[Wira's Side Story] [3] Jealous
"Jealous itu tanda cinta, kan?"
_______________________________________
“Sar, stok bunga mataharinya habis, nih.” Kiki meletakkan vas bunga kosong di meja guru. “Pangeran lo nggak ngirimin lo bunga lagi?” tanyanya dengan maksud menggoda.
Dari tempat duduknya, Saras melirik malas ke arah Kiki di depan kelas.
“Si Bunga Matahari kelewat judes, sih. Jadi Kumbangnya males dateng lagi deh.” Nana menambahkan tanpa menoleh sama sekali pada orang yang sedang diejek.
“Pada berisik banget, sih! Belum pernah diraut kali mulutnya, ya?” kesal Saras.
Saras harus rela menahan diri dari ejekan teman-temannya, terutama Kiki dan Nana. Karena sudah dua minggu si Kumbang Wira sudah tidak pernah lagi mengiriminya bunga. Cowok itu sepertinya sudah menyerah karena usahanya tidak pernah disambut baik oleh Saras.
Dasar payah!
--<><>--
“Emangnya lo mau cari buku apa sih, Sar?” Nana membuka topik ketika dirinya, Saras dan Kiki kini berjalan menuju gerbang sekolah setelah bel pulang berbunyi.
“Mau cari novel yang bagus buat ngisi waktu luang. Biar nggak suntuk di rumah,” jawab Saras tanpa menoleh. Ia berharap seseorang yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini dapat teralihkan dengan membaca novel. Seperti biasa.
“Eh, Sar. Itu bukannya si Kumbang?” Kiki menyikut Saras ketika mereka hampir sampai di gerbang sekolah. “Bener. Itu pangeran lo yang selalu kirimin lo bunga tiap pagi.” Ia menyimpulkan sendiri.
Saras dengan cepat menoleh ke arah tunjuk Kiki. Kakinya sudah berhenti melangkah sejak Kiki menyebut nama Kumbang, yang sukses membuatnya mematung. Dan ketika melihat cowok itu tepat berada di sana, membuat jantungnya berdebar luar biasa.
“Mau ngapain dia ke sini?”
Pertanyaan Kiki barusan sama seperti pertanyaan yang ada di kepala Saras saat ini.
“Mau jemput lo kali, Sar,” goda Nana sambil tersenyum.
Saras masih belum mampu menguasai diri. Benarkah cowok itu sengaja datang untuk menjemputnya? Apa dia masih belum menyerah? Sekarang apa yang harus Saras lakukan? Tetap bersikap tidak peduli atau mulai sedikit menurunkan sifat gengsinya?
Saras masih memperhatikan Wira dari kejauhan. Cowok itu bersandar di motornya dengan gaya yang mampu membuat kaum hawa menoleh ke arahnya lebih dari satu kali. Sialan! Kenapa Saras masih sempat-sempatnya menilai seperti itu? Bisa-bisa pertahanan dirinya selama ini akan runtuh sebentar lagi.
Dan benar saja. Saras dibuat terkejut luar biasa ketika Wira kini menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke arahnya sambil tersenyum. Sebelah tangannya terangkat, disusul suara sapaannya yang mampu membuat Saras hampir kehabisan napas.
“Hai!”
Please, Sar, jangan luluh. Jangan jatuh untuk ke sekian kali. Saras menghasut dirinya sendiri.
Kiki menyikut lagi. “Dia nyapa lo tuh, Sar. Samperin gih!”
“Iya, Sar. Ganteng gitu masa lo nggak mau jadi pacarnya. Romantis lagi. Coba kenalan dulu aja.” Nana menambahkan.
“Apaan sih!” Saras berusaha untuk tetap terlihat normal, walau sesungguhnya kehadiran Wira membuatnya hampir goyah pada pendiriannya sendiri.
“Samperin dulu sana. Minimal hargai dia yang udah jauh-jauh mau jemput lo ke sini. Jadi cewek jangan jutek-jutek banget kenapa. Nanti jauh jodoh loh!” Kiki memberikan wejangannya seperti biasa.
Kata-kata itu membuat Saras sedikit melunak. Mungkin Kiki ada benarnya. Mungkin saja Wira berbeda dengan cowok-cowok agresif yang sempat mendekatinya di masa lalu. Mungkin ia harus mencoba lebih mengenal cowok itu dahulu, baru kemudian menyimpulkan sendiri. Biar bagaimanapun, Wira berhak untuk mendapat tanggapan baik darinya, karena cowok itu juga selalu berniat baik mendekatinya.
Ragu bercampur sedikit malu-malu, Saras melangkah hendak menyusul keberadaan Wira. Wajah juteknya perlahan pudar, digantikan dengan rona merah yang kini menghiasi pipinya.
Namun, langkah-langkah Saras terpaksa harus terhenti ketika ia mendengar suara seseorang dari arah belakang yang membalas sapaan Wira dengan riang sekali.
Saras menoleh. Ia melihat Nita, siswi kelas sebelas yang paling populer di klub cheerleaders. Cantik, manis dan juga sexy.
Nita berjalan setengah berlari hingga berhenti tepat di depan Wira. “Sorry, lama nunggu ya? Tadi ngumpul sebentar sama anak-anak cheers,” sapanya pada Wira.
Wira menggeleng sambil tersenyum. “Nggak lama. Aku juga baru sampai, kok. Yuk, aku antar kamu pulang,” ajaknya sambil memberikan helm pada Nita.
Saras memperhatikan pemandangan itu dengan kesal. Tangannya mengepal kuat. Wira ternyata bukan datang untuk menjemputnya, tapi cewek lain yang lebih cantik, lebih manis dan jauh lebih sexy.
Napasnya semakin memburu ketika kini menyaksikan Nita duduk di boncengan motor Wira sambil memeluk erat-erat cowok itu dari belakang.
“Sabar ya, Sar. Kadang gue juga suka bingung sama pemikiran cowok-cowok. Kayaknya gampang banget pindah haluan. Nggak kayak kita cewek-cewek. Mau move on aja susahnya setengah mati.” Nana merangkul Saras dengan pasti. Kata-katanya barusan bertujuan untuk menyemangati Saras, walau ada sedikit unsur curhat di dalamnya.
Dasar playboy!
--<><>--
“Lo sebenarnya mau ngomong atau mau ketawa, sih?” Rakha di seberang telepon sudah mulai bosan karena sepanjang percakapannya dengan Wira malam ini hanya dipenuhi suara tawa lawan bicaranya itu.
“Sorry, sorry. Habis lucu banget kalo gue bayangin tampangnya yang kesel tadi siang. Sumpah, kalo lo lihat, pasti lo juga nggak bisa berhenti ketawa.” Wira masih berusaha menahan tawanya yang sulit sekali ia bendung.
“Jadi gimana?”
“Gue jadi tahu kalo sebenarnya Saras juga punya perasaan sama gue. Tampang jealous-nya tadi siang nggak bisa ditutupi. Gue yakin dia cemburu pas lihat gue pulang bareng Nita.” Wira bercerita dengan riang sekali. Rasa percaya dirinya kian meningkat. Ia merasa sebentar lagi gayung akan segera bersambut. Taktiknya rupanya berjalan lancar.
“Iya, iya. Selamat. Jadinya gimana?” Rakha menanggapi sekedarnya.
“Dia nggak tahu aja kalo sebenarnya Nita itu sepupu gue. Haha.” Wira tertawa lagi. Kali ini lebih nyaring dan lebih lama dari sebelumnya.
“Jadi gimana? Lo udah dapat kontak Adela di London atau belum?” tanya Rakha mulai tak sabar. “Gue nelfon lo bukan buat dengerin cerita lo. Tapi mau tahu kabar Adela,” katanya kesal.
Tawa Wira mulai meredam, menyisakan kekehan pelan ketika membayangkan Rakha yang kesal setengah mati di seberang sana. “Santai, Bro. Nggak akan lama lagi, kok. Lo rajin-rajin berdoa aja biar gayung cepat bersambut.”
Rakha berdecak kesal. “Kebanyakan taktik lo. Bisa-bisa gue keburu mati duluan karena kelamaan rindu.”
Wira terbahak mendengar kalimat Rakha barusan. Keduanya berbincang sebentar, kemudian memutuskan untuk mengakhiri percakapan ketika Wira meyakinkan sekali lagi bahwa ia akan segera mendapatkan kabar tentang Adela.
--<><>--
“Dasar playboy kelas kakap! Penjahat hati wanita! Cowok agresif sialan! Sok ganteng! Sok cakep! Sok keren!”
Saras mengumpat keras-keras di dalam kamarnya. Bisa-bisanya pendiriannya hampir goyah karena sosok Wira.
“Sadar dong, Sar. Lo udah berapa kali dideketin sama cowok model begitu?” Saras terus-terusan menceramahi dirinya sendiri sambil bertolak pinggang di depan cermin besar. “Cowok agresif kayak gitu memang playboy. Paling nggak bisa lihat cewek bening sedikit. Pasti nalurinya langsung pengen dijadiin pacar aja! Dia cuma mau main-main aja sama lo. Nggak serius deketin lo. Mau sakit hati berapa kali, sih?”
Saras memejamkan matanya rapat-rapat. Kata-kata yang dilontarkan untuk dirinya sendiri terasa menusuk sangat dalam ke hatinya. Sampai kapan pun, cowok seperti Wira memang tidak cocok untuknya.
Ting!
Dentingan singkat ponselnya di atas meja belajar, membuatnya menoleh. Dengan spontan, ia berjalan dan meraih cepat ponselnya. Sesungguhnya, hati kecilnya masih sangat penasaran apa Wira benar-benar sudah menyerah untuk mendekatinya?
Saras mengerutkan keningnya ketika membaca sebuah pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Ciye yang lagi berantem
Bukan dari Wira seperti yang diharapkannya, melainkan dari adiknya yang paling menyebalkan, Risa.
“Ciye yang lagi berantem.”
Saras menoleh ke arah pintu kamar ketika mendengar langsung kalimat pada chat di ponselnya. Risa rupanya ada di sana. Kepalanya menyembul masuk pada celah pintu kamar yang sedikit terbuka.
“Ngarepin doi yang ngirim chat, ya?” goda Risa lagi.
Saras kesal setengah mati. Ia lalu meraih pulpen, benda yang paling dekat dengan jangkauan tangannya. Kemudian melemparkannya sembarang ke arah pintu. Sayang lemparannya gagal mengenai Risa, karena gadis itu lebih cepat menghindar dengan menutup rapat pintu kamar.
Saras semakin geram dibuatnya. Ia kemudian memutuskan untuk beristirahat. Memikirkan Wira tidak akan pernah ada habisnya. Cowok itu memang paling bisa membuat Saras kesal setengah mati karena tingkah-tingkahnya.
TBC
Biarpun julukannya "Pakar Cinta", tetap harus berjuang juga buat dapetin cewek yang disukainya.
Nah, buat yang baca cerita Wira ini, terutama buat cowok-cowok. Sekarang paham ya, kalo dijutekin cewek sebenarnya bukan karena dia nggak suka. Mereka cuma minta kalian sedikit lebih berjuang aja buat narik perhatiannya. Haha. Yang cewek-cewek, setuju kan?
Salam,
pitsansi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro