Part 27 - Drunk
Suara musik terdengar keras dan berdentum. Suasana bar elit di salah satu sudut kota Jakarta ramai dengan pengunjung. Ada dua gelas minuman yang kosong dihadapan Raka dan botol yang sudah setengah kosong. Ini bukan kebiasaan Raka sekalipun jika ia mau Raka bisa melakukan apa saja. Tapi kali ini Raka tidak tahu harus kemana.
Seumur hidupnya Raka belum pernah merasakan kegagalan separah ini. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari keluar Nugraha, Raka terbiasa mendapatkan semua yang dia mau. Bahkan seringkali ketika kecil, jika ia berebut satu hal dengan kakak perempuannya Raka akan mencoba memanipulasi Mama hingga menurutinya. Jadi kali ini rasanya tidak tertahankan. Raka kehilangan muka didepan kawan-kawannya, kalah telak dari Wisnu soal Tiyas dan yang paling penting....Tiyas. Raka kehilangan Tiyas.
Raka belum pernah jatuh cinta dalam artian sesungguhnya. Dia hanya mengerti ambisi atau obsesi untuk memiliki. Jadi ketika dengan Tiyas, Raka benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tahu bahwa dia harus memiliki Tiyas bagaimanapun caranya. Jadi Raka melakukan hal-hal yang paling baik menurut dia untuk mendapatkan Tiyas.
Kata-kata Wisnu terekam di kepalanya. 'Gue pikir lo tulus suka sama Tiyas.' Apa artinya tulus? Apa dengan ketulusan, Tiyas bisa membalas perasaannya? Semua praduganya berputar di kepala. Hal yang paling mengganggu Raka adalah melihat Tiyas menangis karena dia. Padahal Raka sudah berjanji tidak akan membuat Tiyas menangis. Tiyas bahkan bilang bahwa Raka lebih buruk dari Danar. Saat itu Raka tahu jika Tiyas benar-benar sakit hati dan kemungkinan besar tidak akan memaafkannya. Ini membuat perasaannya tambah kacau.
"Raka, udah Ka. Balik ya? Dimas udah sampe." Ferdi yang sedari tadi menemani mulai berdiri dari duduknya. "Ka, udah Ka. Lo kebanyakan minum dan ini ga sehat Ka."
"Fer. Kayaknya harus digotong nih anak. Raka jarang banget minum, kayaknya sebentar lagi tumbang dia. Kacau." Dimas yang baru tiba mulai memapah Raka.
Raka mulai menyeracau tidak jelas Kedua sahabatnya bersusah payah membawa Raka masuk ke mobil.
"Ini kombinasi patah hati dan berantem sama sobatnya jadi begini ni." Mereka sudah didalam mobil dan Ferdi berbicara pada Dimas.
"Raka mulai menyanyi di belakang dan beberapa kali menyebut nama Tiyas."
"Ngeri ya, orang patah hati bisa begini. Itu muka bonyok belum sembuh, udah keluar lagi. Sekarang malah minum ngerusak badan. Mesti di omongin nih Fer besok ke anaknya. Raka ga bisa begini terus udah hampir seminggu lho."
"Dim apa kita ngomong ya sama Tiyas? siapa tahu Raka dengerin Tiyas?
"Iye Raka dengerin Tiyas, tapi abis itu kita yang dihajar sama Wisnu. Mau lo?"
"Hadeeh bingung gue."
Ferdi dan Dimas mengantarkan Raka pulang sampai ke dalam kamar. Rumah Raka kosong. Mama Papa Raka sedang pergi keluar negeri. Setelah muntah-muntah beberapa kali Raka sudah lebih tenang tapi masih setengah sadar.
"Dim, kenapa Tiyas suka sama Wisnu? Kenapa ga sama gue? Si kunyuk itu udah bikin Tiyas nangis mulu, kenapa Tiyas pilih diaa Diiiiim?" Raka setengah meracau.
"Eh Bos, gue ga tau nih lo bakal paham apa nggak secara lo lagi mabok. Tapi ya, pertanyaan sama buat lo. Kenapa lo ngejar Tiyas terus? Udah tahu Tiyas ga suka sama lo."
"Gue cinta sama Tiyas Diiim...cintaaaa."
"Ya sama jawabannya, berarti Tiyas cinta nya sama Wisnu, bukan sama lo." Dimas berbicara gamblang. Pengalamannya yang nol besar soal cinta-cintaan membuat Dimas memang lebih blak-blakan dan kurang sensitif.
Ferdi langsung menyikut dada Dimas. "Gila lo, ntar kalo Raka ngamuk gimana."
"Ya abis gue jawab apa dong?"
"Tiyas harus cinta sama gue Dim, haruuuss."
"Udah mendingan lo istirahat deh Ka. Besok kita kesini lagi."
***
Kantin siang itu ramai, karena jadwal ujian akhir sudah keluar. Masih ada beberapa bulan lagi, tapi sebagian siswa paniknya seperti besok sudah akan ujian. Rani sedang berceloteh disebelahnya membicarakan pilihan jurusan dan universitas yang akan ia ambil. Tiyas sudah memutuskan pilihannya sendiri. Sekalipun minggu lalu surat pengumuman atas lulusnya test beasiswa di kantor ayah Raka sudah ia terima, Tiyas tidak bergeming. Keputusannya sudah bulat, Tiyas tidak akan pergi.
Bukan itu yang mengganggu Tiyas. Sudah beberapa minggu ini Tiyas jarang sekali melihat Raka. Perbuatan Raka memang salah dan jahat, tapi Tiyas percaya ada alasan dibalik semuanya, dan lagi-lagi bagaimanapun juga Raka sebelumnya sudah banyak membantu Tiyas. Raka dan geng empat sekawannya adalah kawan baik Tiyas sejak kelas satu. Jadi Tiyas tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika harus lulus dan membuat persahabatan mereka berantakan.
"Ran, Raka mana ya? Kok gue ga pernah lihat?"
"Nah, nih anak mulai lagi. Pasti lo kepikiran Raka deh sekalipun dia udah jahatin lo. Iya kan?"
"Bukan gitu Ran. Gue ga mau mereka berempat berantem gara-gara gue. Jahat banget gue Ran."
"Lo itu gitu tuh Ti, suka ngerasa salah sendiri gitu. Aneh. Kemarin lo baru kesian sama Danar, hari ini sama Raka. Ati-ati ntar Wisnu ngambek lho kalo tahu."
"Ya tapi Ran...Gini deh. Soal Danar, menurut gue dia kebawa emosi sesaat aja Ran. Udah 2 tahun gue sekelas sama dia terus dia ga pernah tu jahat sama gue. Kita suka contek-contekan bareng malah dulu-dulu. Terus mungkin dia itu cuma kebawa emosi aja sama gue. Tapi gue ga tahu juga kenapa dia emosi sama gue siy."
"Eh, semua orang juga udah tahu Danar tu suka sama lo Ti. Lo tu telat deh kadang-kadang soal beginian. Terus kenapa ga lo maafin aja tu si Danar?"
"Udah kok, gue udah maafin dia. Tapi ya gue belum bilang sama dia siy. Dia juga ga pernah negor gue lagi, cuma terakhir bulan lalu yang akhirnya dipisahin sama Wisnu. Kemarin gue malah udah senyumin dia."
"Terus Raka?"
"Ya Raka gue khawatir Ran. Dia kenapa ya?"
Wisnu menghampiri Tiyas yang membuat Tiyas menghentikan pembicaraannya soal Raka.
"Aku Sabtu besok ke Bandung ya, dipanggil Bang Dony. Kamu mau ikut?"
"Mana bisa ikut Nu?" Tiyas menyesap es teh manis dihadapannya.
"Aku kan bawa kendaraan karena emang mau pulang hari. Jadi ga nginep. Bareng Rani juga boleh, kalian jalan-jalan deh sambil nungguin aku. Gimana?"
"Yah Nu, gue ga bisa. Ada acara keluarganya Raymond gue udah janji ikutan. Ntar dia ngambek lagi." Rani yang duduk disebelah Tiyas menyahut. "Udah kalian berduaan aja sana. Bandung kan dingin." Tawa usil Rani disambut muka cemberut Tiyas.
"Yeee...ngaco Rani nih. Nu, aku ijin ibu dulu ya. Nanti aku kabarin."
Wisnu mengangguk. "Ya udah, aku ke anak-anak dulu. I love you."
"Wisnu, sekolahan deh malu tahu." Wajah Tiyas memerah dan Wisnu tertawa menjauh.
"So sweeet Wisnuuuu...aku juga I love you Nuuu." Rani terkekeh meledek Tiyas.
***
Sore itu Tiyas sedang menonton TV dirumah sehabis pulang dari les tambahan yang panjang. Tiyas berharap masa-masa ujian akan segera berakhir. Ini membuatnya sungguh sangat menderita. Belum lagi soal kuliah. Ibu Tiyas adalah tipe orangtua demokratis, dia akan mendukung apapun keputusan anaknya. Tapi justru itu yang membuat Tiyas lebih merasa terbebani. Ini seperti Tiyas sudah harus mulai bertanggung jawab dengan hidup dan masa depannya. Dan seperti remaja lain, Tiyas merasa sangat gugup dan takut jika pilihannya itu akan salah. Pikirannya terhenti sejenak, ponselnya berbunyi. Raka.
"Halo Ti..."
"Iya. Ada apa Ka?" Tiyas berusaha menahan intonasi suaranya. Perpaduan antara kecewa dan penasaran akan kondisi Raka membuat perasaannya kacau tiba-tiba.
"Aku mau ngomong sebentar boleh? Aku di depan Rumah kamu sekarang."
Tiyas menghela nafas, Raka belum berubah. Raka hanya bertanya tanpa mau tahu jawabannya. 'Sejak kapan Raka mulai ber-aku-kamu? Sudahlah, itu tidak penting.' Tiyas berusaha mengabaikan pikiran di kepalanya. Sebenarnya Tiyas ragu, tapi ini sudah terlalu lama. Tiyas harus punya jawaban atas puluhan pertanyaannya.
Raka berdiri di teras depan. Wajahnya sedikit pucat. Sudah tidak ada luka lebam atau apapun bekas perkelahiannya dengan Wisnu. Tapi jelas Raka terlihat kehilangan semangat hidup.
"Masuk Ka?" Tiyas mempersilahkan Raka masuk ke ruang tamu.
"Ga usah, aku disini aja. Cuma sebentar kok." Raka duduk di kursi teras disusul dengan Tiyas. Sebelum melanjutkan Raka menarik nafas panjang. "Tiyas, maafin aku. Sekalipun mungkin perbuatan aku tidak termaafkan. Tapi, aku tetap minta maaf."
Tiyas diam dan mulai bertanya. "Kenapa Ka? Kenapa jadi begini?"
"Aku mau jawab. Aku mau kasih tahu kamu semuanya Ti. Tapi aku mau minta tolong, kita bahas ini hari Sabtu besok tidak dirumah kamu. Kita jalan."
"Raka...kamu tahu aku ga bisa jalan sama kamu Ka."
"Aku tahu, tapi ini terakhir kalinya Ti. Setelah itu aku pergi. Aku ga akan cari kamu lagi. Ini terakhir kali. Aku janji." Raka menatap Tiyas dalam-dalam. "Apa bisa Ti?"
Ada kesungguhan dimata Raka dan sudah tidak ada mata yang penuh dengan emosi lagi. Entah kenapa Tiyas percaya bahwa Raka akan menepati janjinya.
"Aku....harus bilang Wisnu." Nada Tiyas sangat berhati-hati. Ia tidak mau membangkitkan api dalam mata Raka lagi.
"Silahkan, lebih baik dia tahu." Raka benar-benar sudah pasrah. "Aku pulang. Aku jemput kamu Sabtu jam 10 pagi." Raka berlalu.
Nafas Tiyas seperti tertahan dan baru bisa ia lepaskan setelah Raka pergi. Tiyas masuk ke dalam dan menimbang-nimbang apakah ia harus memberi tahu Wisnu.
***
Jumat malam.
"Sayang, jadi besok ikut ga?" Wisnu menelpon Tiyas malam itu. "Kamu udah minta ijin sama Ibu?"
"Nu...soal itu. Aku mau ngomong boleh ya?"
"Iya, kenapa?"
"Ibu sebenernya oke-oke aja Nu." Tiyas seperti mendengar suara jantungnya sendiri. Sudah dua hari dari kunjungan Raka tapi Tiyas belum punya keberanian bicara dengan Wisnu. "Tapi..."
"Tapi apa?"
Tiyas berdehem sebelum mulai melanjutkan. "Dua hari lalu Raka ke rumah Nu." Tiyas mendengar Wisnu menghela nafas diseberang sana. "Dia minta maaf dan kelihatan menyesal banget. Terus aku tanya sebenarnya ada apa, kenapa sampai bisa begini."
"Terus?"
"Dia bilang dia mau jelasin, tapi sambil jalan. Maksudnya ga di rumah aku. Tapi jalan bareng."
Beberapa waktu Wisnu seperti berusaha mencerna karena tidak mengatakan apa-apa.
"Berdua aja?"
Tiyas memejamkan matanya sejenak dan menahan nafasnya. "Iya."
"Kemana?"
"Aku nggak tahu kemana. Tapi yang pasti ya ga keluar kota."
"Kamu tahu jawaban aku apa?"
"Tahu."
"Dan aku tahu kamu mau bilang apa." Wisnu mengumpat dari seberang telpon. "Kamu itu terlalu mikirin perasaan orang lain, sekalipun orang itu udah jahatin kamu. Itulah kamu."
Tiyas tidak menjawab. Ini persis seperti yang Rani bilang padanya beberapa hari yang lalu.
"Kalau aku larang, kamu pasti akan memaksa supaya kamu tetap bisa pergi. Karena kamu pingin tahu alasannya Raka, karena kamu ga tega dan kasian sama dia. Raka yang sama yang sudah jahatin kamu. Lagi-lagi, itulah kamu."
"Aku ga bisa bilang apapun kalau begini. Aku ga mau denger kamu mulai mohon-mohon minta ijin untuk pergi sama Raka, berdua aja. Aku akan sakit hati banget kalau denger kamu mulai memohon. Jadi...." Wisnu menarik nafasnya. "Silahkan kamu putuskan sendiri."
Tiyas mulai menangis dalam diamnya. Ia tidak mau Wisnu tahu.
"Besok, aku pergi sendiri ke Bandung. Goodnight." Wisnu memutuskan telponnya.
Tiyas tahu saat ini Wisnu murka, marah padanya. Semua yang dikatakan Wisnu benar, Wisnu terlalu mengenal Tiyas. Tapi Wisnu adalah Wisnu, yang selalu mencoba mengerti, tidak mau membentak Tiyas atau marah pada Tiyas. Itu juga yang membuat air mata Tiyas makin deras. 'Maafin aku Nu. Tapi aku harus pergi.'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro