Part 7 - Berita
Wisnu menggenggam sebatang rokok ditangannya yang sudah menyala, namun ia tidak menghisapnya. Ia tidak merokok, tapi saat ini rasanya ia sangat ingin merokok. Melihat Tiyas dan Raka membuat ia frustasi. Tiyas bukan milik siapa-siapa, namun Wisnu sudah terikat. Nia terlalu baik untuk Wisnu kecewakan. Nia masih Nia yang sama. Masih manis, sedikit lugu dan malu-malu , wajah ayu nya masih sama seperti ketika Wisnu jatuh cinta dulu. Wisnu mulai berandai-andai, mengira-ngira apa reaksi Nia jika Wisnu jujur padanya. Nia tidak pernah marah, apalagi berkata kasar. Itu lagi yang membuatnya lebih merasa bersalah. Tapi saat ini hanya Tiyas yang ada di kepalanya. 'Sial...' Ponsel dalam saku celana nya berbunyi.
"Nu, kamu dimana? Katanya mau ke rumah." Suara Nia diujung sana.
"Iya, sebentar lagi ya."
Wisnu dengan enggan mematikan rokok yang sedari tadi ia pegang lalu mulai bersiap pergi ke rumah Nia. Biasanya setiap malam minggu ia selalu merasa bersemangat. Namun kali ini langkahnya berat. Dengan konyolnya ia mulai menghitung langkahnya ke garasi rumah sambil menimbang-nimbang. 'Jujur...nggak...jujur...nggak'. Seperti orang bodoh Wisnu berakhir di motornya dengan masih mengenakan pakaian seadanya. Ia kembali masuk lagi ke rumah.
"Kak, kenapa si? Kok kayak bingung banget." Adik perempuannya yang manis, Ifa sedang menonton televisi di ruang keluarga .
"Urusan anak gede, anak kecil ga usah ikutan."
"Ih, gitu amat." Adiknya mencebik. "Pasti mau bingung deh, mau putusin Kak Nia apa nggak. Iya kan?"
"Eh...sok tahu lagi. Tahu dari mana?" Wisnu penasaran dengan intuisi adiknya yang jitu.
"Kak, aku tau kok Kakak suka sama Kak Tiyas. Iya kan?"
"Ih sembarangan." Wisnu masih menampik.
"Udah deh ga usah bohong. Semua cewek juga tahu cowok jatuh cinta itu kayak apa tabiatnya. Kayaknya Kak Nia juga udah tahu deh Kak."
"Emang ketahuan ya?"
"Nih ya, waktu itu pernah Kak Nia telpon ke rumah. Kakak lagi ke tempat Kak Tiyas. Terus nada suara Kak Nia jadi sedih. Emang dia ga bilang sama Kakak?"
Wisnu diam mendengarkan.
"Terus Kak Nia nanya, pernah ga Kak Tiyas telpon Kakak atau ke rumah sini."
"Kamu jawab apa?"
"Nggak pernah. Kan emang ga pernah."
Wisnu diam, tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Selama ini Tiyas tidak membalas perhatiannya. Tiyas adalah masih Tiyas yang sama ketika dulu Wisnu bertemu. Tidak ada perasaan apa-apa. Ia terlalu sibuk untuk cemburu. Tapi Wisnu terlanjur merasa terperangkap dalam perasaannya. Terlanjur tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Wisnu tidak akan memaksa Tiyas untuk suka pada nya. Tapi paling tidak, Wisnu harus jujur pada Tiyas dan Nia, atau dia bisa gila. Setelah berpamitan pada Ibu nya dirumah, tujuan pertama adalah rumah Nia.
***
"Happy Birthday Nu." Nia berdiri di depan teras rumahnya menyambut Wisnu dengan sepotong cake kecil dan lilin diatasnya.
Wisnu hanya diam. Dia benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya.
"Make a wish terus tiup lilinnya." Nia tersenyum.
Wisnu tidak sampai hati mengecewakan Nia. "Semoga hari ini Ramania maafin aku dan selalu bahagia setelahnya." Wisnu mengucapkan permohonannya lalu meniup lilinnya. Ia menyadari paras wajah ayu Nia yang seketika berubah.
"Aku boleh masuk?"
"Ga usah, disini aja Nu. Aku ga mau Mama Papa lihat aku nangis." Nia duduk dengan tenang di teras rumahnya. Kue ulang tahun Wisnu ia letakkan di meja sebelahnya. Ia seperti sudah tahu apa yang akan Wisnu ucapkan. Nia hanya tidak menyangka bahwa Wisnu berani mengucapkannya.
Wisnu menggeser bangku teras agar berhadapan duduk dengan Nia. Ia mencoba memperhalus kata-katanya dan menggenggam tangan Nia. Sekalipun ia tahu itu tidak ada gunanya. "Nia...aku. Maafin aku Nia. Aku yang salah. Beberapa bulan ini aku..." Kalimat Wisnu menggantung. Ia seperti tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri.
"Kamu suka Tiyas. Iya kan?" Air mata Nia mulai jatuh satu persatu.
Wisnu hanya mengangguk kecil lalu menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup melihat Nia menangis karena dirinya. Lima belas menit lamanya Nia hanya diam dan menangis perlahan. Wisnu pun tidak berusaha menjelaskan apapun. Karena semua sudah jelas. Ia yang bersalah.
"Apa Tiyas tahu? Apa Tiyas juga suka kamu Nu?" Nia bertanya lirih.
"Aku nggak tahu Ni. Sama sekali nggak tahu."
"Ya sudah, terimakasih untuk satu tahun ini ya Nu. Kalau Tiyas mengecewakan kamu...aku masih ada disini." Nia melepaskan genggaman tangan Wisnu. Ia berdiri dan masuk ke dalam rumahnya.
Nia memang bukan wanita yang bisa menunjukkan perasaannya dengan gamblang. Namun Wisnu sudah bersama Nia satu tahun, Wisnu paham betapa sakitnya Nia malam ini.
***
"Lho Nu? Tumben malem-malem gini kerumah?" Tiyas keluar dari rumahnya. Ia sudah mengenakan piyama tidurnya.
"Sorry ya, gue tahu ini kemaleman." Saat itu pukul 10 malam. Wisnu bersyukur Tiyas masih mau menemuinya.
"Ada yang penting banget ya Nu?"
"Iya."
Tiyas mempersilahkan Wisnu masuk. Rumah Tiyas sudah sepi, Ibu dan Adiknya sudah tidur di kamar. Hanya ada si Bibik yang masih beberes di dapur. Tiyas dan Wisnu duduk di sofa ruang tamu, ia sadar dengan kegelisahan Wisnu.
Wisnu menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. "Ti, gue putus sama Nia." Paras wajah Tiyas seketika berubah.
"Nu...stop Nu. Tunggu dulu..." Tiyas tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Namun Tiyas berusaha agar Wisnu tidak mengatakannya.
"Anindi Tiyas, gue suka sama elo... Suka banget." Wisnu menatap Tiyas dalam-dalam. Gadis dihadapan Wisnu mulai terlihat salah tingkah.
Sesungguhnya Tiyas merasa serba salah, merasa bersalah. Terbayang wajah Nia, bagaimana perasaan Nia saat ini. Kenapa Wisnu begitu bodoh, kenapa harus dia. Nia lebih segalanya dari Tiyas, jadi Tiyas sangat tidak mengerti kenapa Wisnu nekat meninggalkan Nia demi dirinya.
"Wisnu, gue ga bisa Nu." Tiyas menutup wajahnya ingin menangis. Ia tiba-tiba merasa sedih, karena menjadi penyebab dari masalah ini.
"Ti, dengerin gue Ti. Gue suka sama lo Ti. Kita coba jalan bareng ya Ti?"
"Gila kali lo, gue ga bisa Nu. Nia temen gue, lo temen gue. Ga bisa Nu." Nada suara Tiyas sudah mulai bergetar. "Lo, tega banget si Nu."
"Ti, gue ga bisa bohong Ti. Gue yakin lo juga pasti udah ngerasa kan. Mangkanya 2 bulan ini lo berusaha menghindar dari gue." Wisnu mulai mencoba menggenggam tangan Tiyas.
Tiyas mulai menangis. Ia pun bingung dengan perasaannya. Wisnu, Nia, Raka. Kenapa semua jadi seperti ini. "Gue ga bisa Nu, gue punya perasaan."
"Ga bisa dengan ga mau itu beda Ti. Apa lo suka gue juga?"
"Wisnu..." Sesungguhnya Tiyas tidak ingin menyakiti hati Wisnu. Tiyas tahu Wisnu pun saat ini sedang sedih dan bingung, sama seperti dirinya. Namun Tiyas memberanikan diri untuk memutuskan. "Wisnu, kita ga bisa lebih dari teman. Gue suka elo sebagai teman gue Nu."
"Apa ada orang lain yang elo suka Ti?"
"Gue nggak tahu, gue bingung. Jangan tanya yang aneh-aneh sama gue." Tiyas kembali menutup wajahnya. Ia mencoba mencerna semua yang terjadi. Tiyas tidak mau dan tidak bermaksud menyakiti siapapun. Semuanya terjadi begitu saja, ia sudah berusaha mencegah ini terjadi.
"Nu, lo pulang aja ya. Lo udah tahu jawaban gue. Sekarang udah malem, gue mau istirahat." Mata Tiyas masih merah karena menangis. Tiyas hanya ingin sendiri.
"Maafin gue Ti. Gue ga bermaksud bikin lo bingung begini." Wisnu semakin tersiksa karena dalam malam yang sama ia melihat Tiyas dan Nia terluka.
Setelah Wisnu berlalu, Tiyas masih duduk di ruang tamu mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ia sudah bisa menebak perasaan Wisnu, tapi ketika Wisnu dengan gamblang menyatakannya rasanya sangat aneh. Apa Tiyas siap kehilangan temannya itu. Tiyas tidak punya semua jawabannya malam itu.
***
Pagi itu Tiyas berjalan di koridor sekolah. Sudah dua minggu berlalu sejak kunjungan dari Wisnu. Tidak butuh waktu lama untuk berita tentang putusnya Nia dan Wisnu tersebar ke seantero sekolah. Tiyas menjadi lebih menutup diri. Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya, berusaha untuk tidak memperdulikan omongan-omongan teman sekolahnya tentang dia. Tiyas si perusak hubungan orang. Teman-teman terdekatnya tahu berita itu tidak benar. Namun Tiyas tetap merasa sangat bersalah pada Nia.
Tiyas menarik diri dari Wisnu ataupun Raka. Ia menyibukkan dirinya dengan kegiatan OSISnya. Ia bahkan mengambil 2 hari jatah tambahan piket OSIS agar ia tidak perlu berlama-lama memikirkan masalahnya. Sikap Nia menjaga jarak. Wisnu pun hanya bisa mengamati Tiyas dari jauh, tidak berdaya. Sementara Raka kembali tenggelam dalam prasangkanya, ia menarik diri saat Tiyas membutuhkannya.
Tiyas masih sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ada seseorang menarik lengannya, Nia. Nia tidak melepaskan lengan Tiyas sampai mereka hanya berdua di kebun kecil belakang sekolah. Mereka tidak sadar, bahwa ada Danar yang sedang tidur siang di dekat tempat mereka berbicara.
"Ti, Wisnu suka sama kamu." Nia tidak basa basi. Ia terlihat lebih nekat dari biasanya.
"Lo salah paham Ni. Wisnu temen gue. Lo temen gue juga."
"Bohong. Kalau emang kamu ga suka sama Wisnu kenapa jadi sedih begitu?"
"Ya gimana gue ga sedih Ni. Wisnu putus sama lo, semua orang sangka ini salah gue. Padahal gue ga begitu. Kalian semua salah paham."
"Tiyas, paling nggak kamu bisa coba jalan dulu kan sama Wisnu? Aku ga bisa lihat Wisnu sedih banget begitu Ti."
"Terus gimana dengan elo Ni? Elo rela gue jalan sama Wisnu?" Tiyas masih bingung dengan sikap Nia.
"Tiyas, buat aku yang penting Wisnu ga sedih lagi Ti. Jadi kamu coba dulu ya Ti, pacaran sama Wisnu."
"Nggak bisa Ni, Wisnu itu temen gue. Gue ga suka sama Wisnu."
"Jangan jahat dong Ti. Kasian Wisnu." Nia mulai terlihat kesal. Dia tidak paham kenapa Tiyas tidak tertarik kepada Wisnu.
Habis kesabaran Tiyas. "Nia please. Jangan paksa gue untuk sesuatu yang gue ga suka."
"Tapi Wisnu suka sama kamu Ti. Dia suka banget sama kamu sampai dia ninggalin aku." Nia mulai menangis. Sebelum Tiyas sanggup berkata apa-apa Nia sudah berlari pergi.
Tiyas masih berdiri ditempat yang sama. Sebenarnya ia tidak ingin mengingat semuanya. Tiyas hanya ingin diam, tidak berkomentar dan berharap semuanya berlalu. Ia kembali merasa sedih teringat Raka yang sepertinya acuh tak acuh. Satu minggu lalu, sengaja ia ingin pulang bersama Raka. Tiyas berharap ia bisa bercerita pada Raka, menjelaskan bahwa berita yang saat ini beredar tidak benar. Bukan hanya menolak Tiyas, saat itu Raka juga membonceng dan mengantar Dara pulang. Hanya Rani yang mengerti betapa kalutnya Tiyas saat ini.
Tanpa sadar ia mulai berjalan menuju koridor, sampai Dara dan gengnya menarik kasar tangannya. Mereka memojokkan Tiyas di tempat yang sama.
"Eh, mau kemana lo? Sini dulu."
Ada 3 cewek berpakaian modis dan cantik dihadapannya. Mereka memang terkenal sebagai fans garis keras Raka.
"Nia bilang lo disini, eh bener ternyata. Lo apain Nia sampe nangis begitu?" Dara mulai mendorong kasar.
"Iya lo dasar tukang rebut pacar orang." Siska menyahut tinggi.
"Heh, kalo pada ga tau yang sebenernya ga usah pada ikut campur. Lagian gue dan Nia yang punya masalah ngapain lo semua yang repot." Tiyas tidak mau kalah mendorong.
"Eh berani-beraninya lagi lo sama gue. Gue ga akan perduli ya sama urusan lo yang sok banyak itu, selama lo ga gangguin Raka. Ini udah ngerebut Wisnu masih juga jalan sama Raka."
"Apaan si? Ga ngerti gue."
Dara maju dengan mata membelalak dan mencengkram kerah baju Tiyas. "Lo pikir gue ga tau lo deket-deketin Raka? Minta-minta beliin buku segala. Alesan banget. Dasar centil!"
"Jadi awas ya, sampai gue tahu lo deketin Raka lagi, gue kerjain lo."
"Heh heh...pada ribut banget sih. Gue ga bisa tidur nih." Danar yang sedari tadi menyaksikan diam-diam tiba-tiba muncul. Dara segera melepaskan cengkramannya. Ia dan gengnya berlalu pergi.
Segala kekalutan Tiyas seperti memuncak. Dadanya sesak, seluruh pikirannya berputar. 'Kenapa bisa begini jadinya? Apa benar aku perusak hubungan orang?' Tubuhnya bersandar pada dinding bangunan yang dingin, air matanya mulai turun. Ia menyembunyikan wajahnya yang basah dengan kedua tangannya. Tiyas benci karena dirinya menangis. Apalagi dihadapan orang lain. Tapi saat ini ia sungguh tidak tahu harus bagaimana.
Danar berdiri disebelahnya, menemani Tiyas sampai ia selesai menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro