Dia sudah memakai tongkat sekarang? Dan dengan jas rapih yang ia pakai itu, dia masih menjadi direktur? Wah, pria tua ini pekerja keras sekali rupanya.
"Eoh, bagaimana kabar Ayah?" tanyaku ramah.
"Beraninya kau masih memanggilku ayah setelah berulang kali membuatku kecewa."
Eh? Apa katanya barusan? Seketika wajah ramahku luntur. Berubah menjadi kebingungan yang ada.
"Pertama, setelah semua uang kukerahkan demi kecintaanmu pada basket. Alih-alih menjadi atlet besar yang dibanggakan negara, kau hanya menjadi guru olahraga di sekolah rendahan," ujar ayah. Matanya jelas menatapku penuh kekecewaan.
"Kau ..., masih mau mengungkit itu?"
Pertanyaanku tidak digubris. Dia melanjutkan kembali perkataannya. "Lalu, kau dilaporkan sebagai guru yang korup, yang memeras uang para orangtua murid. Bahkan dilaporkan melakukan tindak kekerasan pada salah satu orang tua muridmu (Go Deokjin). Sudah ada cap mantan narapidana di dahimu. Kau mau mempermalukan reputasiku lagi? Beraninya kau memangilku ayah!"
Oh. Aku tidak menyangka ayahku akan memandangku seperti itu. Jadi ini dia jawaban kenapa ayah tidak pernah menjengukku di penjara. Dia ... sudah tidak mengakuiku?
Aku tersenyum tipis. Menarik napas dalam sebelum akhirnya berujar, "Ah, baiklah. Tuan Choi, aku sangat berterimakasih padamu sudah membesarkanku hingga seperti ini. Aku sangat berterimakasih kau sudah rela menyogok banyak guru demi kesuksesanku. Hingga akhirnya aku belajar darimu, bahwa uang ternyata bisa menyejahterakan hidupku. Dan berakhir membuatku berpikiran untuk melakukan apa yang Tuan ajarkan. Terimakasih sekali lagi. Apa kau mau aku membayar semua uang yang telah kau keluarkan untukku? Kau suka uang, Tuan Choi. Sama sepertiku." Kalimat panjangku itu kuakhiri dengan senyum miring. Entahlah, semua kata-kata itu mengalir begitu saja mewakili amarah yang sedang kutahan.
"Tidak perlu. Cukup pergi saja dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi," ucapnya dingin, tanpa menolehku.
Entah kenapa, seperti ada asap tebal di dadaku sehingga rasanya sulit bernapas. "Baiklah, aku pergi."
Ya, lagipun aku juga tidak sudi tinggal bersama pria bangka sialan itu!
***
Bangsat! Aku harus kemana ini? Belum ada sehari aku keluar penjara, tentu saja aku belum punya pekerjaan dan uang untuk menyewa rumah. Ah, iya, bar-ku, kira-kira apa bar-ku masih beroperasi? Kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempatku sekarang ini. Lebih baik aku berhemat dan berjalan kaki saja menuju kesana.
Di bawah langit yang mulai menjingga, dan lampu jalanan yang satu persatu menyala, aku terus berjalan dengan perutku yang keroncongan. Haish, Choi Hyungsik bangsat! Setidaknya berikan aku makanan dulu sebelum mengusirku begini.
Setelah berjalan 20 menit lamanya, akhirnya aku sampai di lokasi. Aku celingukan dengan bingung. Ini tidak salah kok. Aku hapal betul letak bar-ku ada dimana. Kenapa tidak ada di sini? Apa kakakku tidak mengurusi bar-ku yang berharga ini selama aku dipenjara? Hoi, ini satu-satunya harapanku mendapatkan uang dan menyambung hidup! Bagaimana bisa menghilang begitu saja?!
"Arrrghhh!!!" Aku tidak peduli orang-orang sekitar menatapku aneh karena tiba-tiba berteriak kencang. Pada salah satu orang tersebut, aku mendekat padanya. "Hei, apa kau tahu dimana lokasi terbaru bar yang pernah ada di sini?" tanyaku grusa grusu.
Namun dengan ekspresi takut-takut, orang yang kutanyai itu menggeleng. Membuatku frustasi. "Bar 'Happy Night', itu bar yang terkenal, kau benar-benar tidak tahu dimana lokasi bar itu sekarang?" tanyaku masih memaksa. Namun sepertinya hal itu makin membuat orang tersebut ketakutan padaku, dan akhirnya melenggang kabur tanpa menjawab pertanyaanku.
Kuusap wajahku dengan kasar. Tanganku terkepal, sementara kaki kananku kuhentakkan sekali ke tanah. "Sial, sial, sial, benar-benar sial!"
***
Sudah sebulan berlalu sejak aku keluar dari penjara, dan memulai statusku sebagai gelandangan. Aih, menjijikkan sekali aku menyebut diriku sendiri sebagai gelandangan, haha. Tapi itu memang nyata sih. Banyak hal terjadi selama satu bulan ini.
Setelah semua kesulitan yang kualami selama menjadi gelandangan sekaligus kerja sebagai pekerja bangunan, akhirnya aku bisa menyewa rumah juga. Dan statusku sebagai gelandangan akan berakhir hari ini. Ah, senangnya. Untuk merayakannya, malam hari begini, aku sedang berada di minimarket dan menikmati ramyeon hangatku. Setelah seharian membanting tubuhku sendiri, ramyeon adalah obat yang terbaik.
"Hei, kau tidak mau membayarkan belanjaan ini untuk kami? Bukankah kita teman?"
"T-tapi, belanjaanmu terlalu banyak, Hyungdo. Aku tidak bisa membayar uang sebanyak itu. M-mungkin, kalau setengahnya saja masih bisa—"
BRAKK!
"Uhuk, uhuk, uhuk!" Bangsat, siapa yang berani membuatku tersedak begini?! Segera kuraih minumanku dan menenggaknya habis, hingga tenggorokanku terasa membaik sekarang.
Kuedarkan pandanganku pada keributan tadi. Rupanya dari tempat kasir. Terlihat disana ada lima anak sekolahan yang sepertinya sedang menggertak kasir yang terlihat masih pelajar tersebut.
"Kau bercanda? Bayarkan semuanya, atau kau mau kupukuli habis-habisan di sekolah besok?"
Aku tertawa kecil melihat interaksi mereka dari jauh. Di jaman sekarang rupanya masih ada perundungan, ya? Itu mengingatkanku pada diriku sendiri yang dulu. Saat aku gencar-gencarnya memukuli, dan menganggu Go Deokjin setiap hari di sekolah. Entah kenapa kalau dilihat-lihat, aku membenci bocah penganggu yang sedang merundung temannya di hadapanku ini. Aku benci karena mengingatkanku pada diriku yang dulu. Diriku yang dulu berhasil membuat hidupku yang sekarang berantakan. Aku benci diriku yang dulu.
"Kau tetap tidak mau membayarnya untukku, Sialan? Jadi kau memilih mati dipukuliku, ya?"
"Pfft ..., BWAHAHAHAAA."
Tawaku seketika menggelegar mendengar perkataan bocah sok-sok'an itu. Dan itu berhasil membuat seluruh atensi bocah-bocah yang lain menuju padaku. Mereka semua menatapku kebingungan.
"Apa katamu? Kau akan memukulinya sampai mati? Kenapa bocah jaman sekarang begitu jenaka," ujarku yang tidak bisa berhenti tertawa.
"Hei, bocah, coba sini bilang lagi perkataanmu barusan. Kurasa perkataanmu menghiburku," lanjutku yang masih menggodanya. Nampaknya bocah nakal itu mengeraskan rahangnya. Menatapku penuh amarah. Apa dia kesal karena sudah kupermalukan di depan antek-anteknya?
"Hei, tua bangka. Mendekatlah kalau bicara! Aku takut kau tidak bisa mendengar balik perkataanku," ujarnya sinis, dan seketika membuat teman-temannya yang lain tertawa untuk mempermalukanku.
Ekspresiku berubah dingin. Bocah jaman sekarang memang brengsek. "Hei, kukira kau sekolah dan mempelajari tata krama. Sudah kuduga kau tidak lebih dari sampah sekolahan yang berlagak seperti preman. Kalau kau tau tata krama, yang muda lah yang mendekat pada orang tua," ujarku berusaha menasehati mereka.
Namun reaksi yang kudapatkan dari bocah nakal itu malah tawaan. Bocah itu tertawa sebentar sembari berjalan padaku. "Ah, baiklah, orang tua. Aku tau mungkin punggungmu akan sakit jika terlalu banyak bergerak. Baiklah, tidak apa-apa, aku yang akan mendekat."
Lagi, tawa teman-temannya kembali menggelegar menertawakanku. Sialan! Sabarlah, Il Kwon. Mereka hanya serangga kecil.
Kutarik napasku sebentar supaya tidak ikut terlarut dalam amarah. "Biar kutanya, apa kau memalak temanmu barusan?" tanyaku dengan wajah tegas.
"Tidak. Kami hanya meminjam uangnya sebentar," jawab bocah itu dengan santai.
"Oh ya? Tidak terlihat seperti meminjam," jawabku menyelidik.
"Sudahlah, Pak. Tidak perlu ikut campur. Nikmati saja ramyeonmu. Jangan terlalu banyak gerak, sayangi tulangmu." Setelah bocah itu menyelesaikan kata-katanya, aku kembali ditertawakan. Sialan!
"Wah, kau semakin kelewatan, ya, bocah." Aku terkekeh kecil. Kalau bukan bocah ingusan, sudah kuajak duel daritadi.
"Sudah, ya, Pak. Aku mau melanjutkan bisnisku dulu," ujar bocah nakal itu sembari berjalan kembali menuju kasir.
"Jadi ..., kau masih kekeuh akan memalaknya?" tanyaku yang kini ikut-ikutan ke meja kasir. Astaga, padahal aku tidak berniat ikut campur. Tapi aku juga tidak berniat membiarkan bocah nakal ini berkeliaran menganggu bocah lemah yang lain. Hei, apa aku sudah terdengar seperti superhero? Padahal dulu aku juga villain-nya di sekolahan. Haha.
"Kenapa kau ikut campur, Pak? Apa dia anakmu?" tanya bocah itu dengan ekspresi yang tengik.
"Iya, dia anakku! Kau masih mau menganggunya, hm?" gemasku sembari menjewer kuping kanannya.
"Yak! Jinwo, bukankah kau tinggak di panti asuhan?! Si tua bangka ini benar ayahmu—aww!"
Kupingnya makin kupelintir saat dia menyebutkan kata tua bangka. Sementara Jiwoo, bocah yang diganggu itu, hanya diam tak menjawab apapun.
"Pulang sana! Belajar! Kalau sampai ketahuan menganggu anakku lagi, kucopot gigi depanmu, mau?"
"Ah, iya, iya. Lepaskan telingaku dulu, Pak!"
Melihat wajahnya memerah kesakitan, akhirnya kulepaskan saja jeweranku itu. Uh, apa aku terlalu kasar tadi?
"DASAR PAK TUA JELEK! WLEEE."
Sialan. Bocah itu melarikan diri begitu saja sembari meledekku? Harusnya kujewer sampai putus saja kupingnya tadi. Ketiga temannya yang lain pun kebingungan. Mereka menatapku takut-takut dan akhirnya ikut-ikutan kabur mengejar bosnya yang kabur duluan.
"Haish, bocah-bocah nakal itu!" umpatku. Pandanganku berubah pada bocah bernama Jinwoo tadi. "Hei, uangmu aman?" tanyaku khawatir.
"Paman, seharusnya kau tidak melakukan itu," jawab Jinwoo yang masih menundukkan pandangannya.
"Eh, kenapa?"
"Itu ..., mereka akan semakin menghajarku kalau tau ternyata kau bukan ayahku," jawabnya lirih.
"Lalu, apa kau akan diam saja dipalak begitu?" tanyaku sedikit emosi. Namun tak ada jawaban, Jinwoo hanya menunduk.
"Hei, Nak. Kau sudah makan?"
Jinwoo hanya membalas dengan anggukan. Lalu beralih menatapku datar. "Apa makanmu sudah selesai, Pak? Kau boleh pergi sekarang."
Eh?? Dia mengusirku?
"Aku bisa menjadi ayahmu, Jinwoo."
Hei, apa yang barusan kau ucapkan mulut sialan?! Sejak kapan aku tertarik memiliki anak?! Bahkan kau saja kesusahan mengurusi diri sendiri sekarang.
"Terimakasih, Pak. Tapi ..., aku tidak mengenalmu," jawabnya.
"Ah, nama bapak Choi Il Kwon. Sekarang kau sudah mengenalku, 'kan?"
Bocah itu hanya mengangguk kecil. Masih dengan wajah yang kaku. Haish, bocah ini terbuat dari kanebo kering, ya?
"Aku hanya tidak ingin kau diganggu lagi. Jadi, bilang saja pada mereka bahwa aku akan menghadiahkan bogeman jika mereka berani menganggumu," jawabku yang malah ditertawakan oleh Jinwoo.
"Kenapa kau ketawa, Bocah?!"
"Hihihi, memangnya memukul anak kecil boleh?" tanyanya lugu.
"Kau sendiri bahkan dipukuli oleh mereka, 'kan? Kalau perlu, nanti kau akan kuajari bela diri juga supaya bisa membalas memukul mereka dengan tanganmu sendiri."
"Iya juga sih. Baiklah, Paman. Terimakasih," jawabnya dengan senyum sumringah.
"Nah, bagus. Ngomong-ngomong kau kelas berapa, Bocah?" tanyaku basa basi.
"Kelas 3 SMP."
"Eh?! Anak SMP sekarang sudah kerja paruh waktu?!"
***
Waktu terus berlalu. Seperti yang diputuskan dua bulan yang lalu, Jinwoo menurutiku belajar bela diri. Dan aku begitu bangga saat ia berkata sudah memukul bocah tengik yang waktu itu. Haha, entah benar atau salah didikanku ini. Tapi, ternyata rasanya begitu menyenangkan mempunyai bocah yang merepotkan.
Sejak dulu aku selalu merasa kasihan pada orangtua lain yang melakukan segalanya demi anaknya. Bahkan rela menjilat kaki orang lain demi kesuksesan anaknya sendiri. Sepertinya kini aku harus menjilat lidahku sendiri. Karena mulai minggu depan, aku akan secara resmi mengadopsi Jinwoo. Choi Jinwoo, kebahagiaanku selanjutnya.
"Ayah, apa kau tidak punya pacar? Sepertinya menyenangkan memiliki ibu."
"Hei, makan saja buburmu, Bocah! Aku membuatkan itu pagi-pagi buta. Kalau dingin, jadi tidak enak."
---Tamat---
Tetep ngerjain, walau ujung2nya alurnya maksa (ㄒoㄒ)
Oiya, Choi Il Kwon itu salah satu antagonis di drama korea "18 Again."
(Catatan dari penulis 👆)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro