Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28 - Let me love you properly

Sabtu pagi itu Raka sudah berada di depan rumah Tiyas. Raka mengenakan jins gelap dan kemeja lengan pendek biru muda polos. Raka terlihat lebih fresh dan rapih dari biasanya. Tiyas tidak berdandan sama sekali dan bajunya pun casual seperti biasa. Ia bahkan hanya mengenakan sendal santai dan rambutnya pun di kuncir kuda biasa saja. Tiyas tidak mau menimbulkan kesan bahwa ini adalah kencan yang sesungguhnya.

Raka tersenyum melihat Tiyas. "Kamu kayak mau pergi ke pantai."

Tiyas tersenyum. "Sorry. Abis ga dikasih tahu mau pergi kemana." Tiyas mengelak.

Raka membukakan pintu sedan hitam mewahnya dan mempersilahkan Tiyas masuk. "Maaf kalau mobilnya masih bukan selera kamu."

"Ini oke, asal jangan yang sport merah itu." Mereka sudah di dalam mobil yang melaju. Tiyas beberapa kali membenarkan posisi duduknya, entah kenapa ia merasa canggung. "Jadi kenapa soal kemarin itu Ka?"

"Wow, kamu straight to the point banget. Ini kita baru sampe depan kompleks kamu lho." Raka tersenyum. "Kita bikin aturan ya hari ini. Karena ini akan jadi pertama dan terakhir. Jadi boleh ya ada aturan sedikit. Kalau kamu keberatan, bilang aja."

"Oke." Tiyas merasa Raka berubah. Tapi belum yakin apa perubahannya.

"Pertama, dilarang ngomongin Wisnu atau nanya-nanya soal Della. Mereka berdua punya banyak waktu habis urusan kita selesai. Kedua, kamu nurut sehariii ini aja Ti. Oke?"

"Satu, oke. Dua, tergantung ya. Apa dulu yang mesti diturutin." Tiyas tersenyum.

"Oke then. First Stop, toko buku. Aku harus melunasi bayaran kamu sebagai guru bahasa Inggris ku dulu."

Tiyas seperti akan memprotes.

"Ti, business is business. I need to close the agreement I made. Kamu mau aku punya hutang habis ini dan masih cariin kamu besok-besok?"

Tiyas menghela nafas. "Okey okey. I can take that reason."

"Jadi kamu biarin aku melunaskan hutang karena segitunya ga mau ketemu aku?" sorot mata Raka jenaka. Seperti sedang menggoda Tiyas.

"Tuu kan. Serba salah ya. No comment deh."

Raka tertawa. Tiyas tersenyum melihat Raka tertawa. "I'm glad that you're oke Raka."

"Aku baik-baik aja saat ini, karena bareng kamu Ti. Terimakasih, mau jalan sama aku."

"I still hate you though, because of what you did." Tiyas mulai melancarkan serangan sekalipun nada suaranya tenang.

"Iya, I know." Wajah Raka muram tiba-tiba. Biasanya Raka akan langsung defensif atau tersulut egonya sendiri. Namun kali ini Raka tersenyum. "Semoga habis hari ini, kamu bisa benar-benar maafin aku Ti. Kalau ga bisa, juga aku maklum."

"Wow, kok kayak bukan Raka yang aku kenal."

"Raka yang dulu itu adalah Raka yang belum pernah jatuh cinta. Jadi tolong maklumin dia."

Tiyas diam tidak ingin melanjutkan. Dia masih tidak pasti dengan apa yang terjadi pada Raka atau apa maunya. Masih ada waktu untuk menanyakannya nanti.

Mereka tiba di salah satu toko buku  dalam mall di Jakarta. Tiyas sebenarnya sedang tidak bernafsu membeli buku, otaknya terlalu sibuk menduga dan menerka. Tapi Raka memaksa dengan ancaman bahwa Raka akan mulai memasukkan buku apapun yang pertama dia lihat dalam tas belanja, jika Tiyas tidak mulai memilih. Dan karena itu menurut Tiyas adalah suatu penyia-nyiaan terbesar, maka ia mulai memilih beberapa buku dan membiarkan Raka membayarnya. 

Setelah selesai mereka makan siang di mall yang sama. Raka membiarkan Tiyas memilih restorannya. Karena alasan efisiensi, Tiyas memilih salah satu restoran cepat saji favoritnya. Tapi lagi-lagi Tiyas tidak terlalu berselera dan Raka menyadarinya.

"Ti, kamu ga enjoy ya?"

"Nggak bukan gitu Ka. Aku hanya ga biasa aja dengan kamu yang begini. Apalagi aku ga tau alasannya. Paling nggak kamu bilang deh alasan ini semua apa?"

Raka tersenyum lagi, ia banyak tersenyum hari ini. "Oke kalau kamu ga sabaran." Raka menarik nafas perlahan. "Tiyas, aku jatuh cinta sama kamu. Jangan tanya kenapa atau bagaimana, karena aku ga punya jawabannya. Ini hal yang baru buat aku. Mangkanya aku dulu seperti itu, aku terobsesi sama kamu. Kamu harus jadi punya aku, bukan yang lainnya."

Tiyas terkejut atas jawaban Raka. Tiyas bukan tidak memprediksi jawaban itu akan datang, tapi ketika itu diucapkan gamblang oleh Raka rasanya tetap mengejutkan.

"Dari kecil aku tidak mau belajar mengalah. Bukan karena Mama ga pernah ajarin, beliau luar biasa. Tapi aku yang tidak mau belajar mengalah. Jadi aku akan berusaha selalu menang, selalu dapat yang aku mau. Sampai aku ketemu kamu. Satu-satunya perempuan yang aku deketin dengan berbagai macam cara tapi tetap tidak merespon. Malah pacaran sama sahabatku sendiri." Raka tersenyum lagi seperti mengingat sesuatu. "Jadi akhirnya aku berubah menjadi orang yang egois, manipulatif, atau jahat bahasa kamu, demi dapetin kamu"

Tiyas masih tertegun tidak bicara. Mata Raka menatap Tiyas dalam-dalam. Sepertinya ingin setulusnya menyampaikan isi hatinya bukan hanya dengan kata-kata pada perempuan yang duduk dihadapannya.

"Aku tidak cari pembenaran. Aku salah, jadi aku minta maaf. Tapi sekarang kamu sudah tahu kenapa aku begitu." Raka diam sebelum melanjutkan. "Hari ini, I just want to love you properly. Seperti yang harusnya aku lakukan sejak dulu. So please, be nice to me. Ini pertama juga buat aku."

Jantung Raka berdebar tidak karuan. Setelah Raka menyampaikan semuanya pada Tiyas, perasaan yang menghimpit didadanya selama berbulan-bulan perlahan hilang. Untuk pertama kalinya Raka merasa benar-benar bahagia. Sekalipun pada akhirnya ia tahu, ini bukan kisahnya. Raka melanjutkan makan siangnya.

"Raka...aku. Aku ga tau harus ngomong apa. Aku ga mau kamu sakit hati karena aku lagi." Refleks Tiyas menyentuh tangan Raka.

"Hari ini, aku lega dan bahagia. Jadi kamu ga perlu ngomong apa-apa Ti. Please just let me love you properly today. Deal?" Mata Raka berubah jenaka.

Tiyas tersenyum dan mengangguk. Ini adalah hal terakhir yang bisa Tiyas lakukan untuk Raka. Jadi, Tiyas akan mencoba menikmati hari ini. "Coba bilang dari tadi. Aku udah ambil banyak-banyak bukunya." Tiyas bercanda untuk memecahkan suasana disambut tawa Raka yang berderai-derai.

Sehabis makan Raka mengajak Tiyas pergi ke salah satu salon langganan favorit Mama dan kakak perempuannya. Tiyas masih bersikeras menolak dan Raka masih bersikeras membujuknya.

"Tiii...please. Cuma cuci rambut dan ganti baju udah. Kok ga mau siy?"

"Emang rambut aku bau apa? Kamu menghina deh Ka. Terus kenapa mesti ganti baju. Baju aku jelek?"

"Bukan gitu Ti. Tapi abis ini kita ke tempat yang memang harus agak formil pakaiannya."

"Kemana coba bilang? Kamu dari tadi bilang surprise mulu. Aku ga mau ah."

Raka dengan berat hati menunjukkan dua tiket orkestra yang dibawakan oleh salah satu konduktor dan komposer dalam negri yang namanya sudah tidak diragukan. 

"Ini serius Ka? Ini keren banget beneran. Oke, oke. Bilang dong dari tadi." Tiyas tersenyum lebar dan mulai berjalan masuk kedalam salon.

"Kamu tu beneran deh. Susah amat siy suruh nurut aja." Raka bersungut kesal karena surprisenya terbongkar.

Raka sudah menyiapkan semuanya, termasuk gaun, sepatu dan tas tangan kecil yang akan dikenakan Tiyas. Kakak perempuannya yang membantu mencarikan semuanya. Raka mewanti-wanti kakaknya bahwa barang yang akan dikenakan Tiyas harus yang paling cantik. Kakaknya juga yang sudah membooking semua staff salon yang dibutuhkan untuk melayani Tiyas.

Pukul 3 sore Tiyas selesai. Sekalipun Tiyas membenci kisah Cinderella, tapi hari itu mau tidak mau ia merasa menjadi putri sesaat. Tiyas luar biasa cantik sore itu. Raka berkali-kali berusaha memalingkan pandangannya dari Tiyas karena terlalu gugup. Tiyas hanya tersenyum manis, seolah tidak tahu apa akibat dari senyumnya itu ke jantung Raka. 

'Ya Tuhan, andai Tiyas bukan pacar sahabatnya.' Gumam Raka dalam hati.

"Yuk, acaranya jam 4." Raka menuntun Tiyas masuk ke dalam mobil. Dia sudah mengenakan setelan jas yang memang sudah dibawanya di dalam bagasi mobil.

Orkestra itu diselenggarakan di salah satu gedung pertemuan mewah di pusat kota Jakarta. Tiyas mau tidak mau harus setuju dengan Raka. Jika ia tidak berdandan seperti ini, mungkin tamu-tamu lain akan mulai menyuruhnya mengambilkan minum atau mengangkat nampan makanan. 

Sepanjang acara Tiyas tidak bisa menutupi rasa kagumnya. Ini orkestra pertamanya. Seluruh panca indranya seperti dimanja dengan alunan musik yang menyatu dengan sempurna. Lagu yang dibawakan pun sebagian adalah lagu tradisional Indonesia yang tentu saja sudah digubah menjadi berkali lipat lebih mempesona. Jadi ketika acara selesai, Tiyas masih diam terpaku tidak mau beranjak dari tempat duduknya.

"Ti, yuk. Kita makan malam dulu didekat sini baru pulang."

Tiyas masih diam tidak menyahut. Matanya terpejam namun Tiyas tersenyum seperti masih menikmati sisa musik tadi dalam diamnya. 

Raka tersenyum dan mulai menggoda. "Beneran ga nyesel, ga jadi pacar aku?"

Tiyas menanggapinya dengan tertawa. "Yuk laper nih."

Raka sudah memilihkan fine dining restaurant yang lokasinya tidak begitu jauh. Lagi-lagi Tiyas terkagum-kagum dengan interior restaurantnya, menunya, dan musiknya. Ada pianis yang memainkan lagu di tengah ruangan mengiringi tamu yang ingin berdansa atau hanya duduk untuk makan.

"Ini restaurant favorit Mama Papa. Setiap anniversary mereka pasti kesini."

"Romantis ya Mama Papa kamu."

"Iya, nurun ke anaknya nih." Raka berkelakar.

"Tapi harusnya romantisnya sama tunangannya dong." Tiyas membalas menggoda.

"Ti, kan udah dibilang ga mau bahas Della."

Tiyas tersenyum. "Sebelumnya aku penasaran, kok bisa sih Raka udah tunangan. Tapi setelah jalan-jalan aku hari ini, kamu itu emang hidup di dunia yang berbeda Ka. Jauh berbeda sama aku. Jadi ide soal pertunangan kamu dari kecil seperti di tivi-tivi itu ga aneh lagi sekarang."

 "Masih aneh buat aku yang ngejalanin Ti. Kalian enak bisa bebas-bebas aja. Mau kuliah dimana, pacaran sama siapa. Hidup aku sudah diatur sedemikian rupa. Tambah parah lagi karena aku anak laki-laki satu-satunya."

"Kakak kamu gimana?"

"Sama dijodohin juga. Tapi dia akhirnya bahagia aja sih. Anaknya sudah dua sekarang."

"Jadi Caraka, kamu nanti juga bisa bahagia. Aku doain biar kamu bahagia. Gimanapun juga, kita teman kan Ka?"

"Aku, ga bisa jadi teman kamu Ti. Aku bukan Wisnu yang bisa sabar nahan perasaannya. Maafin aku Ti. Aku hanya ga bisa." Raut wajah Raka tiba-tiba sedih. "Tapi bukan berarti aku musuhin kamu kok. Tenang aja." Raka tersenyum lagi.

"Jadi kamu ambil kemana kuliah Ka?"

"Inggris. Aku ambil yang paling jauh. Jadi mikir dua kali mau balik ke Indo."

"Kenapa?"

"Karena kalau aku cepet-cepet balik, nanti aku ga tahan kejar kamu lagi dan malah bikin kamu sedih."

"Rakaa...udah dong." Tiyas melanjutkan. "Terus ini semua ide siapa?"

"Kakak. Dia kayaknya udah muak liat adiknya yang jadi kayak zombie. Terus dia bilang, kalau sudah terlanjur membuat kenangan yang pahit, maka ganti dengan kenangan baru yang lebih baik. Jadi yang dia ingat hanya kenangan yang baik tadi sebelum kamu pergi."

"Kakak kamu keren."

"Sama ga kayak adiknya?"

Tiyas tertawa lagi. Mereka selesai makan malam pukul 8.30. Raka mengantar Tiyas pulang. Didalam mobil Raka diam-diam mengamati Tiyas dan mencoba merekam semua yang terjadi hari ini. Dia berjanji akan mengingat seluruh detail yang terjadi hari ini. Bagaimana Tiyas tersenyum atau bagaimana Tiyas terkagum-kagum hingga matanya berbinar. Karena Raka tahu ini adalah pertama dan terakhir untuknya bersama dengan cinta pertamanya. 

Mereka tiba didepan rumahnya pukul 9.30.

"Semoga ga terlalu malam ya Ti. Salam buat Mama kamu."

"Iya, terimakasih ya Ka buat hari ini. Aku seneng banget." Tiyas melanjutkan. "Aku maafin kamu Ka. Jangan merasa bersalah lagi ya."

Raka tersenyum tulus. "Aku juga terimakasih. Kamu sehat-sehat dan jangan keseringan nangis. Mulai besok ga ada aku buat jadi tukang pukul kamu."

Tiyas tertawa dan Raka tidak bisa menahan diri. Raka mendekat dan memeluk Tiyas tiba-tiba, lalu mencium pipinya. Tiyas hanya berdiri termangu tidak siap dengan kejadian tadi. Raka kemudian pamit dan berlalu.

Tiyas ingin masuk ke dalam namun ponselnya berbunyi. Wisnu.

"Halo Nu?"

"Aku paham kalian jalan berdua, yang aku ga paham kenapa ada bagian dia pegang-pegang kamu segala. Dan by the way, gaun kamu bagus malam ini." Wisnu memutuskan telponnya.

Refleks Tiyas mencari Wisnu yang ternyata ada di dalam mobil seberang jalan rumahnya.

"Wisnu!!" Tiyas lari menghampiri dan mengetuk jendela kaca mobil Wisnu. "Wisnu dengerin aku dulu."

Wisnu menurunkan kaca jendela mobilnya. Wajahnya merah karena menahan amarah. Kedua tangannya mencengkram kemudi erat.

"Wisnu, ini semua ga..." Tiyas benci harus mengeluarkan kalimat ini. Kalimat klise seperti di tivi-tivi yang selalu mengacu pada tokoh yang bersalah.

"Jangan..Jangan mulai menjelaskan. Aku tidak mau tahu."

"Tapi Nu, ini beneran ga kayak yang kamu pikir. Raka pamit Nu."

"Aku bilang aku ga mau denger Ti." Wisnu menutup jendela dan berlalu.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro