[Part 5] No Choice
Tok tok tok
Seisi kelas kompak menoleh ke arah pintu kelas yang baru saja diketuk, begitu pula pak Gatot, guru Ekonomi yang sedang menyoret-nyoret white board di depan kelas.
"Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" tanya seseorang yang mengetuk pintu itu.
"Oh, kamu Rakha. Yang ijin masuk agak siang, kan? Ayo masuk." kata pak Gatot mempersilahkan.
Rakha memasuki ruang kelas, berjalan menuju kursinya di deretan paling belakang. Samar-samar ia mendengar cibiran teman-teman sekelas ketika ia berjalan melewati mereka.
"Mentang-mentang artis, seenaknya aja masuk sekolah siang."
"Kalo ijin gara-gara ikut olimpiade atau lomba sih nggak papa, lah ini cuma syuting aja diijinin."
Rakha berusaha mengabaikan ocehan-ocehan itu dan mencoba menenangkan diri, walaupun suara keras bantingan tasnya di atas meja menjelaskan ia sangat emosi. Ia lalu duduk di kursinya sambil melemparkan tatapan tajam pada teman-teman sekelasnya yang kini memperhatikannya.
Seisi kelas mengakhiri tatapannya pada Rakha setelah pak Gatot bersuara, memulai kelasnya kembali.
Sementara itu, tanpa minat Rakha mendengarkan penjelasan pak Gatot tentang mata pelajaran yang tidak dipahaminya sama sekali. Matanya meredup karena kelelahan shooting semalaman. Hingga sesuatu yang bergerak di mejanya, membuatnya terjaga kembali. Seseorang mengulurkan buku paket yang halamannya terbuka tepat pada materi pelajaran yang dibahas pak Gatot di depan kelas.
Rakha lalu melirik seseorang di sebelahnya itu, teman sebangkunya yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Cowok itu mengangkat alisnya sambil tersenyum singkat, kemudian kembali fokus mendengarkan penjelasan guru di depan kelas.
Namun nyatanya buku paket itu tidak banyak berpengaruh bagi Rakha. Ia tak menyentuhnya sama sekali, bahkan enggan untuk melirik atau mencoba memahami isinya. Hingga bel tanda istirahat berbunyi, ia segera beranjak dari duduknya dan mengikuti teman-teman sekelasnya yang juga berhamburan keluar kelas setelah pak Gatot meninggalkan ruangan.
"Mau ke kantin?"
Rakha menoleh ke sumber suara yang berada tepat di samping kanannya. Teman sebangku yang tak diketahui namanya itu rupanya mengikutinya dan berusaha menyejajarkan langkah-langkahnya yang cepat.
"Kenalin, nama gue Wira!" ucap cowok di sebelah Rakha sambil mengulurkan tangannya.
Dengan enggan, Rakha hanya melirik uluran tangan itu sekilas, lalu semakin mempercepat langkah kakinya tanpa menghiraukan ajakan perkenalan itu.
Wira tak menyerah. Ia tersenyum lebar sambil menatap tangannya yang hanya mengapung di udara tanpa sambutan yang diharapkan. Ia lalu menyusul Rakha dengan langkah-langkah lebarnya kemudian merangkul artis idola itu dengan sok akrab hingga mendapat tatapan tak suka dari Rakha.
"Ternyata susah ya kalo mau jadi temen lo," kata Wira masih sok akrab dengan senyum lebarnya.
Dengan kasar, Rakha melepas rangkulan Wira di pundaknya. Namun hanya bertahan beberapa detik. Detik selanjutnya tangan asing itu kembali mengait erat bahunya.
"Lo lagi ada masalah sama tunangan lo?"
Rakha kini menghentikan langkahnya, lalu melirik Wira dengan kening berkerut.
"Bener ya tebakan gue?" ucap Wira seraya melepaskan rangkulannya dan memperhatikan ekspresi wajah Rakha dengan lekat.
Rakha hanya terdiam di pijakannya.
"Itu kan tunangan lo?" tanya Wira sambil menunjuk seorang cewek yang berdiri di depan mading tak jauh dari tempatnya berdiri.
Rakha mengikuti arah tunjuk Wira dan langsung dapat menemukan Adela yang nampak serius membaca sesuatu di dinding sekolah.
"Lo udah lama pacaran sama dia?"
Pertanyaan Wira selanjutnya membuat Rakha kembali menoleh padanya.
"Gue heran aja, soalnya setau gue dia itu tertutup banget soal asmara! Banyak yang suka sama dia, tapi satu per satu akhirnya mundur teratur karena ngira dia udah jadian sama senior angkatan sebelumnya yang sekarang lanjut kuliah di Bandung!" kata Wira panjang lebar masih sambil memperhatikan Adela yang kini terlihat sedang mengobrol dengan salah satu cowok yang juga sedang membaca mading.
Wira menoleh ke arah Rakha setelah cukup lama tidak ada tanggapan dari teman sebangkunya itu. Seketika ia membulatkan matanya begitu menyaksikan ekspresi terkejut yang ditunjukkan Rakha.
"Jangan bilang lo baru tau tentang ini?" tebak Wira cukup terkejut.
Secepat mungkin Rakha berusaha menguasai kembali sikap dan ekspresinya. Matanya lalu beralih kembali menatap Adela yang belum beranjak dari tempatnya. "Itu nggak penting!" sahutnya pada Wira.
"Justru ini penting," ucap Wira penuh semangat yang mau tak mau membuat Rakha kembali menoleh. "Bisa jadi ini yang buat hubungan kalian merenggang. Siapa tau dia masih ada rasa sama cowoknya itu. Atau malah masih punya hubungan di belakang lo."
Rakha tidak langsung merespons dugaan Wira. Sebenarnya itu semua tidak penting. Ia tidak peduli cewek bernama Adela itu sudah punya kekasih atau hubungan khusus dengan siapa pun. Namun, lagi-lagi alasan yang dikarangnyalah yang membuatnya harus bersikap seolah Adela memang benar adalah pacarnya, karena semua orang menganggap berita itu adalah benar.
"Perlu bantuan? Gue bisa bantu selidiki hubungan cewek lo sama cowok yang di Bandung itu kalo lo mau," tawar Wira.
Rakha terdiam karena matanya baru saja bertemu dengan sepasang mata milik Adela. Mereka saling pandang untuk waktu yang cukup lama tanpa kata-kata.
Adela berdiri kaku di tempatnya sambil membalas tatapan Rakha dengan perasaan bimbang. Sejak tadi ia memang mencari cowok itu. Pikirannya sejak kemarin dipusingkan dalam mencari cara untuk mendapatkan tanda tangan Rakha demi kelangsungan hidupnya beserta adik kesayangannya. Namun, tidak ada satu pun cara yang bisa diterima otaknya untuk menjalankan aksinya. Ia tidak mau menjilat ludahnya sendiri.
Pandangan Rakha di matanya akhirnya terhenti ketika seorang siswi berbandana merah menghampiri dan dengan sikap centilnya meminta tanda tangan Rakha di buku catatannya.
Rakha menyambutnya, dan dengan cepat menyoret-nyoret buku itu asal lalu mengembalikan kepada pemiliknya yang langsung disambut histeris oleh cewek itu.
Mudah sekali! Batin Adela. Cewek itu dengan mudahnya mendapatkan tandatangan Rakha. Bagaimana dengan Adela? Apa ia harus melakukan hal yang sama yang berarti harus menjatuhkan harga dirinya? Dan itu berarti ia harus memenuhi permintaan cowok itu untuk mengaku sebagai pacarnya di hadapan media. Tidak mungkin!
Tapi, bukankah Adela sudah tidak punya pilihan lain? Bayang-bayang adik kesayangannya-Leo terus memenuhi kepalanya. Leo harus tetap sekolah, apa pun yang terjadi.
Adela menunduk, menatap lekat buku catatan miliknya yang ia bawa sedari dari. Ia menggenggam kuat-kuat buku itu, lalu beberapa detik kemudian ia mengangkat kepalanya. Matanya kembali beradu dengan sepasang mata milik Rakha.
Setelah menghela nafas panjang, Adela akhirnya memantapkan diri untuk melangkah mendekati cowok itu.
Satu langkah
Dua langkah
TBC
Haii Arlov & Adela Lover~ Wkwkwk..
Makasih buat kalian yang masih setia dan menanti cerita ini. Ada yang bisa tebak apa yang akan terjadi sama Adela? Tunggu lanjutannya hari Sabtu ya...
Jangan lupa vote dan komennya :)
Salam,
Pit Sansi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro